![hfi-abob-3]()
Title:
A Bunch of Baby [Tao the Kungfu Panda Appa]
Cast: Tao [EXO-M] // Genre: Action, Comedy, Family, Friendship // Rating: G
Recommended Song: SHINee – Why So Serious?
Summary:
Dia adalah agen rahasia Wolf 88 yang menguasai 3 gerakan wushu, pistol Glock-17 adalah teman setianya, tipe pria garang yang siap mematahkan leher penjahat. Namun, siapa sangka di rumah dia hanyalah seorang ayah yang berperan sebagai Kungfu Panda bagi kedua anaknya.
Dia adalah Huang Zitao.
Read this too
Kai || Chen || Luhan || Kris || Chanyeol
A/N:
This is NOT related with the previous ABOB!
Happy reading
***
“Agen 129! Agen 129! Apa kau mendengarku? Ganti.”
“Aku mendengarmu, agen 147. Ganti.”
Huang Zitao—pria berumur 25 tahun itu tentu tak pernah membayangkan dirinya bersembunyi di balik semak-semak depan gedung tinggi yang menjulang laksana tembok cina—tengah malam, dingin, namun keringat kini membasahi pakaian anti peluru yang mengekang tubuhnya. Dia bernapas perlahan, mencoba menenangkan diri dan beranggapan bahwa ini hanyalah sebuah test agar dirinya mendapat status agen resmi di Wolf 88. Hell, dia tidak mungkin menjadi agen rahasia amatir terus menerus seumur hidupnya!
“Dengarkan aku, bodoh. Jangan bersikap gegabah. Kau tahu siapa yang sedang kita hadapi. Dia adalah Lee Hyukjae, mafia narkoba terbesar ke-dua di Korea Selatan. Ganti.”
“Iya, aku tahu semua informasi tentangnya dan dia memasang bom di setiap lantai gedung. Ganti.”
“Oh ya? Masa? Ganti.”
“Iya, masa kau tidak tahu. Eh, kau lapar tidak? Ganti.”
“Iya, aku lapar. Pacarku tidak memberiku makan tadi sore. Ganti.”
“Kalau aku—“
“Huang Zitao!” seseorang memekik pelan dari belakangnya dan memukul helm hitamnya cukup keras menggunakan pistol. Tao menoleh, mendapati Jongin—sang partner—berwajah kesal, “Apa kau bergosip ria di walkie talkie? Kita sedang dalam misi!”
Tao menunjuk walkie talkie-nya, “Sehun duluan yang memulainya!” bisiknya keras.
Jongin hanya bisa memutar kedua bola matanya kesal sambil mengerang, “kenapa aku harus mendapatkan partner sepertimu?”
“Mana kutahu? Bukankah Junmyeon-hyung yang memilih—hei! tunggu aku!”
Tao buru-buru menyelipkan walkie talkie ke rompinya dan mengikuti Jongin yang tiba-tiba bergerak cepat—berlari keluar dari semak-semak dan mulai memasuki gedung. Mereka harus segera menangkap si mafia narkoba ini sebelum dia mendapatkan uang yang tersembunyi di lantai tiga gedung dan kabur menggunakan helikopter lewat rooftop.
Beruntunglah Jongin punya kemampuan berlari yang super cepat, sedangkan Tao menguasai 3 gerakan wushu. Mereka begitu cekatan seperti bayangan malam yang sulit di tangkap ketika tanpa suara Jongin berlari di lorong gelap itu dan Tao memegang pistol Glock-17 di tangannya.
Mereka berdua berhenti sejenak di belakang tumpukan kardus saat mendengar sebuah pergerakan di ujung lorong. Beberapa langkah kaki juga ikut berhenti. Sial, mereka ketahuan.
Tao menatap Jongin penuh makna, mereka berseberangan cukup jauh dan Tao berusaha mengatur napasnya. Tiba-tiba dia banjir keringat begitu mendengar suara klik pistol bergema di lorong. Mereka pasti akan melakukan baku hantam. Oh yeah, itu pasti.
Dalam satu anggukan kepala Jongin dan hitungan ketiga, mereka membalikkan tubuh dan menembakkan beberapa peluru ke ujung lorong, lalu tak ayal tembakan balasan segera meluncur ke arah mereka.
“Agen 129,” Jongin memanggil Tao. “Lindungi aku dari belakang!”
Beruntunglah anak buah Lee Hyukjae—berjumlah sama seperti mereka. Dua lawan dua tidaklah sulit untuk di taklukkan. Namun, keadaan seketika berubah jadi buruk ketika jumlah mereka semakin banyak dan terdengar suara helikopter. Sehun pun memberikan informasi lewat walkie talkie.
“Agen 141, Lee Hyukjae akan segera kabur lewat rooftop. Kelompokku terjebak di lantai 9. Kami tidak bisa menahannya—“
Sebelum Sehun menyelesaikan bicaranya, Jongin segera menarik Tao dan berbicara sementara tangannya masih sibuk menembak. “Kau harus pergi ke rooftop. Tangkap Lee Hyukjae sebelum dia kabur.”
“Tapi bagaimana dengan—“
“Aku urus mereka semua. Cepat pergi!”
Tanpa berpikir dua kali, Tao segera berlari menjauh dari Jongin—ke arah lift dan menelan kenyataan bahwa lift-nya rusak, itu berarti Tao harus pergi menaiki tangga darurat. Dan sekedar informasi saja, ada enam lantai yang harus dia lalui untuk mencapai rooftop. Seketika itu juga Tao merasa kesal pada Jongin.
“Sial, pantas dia menyuruhku,” erang Tao mulai menjajakki satu persatu anak tangga.
Tak memakan waktu yang lama, Tao pada akhirnya sampai di sana tepat ketika pria ber-jas hitam yang dikenal dengan nama Lee Hyukjae itu berjalan menuju helikopter—sendirian tanpa anak buah. Ah, syukurlah.
“B-berhenti di sana!” seru Tao terengah-engah, berlari menaiki tangga enam lantai tentu saja mengambil seluruh napasnya.
Lee Hyukjae pun berhenti melangkah, dia berbalik menghadap Tao dan pria bersurai pirang itu mengangkat sebelah alisnya.
“J-jangan…hufth…bergerak.” Tao kembali mendapatkan tenaganya dan mengacungkan pistol ke arah pria itu. Dia memperkecil jarak diantara mereka sambil terus mempertahankan posisi pistol Glock-17. Dia berhenti dan nyengir pada Lee Hyukjae.
“Tertangkap kau, Lee Hyukjae. Pintar sekali mengirim semua anak buahmu menyerang kelompok kami di bawah dan meninggalkanmu sendirian di sini. Kau tidak menyangka bahwa akan ada yang menangkapmu di sini, bukan?”
Lee Hyukjae tersenyum tipis dan mengangguk, “ya, aku tidak menyangka bahwa kau cukup pintar bisa menangkapku di sini.” Dia mengeluarkan pistol dari balik jasnya, namun Tao lebih cepat darinya dan menendang pistol itu alhasil Lee Hyukjae kembali dengan tangan kosong.
“Aku akan menghabisimu, Lee Hyukjae,” desis Tao bersiap menarik pelatuk pistolnya.
Dalam bayangan Tao melintas bahwa Junmyeon si ketua Wolf 88 akan bangga padanya, karena dia berhasil membunuh Lee Hyukjae sendirian tanpa bantuan siapa-siapa. Kemudian Tao akan sangat berterima kasih pada teman setianya—pistol Glock-17—dan mencetak kemenangan manis ini.
Dia menarik pelatuknya dan…
‘klik’
“Eh?”
Tidak terjadi apa-apa. Lee Hyukjae masih hidup, kepalanya tidak berlubang dan sebuah tanda tanya besar melintas di kepala Tao. Dia menarik pelatuk pistolnya lagi dan tak ada peluru yang keluar. Ah, pelurunya pasti habis setelah baku hantam tadi.
Kekerenannya berkurang 10 persen akan hal ini. Namun, Tao ingat bahwa selalu ada pistol cadangan di tasnya.
“T-tunggu sebentar!” katanya pada Lee Hyukjae seakan mafia narkoba itu adalah tukang es krim yang bisa disuruh menunggu.
Tao meraba-raba tasnya dan mengeluarkan pistolnya yang lain. Dia nyengir, sekali lagi mendesis pada Lee Hyukjae bagai tokoh film aksi.
“Aku akan menghabisimu, Lee—woah!”
Jantung Tao melompat kaget melihat pistol di tangannya dan bertanya dalam hati, sejak kapan dia punya pistol warna biru bergambar Pororo?
Oh, tidak! Jangan katakan ini…
“T-tunggu sebentar! A-aku masih punya senjata yang lainnya. Jangan bergerak satu senti pun.”
Aneh adalah ketika Lee Hyukjae menurutinya, malah bersedekap tangan dalam diam sementara menunggu Tao mengaduk-aduk tasnya dan mereka berdua kaget ketika untuk yang kedua kalinya Tao mengacungkan senjata untuk membunuh Lee Hyukjae.
“Woah! Woah! Apa ini?? Kenapa boneka Barbie ada di dalam tasku?” teriak Tao heboh segera membuang boneka itu.
Lee Hyukjae menghela napas dan wajahnya berubah menjadi sangat prihatin pada Tao. “Apa kau yakin kau agen rahasia?”
“Harusnya sih begitu, misi ini adalah ujianku untuk mendapatkan status.”
Pria itu mengangguk sembari menepuk bahu Tao. “Berarti kau harus banyak belajar.”
“Ya, tentu.”
‘Bukkk’
Selanjutnya yang Tao ketahui adalah matanya sakit, kepalanya pusing, seseorang pasti telah memukulnya dengan sangat keras hingga dia bisa melihat bintang menari-nari di balik pelupuk matanya.
***
Mimpikah dia semalam?
Huang Zitao membuka matanya di hari Sabtu. Awan-awan mungil berwarna putih menghiasi langit biru, para burung-burung bertengger di dahan pohon dan bersiul indah. Tao akan menikmati pagi itu dengan hati riang, tersenyum lebar sembari meregangkan tubuh di tempat tidur.
Tapi dia tidak bisa.
Tidak bisa karena semalam itu bukan sekedar mimpi ketika Tao gagal menangkap Lee Hyukjae, mendapatkan cacian dari Junmyeon sang ketua, pemecatan, lebam di mata kanannya masih terasa berdenyut saat dia bangun. Tidak ada cara untuk menikmati pagi itu.
Tao duduk di sisi tempat tidur tepat di saat Mayleen—sang istri—masuk ke dalam kamar. Dia berpakaian rapi, aroma parfumnya menguar, dan dia berdandan. Ini jarang ditemukan Tao.
“Hai, kau sudah bangun?” sapa wanita itu memasang anting di telinga.
Tao menelengkan kepalanya, “Kau mau pergi?”
“Yap.”
“Kemana?”
Mayleen menjelaskan dia akan pergi ke ulang tahun temannya, lalu berbelanja beberapa kebutuhan (yang Tao mengerti kebutuhan itu adalah bergosip dan pergi ke salon), dan dia tidak membawa kedua anak mereka pergi bersamanya.
Mayleen mengumumkannya di kala mereka berkumpul di ruang tengah, dia mencium Zhin Yin si gadis kecil berumur lima tahun, dan memberikan cubitan kecil di pipi anak laki-laki mereka yang berumur tiga tahun—Li Jun— sebelum melangkah ke ambang pintu luar rumah mereka.
“Kalian makan di restoran bersama ayah hari ini, oke?”
“Hore! Apa kita boleh makan di McDonald? Ada boneka Minions jika membeli paket Happymeal!” sorak Zhin Yin senang.
“Tentu boleh. Ayah akan mengantar kalian ke sana.” Mayleen memberikan satu kecupan lagi dan memberi kecupan lainnya untuk suaminya. Dia tersenyum sedih, dia tahu tentang pemecatan itu, maka dia menangkup wajah Tao.
“Jangan sedih. Tersenyumlah, tampan,” kata Mayleen lembut. “Kau tetap pahlawanku, Kungfu panda bagi anak-anak walaupun kau bukan agen rahasia.”
Tao hanya bisa membalas perkataan itu dengan senyuman lemah, lalu mengantar wanita itu sampai ke depan pagar. Mobil sang teman telah menunggu di luar. Mereka melambaikan tangan—Zhin Yin beserta Li Jun di gendongan Tao.
Setelah mobil itu tak kelihatan di mata, Zhin Yin menggoyang-goyangkan tangan Tao dan merajuk, “Ayah, bisakah kita sarapan di McDonald sekarang?”
“Kau mau sekarang?”
Gadis kecil itu mengangguk.
“Tidak mau menunggu sampai makan siang?”
Gadis kecil itu menggelengkan kepala. Tidak ada pilihan lain. Lagipula mendengar kata ‘Minions’, Li Jun langsung meronta-ronta kegirangan di gendongannya, seakan dia mengerti betul makhluk kuning itu. Benar-benar harus pergi ke McDonald pukul delapan ini.
“Oke, kita mandi, lalu pergi ke McDonald.” Mereka pun pergi ke dalam rumah untuk bersiap.
“Pa…poooyyy!!” seru Li Jun.
Oh, ternyata dia mengerti Minions.
***
Tidak seperti biasanya, hari itu Tao tidak mengeluarkan satu suara pun saat menyetir ke arah McDonald dekat rumah mereka. Pikirannya dipenuhi oleh beberapa hal yang terus saja mengusiknya.
Pertama, bayangan bagaimana wajah-wajah para agen lainnya menertawainya kemarin karena dia membawa tas yang salah saat menjalani misi. Demi Minions di film kartun Despicable Me, mengapa dia bisa meninggalkan tas kerjanya yang penuh peluru dan senjata, lalu malah membawa tas yang dia pakai sehabis tamasya bersama keluarganya? Tentu saja isinya penuh dengan mainan Zhin Yin dan Li Jun!
Kedua, suara Jongin yang bergema di telinganya. Dia ingat Jongin pernah menasihatinya walaupun pria itu lebih muda darinya. Katanya: “Percayalah padaku, suatu hari nanti kau akan kehilangan salah satu dari dua hal yang paling kau cintai. Entah keluarga, entah pekerjaanmu.”
Dan hell! Kenapa hari itu datang begitu cepat? Tao belum siap menghadapinya.
Lamunan Tao pun buyar ketika Li Jun dari kursi belakang berseru, “Paaaa….pooooyyy!!” menandakan bahwa mereka sudah sampai tanpa Tao sadari. Begitu mobil terparkir, tak menunggu lama, Zhin Yin berlari keluar mobil dan menuju ke dalam restoran.
Tao memesan dua paket Happymeal untuk anak-anaknya dan seporsi kentang untuk dirinya—dia tidak nafsu makan. Semuanya terasa pahit di lidah saat hati sedih, awan mendung berada di atas kepala.
Jadi, di sanalah mereka duduk. Zhin Yin melupakan ayam gorengnya dan lebih terpukau oleh boneka Minions di tangannya, sementara Tao menyuapi si kecil Li Jun yang wajahnya belepotan saus tomat. Yeah, baiklah. Katakan saja dia bukan ayah yang pandai menyuapi anak. Setidaknya dia ayah yang baik ‘kan?
Eh, ‘ayah yang baik’? Tidak juga! Dia jarang sarapan bersama seperti ini, bersama anak-anaknya. Tidak sempat mencium mereka di pagi hari, menyuapi mereka, bermain dengan mereka. Ada sedikit rasa bersalah terselip di ribuan perasaannya yang buruk tentang pemecatan dari Wolf 88. Mungkin Jongin benar.
Mungkin inilah saatnya lebih mementingkan keluarga daripada mencoba untuk jadi agen rahasia yang hebat.
“Hei, tuan puteri, makananmu hampir dingin.”
Zhin Yin pada akhirnya melepaskan bonekanya dan mulai makan dalam diam. Sesekali dia melirik ke arah Tao dan tersenyum, giginya ompong satu. Tao tidak tahu kapan gigi gadis kecilnya dicabut.
“Kapan kau mencabut gigi depanmu?”
“Seminggu yang lalu di sekolah.”
“Kenapa kau tidak bilang ayah?” tanya Tao sedikit kecewa. Dulu waktu dia kecil, saat gigi susu pertamanya lepas, Tao langsung memberitahukannya pada sang ayah.
“Ayah ‘kan sibuk bekerja. Jarang ada di rumah.”
Skak mat!
Tao berdeham, mencoba menggantinya dengan topik lain, “Err…Bagaimana dengan sekolah, hm? Kau tidak nakal kan di sekolah?”
Gadis kecil itu membelakkan matanya lebar-lebar—lupa total dengan pembicaraan tadi, “Aku tidak nakal, yah. Percayalah. Aku murid yang baik. Aku mendapatkan lima bintang dalam seminggu, karena telah membantu guru Lee menyiram bunga di halaman sekolah dan menjadi tim medis sekolahan.”
“Oh ya?” Tao berusaha terlihat tertarik sembari menyuapi Li Jun. “Memang apa saja tugas tim medis?”
Zhin Yin menelengkan kepalanya heran. “Ayah benar tidak tahu tugas tim medis?”
“Iya, ayah tidak tahu,” katanya sok polos. Ugh, dia tahu tugas tim medis di Wolf 88 dengan baik. Bagaimana perawat di sana cantik dan terkadang Jongin juga dirinya beralasan mengeluh sakit setelah latihan menembak. Ups, jangan sampai Mayleen tahu hal ini. Ah, tapi sekarang dia tidak akan pernah pergi ke sana, iya kan?
“Baiklah, karena ayah tidak tahu. Aku akan menjelaskannya pada ayah.” Anak itu duduk tegap dan menatap Tao serius. “Pertama-tama, kami ada untuk mengobati murid-murid yang terluka karena jatuh di lapangan atau di kelas. Kedua, kami juga bertugas mengantarkan teh hangat untuk murid yang demam atau sakit perut. Ketiga, kami menjaga UKS.”
“Oh, baiklah. Kalau begitu apakah Zhin Yin bisa mengobati luka di mata ayah?” Tao menunjuk matanya yang lebam.
Zhin Yin menatapnya dengan seksama, lalu bertanya, “Apa rasanya sangat sakit?”
“Sangat sakit.”
“Berdenyut-denyut?”
Tao mengangguk cepat. Zhin Yin berpikir sejenak, “Nampaknya parah sekali.”
“Apa itu artinya tidak bisa disembuhkan?” ujar Tao kecewa.
Zhin Yin tersenyum cerah. “Tentu bisa. Kami menamakan pengobatan ini dengan nama Boo Boo Kiss. Ini bisa menyembuhkan segala macam penyakit.”
“Bisa tunjukkan pada ayah?”
Zhin Yin mengangguk dan gadis kecil itu memajukan tubuhnya ke seberang meja agar bisa menangkup wajah sang ayah. Dia mencium mata kanan Tao cukup lama, lalu dia kembali menatap Tao sambil nyengir. “Apa sudah lebih baik? Aku baru saja memberi ayah Boo Boo Kiss.”
Tidak. Tidak lebih baik, malah sama saja. Rasanya masih sakit, berdenyut seperti dia baru saja di pukul Troll (mari salahkan Lee Hyukjae!). Tapi Tao tidak mungkin tega menghapus senyuman dari wajah gadis kecilnya, maka dia berkata, “Oh, oh, apa itu? Mata ayah tidak terasa sakit lagi! Boo Boo Kiss-nya benar-benar menyembuhkan!”
“Yeay! Zhin Yin menyembuhkan ayah.”
Tao tertawa sebagai respon dan mengelus kepala gadis kecilnya. “Anak ayah pintar.”
“Ciii…uummm…” Li Jun kini merentangkan tangannya lebar-lebar pada Tao. Oh, ternyata Li Jun juga mau memberi Boo Boo Kiss pada ayahnya. Li Jun pun memberi satu kecupan kecil di mata Tao (ditambah saus tomat dan nasi sebagai penghias).
“Terima kasih, Li Jun,” ujar Tao seraya membersihkan matanya dan dia bahagia.
Entahlah, hal sederhana seperti ini membuatnya tersenyum tanpa henti, bagaimana dia melihat Zhin Yin makan dengan lahap dan Li Jun memeluk boneka Minionw-nya. Saat itulah Tao menyadari mungkin tidak apa tidak menjadi agen rahasia Wolf 88, tapi dia bisa menjadi ayah yang baik bagi anak-anaknya—Kungfu Panda appa.
Lalu sebuah pikiran random merasuki kepalanya. ‘Boo Boo Kiss…jika ini adalah pengobatan untuk segala macam penyakit, berarti Zhin Yin menyembuhkan semua orang dengan Boo Boo Kiss ini dan—apa? Semua orang! Hei! Berarti dia juga mencium anak laki-laki yang mengeluh sakit?! Apa-apaan ini!’
Tao baru saja membuka mulut untuk protes terhadap gadis kecilnya, namun terdengar suara kaca pecah memotongnya.
Prraaang!!!
Dan Tao tahu apa yang selanjutnya terjadi.
Suara tembakan memekakkan telinga. Dia langsung bergerak melindungi kedua anaknya dengan tiarap di bawah meja. Keadaan mulai kacau diiringi suara tembakan dan teriakan para pengunjung. Hell, kenapa hal kriminal harus terjadi di pagi yang indah (bagi Tao) saat dirinya sedang bersenang-senang dengan kedua anaknya?! Tidak adil!
Namun, Tao segera menghapus segala macam pikiran itu—lebih tepatnya blank, karena dia baru saja melihat para pria bersenjata masuk ke belakang meja counter dan mengambil seluruh uang di kasir. Dan yang terpenting di sini adalah mereka memakai baju hitam dengan lambang jaguar di punggung mereka.
Anak buah Lee Hyukjae!! Apa yang mereka lakukan di sini?
Emosi. Marah. Benci. Dendam. Semuanya berkumpul jadi satu dan Tao ingin segera keluar dari bawah meja lalu memukul mereka satu persatu.
Ya, dia akan melakukannya dua detik kemudian. Namun, satu tangan kecil memegang tangannya—menahannya dan Tao ingat dia sedang bersama kedua anaknya.
“Ayah…”
Tao dilema.
Dia harus mengejar Lee Hyukjae, tapi bagaimana dengan anak-anaknya?
“Ayah, aku takut,” suara kecil Zhin Yin melantun di tengah-tengah tangisan Li Jun yang keras. Tao menggigit bibirnya. Dia mengambil sebuah resiko besar dalam hidupnya, terkadang dia bisa juga jadi gila jika di bawah situasi yang terlalu menekannya.
“Jangan takut, sayang. Ayah bersamamu. Sekarang dengarkan ayah baik-baik. Kita akan pergi ke mobil—“ ugh, Mayleen akan membunuhnya jika tahu hal ini. “—dan kita akan bermain sebuah permainan bernama ‘tangkap penjahat Lee Hyukjae’. Ini permainan yang seru, Zhin Yin, percayalah pada ayah. Oke?”
Zhin Yin mengangguk cepat. Dia tidak tahu bahwa permainan itu nyata, mereka akan sungguh-sungguh menangkap Lee Hyukjae, dan ketika ada kesempatan, Tao mengendap-endap dari balik meja-meja bersama kedua anaknya, pergi keluar menuju mobil dan beruntunglah mereka sampai dengan selamat.
Tao segera memasang seatbelt pada kedua anaknya. Sepintas Tao melihat seorang pria ber-jas hitam masuk ke dalam mobil, berambut pirang, dan wajahnya tirus. Tidak salah lagi itu adalah Lee Hyukjae. Hal itu pun membuatnya menggeram pelan sembari menancap gas mengikuti mobil Lee Hyukjae.
“Pegangan yang erat, anak-anak.” Seringai menghiasi wajah Tao. Dia melirik pistol Glock-17 di dashboard dan siap beraksi bersama kawannya itu.
“Kita akan menangkap Lee Hyukjae.”
***
Ini bukan film aksi.
Tao bukan pemain film. Tentu saja.
Jadi saat dia berpikir ini akan seperti film-film aksi yang penuh kejar-kejaran dan tembak-tembakan layaknya film James Bond, dia pun salah besar. Dan ini adalah kesalahan keduanya.
Singkat cerita, beberapa menit yang lalu dia hampir saja mendekati mobil Lee Hyukjae—bersiap membuka jendela dan menembakkan peluru dari pistol kesayangannya. Setidaknya dia bisa memecahkan ban mobilnya atau merusak bumper-nya, tapi Tao tidak cukup dekat maka dia mengambil jalan pintas di samping gedung dan ternyata…
Dia malah terjebak macet.
“Ayah, apa kita tidak jadi bermain ‘Menangkap Penjahat Lee Hyukjae’?” cicit Zhin Yin menatap ayahnya yang sedang mempertemukan kepalanya dengan stir mobil berulang kali.
Tao memandang nanar lampu merah di depan sana. Masih 123 detik lagi sebelum lampu hijau. Dasar Huang Zitao bodoh!
“Ya, kita…tetap bermain permainan itu. Ini—” dia mau menangis. “—hanya sedikit macet. Ya, sedikit macet.” Dan aku kehilangan Lee Hyukjae.
“Oh, baiklah. Hei, Li Jun, kau lihat apa?”
Tao tidak memedulikan mereka, mengetuk-ngetuk jemarinya di stir mobil dengan sabar. Mengapa waktu berjalan begitu lambat ketika dia benar-benar ingin berlari seperti ini dan waktu begitu cepat berjalan dikala dia butuh tidur lebih dari delapan jam? Hidup ini terkadang tidak adil.
“Rawrrr!! Itu gambar macan ya?”
“Kuuu…ciiiing!”
“Bukan, Li Jun. itu bukan kucing. Itu macan.”
“Kuuu…ciiing!”
Zhin Yin pun menepuk pundak Tao dan bertanya, “Ayah, itu gambar kucing atau macan?”
“Hah?” Tao mengangkat kepalanya malas—menoleh sejurus dengan apa yang Zhin Yin maksud dan—
“ITU ANAK BUAH LEE HYUKJAE!!” teriaknya heboh ketika melihat sekumpulan pria berbaju hitam dengan lambang jaguar di punggung mereka, melintas jauh di belakang mobil mereka, masuk ke dalam sebuah gedung tua pinggir jalan. Tao segera memarkirkan mobilnya di tempat aman, mengambil pistolnya dan menoleh kepada anak-anaknya.
“Anak-anak, tunggu di sini. Jangan kemana-mana. Ayah…ayah akan menangkap Lee Hyukjae dan kembali secepat mungkin kesini, mengerti?”
“Jadi kami tidak ikut bermain?”
Ya Tuhan, ini bukan permainan! “Tidak. Kau dan Li Jun sampai di level ini dan ayah yang meneruskan level selanjutnya.” Dia sedang mengarang bebas.
Satu anggukan dari Zhin Yin, itu berarti Tao bisa mengunci mobilnya, membuka sedikit jendela (karena dia tidak mungkin membiarkan anak-anaknya terkunci dengan mesin yang menyala) dan dia berlari memasuki gedung tua itu diam-diam.
***
Gelap.
Tao tidak bisa melihat apa-apa. Matanya memicing ke setiap sudut tempat yang ada sambil menutup hidung karena bau apek yang menyengat. Dia tadi sudah mengalahkan dua penjaga pintu dengan memelintir tangannya, kemudian memukul perut si penjaga yang satunya dengan satu kali tendangan. Ada kalanya dia bangga mempelajari gerakan wushu sejak kecil.
“Katakan!” desis Tao memiting pria kecil itu. “Di mana Lee Hyukjae?!”
“L-lantai e-enam…aaacks—“
Tao hendak memukulnya hingga pingsan, namun sebelum itu dia bertanya dengan nada was-was. “Apa lift-nya berfungsi?”
“T-tidak…kau—kau h-harus n-naik t-tangga.”
Mendengar jawaban itu, Tao pun protes. “Hei! Yang benar saja, lagi-lagi aku harus naik tangga untuk menangkap bedebah itu! Ah, sial!” lalu dia baru memukul si penjaga sampai ambruk—tinjuannya penuh kekesalan.
“Please, naik tangga itu melelahkan!” keluhnya sebelum menaiki tangga satu persatu. Lama-kelamaan dia muak juga dengan situasi seperti ini.
Dia bertemu lagi dengan anak buah Lee Hyukjae di tangga, hampir terpeleset karena yang satu ini bertubuh besar, penuh otot dan wajahnya seram ketika Tao tak sengaja menimbulkan suara dan tertangkap basah oleh si pria ini.
“Kau mau kemana,” geramnya. “orang asing?!”
Tao bersandar santai di dinding sebelahnya sambil nyengir, “Aku mencari Lee Hyukjae, sekarang minggir dari jalanku, dasar babi gendut!”
Si pria ini mengepalkan tangan, dia tidak bersenjata, tapi tetap saja Tao membayangkan kerusakan apa yang akan dia alami jika tangan itu memukul tubuhnya. “Kau menantangku?”
“Apa aku terlihat seperti ingin mengajakmu bermain boneka, hah?” Aw, itu cukup membangkitkan amarah si pria besar ini dan satu tinjuan melayang ke arah Tao, hampir mengenainya kalau saja Tao tidak cepat menghindar. Alhasil, si pria ini malah meninju dinding dan menimbulkan sebuah lubang besar di sana.
Tao melongo, melihatnya bergantian antara dinding dan pria itu. “Wow, dude. Mungkin kita bisa mengobrol sebentar, siapa tahu kita bisa jadi teman, iya kan?”
Satu tinjuan lagi mengarah padanya dan Tao menunduk agar tidak kena. “Terlambat. Aku membencimu,” ujar si pria besar dengan nada datar, kemudian dia menyerang Tao berkali-kali. Gerakannya lambat, tidak bisa mengimbangi pergerakan Tao yang begitu cepat menghindar seperti hewan citah.
“Ha! Kau tidak bisa mengenaiku ‘kan! Kau lambat dan aku cepat!” yang Tao lakukan selama sepuluh menit adalah menghindar karena dia tahu akan percuma jika dia melawan bahkan dia lupa total bahwa ada pistol di kantung celananya. Dia pasti kalah. “Kau tidak tahu siapa aku, hah?”
“Tidak! Aku tidak peduli!”
“Aku. Adalah. Huang. Zitao. Agen. 129. Wolf. 88.” Tao bersalto di udara, berhasil melewati si pria ini dan dia berhenti ketika menyadari perkataannya tadi. “well, tidak lagi sih. Aku dipecat kemar—woah!”
Pria besar itu menarik kakinya, mengangkat tubuh Tao di udara sebelum menghempaskannya ke dinding. Tao pun jatuh ke anak tangga dengan suara berdebum yang cukup keras dan dia meringis kesakitan. “Aw—kau s-sadis!”
Well, Tao, hidup ini memang keras dan pria ini memang sadis. Maka, detik berikutnya pria itu mencengkeram kerah kaus Tao, mengangkatnya cukup tinggi hingga kakinya melayang beberapa senti dari lantai. Pria itu bersiap meninjunya.
“T-tunggu!” seru Tao, pria itu menahan tangannya. “K-kau serius tidak mau mengobrol denganku? Asal kau tahu saja, semua temanku bilang aku ini orang yang ramah.” Tao menambahkan satu senyuman di akhir kalimat.
Pria itu terdiam, dalam hati Tao berharap siapa tahu hatinya luluh.
Tapi…
“Tidak. Aku membencimu!”
‘Bukkk’!
Tao kembali bertemu dengan kegelapan.
***
Tao bermimpi.
Yeah, kali ini dia bermimpi berada di rumahnya. Mayleen baru saja memasak pie buah yang lezat dan memanggilnya untuk makan. Wanita itu tersenyum ramah, menggenggam tangannya sebelum dia sadar tiba-tiba istrinya berubah menjadi pria berlengan besar dan kini pria itu memukul perutnya keras-keras.
“BANGUN!” teriak seseorang menyiram air dingin ke wajahnya. Tao mengerang kesakitan—membuka matanya perlahan, sedikit mustahil bagi mata kanannya yang nampaknya kena pukul lagi.
Sulit baginya mengambil napas dan samar-samar dia melihat satu wajah yang familiar—melambaikan tangan di depannya.
“Hai, agen 129. Kita bertemu lagi,” ujarnya riang.
“Ugh…” erang Tao. “Lee Hyukaje.”
Lalu wajah itu menghilang, Tao hanya mendengar suara langkahnya dan suaranya yang menyebalkan mengalun. “Jadi kau belum menyerah? Kau tetap mengejarku, hm?”
“A-aku tidak akan melepaskanmu…”
“Ugh, mengerikan. Aku takut,” kata Lee Hyukjae mengejeknya. “Kau harusnya datang dengan senjata di tangan dan menembak mati semua anak buahku. Tidak seperti ini…” dia menyentuh pucuk kepala Tao dengan ujung sepatunya. “Basah, terluka, lemah tak berdaya.”
“Kau brengsek, Lee Hyukjae…”
Lee Hyukjae tertawa terbahak-bahak. “Wolf 88? Wolf? Serigala? Apa kau bercanda? Kau bahkan lebih mirip kucing basah saat ini.”
Astaga, Tao semakin membencinya.
“Angkat dia!” suruh pria berambut pirang itu dan Tao diangkat paksa ketika kakinya begitu lemah, sekujur tubuhnya terasa sakit dan darah mengalir dari pelipisnya.
Lee Hyukjae berjalan mendekatinya, amarah terbesit di kedua matanya yang berkilat sadis. Dia menatap Tao dengan tatapan melecehkan. “Kau dan Wolf 88 harusnya tidak bermain-main denganku, agen 129. Kau bahkan payah dalam memegang senjata, huh! Sekarang—“ dia mencengkram wajah Tao, memaksanya melihat ke sudut ruangan itu, “—lihat akibatnya jika kau mencampuri urusan Lee Hyukjae. Keluarkan mereka!”
Napasnya tertahan detik itu juga. Tao mungkin tidak bisa melihat jelas, tapi dia kenal suara itu. Suara cempreng milik gadis kecilnya dan tangisan milik puteranya.
“Ayah, ayah! Tolong kami!”
Tao melihat dua pria besar memegang kedua anaknya di tangan. Mereka meronta-ronta ingin lepas, tapi tentu saja mereka tidak akan bisa.
“Lepaskan anak-anakku, Lee Hyukjae! Mereka tidak tahu apa-apa!” teriak Tao dengan sekuat tenaga berusaha melepaskan diri, apa daya dia juga tak mampu. Terlalu lemah.
“Ayah bodoh yang meninggalkan anak-anaknya di mobil. Ah, ya, maaf jika sebelumnya aku tidak memberitahumu bahwa aku adalah penjahat paling sadis. Aku tidak peduli mereka anakmu atau bukan dan apa mereka terlibat dengan ini atau tidak.” Lee Hyukjae tersenyum lebar, itu membuat Tao ingin memukulnya.
“Aaaaaaaa!!! Ayah, tolong!” jerit Zhin Yin kesakitan di ujung sana.
“Lee Hyukjae!!” Tao begitu frustasi. “Kumohon, tolonglah…” kini dia menangis. “Kumohon, lepaskan mereka. Mereka tidak ada sangkut pautnya dengan semua ini. Please, mereka hanya anak-anak. Jika kau ingin membunuhku, bunuh aku! Jangan mereka!”
“Cih, apa kau memohon padaku, agen 129?”
“Kumohon…” isak Tao dengan kepala tertunduk. “Kumohon, lepaskan mereka.”
Lee Hyukjae memutar kedua bola matanya sebal. Dia benci melihat air mata, dan menyuruh anak buahnya melepaskan kedua anak Tao begitu juga dengan Tao, maka mereka bertemu. Tao memeluk Zhin Yin dan Li Jun begitu mereka berlari ke pelukannya.
“Ayah, aku takut,” Zhin Yin menangis di bahunya.
“Ssttt, jangan takut. Ayah di sini bersama kalian,” ujar Tao menenangkannya.
“Ugh, drama di mulai. ‘Oh, ayah aku takut. Aku takut sekali, ayah’” ujar Lee Hyukjae meniru suara Zhin Yin yang cempreng. “Aku sedang dalam mood yang baik, perlu kau tahu itu, agen 129.” Dia tersenyum sembari mengeluarkan pistol dari dalam jasnya. “Aku akan membiarkan kalian mengucapkan beberapa patah kata perpisahan sebelum aku menghabisi kalian semua.”
Tao menghela napas, dia menatap kedua anaknya yang kini berhenti menangis. Tidak, dia tidak boleh lemah di depan anak-anaknya. Maka, dia terpaksa tersenyum, mencium pipi keduanya dengan penuh perasaan. Dia tidak menyangka bahwa hidupnya akan berakhir seperti ini. Tragis.
“Ayah menyayangi kalian. Ayah sangat menyayangi kalian.”
“Ayah…apa kita kalah?”
Tao tidak menjawabnya.
Zhin Yin menyapukan jari kecilnya di pelipisnya yang terluka, juga matanya. “Ayah terluka.”
Tao mengangguk sedih, “Ya, ayah tahu. Bisakah—“ suaranya tercekat. “—bisakah Zhin Yin memberikan Boo Boo Kiss agar luka ayah sembuh?”
Zhin Yin melakukannya. Dia mencium mata Tao dan Tao memeluknya lebih erat untuk mengenyahkan rasa takut itu. Dia menutup mata, membayangkan Mayleen, rumahnya, ah…Mayleen pasti akan sangat sedih karena kehilangan suaminya juga kedua anaknya.
“Maafkan aku, Mayleen. Maaf…” bisik Tao terlalu pelan.
‘Klik’
“Well, selamat tinggal, agen 129 dan anak-anaknya.”
Tao siap. Tao siap merasakan sakitnya.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Dorr!
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Tao membuka kedua matanya begitu mendengar suara tembakan. Tidak, dia tidak merasa kesakitan, karena faktanya tak satu pun dari mereka bertiga kena tembak.
Lalu detik selanjutnya yang Tao lihat adalah beberapa orang berpakaian hitam dan helm masuk ke ruangan itu, kemudian mereka memukul jatuh para anak buah Lee Hyukjae. Dia tidak tahu mereka siapa, mungkin kah mereka malaikat yang di turunkan Tuhan untuk menyelamatkannya?
Err, bukan. Mereka bukan malaikat.
“Paman Jongin!”
Hah? Jongin?
Tao menoleh ke belakang dan melihat Jongin baru saja memukul pria besar yang tadi meninjunya. “Hai, sobat. Aku datang di waktu yang tepat, bukan?”
“B-bagaimana kau bisa menemukanku?” sembur Tao antara percaya dan tidak percaya.
“Aku melihat mobilmu di luar. Hell, orang bodoh mana yang memarkirkan mobil di depan pertokoan. Kau tolol, agen 129!” Jongin tidak bermaksud mengatainya, dia malah tertawa sambil meninju pelan lengan Tao. “Hei, jangan bengong saja disitu. Bawa anak-anakmu ke tempat yang aman.”
Tao harusnya memeluk Jongin karena dia menyelamatkan bukan satu nyawa—melainkan tiga, tapi mungkin dia bisa melakukannya nanti setelah semua ini selesai.
“Hai, paman Jongin!” sapa Zhin Yin sebelum Tao membawanya pergi.
“Hai, cantik,” balas Jongin mengerlingkan sebelah matanya, lalu kembali memukul jatuh anak buah Lee Hyukjae.
“Paman Jongin keren ya, yah,” komentar Zhin Yin tersenyum terpesona akan sosok itu.
Tao mengerutkan dahinya, “Ayah juga keren.”
Tapi…oke, baiklah. Dia membiarkannya karena Jongin sudah menyelamatkan dirinya beserta anak-anaknya.
Lalu sayup-sayup terdengar suara Lee Hyukjae memohon dari kejauhan.
“Lepaskan aku, kumohon! Aku punya tiga anak dan dua istri di rumah. Kumohon, lepaskan aku! Aw—!”
Ups, ada yang sedang bermain drama. Batin Tao tersenyum lega.
***
Perjalanan pulang ke markas Wolf 88 sangat menenangkan. Li Jun dan Zhin Yin tidur di kursi belakang, sementara Jongin mengemudi mobil Tao dan Tao tidak dapat berhenti memperhatikannya seolah-olah dia naksir pada Jongin.
Kalau Jongin memperbolehkannya, Tao pasti sudah mencium pria itu dan melamarnya karena pertama, Jongin menyelamatkan hidupnya. Kedua, Jongin mengarang cerita bahwa Tao memanggilnya saat dia berhadapan dengan Lee Hyukjae—seakan penangkapan Lee Hyukjae ini berkat jasa Tao. Dan itu mengembalikan karirnya. Dia bukan agen rahasia amatir lagi. Kini dia agen rahasia resmi Wolf 88! Yeay!
Semuanya berkat Jongin.
“Aku mencintaimu, Jongin,” ujar Tao sebelum Jongin turun dari mobil.
“Ugh, menjijikan, Huang Zitao! Aku punya tunangan!” Jongin bergidik ngeri dan turun dari mobil, setengah berlari menjauh. Tao masih tertawa ketika mereka bertiga sampai di rumah.
Hah, mereka kembali dengan selamat sampai rumah. Tao senang.
***
Zhin Yin dan Li Jun pun tak bisa menyembunyikan hal itu saat bertemu ibunya di ruang tengah. Dia langsung bercerita panjang lebar soal permainan ‘Menangkap Lee Hyukjae’ yang katanya sangaaaaaaaaat seru.
“Lalu kami berlari melewati meja-meja diikuti tembakan, lalu…”
Tao hanya bisa mengedikkan bahunya sambil tersenyum, mengatakan bahwa itu hanya imajinasi anak-anak. Semuanya tak nyata dan Mayleen percaya.
“Sayang, ada apa dengan wajahmu?” tanya Mayleen tiba-tiba menyadarinya.
“Eumm…i-ini, aku terpeleset di toilet tadi.”
“Oh, malangnya suamiku. Ayo, pergi ke kamar. Aku akan mengobatimu.”
Tao pun mengikuti wanita itu ke kamar, membayangkan salep dingin dan sentuhan lembut sang istri di wajahnya. Ah, itu pasti menyenangkan.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
“Sayang, aku mau bicara sesuatu padamu.”
“Ya, katakan saja, Mayleen.”
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Brakk!
“AMPUUNNNN!!! Mayleen, Mayleen sayang, a-aku bisa jelaskan!”
Zhin Yin melongokkan kepalanya dari ruang tengah dan melihat sang ayah sedang merangkak mundur di lantai dengan ibunya memegang pistol di tangan, mengarahkannya pada Tao. Wow, ada apa ini?
“KAU MEMBAWA ANAK-ANAK KE DALAM MISIMU! APALAGI YANG BISA KAU JELASKAN, HUANG ZITAO, HAH?!”
“Memang siapa yang memberitahumu tentang ini??!!”
“KIM JONGIN! TADI DIA MENELEPONKU!”
Oh, sial! Kim Jongin benar-benar bedebah tingkat 10. Dia memang menyelamatkan hidup Tao dan karirnya, tapi dia juga MENGHANCURKAN BAHTERA RUMAH TANGGANYA!
“A-aku bisa jelaskan ini semua. Sayang, please, letakan pistol itu. Di sana ada pelurunya!”
“BIAR SAJA! AKU BERSUMPAH AKAN MELUBANGI KEPALAMU JIKA KAU MEMBAWA ANAK-ANAK KITA KE DALAM MISIMU, HUANG ZITAO!!!”
Zhin Yin pikir, ada orang yang lebih sadis daripada Lee Hyukjae.
Well, itu ibunya.
“Aku bersumpah! Aku bersumpah aku tidak akan membawa anak-anak kita ke dalam misi penangkapan penjahat!”
Oh, tentu saja.
Dia tidak mau membahayakan hidup anak-anaknya, kan? Karena dia menyayangi Zhin Yin dan Li Jun.
A bunch of babies.
THE END
A/N:
Halowww, readers! pertama-tama maaf ya karena ingkar janji mau ngepost sabtu malah hari minggu
Tapi Aku kembali dengan ABOB! Masih ingat kah series ini? xD maaf ya lama ngebuatnya T_T abis genre-nya begitu (lagian siapa suruh milih itu!) ya, abisnya aku…pengen…nyoba…/muntah beling/
Alhasil, selama aku nulis ini aku semacam kayak Suho gini…
![]()
Dan setelah selesai ngetik ‘THE END’ aku kayak Chanyeol…
![]()
nyengir-nyengir kuda gitu xD
Jadinya, eumm…mind to review? Enggak, ini emang enggak sekeren dan sedahsyat fic-fic action yang lainnya, tapi worth to try bagi sebutir/? Hangukffindo yang cuma bisa bikin fic comedy dan fluff heuuu
Tapi tetep seneng kok bisa ngelanjutin fic ini hahaha terima kasih untuk orang-orang yang sudah mendukung aku nulis, kasih aku semangat di twitter dan lewat komen (aku cinta kalian), walapun ada beberapa orang yang NAMPAKNYA TAK SUKA AKU MELANJUTKAN ABOB (iya gapapa, aku tetep sayang sama kalian, tapi bo’ong hahaha xD)
Okeh sampai berjumpa lagi di fic ABOB selanjutnya xD
Hint for the next ABOB:
NOT ACTION!
(kapan-kapan mungkin boleh nulis genre ini lagi hahaha)