Quantcast
Channel: Hangukffindo
Viewing all 236 articles
Browse latest View live

Heart Shape [BaekYeol]

$
0
0

heart shape

Title:

Heart Shape

Cast: Baekhyun and Chanyeol // Genre: Fluff! // Length: >1000w

Recommendation Song: Justin Bieber – U Smile (it’s match, I guess)

Summary:

Let me draw my heart on you

 

***

            Ada sebuah kesunyian janggal yang Sehun rasakan ketika dia bangun di pagi itu. Memang bukan biasanya ada bom yang meledak disana dan membangunkannya, tapi ini berbeda. Terlalu sunyi…itu anggapannya. Lalu Sehun beranjak dari tempat tidur dan pergi keluar kamar.

Kemudian saat mulai menjelang pukul sembilan, seperti biasa sarapan telah tersedia di meja makan dan Sehun semakin merasakan kejanggalan itu. Kursi yang biasa Baekhyun tempati kosong, lalu hanya ada Chanyeol di sana—kepala tertunduk lemas. Oh jadi ini penyebab kesunyian yang janggal itu. Duo troublemaker sedang tak bersatu.

“Kemana Baekhyun?” tanya Junmyeon hendak meletakkan piring di tempat Baekhyun, namun dia menariknya lagi.

“Di kamar,” sahut Chanyeol pelan.

“Dia tidak sarapan?”

Satu gelengan dari Chanyeol dan alis Junmyeon bertemu di tengah, “Kenapa? Apa dia sakit?”

“Entahlah. Mana kutahu.” Sikap acuh Chanyeol tak sepenuhnya nyata. Apa yang terjadi di antara mereka? Semuanya pun bingung.

Kyungsoo orang pertama yang menginterogerasinya. “Jangan bilang kau bertengkar lagi dengannya.”

“Tidak.” Chanyeol tak bermaksud mengeluarkan suara dua oktaf lebih tinggi, namun dia benar-benar menolak pernyataan itu. “Aku tidak bertengkar dengannya. Baekhyun yang mendiamkanku sejak kemarin.”

Semua orang memutar kedua bola mata mereka bosan. Ya, mereka bosan mendengar keluhan Chanyeol karena apapun alasan di balik pertengkaran Chanyeol-Baekhyun ini pasti tidak punya kejelasan. Bahkan terkadang mereka saling berdiam karena tidak ada yang mau mengajak bicara duluan dan berujung pertengkaran. Dasar konyol!

Chanyeol baru saja ingin mengambil jus jeruknya ketika Kyungsoo menjauhkan gelas itu. “hei!”

“Pergi ke kamar dan selesaikan urusanmu dengan Baekhyun hyung.”

“Tidak mau!” sergah Chanyeol dan berusaha menggapai jus jeruk yang semakin jauh dari gapaiannya.

“P-e-r-g-i,” suruh Kyungsoo. Chanyeol pun tak berkutik saat Kyungsoo malah memberikan jus jeruk itu pada Sehun. Tidak ada cara lain selain beranjak dan pergi ke kamar si keras kepala itu.

 

“Kau tidak boleh sarapan kalau urusannya belum selesai.” Chanyeol mendengar suara menyebalkan Sehun melantun di kala dia menutup pintu di belakangnya dan menemukan sosok Baekhyun berbaring memunggunginya di tempat tidur.

“Baek?” panggil Chanyeol dengan setengah suara.

Tidak ada jawaban.

“Baek, apa kau tidur?” tanyanya lagi—ragu.

Baekhyun bergerak sedikit, namun tak berbalik menghadapnya. “Apa?”

Chanyeol menghela napas lega dan merangkak ke tempat tidur itu perlahan, takut Baekhyun akan berbalik lalu mendorongnya hingga jatuh karena kesal. Namun untunglah Baekhyun tak melakukannya. Dia hanya bernapas dalam diam. Chanyeol merebahkan tubuhnya agak jauh dari Baekhyun.

“Baek, kau tidak apa-apa?”

“Tidak.”

“Kau batuk? Pilek? Demam?”

“Tidak.”

“Kau mau muntah?”

“Tidak.”

“Kau…” Chanyeol memikirkan penyakit lain yang sering Baekhyun derita. “sakit perut?”

“Tidak juga.”

“Kau baik-baik saja. Lalu kenapa tidak mau bangun dan sarapan?” bisik Chanyeol, kini telunjuknya bermain-main di ujung selimut dan sebuah kebiasaan yang mungkin buruk—mungkin juga tidak—muncul, yaitu suka menyentuh punggung Baekhyun, menggambar apa pun di punggung itu.

Baekhyun menggumam, “aku tidak lapar, Yeol.”

“Mereka kira kita sedang bertengkar,” Chanyeol membentuk lingkaran dengan telunjuknya. “eh, bukan mereka. Tapi aku juga mengira kita sedang bertengkar.”

Ini tentu membingungkan bagi Baekhyun. Memang apa yang mereka selisihkan? Seingatnya…tidak ada.

“Siapa yang bertengkar? Kita? Tidak ah.”

Chanyeol tak langsung menjawab. Kini Baekhyun bisa merasakan Chanyeol menulis angka satu, dua, tiga, empat sampai sepuluh di punggungnya.

“Kau tidak bicara denganku selama fansigning kemarin.” Suara Chanyeol terdengar menyedihkan, berpadu dengan sejumlah perasaan kecewa dan putus asa. Astaga, alasan sepele.

Baekhyun tertawa dan detik itu dia kehilangan rasa kantuknya. Entah kemana pergi, tapi jemari Chanyeol masih bermain di sana—membentuk sebuah segitiga besar atau lambang EXO kah itu?

“Park Chanyeol, demi Tuhan, kita duduk berjauhan saat itu. Mana mungkin aku mengobrol denganmu dalam jarak sejauh itu?” kata Baekhyun sembari memandang langit di luar, ada gumpalan awan berbentuk keriting dan itu mengingatkannya pada rambut Chanyeol yang dulu.

“Tapi kau mengobrol dengan Jongdae.”

“Itu karena dia berada di sebelahku,” balas Baekhyun tak sabar.

“Kau juga berbicara pada Yixing hyung.” Chanyeol seakan sedang menunjukkan kesalahannya, tapi Baekhyun selalu berhasil menepisnya hingga dia menyerah.

“Itu karena dia juga berada di sebelahku. Kau tidak lihat aku duduk ditengah-tengah kedua orang itu, Yeol, hm?”

Sebuah meteor menabrak kepala Chanyeol hingga dia sadar dan berkata, “oh iya.” Dan Baekhyun hanya bisa memejamkan mata, ingin marah atas kebodohan itu, sekaligus bertanya-tanya mengapa Chanyeol bisa mengira dia marah hanya karena tidak mengajaknya bicara.

Mereka kembali tenggelam ke dalam kesunyian, mendengar piring berdenting di luar sana. Apa Chanyeol tidak lapar?

“Sudah pergi sana—“

“Jangan lakukan itu lagi padaku,” gumam Chanyeol tak jelas, namun Baekhyun masih bisa mendengarnya. “Jangan mendiamkanku atau aku akan marah.”

 

Ya ampun. Astaga, astaga, astaga.

 

“Oke.” Baekhyun hanya bisa menyetujuinya, lagipula buat apa menolaknya? Lagipula siapa yang bisa mendiamkan seseorang seperti Chanyeol?

Kemudian mereka lagi-lagi diam dengan jari Chanyeol yang bergerak membentuk sebuah benda seolah mengajak Baekhyun bermain tebak-tebakan.

“Meja?”

“Iyap! Aku baru saja menggambar meja. Dua puluh poin untukmu, Baek.”

Chanyeol menggambar lagi.

“Sabun?”

“Ding dong! Salah! Itu kue muffin,” senandung Chanyeol senang. Dia menggambar dan menggambar lagi. Sekarang dia menulis beberapa kata.

“Umm…Sehun?”

“Yap! Itu nama Sehun. Tebak yang ini siapa.” Chanyeol menekan telunjuknya, menyapukan kelingkingnya, menulis sebuah nama yang cukup panjang.

Baekhyun berpikir sejenak sebelum menjawab. “Do Kyungsoo?”

“Benar lagi! Hei, kau jago juga.”

Baekhyun tertawa dan tak lagi menjawab sembari Chanyeol menulis nama satu persatu anggota EXO; Kris, Luhan, Lay, Jongdae, Minseok, Tao, Junmyeon, Jongin, namanya, lalu nama Chanyeol. Kemudian Baekhyun tak tahu lagi apa yang Chanyeol gambar, dia hanya diam sambil memejamkan mata cukup lama karena sentuhan seperti itu membuatnya mengantuk.

 

Tak lama kemudian, Baekhyun samar-samar merasakan Chanyeol menulis sesuatu di punggungnya. Sesuatu yang aneh—tak biasa.

 

Aku

 

Hati

 

Aku. Hati…” ujar Baekhyun dan Chanyeol berhenti.

 

Baekhyun menolehkan kepalanya ke arah Chanyeol yang membelakkan matanya lebar-lebar. “K-kau tidak tidur, Baek?”

Baekhyun menggelengkan kepala dan Chanyeol seolah baru saja melihat hantu, dia melompat dari tempat tidur dalam keadaan linglung bercampur bingung. Dia menggaruk kepalanya dan menghindari tatapan Baekhyun.

“Oh—oh, sepertinya Junmyeon hyung memanggilku. A-aku pergi sarapan dulu, Baek.”

 

Baekhyun juga tak mengerti mengapa Chanyeol harus sekikuk itu, bahkan dia melambaikan tangan seakan dia hendak pergi jauh padahal dia ‘kan hanya mau sarapan. Lagipula apa maksudnya ‘aku dan hati’?

 

Atau…ada kelanjutannya kah?

 

Kali ini Baekhyun tak bisa menerkanya dan sebenarnya, dia tidak mendengar suara Junmyeon memanggil Chanyeol sama sekali.

 

THE END

A/N:

Ah enggak tau nulis apaan. Muehehehe, anggap saja  ini sebuah bentuk keprihatinan melihat ChanBaek momen mulai jarang belakangan ini dan aku gak bilang kalo mereka lagi marahan ato apa ya seperti yang tertulis di fanacc. Semoga mereka sehat-sehat aja—eh maksudnya baik-baik aja hahaha :D

Abis ini post Xiuhan deh~syalalala dudududu~
See yaaa!!!



Baby Baekki

$
0
0

Baby Baekki

Title:

Baby Baekki

Cast: Baekhyun // Minor Cast: Kai, Sehun, D.O EXO-K, Victoria f(x), Nickhun 2PM // Genre: Fluff, Family // Length: >2000w

Song Recommendation: Strawberry Shortcake – Cuppycake Song (CUTE!)

Summary:

Bayi Baekki adalah bayi paling lucu di dunia. Kehadirannya membawa sejuta pelangi, seribu matahari, beratus-ratus gumpalan awan, dan mewarnai langit kehidupan semua orang.”

Read this too :D

Babysitting || Baby Soo-Soo || Baby Sehunie

 

Mungkinkah Tuhan menciptakan Baekhyun untuk sebuah maksud tertentu atau…memang sudah takdirnya bahwa kehadiran Baekhyun membawa sejuta pelangi, seribu matahari, beratus-ratus gumpalan awan berwarna pink, dan mewarnai langit kehidupan semua orang dengan berbagai macam pemandangan indah?

Seolah memberi gambar pada buku seseorang dengan berbagai gambar lucu seperti kupu-kupu, taman bunga, rumah, pohon apel yang rindang, layang-layang. Ah, pokoknya semuanya indah saat Baekhyun hadir di tengah-tengah keluarga Victoria dan Nickhun.

 

“Ini…anak kita…” Victoria menangis haru ketika bayi kecil itu berada di gendongannya dan pelukan Nickhun membuatnya semakin bahagia. Mereka berdua memberinya nama ‘Baekhyun’.

Jongin, Sehun, dan Kyungsoo pun tak bisa menyembunyikan rasa bahagia yang membuncah itu. Mereka berdiri di balik kaca besar kamar bayi, berjinjit dan berusaha melihat ke dalam. Mereka mau lihat sang adik bayi yang baru lahir.

“Itu, itu! Itu adikku!” sorak Jongin senang.

Sehun cembertu, “tidak! Dia adikku!” (Ya ampun, Sehun. Jika Baekhyun merupakan adik Jongin, otomatis dia juga adikmu).

“Itu adik Soo-Soo,” timpal Kyungsoo yang berumur 5 tahun kala itu. Dia sepupu Jongin, Sehun, dan Baekhyun. Mari kita anggap dia juga kakak Baekhyun.

Tapi tak satu pun dari mereka mau membiarkan yang lainnya jadi kakak Baekhyun, karena bayi bernama Baekhyun ini terlalu lucu, terlalu gembul, terlalu menggemaskan di balik kain warna kuning yang membalut tubuh mungilnya dengan pipi yang kemerahan mirip tomat juga rambut yang sedikit.

“Dia adikku, Sehun!” kata Jongin mendorong Sehun (yang juga merupakan adiknya. Apa Jongin lupa?)

“Dia adikku, hyung!” balas Sehun.

“Baekhyun adik Soo-Soo!”

“TIDAK!” jawab Jongin dan Sehun bersamaan, membuat si kecil Kyungsoo mau menangis.

Hei, tidak boleh bertengkar di rumah sakit, maka Nickhun sang ayah datang melerai mereka dan memberikan penjelasan logis bahwa Baekhyun adalah adik mereka semua. Titik. Dan kala itu mereka tidak meributkan Baekhyun itu adik siapa dan siapa yang jadi kakaknya. Mereka tenggelam dalam pesona si bayi kecil yang bolak-balik menguap.

 

Ya, ada sesuatu yang membuat ketiga anak ini tidak mau bergerak dari sana dan marah-marah ketika perawat menutup tirainya—waktu berkunjung sudah habis.

 

“Aku benci perawat itu walaupun dia cantik! Tapi dia membuatku tidak bisa melihat Baekhyun!” gerutu Jongin.

Nickhun tertawa dan mengusap kepala anak sulungnya itu. “Nanti kau bisa melihat Baekhyun sampai puas di rumah.”

Ya, karena Baekhyun akan pulang ke rumah dan tidur di kamarnya yang bercat biru dengan awan-awan menghiasi temboknya juga gambar malaikat kecil di langit-langit kamarnya. Ah, Baekhyun pasti senang.

 

***

          Seperti yang sudah dikatakan sebelumnya…

 

Bayi Baekki itu punya pesona tersendiri yang membuat Sehun, Jongin, dan Kyungsoo memamerkan Baekhyun bagai sebuah benda berharga yang berada di rumahnya.

 

“Aku punya adik kecil baru,” kata Sehun berkacak pinggang di depan kelas setelah dia mengumpulkan teman-temannya untuk mendengarkannya berpidato tentang Baekhyun.

“Dia baru lahir seminggu yang lalu, namanya Baekhyun tapi kami memanggilnya Baekki dan dia sangaaaaaaattttt menggemaskan. Kalian pasti tidak punya adik yang lebih menggemaskan daripada adikku,” Sehun berujar sangat yakin. “karena Baekhyun pipinya tembam, warnanya merah muda dan halus seperti kapas. Dia masih botak sih, tidak sepertiku yang punya rambut indah, tapi kata ibu Baekhyun akan punya rambut suatu hari nanti.”

“Dia sudah punya gigi?” tanya salah satu temannya.

“Tidak, dia ompong. Tapi kata ibu suatu hari nanti Baekhyun akan punya gigi.”

“Sehun, Sehun!” panggil Yixing, temannya. “Bolehkah kami melihat adikmu?”

Sehun pun berpikir, otaknya berputar cepat sebelum mengatakan ‘ya’. “Um…boleh sih, tapi…” dia mengulum bibir bawahnya. “kalian harus bawa snack dan permen kalau mau lihat Baekhyun.”  (Astaga, Sehun. Mereka mau melihat seorang bayi, bukan pameran binatang atau nonton bioskop).

Lalu tepat di hari Minggu, Victoria kedatangan sekitar lima belas anak kecil membawa sekantung snack dan permen di rumahnya.

“Kami mau lihat adik Sehun,” beritahu Yixing.

Victoria tidak bisa menolaknya dan membiarkan mereka berbondong-bondong masuk ke dalam rumah untuk melihat si bayi Baekhyun. Victoria juga senang mendengar beberapa bisikan anak perempuan yang mengatakan, “Adik Sehun memang lucu.

 

Lain lagi dengan Jongin.

 

Anak itu tidak mengumpulkan teman-teman sekelasnya dan mengumumkan bahwa dia punya adik yang baru lahir layaknya Sehun, namun lebih memilih memberitakan hal itu pada kekasihnya—Min Ha—di kantin, sambil menyeruput jus jeruk.

“Aku punya adik baru,” katanya tenang dalam suara rendah (Jongin memang selalu ingin terlihat cool di depan Min Ha).

“Soo-Soo maksudmu?”

“Oh, bukan. Ini Baekki, dia baru lahir seminggu yang lalu di rumah sakit.”

Gadis kecil itu pun menutup mulutnya karena senang, “Benarkah? Wah, Jongin kau pasti sangat bahagia.”

Jongin hanya tersenyum tipis (yeah, dia tidak boleh tersenyum terlalu lebar di depan Min Ha. Itu tidak membuatnya terlihat cool!) dan mengedikkan bahunya pelan. Oh iya, dia juga tidak bisa menolak permintaan gadis kecil itu saat Min Ha berkata dia ingin melihat Baekhyun. Jongin membawanya ke rumah di hari Jumat dan sempat berpikir mungkin inilah saatnya untuk memperkenalkan Min Ha pada ibunya (Ya Tuhan, Jongin. Kau masih berumur 9 tahun!)

Tapi kemudian…dia menyesal.

Karena sepulang dari rumahnya, Min Ha tidak bisa berhenti bicara tentang Baekhyun. “Dia sangat imut, Jongin. Matanya, pipinya, hidungnya, telinganya, kulitnya. Ah, dia bayi yang tampan.”

Mendengar kata ‘tampan’ Jongin langsung protes. Min Ha tidak boleh menganggap laki-laki lain tampan selain dirinya. Lalu Jongin mulai memaparkan beberapa fakta bahwa Baekhyun itu botak, Baekhyun itu suka ngompol, Baekhyun itu suka ngiler, Baekhyun itu cengeng dan seterusnya.

 

Lain lagi dengan Kyungsoo.

 

Kyungsoo tidak mengumumkannya di depan kelas seperti Sehun, juga tidak memberitahukannya pada kekasihnya—mengingat dia tidak punya kekasih saat itu. Kyungsoo si anak pendiam lebih suka berbicara pada daun, semut, dan anak ayam di depan sekolahnya.

Dia memberitahukan hal itu saat menjatuhkan remah-remah rotinya di barisan semut, “Halo, tuan semut. Soo-Soo sekarang punya adik bayi, namanya Baekhyun dan dia lucu. Selamat makan.”

Dia memberitahukan hal itu juga pada daun di pepohonan saat pelajaran olah raga. “Halo, tuan daun. Soo-Soo sekarang punya adik bayi, namanya Baekhyun dan dia sangat lucu. Selamat siang.”

Dia memberitahukan kabar gembira ini pada anak ayam saat dia hendak pulang sekolah. “Halo, ayam-ayam kecil. Soo-Soo sekarang punya adik bayi, namanya Baekhyun dan dia sangat menggemaskan. Eh, apa? Kau mau melihatnya?” Kyungsoo pun berpikir sejenak lalu berkata, “aku akan menanyakan hal itu pada bibi. Tunggu sebentar ya.”

 

Tak lama kemudian, Kyungsoo kembali ke sekolah lagi.

 

“Maaf, ayam-ayam kecil. Tapi kalian tidak boleh masuk ke rumah dan melihat Baekhyun. Kata bibi, biar Baekhyun yang mengunjungi kalian kalau nanti dia sudah cukup besar dan bisa berjalan.”

 

Hal ini pun cukup membuktikan bahwa semua orang sayang pada Baekhyun. Bagaimana mereka membanggakan Baekhyun di depan semua orang, bagaimana Nickhun sang ayah selalu ingin cepat pulang ke rumah setelah semua pekerjaannya selesai di kantor, bagaimana Sehun dan Jongin berlomba-lomba sampai lebih dulu di rumah hanya untuk pergi melihat si bayi kecil tidur siang, atau bagaimana Kyungsoo diam-diam membawa daun ke dalam kamar Baekhyun dan berbisik, “Tuan Daun, ini Baekki adik bayi Soo-Soo yang baru lahir.

 

Sejak ada Baekhyun di rumah, kini semua orang punya peranan penting. Victoria selalu mengatakan pada ketiga anaknya bahwa jika mereka membantu sang ibu merawat dan menjaga Baekhyun, maka Baekhyun akan cepat tumbuh dan bisa bermain bersama mereka.

Jongin punya pekerjaan membantu sang ibu di dapur, membuat susu dan bubur untuk Baekki.

Sehun punya pekerjaan membantu Victoria memandikan Baekhyun di pagi hari dan sore hari.

Sedangkan, Kyungsoo karena dia masih kecil, dia hanya disuruh bermain bersama Baekhyun atau menemaninya tidur siang.

Dan terkadang mereka semua—Nickhun, Victoria, Jongin, Sehun, Kyungsoo—berjalan di taman sambil mendorong kereta Baekhyun dan menikmati matahari sore yang bagus untuk kesehatan. Terkadang Chanyeol—sepupu ketiga anak ini—datang ikut bergabung. Mereka keluarga yang bahagia.

 

Sangat bahagia akan kehadiran Baekhyun.

 

***

Pernah kah kau mendengar kalimat yang berkata demikian, ‘Jika kau menanam sebuah bibit pohon dan merawatnya dengan sangat baik, maka pohon akan tumbuh besar dan berdaun rindang’?

Baekhyun memang bukan pohon, dia juga bukan bibit yang ditanam di sebuah pot dan diberi air setiap hari. Namun, Baekhyun adalah seorang anak yang tumbuh ditengah-tengah keluarga yang sangat menyayanginya, dia disirami oleh kasih sayang tiada tara dan diberi ‘pupuk cinta’ setiap harinya.

Baekhyun memang tidak berdaun rindang, tapi dia tumbuh besar walapun tubuhnya terlalu mungil untuk anak berumur lima tahun. Baekhyun jadi anak yang manis, yang duduk di meja dengan tenang dan menghabiskan sarapannya, sementara Sehun sang kakak masih mengeluhkan rambutnya yang kusut. Lalu Baekhyun tidak lupa mencium pipi ibunya setiap hari sebelum berangkat sekolah.

 

“Baekki berangkat sekolah dulu ya, bu.”

 

Baekhyun jadi anak yang super duper manis, yang pulang sekolah dengan tas di punggungnya dan beberapa tangkai bunga liar di tangannya.

“Baekki, kau bawa apa, sayang?” tanya Victoria menyambut kedatangan anak itu di depan pintu rumah.

Baekhyun tersenyum dan menyodorkan bunga itu pada ibunya. “Ini bunga untuk ibu Baekki yang paling cantik, yang sudah memasak sarapan setiap pagi.” Oh, Baekhyun belajar darimana kata-kata itu?

Tapi  Victoria tidak akan pernah mempertanyakan hal itu karena seketika itu juga air matanya hampir jatuh dan dia memilih untuk memeluk tubuh kecil Baekhyun—sembunyikan air mata.

“Terima kasih, Baekki. Terima kasih. Bunganya indah.”

 

Baekhyun jadi anak yang penurut, yang mendengarkan setiap perkataan ayahnya ketika Jongin mendapatkan jahitan di punggungnya karena bermain di semak-semak belukar dan terkena paku.

“Baekki, dengarkan ayah baik-baik. Jangan pernah bermain di semak-semak belukar. Kau tidak mau ‘kan terluka seperti Jongin, kakakmu?”

Anak itu menggelengkan kepalanya.

“Bagus.”

Dan Baekhyun selalu menolak ajakan teman-temannya untuk bermain di dekat semak-semak belukar, walaupun konsekuensinya adalah dia dijauhi dan kini dia pun bermain dengan anak ayam di depan sekolahnya. Setidaknya, anak ayam tidak akan menyakitinya. Dan—hei! Dia memenuhi janjinya untuk mengunjungi anak-anak ayam saat dia sudah besar dan bisa berjalan.

 

Baekhyun pun tumbuh menjadi anak yang baik dan suka menolong ketiga saudaranya.

“Baekki, ambilkan kue di kulkas,” suruh Jongin seenaknya.

“Baekki, ambilkan aku handuk,” pinta Sehun.

“Baekki, tolong bantu aku mengocok telur ini.” Yang ini sudah pasti Kyungsoo yang meminta tolong dengan lembut saat dirinya sedang membuat kue. Baekhyun dengan senang hati membantunya.

 

***

Hari itu, hari sabtu yang cerah. Nickhun mengajak keluarganya pergi keluar kota dan menginap di sana untuk beberapa hari. Dia hanya merasa bahwa keluarga kecilnya ini butuh hiburan—liburan—dan menjauhi suasana kota yang penat, maka mereka memilih sebuah hotel diatas bukit dengan pemandangan yang indah.

Jongin, Sehun, dan Kyungsoo sangat senang ketika Nickhun mengajak mereka semua bermain layangan, namun Baekhyun lebih memilih kandang kelinci yang sedari tadi menyita perhatiannya. Dia menarik tangan Victoria dan mengunjungi kandang kelinci di belakang hotel.

“Bu, ada kelinci di sini,” beritahu Baekhyun menunjuk beberapa kelinci di kandang itu.

“Oh iya.” Victoria mengikuti Baekhyun kecil ke sana dan mengambil beberapa potong wortel serta buncis yang telah tersedia di keranjang dekat kandang. “Baekki mau beri makan kelinci?”

Baekhyun mengangguk dan Victoria berjongkok sambil memeluknya. Mereka mulai memberi makan si kelinci. Tangan kecil Baekhyun terulur menyodorkan wortel yang langsung dilahap oleh si kelinci hitam.

“Sepertinya mereka lapar, sayang,” bisik Victoria lembut.

“Sangat, sangat lapar, bu. Baekki jadi ingat anak-anak ayam di sekolah. Tidak ada yang memberi mereka makan dan setiap kali Baekki datang kesana, mereka akan berciap-ciap kelaparan.”

“Oh, jadi hanya Baekki yang mengurus anak-anak ayam di sekolah?” tanya Victoria terkejut.

Baekhyun mengangguk sembari memberi wortel lagi pada kelinci. “Dulu waktu Soo Soo hyung masih sekolah disana, Guru Lee bilang Soo Soo hyung yang merawat mereka. Tapi karena sekarang Soo Soo hyung sudah tidak bersekolah disana, jadi Baekki yang merawat anak-anak ayam itu, bu.”

 

Victoria diam.

 

Mengapa…

 

Mengapa setiap kali anaknya yang satu ini berbuat sesuatu, hal itu berhasil membuat wanita ini meneteskan air mata haru? Dia menyayangi semua anaknya termasuk Kyungsoo. Tapi yang satu ini membuat Victoria sering kali bertanya dalam hatinya, apakah Tuhan mengirimkan malaikat berbentuk manusia padanya? Karena Baekhyun terkadang terasa tak nyata dan itu sering membuat Victoria takut kehilangan dirinya.

“Benar begitu?”

Baekhyun mengangguk lagi dan Victoria berhenti menangis, malah mempererat pelukannya pada Baekhyun. “Baekki anak ibu yang pintar.”

“Jongin hyung, Sehun hyung, dan Soo Soo hyung juga pintar, bu.”

“Ya, mereka juga pintar dan ibu menyayangi kalian semua.” Victoria mengecup pipi Baekhyun sedikit lama dan kembali berkata, “Eh, apa Baekki sadar kalau Baekki sedang memberi makan keluarga kelinci?”

“Hah? Keluarga kelinci?”

Victoria mengiyakannya, kemudian dia menunjuk kelinci itu satu persatu, “yang warna hitam dan tubuhnya besar adalah ayah kelinci, sama seperti ayah bukan?”

“Lalu yang bulunya warna putih dan sedikit lebih kecil daripada yang hitam, itu ibu kelinci. Mirip ibu tidak?”

Baekhyun terkikik kecil seraya menatap wajah Victoria dan mengangguk, “Matanya indah seperti milik ibu.”

Victoria tertawa dan mereka memutuskan tiga kelinci abu-abu yang bertubuh kecil itu adalah Jongin, Sehun, dan Kyungsoo—sedangkan satu yang berwarna putih—paling kecil adalah Baekhyun. Mereka menghabiskan waktu memandangi kelinci-kelinci itu hingga selesai makan dan seketika itu juga Victoria mengatakan sesuatu yang sangat penting.

“Baekki,”

“Ya, bu?”

Victoria menatap sang anak di kedua matanya dalam-dalam. “Berjanjilah pada ibu—” suaranya tercekat. “—jika Baekki sudah punya keluarga seperti keluarga kelinci ini, Baekki jangan lupakan ibu, ya?”

Baekhyun tentu belum paham hal ini, sama seperti dulu saat dirinya menatap Jongin, Sehun dan Kyungsoo bercuap-cuap di depannya—mengatakan betapa mereka menyayanginya, betapa lucunya Baekhyun. Tapi Baekhyun mengerti sang ibu tak mau dilupakan, Baekhyun mengerti sang ibu ingin terus diberi perhatian dan kasih sayang.

“Ibu,” Baekhyun menangkup kedua sisi wajah Victoria. “Baekki tidak akan melupakan ibu. Baekki akan merawat ibu sama seperti Baekki merawat anak-anak ayam di sekolah dan kelinci-kelinci ini. ‘Kan Baekki sayang ibu.”

Hati Victoria terenyuh mendengar perkataan Baekhyun dan itu membuatnya memeluk Baekhyun, menciuminya tiada henti. Victoria tahu Baekhyun akan tumbuh dewasa dan menemukan wanita yang dicintainya, lalu mereka menikah dan punya anak. Victoria tahu akan ada saatnya mengucapkan salam perpisahan dan Baekhyun akan punya rumah sendiri—yang mungkin jauh dari rumahnya.

 

Namun…

 

Victoria memegang tiga perkataan Baekhyun saat itu.

 

Baekki tidak akan melupakan ibu’

 

Baekki akan merawat ibu

 

Baekki sayang ibu

 

Itu lebih dari cukup.

 

***

Victoria tahu hari itu akan datang juga tanpa ditunggu-tunggu. Hari dimana satu persatu anak-anaknya yang masih kecil beranjak dewasa dan menikah. Hari dimana Jongin menikah dan pergi. Sehun menikah dan pergi. Kyungsoo menikah dan pergi. Baekhyun menikah dan pergi. Lalu hari tua menghampiri Nickhun dan Victoria, membawa beratus-ratus kerutan di kulit, beribu-ribu rambut putih, dan rasa ngilu di setiap persendiannya.

Namun, herannya rasa sepi tak pernah mampir atau sejenak tinggal di dalam rumah itu, karena ada saja alasan yang membuat wanita tua itu tersenyum di kursi goyangnya saat matahari pagi mulai merekah di ufuk timur.

 

Setangkai bunga anggrek di depan matanya…

 

Dia mendongak dan…

 

 

 

 

“Bunga untuk ibu Baekki yang paling cantik, yang telah membesarkan Baekki sampai seperti ini.”

 

Tak pernah merasa sepi karena ada Baekhyun yang setiap hari mengunjunginya.

 

 

 

THE END

A/N:

Sebenernya gak ada niatan sama sekali untuk nulis ini, tapi waktu itu pas aku pulang kuliah, mama lagi berberes rumah gitu dan nemuin beberapa fotoku masih bayi. Yaluhan, kita ngikik bareng sembari bernostalgia gitu. Pas ngeliat foto aku baru lahir *sighs* aku gak lucu dan gak cantik (emang sekarang cantik? Eumm…gak juga sih hahaha) dan SANGAT KESEL pas lagi ngedit cover Baekhyun semacam yang bilang dalem hati “kok dia lucunya konstan sih? dari lahir sampe gede lucu terus!” hahaha xD

Dan part terakhir-terakhir itu…based on true story sih :”) kemarin mamaku sempet bilang dia…worry gitu kalo: one day I’ll get marry and have a family and then leave my parents. Will I come back and visit my mom and take care my mom when she’s getting old.

I say, ‘yes, yes, I will take care of you no matter what happen. I will take care of you till the end.

Dan kita ketawa bareng lagi HAHAHAHAHA XD ((aneh memang))

 

Nantikan Baby Jonginie yaahh. Dia bakalan aku bikin sangaaaatttt romantis hahaha


[Writing Prompts] 67 Years Old and You

$
0
0

67 years old and you

67 Years Old and You

“There are things I need to tell you, but would you listen if I told you how quickly time passes?” –Meg Rosoff, What I Was

 

Saat aku berumur 1 tahun, aku belum terlalu mengenal diriku.

Aku baru mempunyai satu gigi susu yang tertanam di gusiku. Aku mengira bayangan diriku di cermin adalah orang yang berasal dari dunia lain karena bayangan itu selalu mengikuti gerak-gerikku. Kusentuh rambut di pucuk kepalaku, dan dia juga ikut menyentuhnya. Aku menggigit jariku, dia juga ikut menggigit jari. Hari itu aku memakai baju kuning dengan motif polkadot dan dia juga memakainya. Dan saat itu aku sadar bahwa bayangan itu bukanlah siapa-siapa, juga bukan kembaranku. Dia adalah aku.

 

 

Saat umurku 5 tahun, aku sudah mengenal siapa aku, tapi aku belum tahu apa itu sekolah.

Aku menyandang tas berwarna pink pemberian ibuku. Hari itu adalah hari pertama aku masuk sekolah dasar. Kata ‘sekolah’ seolah membayang-bayangiku dari semalam. Tempat apa itu, apa ada monster di dalamnya? Tapi ketika aku sampai di sana, aku melihat beberapa anak berpakaian layaknya diriku. Lalu, ternyata tempat bernama sekolah ini mengajarkanku membaca, menulis, dan mendapatkan seorang teman bernama Jongin. Jongin tak punya tas warna pink melainkan biru, tapi ya kami berteman dan saling berbagi bekal.

 

 

Saat umurku 12 tahun, aku mengenal betul apa itu ‘sekolah’ dan juga pergaulan macam apa di dalamnya.

“Apa kau mencium gadis itu?” tanyaku sedikit ngeri pada Jongin. Aku jelas-jelas melihat Jongin berbicara dengan seorang gadis berambut panjang dan di dekat loker, Jongin mencium bibirnya.

“Iya.”

“Menjijikkan, Jongin!”

“Itu yang dinamakan jatuh cinta, oke?” Dia nyengir sambil menepuk bahuku. “Dan itu adalah ciuman pertamaku.”

Perutku berputar tak enak membayangkan mengapa Jongin melakukannya. Tapi ada sesendok rasa penasaran jauh di lubuk hatiku, maka aku bertanya.

“Bagaimana rasanya?”

Jongin tertawa, “Stroberi.”

 

 

Saat umurku 17 tahun, aku mengetahui terlalu banyak hal dan aku bertemu denganmu.

Pertemuan kita tidak semanis yang ada di film-film drama itu. Jauh dari kata romantis, tapi aku tahu Tuhan membuat plot sedemikian rupa. Aku mengunjungi perpustakaan tua di ujung jalan dan berniat membaca novel Peterpan. Novel itu terletak di rak yang cukup tinggi, aku bukan gadis yang terlahir dengan tubuh tinggi semampai dan menyedihkan saat aku tak bisa menggapainya.

Lalu kau datang, dengan kemeja putih dan vest biru, menawarkan bantuan layaknya kue yang sedang kau tawarkan. Kala itu aku percaya bahwa kau akan mengambilkan buku itu dan mungkin kita bisa berkenalan, karena aku mendapati wajahmu tampan dan senyumanmu indah.

Tapi…kau tidak bisa meraih buku itu. Berapa kali pun kau mencobanya, buku itu jauh dari jangkauanmu. Kita tertawa, menemukan fakta bahwa kau hanya beberapa sentimeter lebih tinggi dariku.

Aku pulang dengan tangan hampa, namun aku membawa satu nama di mulutku.

“Luhan.”

 

 

Saat umurku 18 tahun, aku belum terlalu mengenalmu, tapi aku tahu es krim kesukaanmu adalah cokelat.

Musim panas rasanya terasa sepi ketika Jongin pergi berlibur ke Hawai bersama keluarganya, tapi begitu kau meneleponku, lalu datang menjemputku dengan vespa berwarna hijau, aku tahu rasa sepi itu segera menghilang. Kemudian kau memilih berjalan-jalan di sekitar jalan kota, bercanda ria sembari mengelilingi taman dan membeli es krim cokelat.

Aku bercerita tentang Jongin padamu, kau bercerita tentang hobimu bermain bola. Aku bercerita tentang keluargaku, kau bercerita tentang mimpimu. Aku bercerita tentang bagaimana aku melihatmu saat pertama kali, kau pun berhenti bercerita atau lebih tepatnya kita berdua berhenti melangkah.

“Hei, ada sesuatu di bibirmu.”

“Oh ya?”

Lalu yang kuketahui detik itu adalah aku tidak tahu apa ‘sesuatu’ itu yang kau bicarakan dan sepasang bibirmu menempel di bibirku. Bergerak perlahan, terasa dingin bercampur hangat.

Dan aku tahu Jongin salah dalam hal ini. Ciuman pertama rasanya bukan stroberi, tapi cokelat.

 

 

Saat umurku 19 tahun, aku mengenalmu karena kau menyukaiku, tapi aku tidah tahu kalau kau mencintaiku.

Aku tahu kau menyukaiku karena kau menciumku, memelukku, menghapus air mataku saat menangis, membuatkanku segelas cappuccino kesukaanku. Aku tahu kau menyukaiku karena kau mengatakannya beribu-ribu kali dalam hidupku. Aku tahu kau menyukaiku karena kau memberiku bunga mawar di hari valentine dan mengenalkanku pada semua temanmu bahwa aku adalah kekasihmu.

Tapi aku tidak tahu kalau kau mencintaiku dan datang ke rumah di Sabtu sore dan memperkenalkan diri pada ayahku yang galak. Aku tidak tahu kalau kau mencintaiku dan berjanji pada ayah untuk selalu menjagaku. Aku tidak tahu kalau kau mencintaku dan selamanya akan begitu.

“Mengapa kau mencintaiku?”

“Entahlah, mungkin memang sudah seharusnya aku mencintaimu,” jawabmu sambil memegang tanganku.

Aku tidak tahu kalau kau mencintaiku dan kau juga tidak punya alasan di balik itu.

 

 

Saat umurku 21 tahun, aku tahu terkadang cinta terasa membosankan dan merelakanmu pergi memang sakit.

“Jaga baik-baik dirimu. Jangan menungguku, kau boleh berpacaran dengan yang lain. Aku tidak mengekangmu.” Itu kata-katamu sebelum pergi kuliah ke Amerika.

Bukan hal yang salah saat kita tidak percaya akan hubungan jarak jauh. Kita hanya ingin sesuatu yang nyata, bukan kalimat cinta yang terasa murahan diucapkan lewat pesan di ponsel. Maka, biarkan, hanya biarkan kita berjalan di jalan masing-masing. Aku berpacaran dengan juniorku yang bernama Sehun dan kudengar kau berpacaran dengan gadis bernama Tiffany di sana.

Biarlah…

Terkadang aku percaya bahwa cinta pertama bukanlah cinta abadi.

 

 

Saat umurku 25 tahun, aku mengakhiri apa yang harus diakhiri dan memulai apa yang harus dimulai ketika sosokmu terlihat di depan mataku.

Tepat di musim gugur aku dengar kau kembali ke daratan dimana aku berpijak. Tepat di musim gugur itu aku melihatmu berjalan di taman kota sendirian. Kita berbicara sebentar, sekitar 10 menit sebelum kau menggenggam tanganku dengan alasan, “udaranya dingin, ya.” Kau tiba-tiba merangkulku dengan alasan, “sekarang banyak orang jahat, kau harus berhati-hati.” Dan kau berhenti melangkah, memperhatikan wajahku dengan seksama. “Ada sesuatu di bibirmu.”

Aku tak perlu mendengarkan alasan apa kali ini kau berbicara seperti itu. Aku berjinjit, mengalungkan lenganku di lehermu dan menciummu. Rasanya bukan cokelat, rasanya mint bercampur kebahagiaan.

“Aku single dan kau single, bagaimana kalau kita pacaran lagi?”

Aku tertawa dan mengiyakan ajakanmu.

 

 

Saat aku berumur 26 tahun, aku telah mengenalmu selama 8 tahun dan aku akan semakin mengenalmu untuk berpuluh-puluh tahun ke depan.

“Luhan…”

Kau tahu aku tidak suka kejutan. Kau mengenalku sebagai gadis yang tak perlu bunga mawar, kata-kata romantis, atau cafe mewah karena bersamamu…apapun itu akan terasa romantis. Tapi hari itu kau melakukan semuanya. Kau menutup mataku, menggiringku ke sebuah tempat yang penuh lampu dan memberiku seikat bunga mawar dan kau berlutut di depanku.

“Menikahlah denganku.”

Bukan hanya romantis, bukan sekedar indah ketika ajakan itu seperti memaksaku untuk mengatakan ‘iya’. Cinta yang memaksaku berkata, cintaku yang membuatku anggukan kepala ini dan dunia terasa berputar seraya dirimu mengangkat diriku.

“AKU AKAN MENIKAH!!” teriakmu.

 

 

Saat umurku 27 tahun, aku memberi nama seorang bayi kecil yang mirip dirimu.

“Xiaowen, Xiaowen…ayah menyayangimu.”

Aku mendengarmu berbisik seraya menggendongnya. Aku tak bermaksud menangis tersedu-sedu karena pemandangan ini, kenyataan ini tak pernah satu kalipun melintas di kepalaku. Bagaimana kau memeluknya, mengatakan bahwa kau menyayanginya, bagaimana berkali-kali kau mengatakan kalau Xiaowen punya hidung yang mirip denganku dan bibir yang mirip denganmu. Aku bersumpah, aku tidak pernah memikirkannya. Mimpiku tak pernah seindah dan senyata ini.

 

 

Umurku bertambah…

 

 

Aku mulai menua…

 

 

Ada saja momen-momen spesial yang tertangkap mataku, tapi terkadang mereka lepas dari genggamanku dan seiring berjalannya waktu aku sering melupakan ini, aku melupakan itu. Waktu berjalan dengan cepat.

Namun, aku tak melupakanmu.

Kau yang selama ini bersamaku dari tahun ke tahun. Aku menemukan belahan jiwaku, aku berpikir apakah kau kembaranku sama seperti saat aku berumur 1 tahun, karena kau terlalu cocok untukku, terlalu pas layaknya celana trainingku yang lusuh.

 

Kini kita tua.

 

Rambut memutih, ada rasa ngilu di setiap persendian, gigi kita bukanlah satu yang asli, tapi mereka semua palsu. Kita memakai popok, kembali seperti bayi yang belajar berjalan.

 

 

Saat umurku 67 tahun, aku duduk di kursi goyang menemanimu menikmati mentari sore sambil menyeruput teh di tangan yang gemetaran.

Aku bertanya, “Luhan, apa kau sudah meminum obatmu?”

Kau menatapku bingung, “Sudah. Sudah dua kali malah.”

“Masa? Yang warnanya merah masih ada di dekat piringmu tadi.”

“Masa?” Kau menggaruk kepalamu yang berambut sedikit. “Rasanya sudah.”

Pikun menyerangmu, kau lupa minum obat. Kulihat kacamatamu miring dan kau memakai sweater dengan terbalik. Lalu dengan iseng aku bertanya padamu, “Luhan, mengapa kau mencintaiku?”

“Um…” Matamu bergerak menelusuri wajahku yang tirus dan penuh keriput. “Entahlah, aku tidak tahu. Mungkin memang sudah seharusnya aku mencintaimu.”

 

 

Saat aku berumur 67 tahun, aku mencintaimu dan kau tetap mencintaiku tanpa punya alasan mengapa.
 

 

The End

A/N:

So, I challeng myself to make a writingprompts based on tumblr pics in less than 60 minutes and yeay! I did it :) There’s no reason why I suddenly want to write this, but it’s kindda cute wondering how Luhan gets old lol!

There’s no comment box because…this is writingprompts that I usually find in tumblr so…tumblr doesn’t have it right? But if you want to talk about this, let’s meet on twitter :)

Have a nice day :) See ya!


Baek Cheesy Hyun

$
0
0

Baek Cheesy Hyun

Title:

Baek Cheesy Hyun

Cast: Baekhyun and You // Genre: Cheesy, Fluff, Slight!Comedy, Romance // Length: >2000w

Song Recommendation: LMNT – Hey Juliette

Summary:

Baekhyun is the most cheesiest people in the world. But that’s okay as long as you love him.

Warning!

Cheese is everywhere, mind your steps :D

 ***

Pernahkah kau berpikir dan merasa bahwa para pria yang tercipta di dunia ini adalah makhluk yang punya berjuta-juta kata manis, yang siap dilemparkan untuk para gadis?

Oh, atau pernahkah hal ini terlintas di kepalamu sekali saja bahwa terkadang mereka terasa terlalu gombal dengan semua itu, namun entah mengapa kaum perempuan sangat menyukainya dan jatuh ke dalam jebakan yang terkadang berujung pahit?

Byun Baekhyun adalah laki-laki (yeah, tentu saja) dan dia adalah salah satu makhluk tergombal di muka bumi sampai tak jarang aku bertanya dalam hati, darimana dia mendapatkan semua kalimat itu?

Baekhyun adalah laki-laki (yeah, aku sudah menyebutkannya tadi) dan dia adalah kekasihku. Dan katakan saja aku telah menjadi korban pertama dan selamanya akan menjadi korban tetap yang memakan kata-kata rayuannya.

 

“Hei sayang, kau punya peta?” Baekhyun bertanya di satu sore saat kami duduk berdua, berkutat dengan buku pelajaran dalam perpustakaan.

“Tidak. Untuk apa?” tanyaku menoleh padanya. Ya, untuk apa Baekhyun mencari peta? Kami…sedang tidak berada di tengah-tengah hutan, bukan?

Baekhyun mendekatkan wajahnya ke arahku dan berbisik dalam suara rendahnya, “Aku butuh peta karena aku hilang di kedua tatapan matamu.”

(Ugh! Itu romantis!)

Aku tersenyum mendengar hal itu karena siapa gadis yang tidak ‘meleleh’ jika pacarmu melontarkan perkataan itu disertai senyuman manis dan—apa? Dia hilang di kedua tatapan mataku?? Apa aku seistimewa itu sampai-sampai Baekhyun hilang arah?

“Bawalah peta besok-besok. Aku tidak mau kehilangan pacarku.” Oh, aku bahkan telah berubah menjadi makhluk cheesy  karena…well, kami baru berpacaran satu minggu kala itu dan kalimat romantis beserta rona merah di pipi adalah satu-satunya santapan kami.

 

 

“Cubit aku.”

 

“Apa?”

 

“Cubit aku.”

 

“Tidak mau, Baek.”

 

Aku berhenti berjalan dan terpaku memandangnya di trotoar sehabis pulang sekolah. Hari itu gerimis, air hujan mulai membasahi seragam kami dan aneh ketika Baekhyun meminta untuk dicubit, bukan meminta dipakaikan jaket atau meminta dibelikan secangkir cokelat panas.

“Cubit aku, kumohon,” dia memelas dengan sangat. Hei, dicubit rasanya sakit, aku tidak mau mencubit tanpa alasan.

“Kenapa aku harus mencubitmu?”

“Karena…” dia memberikanku sebuah cengiran lebar di wajahnya. “Kau terlalu indah, aku pasti sedang bermimpi. Maka cubit aku agar aku kembali ke kenyataan.”

(Ugh! Itu…um…manis?)

Aku tertawa kecil sambil menyikut pelan tubuhnya, “Dasar.” Ya, dasar tukang rayu. Baekhyun si tukang rayu, ucapku dalam hati. Tapi apa boleh buat, Baekhyun suka melakukannya. Aku hanya mengikuti permainannya yang terkadang kupikir…tidak lagi terasa seperti pertama kali.

 

 

Matamu biru, bagai samudera.

“Apa?” mendengarnya aku hampir menjatuhkan bukuku.

Sayang, aku tenggelam dalam samudera.”

(Ugh! Mataku bahkan tidak biru!)

“Err, terima kasih,” ujarku ragu sambil membereskan isi lokerku sementara Baekhyun bersandar di sana, mengerling jenaka seakan dia adalah Romeo yang sedang jatuh cinta. Oh ya, dia sedang jatuh cinta padaku.

“Lain kali kau harus bawa pelampung agar tidak tenggelam, oke?” kataku setengah tertawa. Namun, Baekhyun menggelengkan kepala. Apalagi sekarang?

“Tidak ada yang bisa menyelamatkanku. Bahkan pelampung sekali pun.”

“Kenapa?” tanyaku bingung. Apa pelampungnya bocor?

Baekhyun tersenyum manja. “Tidak. Karena hanya kau yang bisa—lautku, ombakku…”

(Ugh, harusnya aku tak bertanya. Kini Baekhyun mengumpamakanku dengan berbagai macam benda!)

 

Lalu…

 

Semakin lama, aku semakin muak dengan semua kalimat itu. Mereka seakan menggerogotiku dari luar dan masuk ke dalam pori-pori kulitku, kemudian mereka masuk ke aliran darahku, menyebabkan pusing tiada tara di pagi hari—di setiap Baekhyun tersenyum dan mulai berbicara.

Baekhyun memulainya di pagi hari ketika matahari baru saja melongok di antara awan-awan dan kami berjalan di bawahnya.

Oh, apa kau merasa matahari sedang tersenyum atau…itu terjadi karena aku bersamamu?

 

Baekhyun melontarkannya di kelas saat pelajaran matematika, tak sadar bahwa kami punya 52 nomor tugas matematika yang harus kami selesaikan.

Lihat, cintaku padamu seperti membagi angka apa saja dengan angka nol. Itu tidak terhingga.

 

Baekhyun membisikannya di lab komputer, saat Pak Kim sedang menerangkan bagaimana caranya menggunakan formula di Microsoft excel.

Apa namamu Wifi? Karena…sepertinya aku punya koneksi denganmu.”

 

Baekhyun meneruskannya di siang hari ketika kami makan siang, membuatku hampir tersedak kuah sup kimchi.

Kau mau melihat orang tercantik di dunia?” dia mengeluarkan cermin dan menyodorkannya di depan wajahku.

 

Baekhyun kembali mengulanginya di pelajaran olah raga, dia membelikanku sebotol minuman, padahal aku ijin olah raga saat itu dan hanya duduk di pinggir lapangan.

Kau pasti lelah karena telah berlari sepanjang waktu di pikiranku.”

 

Baekhyun menutupnya di malam hari, saat langit sudah gelap dan bintang bertebaran bagai glitter di baju Jongin si penari sekolah yang terkenal itu.

Ya ampun, bayangkan jika bintang jatuh setiap aku memikirkanmu, langit pasti akan kosong. Dan aku akan ditangkap polisi.”

(Ugh, yeah, sebaiknya begitu!)

“Oh tidak, kau yang harusnya masuk penjara,” serunya tiba-tiba, membuatku terlonjak.

“Aku? Kenapa aku?” tanyaku heran.

Baekhyun menunjuk diriku serius, “Karena kau, ya, dirimu…telah mencuri hatiku.” Lalu dia kembali berjalan sambil terus saja menggumam. “Ya, sepulang ini aku harus menelepon polisi dan melaporkanmu. Sungguh.”

(Benarkah dia…bersungguh-sungguh akan melaporkanku?)

 

***

Tiga bulan kemudian, aku rasa akulah satu-satunya orang yang harus melaporkannya ke polisi, akulah yang harus mengambil semua bintang di langit dan melemparkannya kepada Byun Baekhyun. Akulah satu-satunya yang harus memaksanya berlari sampai kakinya tak bisa berlari lagi. Akulah satu-satunya yang harus menancapkan Byun Baekhyun di tiang pemancar Wifi. Aku yang harus mengambil cermin itu dan membuat Baekhyun bercermin.

 

Ya, biarkan dia melihat apa yang sedang dia lakukan terhadapku.

 

“Hei, apa kau putri dari Willy Wonka? Karena kau terlihat manis dan—“

“Lezat?”

Baekhyun mengerjapkan kedua matanya takjub. “Wow, bagaimana kau tahu kelanjutannya?”

Aku tak menjawab—diam saja.

“Kau mau tahu apa arti keindahan yang sesungguhnya? Ulangi kata—“

“Pertama.” sambarku cepat.

Lagi-lagi Baekhyun melongo, wajahnya bercampur bingung sekaligus heran karena aku bisa melanjutkan perkataannya. “Apa kau punya sihir?”

“Tidak. Kenapa?”

“Karena setiap kali aku melihatmu—“ (oh, aku tahu ini)

“Semua orang menghilang.”

Baekhyun bertepuk tangan keras sekali sambil menggeleng-gelengkan kepalanya seolah aku baru saja mengeluarkan kelinci dari dalam sweater-ku. “Sayang, bagaimana bisa kau tahu—“

Well, Baekhyun tidak pernah menyelesaikan kalimatnya. Um, mungkin lebih tepatnya tidak akan pernah menyelesaikan kalimat rayuannya, karena kini—di kencan kami yang ke 98 kali—aku mengeluarkan buku berwarna biru dari dalam tasku dan meletakkannya di meja café, lalu kudekatkan buku itu ke arah Baekhyun.

“I-ini…”

“Kau juga punya buku ini ‘kan, Baek?”

Baekhyun ingin berbicara tapi mulutnya hanya membuka-menutup bagai ikan.

“’1001 Love Quotes’?” suaraku mulai bergetar. “Selama ini kau mengucapkan kalimat-kalimat itu dari sini, iya kan?” kini air mata mulai turun membasahi pipiku dan sweater ungu-ku.

“Ini tidak seperti yang—“

“Yang kupikirkan? Baek, ayolah. Yang benar saja.” Aku terisak, merasa sakit karena selama ini yang diucapkannya—kata-kata itu—memang terdengar manis, tapi dia tidak perlu melakukan ini semua.

Aku pun bangkit dari kursi, menyandang tasku hendak pergi, “Kau tahu, Baek, aku selalu berharap kau mengatakan semua kalimat manis itu dari lubuk hatimu yang terdalam, dari dirimu sendiri. Dari—“ aku mengigit bibirku sendiri. “—rasa sukamu padaku, tapi ternyata aku salah. Kau menconteknya dan mengatakan apa yang tertulis di buku.”

Terluka.

Aku sangat terluka.

Hari itu aku meninggalkan Baekhyun di café sendirian untuk yang pertama kalinya. Entah apa hubungan ini masih penting dilanjutkan karena…buat apa? Buat apa jika semua yang manis itu hanyalah bohong belaka. Aku bahkan tak tahu apakah Baekhyun benar-benar suka padaku.

“Dasar bodoh!” aku memukul kepalaku sendiri.

 

Ya, aku bodoh. Aku bodoh karena menyukai Baekhyun yang punya perasaan palsu padaku.

 

***

Aku menghindari si Hati Palsu itu.

Aku tak menggubris panggilannya di kelas, atau ajakannya makan siang bersama. Aku tak mau sekelompok fisika dengannya, maka aku pindah ke kursi belakang dan masuk ke dalam kelompok Luhan. Aku tidak membalas pesannya, aku tak mengangkat teleponnya. Apa yang dia inginkan? Minta maaf? Mengetik sejuta rayuan agar aku mau kembali padanya?

Kuakui memang sulit menghindari, berpura-pura tidak menyadari kehadirannya.

Parfumnya tercium di pagi hari dan aku ingat biasanya Baekhyun menjemputku dan dia akan mengucapkan kalimat gombal itu. Walau cheesy, aku tetap menyukainya.

Suaranya terngiang di siang hari dan aku ingat biasanya Baekhyun duduk di sebelahku, makan kimchi spaghetti dan dia akan menyamakan aku dengan sirup yang manis. Walau cheesy, aku tetap menyukainya.

Bayangannya terbawa dalam mimpi di malam hari dan di mimpi pun aku mendengar suaranya mengalun, mengucapkan beberapa kalimat cheesy. Walau itu hanya sekedar mimpi, aku tetap menyukainya.

Dan kini…aku merindukan sosok itu. Sangat merindukannya.

Dan aku juga sadar, bahwa aku tak bisa hidup tanpa kalimat pujian darinya, tanpa kalimat murahan itu. Aku tak tahan lagi.

 

Kala itu aku berlari di koridor sekolah yang sepi, mencari Baekhyun ke seluruh penjuru sekolah karena seharian ini dia tidak terlihat di mana saja, maka aku khawatir. Ugh, aku perlu melihat wajah itu detik ini juga.

Namun, tak perlu waktu lebih lama, karena aku menemukan Baekhyun sedang berjalan sendirian di taman belakang. Rambutnya berantakan, seragamnya juga, dan wajah itu terlihat sedih saat kami bertemu pandang.

“Baek…”

“Aku tahu kau tidak mau melihatku. Maaf, aku akan pergi sekarang—“ Baekhyun segera berbalik, tapi aku menahan tangannya.

“Tidak, tunggu! Aku ingin berbicara denganmu,” aku butuh berbicara denganmu, aku butuh melihatmu, aku ‘butuh’ bukan sekedar ‘ingin’.

Baekhyun berbalik perlahan menghadapku walaupun wajahnya masih tertunduk lemas dan aku sadar aku salah selama ini. Butiran-butiran air mata mulai menuruni pipiku seraya kalimat-kalimat ini spontan muncul dipikiranku dan aku mengutarakannya pada Baekhyun.

 

Baek, aku membutuhkanmu bagai perantau asing yang butuh asupan air di padang gurun. Aku menyukaimu seperti kupu-kupu yang terbang dan melihat bunga yang indah di tengah taman. Aku menginginkanmu seolah aku adalah jerapah yang kelaparan dan membutuhkan daun di pohon yang tinggi. Dan jika aku adalah lampu lalu lintas, aku akan berubah menjadi merah setiap kali kau lewat. Dan jika aku adalah gelap, hei, Byun Baekhyun, aku membutuhkanmu. Kau adalah cahayaku.

 

Dadaku bergemuruh cepat seraya jantung ini terus berdetak kencang dan aku mencium keningnya, menghapus segala tanda tanya di wajah Byun Baekhyun.

“Aku memang tidak pandai dalam merangkai kalimat-kalimat ini, Baek,” kataku sedih. “Tapi setidaknya aku mengungkapkannya dari lubuk hatiku yang terdalam.”

“Hei…” dia berbisik, mendekatkan wajahku padanya hingga kening kami bersentuhan dan nafasnya meruntuhkan pendirianku. “Aku menyukaimu, aku menyayangimu, aku…mencintaimu. Kau salah paham waktu itu, kau perlu mengetahui sesuatu…”

“Salah paham? Salah paham apa lagi?”

“Aku bukan menconteknya. Aku…” Baekhyun memejamkan matanya, aku bisa melihat bulu mata itu bergerak gelisah. “Ya aku menconteknya karena aku bukan orang yang pintar merangkai kata-kata, kau perlu tahu itu. Aku tidak seperti Chanyeol, mantanmu yang super duper romantis dan bisa bermain gitar dan membuatkanmu lagu. Aku ingin seperti dia. Aku ingin membuat sesuatu yang romantis agar kau bahagia, percayalah.”

“Baekhyun…”

“Maka aku meminjam buku itu dari Luhan. Aku kira dengan memujimu setiap hari, setidaknya di matamu aku bisa sama seperti Park Chanyeol.”

“Baekhyun!” pekikku menghentikan ocehannya, lalu lebih baik memeluknya karena mungkin itu satu-satunya cara untuk menghentikan ini semua dan yeah, rasanya lebih nyaman ketimbang terus mendengarkan argumennya.

Well, kini aku tahu Baekhyun hanya ingin membuatku bahagia. Konyol memang caranya dan aku tak tahu kalau Baekhyun tak pintar merayu, memuji. Dia ingin sama seperti Park Chanyeol? Buat apa? Jika Park Chanyeol adalah orang paling hebat, aku tak mungkin berpindah hati pada si pendek ini.

Dan soal Baekhyun tak bisa merayu…tak apalah, mungkin kami bisa belajar bersama karena, ya, aku juga payah dalam bidang itu.

“Maafkan aku, aku menyayangimu. Jangan menangis,” bisik Baekhyun dan aku tertawa.

 

“Aku juga menyayangimu.”

 

***

Pernah kau berpikir dan merasa bahwa tidak semua laki-laki di dunia ini terlahir dengan kemampuan merayu atau memuji para wanita sampai makhluk lemah itu terbang ke lapisan langit yang ke-tujuh?

Kalau tidak, um, aku rasa kau harus mulai memikirkannya karena aku mendapatkan satu laki-laki yang seperti itu.

Dia tidak pintar merayu pada awalnya. Dia bahkan mencontek dari buku untuk membahagiakan kekasihnya, tapi tahukah kau bahwa laki-laki sangat cepat belajar, lebih cepat dari kekuatan petir menyambar di kala hujan hendak turun?

Dia adalah Byun Baekhyun dan di umurnya yang ke-27, dia menulis sebuah buku berjudul ‘2500 Sweets Quotes for Lovers’. Kini dia sedang berada di nomor 2347.

“Baek, ini kopimu.” Aku berucap seraya meletakkan cangkir kopi di sebelah mejanya. Baekhyun tak membalas, tatapan terpaku pada layar komputer dengan tangan mengetuk-ngetuk meja. Aku tahu dia sedang berpikir.

“Perlu bantuan?” tawarku.

“Um…” dia menoleh padaku dan menunjuk sebuah kalimat di sana. “Aku stuck di kalimat ini. Bisa tolong lanjutkan?”

“Baiklah, apa itu?” aku menaruh kepalaku di bahunya.

Sebenarnya, ada 20 malaikat di dunia ini. 11 sedang bermain, 8 sedang tidur dan 1 lagi…” Baekhyun berhenti di situ, dia menatapku bertanya.

 

Aku tersenyum dan mengecup pipinya.

 

“Dan satu lagi sedang berdiri di sampingmu,” jawabku enteng.

 

Baekhyun tertawa, kami tertawa bersamaan.

 

“Ugh, itu cheesy, tapi…oke, kau benar.” Dan Baekhyun mengetiknya.

 

 

THE END

A/N:

Tolong jangan lemparin aku sama sepatu ato sandal, kalau mau lemparin aku rambutnya(?) baekhyun aja hahahaha xD

Tenang kok, tenang aku juga enggak se-cheesy itu, aku ngambil quotes-quotes itu dari beberapa sumber yang tidak bisa disebutkan (dan salah satunya ngambil dari buku warna biru punya Luhan /kicked/ xD).

Dan yang terakhir itu *merinding* aku dapet dari internet dan ITU CHEESY BANGET ADUH UDAH AH!

Need your comment :D

 

Hey, let’s play a game!

Tuliskan sebuah kalimat cheesy untuk bias kalian masing-masing

Contohnya:

For Suho: Oppa, I never had a dream come true until the day that I found you #cheesyforbias

SELAMAT MENCOBA!!! HAHAHA


[Writing Prompts] If My Heart Was A House

$
0
0

If My Heart Was A House

“Wherever you go, if my heart was a house you’d be home” -Owl City, If My Heart Was A House

 

 

You’re the sky that I fell through
And I remember the view whenever I’m holding you

 

Bagi Luhan, Sehun adalah langit yang dia pandangi setiap hari. Terlepas dari bagaimana rambut Sehun di cat warna pelangi dan warna biru nampak mendominasi. Seolah jatuh ke tumpukan awan yang lembut saat tangan Luhan terkubur di setiap helai rambut Sehun, merapikannya setelah berlatih menari dan tetesan keringat menghiasinya. Lalu Luhan melihat pemandangan yang indah—senyuman Sehun—selagi Sehun berkata, “Terima kasih, hyung.”

 

The sun hung from a string
Looking down on the world as it warmed over everything

 

Bagi Luhan, Sehun adalah matahari yang menggantung di langit biru. Terlepas dari senyuman Sehun yang menghangatkan hatinya atau suara ringan yang selalu dia dengarkan setiap pagi—menyapanya. Namun, Sehun selalu ada dimana pun matanya melihat. Sehun memang tidak selucu Baekhyun atau Chanyeol, namun bersamanya—minum bubble tea di toko, makan bersama, seolah Luhan merasakan matahari hanya bersinar untuknya.

 

Chills run down my spine as our fingers intwine
And your sighs harmonize with mine

 

Terasa seperti bertemu untuk yang pertama kali, Luhan menatap Sehun remaja tersenyum malu membungkuk padanya memberi salam dan kala itu Luhan tahu dia harus menjaganya. Sebuah kebiasaan masa trainee, Luhan akan memegang tangan Sehun dan berjalan-jalan di sekitar gedung SM, menikmati sore sambil mendengarkan helaan napas mereka bersatu di bawah langit kemerahan yang indah.

 

Unmistakably I can still feel your heart
Beat fast when you dance with me

 

Dan ketika mereka menari bersama mengikuti alunan musik, tanpa bersentuhan, tanpa perantara atau inikah sebuah keajaiban…Luhan dapat mendengarkan—merasakan—detak jantung Sehun. Setiap langkah, setiap detakan berirama dengan napasnya dan butiran keringat yang menetes. Menari bersama Sehun adalah satu momen bahagia bagi Luhan.

 

Namun ada kalanya…

 

“Kau tidak tahu apa-apa, Junmyeon!”

“Kau kira kau tahu apa yang kau lakukan, Kris?!”

Semua orang bisa mendengar bagaimana kedua leader itu saling berteriak di seberang ruangan. Ada suara Kyungsoo yang menambah kegaduhan, kata-katanya yang tajam ternyata tak mampu meredakan emosi mereka.

“Apa yang mereka ributkan?” tanya Jongin ketakutan. Mereka memang pernah bertengkar—tak sering, tak jarang, namun yang satu ini…perlukah bertengkar di saat mereka akan melakukan comeback?

Luhan memegang tangannya—menyuruh Jongin untuk diam di tempatnya dan tidak ikut campur. Namun dia tidak sempat memegang tangan Sehun saat laki-laki itu beranjak dari kursinya dan berlari keluar dorm. Sekelebat Luhan melihat air mata membasahi pipinya.

 

“Sehun!”

 

Sehun berlari.

 

Sehun berlari lagi dan lagi.

 

Dia benci pertengkaran, Luhan memahami itu.

Dia benci jika Junmyeon—sang ketua telah berteriak, lalu dibalas oleh Kris, lalu ada Kyungsoo yang berusaha melerai, lalu Chanyeol juga ikut membawa suasana tak nyaman itu.

 

Dia benci, dia benci, dan Luhan memahaminya.

 

Maka itu Luhan pergi keluar mencarinya, bukan cemas Sehun akan hilang atau tertabrak mobil. Sehun bukan anak kecil lagi, bukan remaja berumur belasan tahun yang pertama kali Luhan temui, namun dia tahu Sehun hanya perlu sebuah pelarian—tempat untuk menetap dimana dunianya terasa begitu membingungkan.

 

Circle me and the needle moves gracefully
Back and forth, if my heart was a compass you’d be North

 

Luhan seolah berada di sebuah tempat asing dan Sehun seakan memutarnya sepuluh kali untuk membingungkannya. Namun, tak tahu kah Sehun bahwa Luhan adalah kompas yang jika diputar dia akan selalu menemukan arah utara? Dan jika hal itu terjadi, Luhan akan tetap menemukan Sehun, karena Sehun adalah arah utara.

 

“Sehun?”

 

Luhan memanggilnya dan sosok bertubuh tinggi itu berhenti di tengah jalan sepi. Sehun berbalik, melihat Luhan bernapas berat di udara sore yang dingin. Mereka terdiam, tak ada yang bergerak sampai Luhan mulai melangkah mendekati Sehun dan bersyukur Sehun tidak berlari lagi. Dia hanya menunggu…menunggu Luhan datang.

 

Risk it all cause I’ll catch you if you fall

 

Langkah demi langkah Luhan ambil, tak pedulikan cuaca hari ini begitu dingin membekukan tangannya. Dia lupa memakai jaket karena seluruh perhatiannya hanya terpusat pada Sehun, karena Luhan tak mau Sehun sedih, karena Luhan tak mau Sehun menanggung bebannya sendirian. Jika Sehun jatuh bagai selembar daun kering di musim gugur, Luhan akan menangkapnya.

 

Wherever you go, if my heart was a house…

 

“Luhan hyung?”

 

Luhan menggapai tangannya, menariknya ke dalam pelukan yang hangat seperti mereka berdua adalah kakak beradik yang terlahir dari satu rahim.

 

“Pulanglah, Sehun. Pulanglah bersamaku,” bisik Luhan dan Sehun melakukannya.

 

 

Wherever you go, if my heart was a house you’d be home

 

 

 

Karena jika hati Luhan adalah sebuah rumah bagi Sehun, maka Sehun akan selalu pulang ke rumah. Dia akan selalu berada di sana apapun yang terjadi.

 

 

THE END

A/N:

Well, this is for my lovely cutie pie cousin, Echa, Writing prompts based on tumblr pic is so much fun. Try it once guys, lol!


[Writing Prompts] I Don’t Love You

$
0
0

I Don’t Love You

“Falling in love is not a spur of the moment thing. There wasn’t love at first sight as I always believed there to be.” — Eveli Acosta, Love Rubi

 

 

 

 

Aku tidak mencintaimu.

Aku tidak punya perasaan padamu sama sekali ketika sebuah nomor asing muncul di layar ponselku dan selanjutnya yang kudapati adalah satu pesan berkata ‘hai’ beserta emoticon senyum di akhir kata itu. Aku tidak tahu siapa dirimu, darimana kau mendapatkan nomorku, semuanya terasa aneh di awal.

‘Nama Kim Minseok’.

Oh baiklah, namamu Minseok. Kita satu kampus, kau kuliah jurusan hukum, dua tahun di atasku dan kau suka sekali berolah raga bola juga jogging. Makanan favoritmu adalah oreo stroberi dan bubble tea rasa taro.

‘Aku tidak tahu darimana aku mendapatkan nomormu. Ini aneh tapi mungkin kita berjodoh’

Aku tidak tahu harus merespon apa, aku juga tidak bertanya lebih lanjut siapa yang memberi nomorku padamu, dan kubiarkan pesanmu menggantung seperti itu. Entah apa yang harus kulakukan, kuakui mengobrol denganmu itu menyenangkan, tapi aku tidak jatuh cinta padamu. Meskipun kita melakukannya dua minggu penuh dan bertemu untuk yang pertama kalinya di café Perancis.

 

Aku tidak mencintaimu.

Perasaan itu belum juga datang walaupun sosokmu berdiri di depanku—memakai kemeja kotak-kotak itu, wajah chubby dan rambut yang mengkilap terawat. Kau tampan, kau lebih tampan dari foto yang sering kulihat terpampang di ponselku. Kesimpulannya, kau tampan dan menarik di mata para gadis.

Harusnya aku jatuh hati padamu ketika kau tersenyum karena senyumanmu indah, harusnya aku jatuh cinta padamu karena dengan baik hatinya kau menarik bangkuku dan mempersilahkan diriku duduk, harusnya hatiku tergerak saat kau memberikan rekomendasi makanan terenak di restoran itu, lalu kau membayar semua bill-nya.

Tapi aku tidak.

Tidak saat kau membukakan pintu restoran untukku, tidak saat saat kau mengantarku pulang sampai di rumah padahal aku tahu rumah kita berlawanan arah dan itu berarti kau akan menempuh jarak yang teramat jauh. Tidak saat kau mengetik pesan tak lama kemudian setelah aku menginjak karpet rumahku: ‘Terima kasih, hari ini menyenangkan. Aku senang bisa makan bersamamu dan kau sangat cantik’.

 

Aku tidak mencintaimu.

Aku bingung ketika kau datang menjemputku pada tanggal 20 Mei, dingin mencekam di malam hari. Kau membawaku ke tengah-tengah taman kota yang punya gazebo penuh lampu berkelap-kelip. Disana lah pernyataan cinta dengan gamblang kau nyatakan.

“Aku…menyukaimu,” itu katamu seraya tangan ini kau genggam. “Tidak, aku rasa aku jatuh cinta padamu. Aku mencintaimu.”

Cahaya lampu gazebo menari-nari di kulit kita seakan mengerti bagaimana suasana hatimu detik itu, namun mereka tak bisa merepresentatifkan perasaanku, karena aku tidak mencintaimu. Aku tidak punya sedikit rasa itu, tapi aku mengatakan, “aku juga.” Entah mengapa, entah ada apa. Aku tak mengerti.

Tak satu pun mengerti.

 

Aku tidak mencintaimu.

Hari-hari bersamamu terasa seperti angin lalu, anehnya mereka tetap sejuk dirasa dan aku menemukan dirimu yang terkadang terlalu mencintaiku, sementara aku masih tidak mencintaimu. Kau berdiri di skala 2590 atas rasa cintamu, sedangkan aku masih berada di titik nol—bukan minus. Kau mengutarakannya, menyiramiku dengan rasa itu, sementara aku hanya bisa diam bermandikan rasa kasih sayangmu. Tak pernah membalas.

Aku diam saat kau memotong daging steak-ku di depan teman-teman kita. Kau memotongnya menjadi bagian-bagian kecil agar tak sulit kumakan. Bukan untuk pamer—show off. Aku tahu perasaanmu padaku selalu tulus, setiap hal kecil yang kau lakukan selalu benar dan baik di mataku.

Aku diam saat kita pergi ke tepi sungai Han. Semua pasangan menggenggam tangan kekasih mereka untuk menghindari cuaca dingin, namun aku membiarkanmu menggenggam udara hampa, sementara aku memasukkan tanganku ke kantung mantel—tak menyentuh tanganmu sedikit pun.

Aku diam saat kita berlibur bersama teman-teman kita yang lainnya. Bermain sepeda di bawah terik matahari dan kulihat semua pasangan memeluk kekasih mereka dari belakang, sedangkan aku hanya menggenggam ujung kausmu.

Dan aku hanya tersenyum dalam diam ketika berulang-ulang kali kau membisikkan kalimat ‘Aku mencintaimu’ ke telingaku. Sayangnya, mereka tak pernah sampai ke hatiku.

 

Aku tidak mencintaimu.

Ada kalanya aku berharap kau protes akan sikapku yang terlalu acuh. Aku harap kau marah padaku dan memutuskan apa yang kita jalani ini. Aku harap kau akan membenciku dan beralih pada gadis lain yang mungkin bisa membalas perasaanmu atau setidaknya mengangkat tangannya ketika kalian berfoto studio—membentuk hati di atas kepala—karena aku tidak melakukannya.

Tapi kau bukan Kim Minseok yang seperti itu.

“Tak mengapa jika kau mencintaiku dengan setengah hatimu,” katamu perlahan sebelum aku turun dari mobil. Aku menangkap sebuah nada sedih dalam suaramu.

“Tapi aku akan tetap mencintaimu dengan seluruh hatiku.”

Di kala mobilmu berderu menjauh dari rumahku, aku bertanya-tanya mengapa kau memperlakukanku sedemikian rupa. ‘Mencintaimu dengan setengah hatiku? Bagaimana bisa itu kulakukan? Jangankan setengah hati…aku bahkan tidak punya hati untukmu.’

Itulah yang kukatakan dalam hati.

 

Aku tidak mencintaimu.

Aku tidak mencintaimu dan aku juga tak mengerti mengapa di hari Sabtu yang cerah, aku menemukan diriku berdiri di depan cermin—berbalutkan gaun putih itu. Mungkinkah aku sudah mencintaimu, atau setidaknya punya satu persen rasa cinta di hatiku? Tapi hati ini tetap terasa datar, dingin ketika menuju altar dengan bunga di tangan dan dirimu yang tersenyum menyambut kedatanganku.

Aku juga tak punya pemahaman yang cukup ketika cincin yang melingkar di jariku dapat berarti banyak. Itu berarti kita saling mencintai dan akan hidup bersama dalam suka maupun duka. Itu berarti kita saling menopang satu sama lain. Itu berarti aku akan selamanya bersamamu.

“Aku mencintaimu,” kau bergumam di bibirku.

 

 

 

 

Aku tidak mencintaimu…

 

 

 

 

 

Aku tidak mencintaimu…

 

 

 

 

 

Entah datang darimana sebuah kalimat yang menyatakan bahwa jatuh cinta itu mudah. Mungkin kau bisa jatuh cinta pada pandangan pertama, pada pertemuan pertama, pada sentuhan tangan untuk yang pertama kalinya, atau di ciuman kedua yang terjadi di kencan ketiga sepasang kekasih.

Mungkin juga jatuh cinta terjadi atas sebuah ketidaksengajaan, seperti Yixing, temanku—dia tak sengaja menumpahkan teh ke baju teman perempuannya yang bernama Apple dan dia mulai jatuh cinta sejak saat itu. Mungkin juga jatuh cinta terjadi atas kehendak seseorang, seperti Huang Zitao, tetanggaku—dia mengikuti sebuah kencan buta dan mendapatkan seseorang yang cantik. Mungkin saja, mungkin, jatuh cinta memang perlu direncanakan, seperti Kris yang tidak tahan dengan kesendiriannya dan memutuskan untuk mulai jatuh cinta pada Kinsey si adik kelas.

 

Tapi tak mudah bagiku—tak sekali pun mudah bagiku untuk merasakan hal yang sama padamu.

 

Dan di tahun ke-duabelas kebersamaan kita, aku menyadari sesuatu…

 

Mungkin saja jatuh cinta memerlukan waktu yang cukup lama dan menyadari ternyata rasa itu tumbuh diam-diam memang sedikit menyakitkan.

 

 

“Ibu, ibu, ibu!!!”

 

Aku mengangkat wajahku dari majalah atas panggilan itu dan menemukan anak perempuanku yang berumur tujuh tahun berlari mendekatiku. Rambut gelombangnya bergoyang sembari dia memacu langkahnya dari tengah-tengah taman, dress biru laut itu melambai dan aku ingat itu adalah baju favoritnya. Bomi terlihat begitu senang sampai-sampai dia melepaskan tanganmu dan meninggalkanmu di belakang.

Dengan napas terengah-engah dia menghampiriku, kulihat Bomi memegang sesuatu di tangannya dan mencoba menyembunyikan benda itu di belakang punggunya.

“Ibu, ibu, ibu!!” katanya bersemangat saat sampai.

“Ya, ya, ya?” aku tertawa sambil menyisir poninya yang basah akan keringat.

Bomi tersenyum secerah mentari di langit sana—senyuman favoritku. “Aku punya sesuatu untukmu.”

“Apa itu?” tanyaku penasaran.

“Tadi aku dan ayah berkeliling penginapan ini dan melihat ada taman yang sangaaaaaaaaat luas. Aku dan ayah bermain di sana, ada kelinci, ada kuda, ada tupai. Dan kami menemukan ini.”

Bomi pada akhirnya menunjukkan benda yang sedari tadi dia sembunyikan. Ternyata mereka adalah beberapa bunga krisan yang mungil dan setangkai bunga matahari. Bomi menyodorkan bunga krisan itu ke dalam genggamanku.

“Aku memetik bunga krisan untuk ibu—“ lalu selanjutnya dia memberikan bunga matahari itu padaku. “—dan ini dari ayah untuk ibu.”

Aku menerimanya dengan senang hati dan kurasakan sesuatu bergejolak dalam hatiku. Rasanya aneh, seperti ada yang meledak, namun tak cukup kuat untuk mengeluarkan air mata, juga tak cukup lucu untuk menimbulkan sebuah senyuman. Kala itu aku hanya bisa diam memperhatikan bunga-bunga di tanganku dan dirimu datang ke sampingku.

“Terima kasih untuk bunganya,” gumamku perlahan padamu.

 

Satu senyuman menghiasi wajahmu, satu yang kau turunkan pada Bomi, kau berikan padaku. Kemudian aku tahu apa yang harus kulakukan.

 

***

Ketika sore berlalu dan malam menjelang, aku menemukan dirimu  sedang berkutat di dapur. Suara tok tok tok pisau beradu dengan alas kayu, entah apa yang sedang kau potong namun suara itu mengalahkan suara langkahku seraya aku berjinjit diam-diam ke arahmu dan menyelipkan tanganku di pinggangmu, merebahkan kepalaku di punggungmu yang hangat.

“Hei,” sapamu sedikit kaget. “sebentar lagi makanannya—“

“Maaf.”

Kau berhenti memotong dan aku bisa membayangkan pisau itu melayang di udara sekitar empat sentimeter, ekspresi wajahmu tak bisa tertebak.

“Untuk?”

 

Untuk segalanya

 

Maaf karena aku tidak langsung membalas pesanmu dua belas tahun yang lalu, aku membiarkanmu menunggu dan juga tak merespon pesan terakhirmu.

Maaf karena aku adalah makhluk paling tidak romantis yang hanya bisa mengatakan ‘aku juga’ saat kau berkata ‘aku mencintaimu’. Seharusnya ada kalimat lain yang lebih baik, yang bisa kuberikan padamu.

Maaf karena aku tidak menggengam tanganmu saat kita berjalan di tepi Sungai Han.

Maaf karena aku tidak memelukmu ketika kita bermain sepeda waktu itu.

Maaf atas ketidak-adilan yang menimpa hidupmu—beribu-ribu kali kau mengatakan ‘aku mencintaimu’, tapi aku tidak pernah membalasmu.

Maaf atas kesenjangan perasaan dimana kau menaruh seluruh hati padaku, sementara aku hampir tak punya apa-apa untuk kuberikan padamu.

Maaf karena butuh dua belas tahun untuk menyadari bahwa…

 

“Aku mencintaimu.”

 

Aku berbisik di belakang punggungmu. Mungkinkah kau mendengarnya? Satu kalimat sederhana yang selama ini kau ucapkan. Aku tidak berani mengatakannya keras-keras, bukan karena aku ragu. Tapi aku takut, aku takut mencintaimu akan memperparah semuanya dan perasaan ini ternyata mengerikan. Jatuh cinta ternyata menakutkan dan aku hanya bisa memejamkan mata, merasakan jantungku bergemuruh dalam kecepatan yang tak wajar.

Kau pun bernapas perlahan, meletakkan pisau di meja dan menyentuh tanganku yang melingkar di pinggangmu. Menyentuhnya karena kau mencintaiku, menggenggamnya karena kau takut bahwa wanita bodoh ini akan berlari ke pria lain. Itu yang sering kau katakan padaku.

 

“Aku juga mencintaimu.”

 

Dan aku mencintaimu bukan karena kau memberikanku bunga matahari itu untukku.

 

Namun, karena inilah saatnya aku jatuh cinta padamu. Meskipun memakan waktu yang sangat lama, tapi kau tetap menunggu hingga pada akhirnya aku datang bersama cinta di matamu.

 

 

***

Minseok…

 

 

 

 

 

Aku mencintaimu.

 

 

 

 

Aku tentu punya perasaan padamu ketika kau datang dari dapur membawa semangkuk sup jagung beserta ayam panggang ke meja makan. Kau memotong ayam itu menjadi potongan-potongan kecil agar Bomi tak kesulitan memakannya. Kau melucu soal kelinci yang tadi siang kau lihat, kau tak henti-hentinya tersenyum.

 

Aku mencintaimu.

 

Aku tentu mencintaimu saat malam menjelang—pukul sepuluh. Bomi sudah tidur di kamarnya dan kita duduk di depan teve, menikmati film Iron Man. Kau memelukku erat dalam balutan selimut dan ketika kedua matamu tertutup rapat, kukecup sudut bibirmu sambil berbisik,

 

“Aku mencintaimu.”

 

Dan aku akan mengatakannya seumur hidupku.

 

 

THE END

A/N:

Yuhuuu, aku kembali datang dengan writing prompts. Aww, aku gak bermaksud bikin ini untuk Siyumin Oppa, aku cinta padamu, oppa ahahahaha xD

I should write abob for nowdays, but this idea comes up. What can I do :(

Aku harap kalian masih sabar menunggu, owkay? LOL. Dan besok aku post fic lama yang judulnya Knows Something. Okeh, okeh?

See yaaaa <3


Knows Something

$
0
0

knows something

Title:

Knows Something

Cast: EXO Member// Genre: ABSURDITY UNTIL THE END // Length: >2000w

Summary:

What if EXO knows that you write a fanfiction about them?

 

***

Hidup menjadi bintang itu terlihat sulit, mungkin juga terlihat mudah. Bangun pagi setiap hari dan menemukan sejumlah jadwal yang siap memadati harimu. Atau mungkin kau terbiasa mengawali harimu dengan memeriksa beberapa fansite di internet yang mengambil fotomu dari angle bagus sampai-sampai kau tidak percaya ternyata bersin pun kau terlihat mengagumkan.

Atau mungkin kau bisa memeriksa youtube dan melihat sekitar lima juta lebih orang yang menonton video klip-mu. Kau akan mengatakan ‘wow’, ‘jjang’, ‘daebak’. Bagaimana bisa orang sebanyak itu menonton video-mu? Siapa mereka?

Well, fans yang melakukannya karena mereka tertarik denganmu, tertarik akan kehidupanmu yang penuh misteri sampai-sampai mereka mempunyai plot tersendiri tentang kisahmu.

 

Plot tersendiri tentang kisahmu?’

 

Hari demi hari Tao membuka weibo-nya dan mengagumi sekitar 50 gambar HQ dirinya. Tapi itu sudah biasa.

Setiap hari Lay membuka situs youtube dan angka viewers selalu bertambah. Itu sudah terlampau biasa.

Sehun membaca komentar-komentar di beberapa web khusus EXO dan dirinya tersirami pujian manis yang membuatnya tersenyum sepanjang hari. Ah, sudah biasa.

 

Tapi bagaimana jika mereka tahu fans membuat sebuah cerita tentang mereka, sebuah cerpen atau lebih dikenal sebagai fanfiction? Itu sesuatu yang tidak baru, tidak juga sesuatu yang mereka pahami. Mereka hanya tahu Kris memanggil mereka semua di satu malam dan menunjukkan apa itu fanfiction.

Fanfiction? Aku pernah mendengarnya, tapi aku tidak pernah membacanya. Sungguh.” Jongin berkomentar, mencoba melihat apa yang Kris buka di laptop.

“Fans terkadang terlalu kreatif,” ujar Kris sambil mengetik ‘EXO fanfiction recommendation’ di kotak search google.

“Kenapa kau melakukan ini? Lebih baik melihat foto-foto di tumblr, siapa tahu mereka menggosipi-mu dengan berita yang tidak-tidak atau—oh! renren-mu, Kris.” Luhan bersandar di bahu Sehun seraya mata terpaku ke layar sama seperti yang lainnya.

Kris menolak ide itu. “Aku penasaran. Tidak kah kau penasaran cerita macam apa yang mereka tulis tentangmu?” katanya masih menunggu google menyajikan apa yang dia inginkan. Sial! Koneksi lemah, SM harus lebih meningkatkan pelayanan mereka terhadap artis-artisnya, seperti menyediakan koneksi internet yang cepat.

“Tidak. Memang apa itu fanfiction?”

“Sepengetahuanku, fanfiction itu seperti cerita pendek yang memakaimu sebagai pemeran utama di ceritanya,” sahut Xiumin. Hei, kok dia tahu?

“Oh ya?” Luhan terkejut. Kris pun menyeringai. “Tidak kah itu menarik? Siapa tahu mereka menuliskanku sebagai pangeran tampan atau superhero yang punya gadis cantik.”

“Teruslah berkhayal, Kris. Aku mendengarkannya dan siap muntah.” Luhan memutar kedua bola matanya tepat di saat Kris meng-klik salah satu blog yang punya sederet link fanfiction lengkap beserta ringkasan ceritanya dan komentar orang-orang.

“Woah! Banyak sekali!” sorak Chanyeol bersemangat melihat sebuah fanfiction berjudul ‘Absolute Chanyeol’ berada di posisi pertama. “Buka yang itu! Buka yang itu! Aku mau baca! Itu pasti cerita tentangku, karena judulnya memakai namaku!”

“Sabar, Chanyeol. Kita baca dulu ringkasan ceritanya.”

“Baiklah,” kata Chanyeol sedikit kecewa.

Lalu Kris pun mulai membaca dan menerjemahkannya ke dalam bahasa korea semenjak fanfiction ini berbahasa inggris.

“Judul ‘Absolute Chanyeol’. Pemerannya adalah Chanyeol dan Baekhyun. Oh, ini Baekyeol.”

Itu membuat Baekhyun dan Chanyeol saling bertatapan, terkekeh puas karena mereka tahu fans menyukai pairing Baekyeol yang katanya bersaing ketat dengan pairing Kaisoo (oh ya?)

’Fandom classic, semua orang pasti sudah membacanya’. Wow, fanfiction ini mendapatkan sekitar seribu komentar. Pasti sangat terkenal.”

Saat itu juga Baekhyun dan Chanyeol seperti tersambar kembang api, sontak bersorak gembira karena mereka lebih terkenal daripada Kaisoo. Keduanya saling berpelukan senang, namun Kris segera menghapus kebahagiaan itu dengan membaca ringkasan ceritanya. Oh, ini buruk.

’Chanyeol bukanlah robot yang sempurna. Tapi tidak apa, karena bersama Baekhyun dia dapat menjadi manusia yang sempurna’.”

“Aku jadi robot? Sejenis Iron Man? Woah! Cerita ini pasti super duper keren!” sahut Chanyeol, suaranya yang besar membahana ditelinga Baekhyun seraya keduanya saling merangkul.

“Err, tapi…genre-nya romance, sad, angst, dan tidak ada pemeran wanita. Itu berarti ini adalah kisah cintamu dengan Baekhyun, Yeol.” Kris memandang mereka prihatin. “Kau berpacaran dengan Baekhyun di cerita ini.”

“APA??!!”

Kedua orang itu pun langsung menjauhkan diri dan memandang jijik satu sama lain. “Ugh, aku suka perempuan. Aku masih normal, kenapa mereka membuat cerita semacam itu?”

“Dan aku tidak mungkin jatuh cinta pada robot!” timpal Baekhyun, merinding membayangkan dia berpacaran dengan robot (itu aneh) dan robot itu adalah Chanyeol (apa kau bercanda?)

“Ganti, ganti! Aku tidak mau baca yang itu.”

“Yakin? Ini fanfiction paling menghebohkan fans, kau tidak mau membacanya?” tanya Kris memastikan.

“TIDAK!” jawab Baekhyun dan Chanyeol. Mereka semua tertawa kencang sekali.

Kris pun mengangguk paham dan perhatiannya teralih pada fanfiction urutan kedua yang berjudul ‘Anterograde Tomorrow’. Tak perlu menerka apakah ada pemeran wanita di dalamnya karena, hgh, sepertinya fans tidak rela menulis kisah mereka dengan seorang perempuan alih-alih membuat dua belas orang ini menjadi enam pasang kekasih. Oh, baiklah, menarik. Sangat menarik.

“’Anterograde Tomorrow’ ini kisah tentang Kaisoo,” beritahu Kris.

“Oh hyung, ini tentang kita!!” ujar Jongin terlampau semangat menarik-narik baju Kyungsoo, namun yang dia dapatkan dari Kyungsoo adalah tatapan datar —menyuruhnya untuk diam. Jongin pun langsung menutup mulutnya.

“’Anterograde’? Bukankah itu sejenis penyakit lupa ingatan?” tanya Kyungsoo penasaran sambil memicingkan mata ke arah layar, mencoba membaca ringkasan ceritanya.

“’Kyungsoo is stuck in the hours while Jongin begs the seconds, because time stops for someone who can’t remember and runs from someone who can’t miss the last train home.’

“Wow, ringkasan cerita yang keren,” komentar Sehun menggelengkan kepalanya seolah benar-benar terkesima akan sepenggal kalimat itu.

“Memang apa artinya, Sehun?” tanya Jongin.

“Tidak tahu.”

Ya Tuhan, beruntunglah dia adalah anggota termuda, mungkin kalau dia ada di posisi Jongin, semua orang akan memukulnya dan menyiramnya dengan air panas.

“Kris hyung, tolong lanjutkan,” pinta Jongin dan Kris pun lanjut membaca.

“Jadi…ceritanya adalah Jongin merupakan seorang novelis yang sekarat oleh penyakit pneumonia, lalu dia bertemu dengan Kyungsoo yang mengidap penyakit anterograde—penyakit ingatan jangka pendek. Jongin mencintai Kyungsoo, namun bukannya Kyungsoo tidak bisa  mencintainya balik, melainkan dia akan melupakan Jongin di keesokan harinya.”

“Tsk. Tragis.” Jongdae bersuara.

“Ini pasti fanfiction yang sangat menyedihkan.” Xumin menambahkan.

“Tidak, ini yang dinamakan romansa bittersweet, iya kan, hyung?” Jongin tersenyum pada Kyungsoo, lagi-lagi sebuah tatapan datar yang dia dapatkan.

Baekhyun menggosok hidungnya yang gatal dan berkata, “Aku bertaruh pasti Jongin mati di akhir cerita.”

“Hei!” Jongin mulai protes. (Well, itu benar, Jongin). Tapi Jongin menyadari sesuatu dan melemparkan sebuah kenyataan pahit yang segera ditelan bulat-bulat oleh Baekhyun.  “Setidaknya aku tidak berpacaran dengan robot.”

Baekhyun benar-benar ingin memukulnya.

“Sssttt…tenang semua. Aku menemukan fanfiction Hunhan di sini.”

Sontak semua orang bersiul-siul sambil melirik kedua orang yang tengah saling bersandar di kursi belakang. Sehun tidak merespon apa-apa, hanya berkata, “Apa?”

Dan ini pun semakin seru.

“Judul ‘Reasons Why Luhan is Perfect’, ugh, apa yang penulisnya pikirkan saat memberi judul? Memangnya Luhan sempurna?” erang Kris kesal.

Luhan di belakangnya tertawa puas, “Terima saja kenyataan bahwa sampai di fanfiction pun aku juga dikisahkan sebagai makhluk sempurna. Aku memang sempurna, Kris.”

“Terserah.” Kris kembali membaca karena semua orang memintanya. “Komentar dari orang-orang adalah ‘wah, cerita yang manis dan fluff, aku suka Hunhan couple. Mereka jjang! Oh, mereka juga bilang ‘andaikan pairing ini nyata dan menikah, aku akan menjadi orang paling bahagia di dunia’. Hei, mereka berlebihan!” (kau tidak mengerti perasaan fans, Kris)

“Intinya, cerita ini mengisahkan tentang Luhan yang menumpang tinggal di apartemen Sehun, lalu yeah mereka jatuh cinta karena Sehun menemukan beberapa alasan mengapa Luhan sangat sempurna di matanya. Astaga.”

“Ganti, ganti! Cari fanfiction yang lebih seru dari itu,” ujar Jongin bosan (atau sebenarnya dia ingin Kris menemukan fanfiction Kaisoo lagi?)

“Hei, tunggu. Dari tadi kau terus yang mencari dan menemukan fanfiction dengan pairing orang lain, sementara kau tidak membaca cerita yang bersangkutan denganmu.” Sial, kupikir tidak ada yang menyadarinya, batin Kris melirik sebal pada Xiumin.

“Ya, Xiumin hyung benar. Kau curang, Kris-ge!” kata Chanyeol menunjuk Kris seenaknya. Lalu aksi dorong-mendorong terjadi. Kris berhasil disingkirkan dari kursi dan kini Xiumin lah yang berhasil menduduki tahta itu. Dia yang sekarang berkuasa dan bahasa inggrisnya pun tidak terlalu buruk.

“Jadi, apa yang harus kucari?”

Fanfiction tentang Kris-ge tentunya,” jawab mereka bersamaan.

“Baiklah,” Xiumin memegang mouse laptop dan meng-scroll ke bawah daftar rekomendasi fanfiction itu. “Kris…Kris…Kris—ah, aku menemukannya! ‘Be Human’, pairingnya adalah Taoris.”

Tanpa disuruh atau mungkin syaraf tertawa mereka tergelitik cukup keras, maka mereka tertawa sampai-sampai Kyungsoo jatuh di karpet menimpa Baekhyun. Well, mereka sungguh tidak bisa membayangkan akan seperti apa cerita Taoris ini, karena jika dilhat-lihat keduanya sungguh manly. Siapa yang jadi tokoh si lemah dan mirip wanita kalau seperti ini situasinya?

“Dasar menyebalkan.” Hanya itu yang bisa Kris katakan dan setelah semuanya tenang, Xiumin membacakan ringkasan ceritanya.

Fanfiction ini bercerita tentang Kris sebagai robot yang dipesan oleh Tao karena rasa sepi yang menderanya. Tao jatuh cinta pada Kris, namun dia tidak bisa menerima kenyataan bahwa Kris adalah robot. Robot tak bisa jatuh cinta, robot tak punya hati. Tapi disatu sisi yang Tao tidak ketahui, Kris mencintainya.”

“Ya Tuhan, itu sangat menyedihkan,” Junmyeon menutup mulutnya dengan mata berkaca-kaca.

“Junmyeon hyung, demi Tuhan, jangan menangis lagi. Kau bahkan belum membaca ceritanya secara keseluruhan,” kata Jongin menyodorkan tisu. Um, Junmyeon memang sedikit sensitif belakangan ini. Kenapa mereka tak mau mengerti?

Xiumin menggumam perlahan, “Ya, Junmyeon benar. Ini menyedihkan dan—“

“Apanya yang menyedihkan?” potong Baekhyun setengah tertawa. “Ini lucu karena aku tidak bisa membayangkan Tao menangis dan Kris hanyalah sebuah robot yang kaku haha—“

“Jangan senang dulu, Baek. Kau tidak tahu kalau ini adalah side story dari ‘Absolute Chanyeol’. Tao memesan robot Kris karena dia patah hati olehmu.”

“Apa?? Oh, tidak! Kenapa aku harus terlibat juga di sini?” Baekhyun menutup wajahnya yang sedih dan berpura-pura menangis (atau dia benar-benar menangis? Entahlah)

Kemudian Xiumin mencari dan mencari dan mencari lagi ke halaman berikutnya, sampai dia bertemu dengan fanfiction berjudul 48 hours disertai beberapa emoticon seperti ‘hati’, ‘ekspresi menangis’, ‘ekspresi berteriak’, lalu ada tiga hingga empat poster gubahan fans yang sedikit seram tapi menimbulkan efek keren, terutama pada gambar Kris.

“Woah, apa ini? Sepertinya keren. Tunggu—genre-nya adalah thriller, romance, friendship.  Pairing OTP12, fokus pada Krislay. Apa-apaan ini? Kenapa kau dipasangkan dengan semua orang?” ucap Xiumin menatap Kris yang duduk di lantai.

“Sudah kukatakan, aku ini shippable.”

Xiumin pun kesal mendengarnya dan terpaksa memutar kedua bola matanya. Tapi fanfiction ini sungguh menggugah, maka itu dia tetap membacakan ringkasannya.

Fanfiction ini mengisahkan tentang grup EXO yang terjebak di sebuah rumah bernama white paradise dan dalam empat puluh delapan jam hanya satu orang yang akan selamat. Wow, guys, ini mengerikan. Maksudku, kita saling membunuh di sini dan—“ Xiumin membaca chapter bagian akhir dimana Kris mencium Lay sebelum membunuhnya dan Kris adalah satu-satunya orang yang selamat.

“KAU MENCIUM YIXING-GE? UGH, MENJIJIKAN!!” pekik Baekhyun dan Sehun bersamaan.

“Dan dia membunuhnya selagi menciumnya,” timpal Xiumin tak memperbaiki keadaan.

“KAU MENCIUM YIXING-GE DAN MEMBUNUHNYA? KAU SADIS!!”

Hufth, kautahu, ini harus segera dihentikan sebelum semua anggota EXO pingsan dan muntah-muntah hanya karena membaca fanfiction. Kris segera beranjak dari tempatnya dan mengusir Xiumin—mengambil alih tempatnya kembali—lalu dia mematikan laptop.

“Sudah, sudah. Itu hanya cerita fiksi, oke? Respon kalian terlalu berlebihan.” Kris membawa masuk laptop dan mungkin sehabis ini dia akan tidur mengingat mereka tak punya jadwal hari ini dan yang terpenting adalah…Kris harus bisa melupakan bayang-bayang dia mencium Lay sambil membunuhnya. Ah, ya ampun.

“Aku tidak bisa membayangkan diriku jadi robot,” gumam Chanyeol mengunyah roti di mulutnya. “Dan berpacaran denganmu, Baek!”

“Kau pikir aku bisa membayangkannya? Ternyata fans sangat gila dalam hal menulis fanfiction,” balas Baekhyun pahit.

“Fans tidak gila. Fans sangat manis dan lovable. Mereka membuat fanfiction super manis untuk pasangan Hunhan,” sahut Sehun dari dalam kamar mandi.

Baekhyun hanya bisa menghela napas, “Itu karena Hunhan couple memang tidak ‘normal’.”

“Tapi entah mengapa aku merasa jika semua fanfiction itu dijadikan film akan sangat keren,” kini Tao bergabung bersama mereka. Lalu mereka menghabiskan waktu di ruang tengah dengan membahas ini itu tentang fanfiction, tentang darimana para fans mendapatkan ide seperti itu atau mengapa fans tidak memasangkan mereka dengan pemeran wanita.

 

Yeah, mereka tak mengerti perasaan fans.

 

Mereka tak lagi membaca fanfiction hari itu dan berhenti membahas mereka, namun Kyungsoo—jujur saja—penasaran dengan fanfiction berjudul 48 Hours, maka dia mencarinya di ponsel dan membaca satu chapter setiap sebelum tidur.

 

Dan dia menemukan satu kutipan manis dan bermakna dari fanfiction itu.

 

“Hyung, kau membacanya? Apa benar itu menjijikan?” tanya Jongin penasaran di suatu malam. Dia merangkak ke tempat tidur Kyungsoo dan menyelipkan tubuhnya di bawah selimut.

Kyungsoo terdiam sejenak mendengar pertanyaan itu. “Um, terlepas dari kiss-scene itu, well, aku berpendapat bahwa ceritanya menarik dan penulisannya memukau. Itu cukup menghibur.”

Jongin tak bertanya lebih jauh lagi dan senang ketika Kyungsoo membiarkannya tidur di kasurnya. Jongin menutup mata, bersiap tidur, lalu tiba-tiba dia bertanya, “Hyung, mengapa fans sangat tertarik pada kita sampai-sampai mereka membuat fanfiction, sebuah khayalan tingkat tinggi yang dituangkan ke dalam tulisan? Sampai kapan mereka akan terus berbuat seperti itu? Apa mereka tidak bosan?”

Sesungguhnya, Kyungsoo juga mempertanyakan hal itu jauh di dalam lubuk hatinya, namun dia mengingat kutipan dari fanfiction 48 Hours dan menyampaikan kalimat itu sebagai jawaban atas pertanyaan Jongin.

 

It stops when you falling in love.”

 

Ya, fans akan berhenti menulis tentang kisah EXO jika mereka telah jatuh cinta. Menemukan pasangan yang lebih pantas untuk dijadikan objek menulis.

 

“Selamat malam, Jongin. Mimpi yang indah.”

 

***

“Hei, Jongdae. Kau belum tidur?” tanya Junmyeon mendapati Jongdae masih berkutat di ruang tengah bersama laptop. Apa yang dia lakukan?

“Um…um…aku…membaca fanfiction.”

“Oh…”

Jongdae tertawa kecil, “Aku…iseng mencari fanfiction tentangku dan—“

“Dan?” alis Junmyeon terangkat, dia pun melangkah ke arah Jongdae, duduk disebelahnya dan melihat apa yang dibaca Jongdae. “’Porcelain’?”

“Ya…orang-orang bilang ini fanfiction yang bagus, jadi…aku membacanya.”

“Memang siapa pairing-nya?”

 

.

.

.

.

.

.

.

.

.

 

“B-bagaimana, k-kalau kita tidur, hyung? I-ini sudah malam.” Jongdae segera menutup laptopnya dan berlari ke kamar. Aneh.

 

Junmyeon bingung. “Padahal aku mau membacanya.”

 

 

THE END

A/N:

I don’t even know why I write this (/.\) but someone called kak nisa, give me this picture.

 

Why you do this to me, kak?? Hahahaha xD

and go go go to my Recommended Fics (if you want to) I updated some and I added the STRAIGHT fic YEAY!!

Goodnight and see ya!!! Tomorrow, I have a big surprise for you who wait this fic too long :) can you guess what is this?



The Great Escape

$
0
0

the great escape

Title:

The Great Escape

Cast: Chanyeol [EXO-K], OC [Yejin] // Genre: Slight!comedy, romance, fluff // Length: >2000w // Rating: PG

Recommended Song: Boys Like Girls – The Great Escape

Summary:

Park Chanyeol mengajak gadis itu kawin lari seperti mengajaknya pergi ke swalayan

A/N:

Prequel to A Bunch of Baby [Chanyeol the Goofball Appa]

This is how Park Chanyeol met Monggyu’s mommy :)

 

 

***

 

Menurut Kim Yejin, bertemu dengan laki-laki bernama Park Chanyeol adalah hal ter-random dalam hidupnya. Namun, tak disangka ternyata setelah melewati proses yang dinamakan jatuh cinta pada pandang pertama, mata saling terpaut dan seminggu kemudian Park Chanyeol menciumnya di ulang tahun Kim Yejin yang ke-18, lalu mereka resmi berpacaran…

Park Chanyeol penuh kejutan.

Jalan hidupnya tak dapat ditebak. Bisa dikatakan dia adalah makhluk paling absurd di dunia karena hari ini dia bisa menjadi bahan tertawaan teman-teman band-nya, lalu keesokan harinya dia yang menjadikan Baekhyun –sang vokalis Band Al Capone—sebagai lelucon paling sadis seantero.

Park Chanyeol hidup tanpa rencana, dia bahkan tak pernah memikirkan hari esok, karena menurutnya manusia akan cepat tua jika terus-menerus memikirkan hidup ini. Oh, tapi dia tak sepenuhnya benar, seperti saat mengajak Yejin sang kekasih menikah 3 tahun kemudian.

Tanpa rencana, tanpa pemikiran panjang.

Saat itu malam hari pukul 12. Yejin selalu membiarkan jendela kamarnya terbuka agar Chanyeol dapat masuk dan mereka bisa berbagi tempat tidur karena gadis itu punya kesulitan untuk tidur setiap malamnya, dan Chanyeol dapat membantunya.

Namun, kala itu dia benar-benar tidak membantu, malah membuat Yejin terjaga sepanjang malam.

“Yejin.”

“Hm?”

“Ayo kita menikah.”

“Apa??”

Yejin membelakkan kedua matanya lebar-lebar, meski dalam kegelapan dia dapat melihat jelas wajah Park Chanyeol beserta cengiran idiotnya itu. Jantung gadis itu seperti terkena serangan kecil.

“Menikah?”

“Iya, menikah.”

Park Chanyeol mengajaknya menikah seperti mengajak pergi ke swalayan. Ah, Yejin pasti lupa bahwa ini Chanyeol si manusia absurd yang tak bisa menahan ke-spontanitasannya untuk tidak membuat orang lain jantungan.

Yejin menatapnya tak percaya, “Kau serius?”

Ya, apa dia serius? Mereka baru berumur 21 tahun. Polos sih tidak, tapi bukankah mereka masih terlalu muda untuk hal itu?

“Iya, kau tidak dengar betapa seriusnya aku, hah?”

Gadis itu mengerutkan dahinya, menopang kepalanya dengan tangan sembari menatap sosok yang berbaring di sebelahnya. “Menikah? Jangan bercanda, Park Chanyeol. Kau kira gampang?”

“Memang apanya yang sulit?” gumam Chanyeol balik bertanya.

Yejin tak perlu lima detik untuk menjawab pertanyaan itu karena apa Chanyeol anak berumur 10 tahun yang tak tahu apa-apa soal ini? Dia pasti bercanda.

“Kau harus punya rencana, Yeol. Rencana yang sangat panjang.”

Screw that shit, Kim Yejin.”

Hanya bisa memutar kedua bola mata dan berdecak, Yejin kembali merebahkan kepalanya di bantal dan bermain-main dengan rambut Chanyeol yang mulai memanjang. Dia setengah mengantuk saat dirinya hanyut ke dalam topik ini, namun terlalu sadar untuk menanyakan setiap detilnya.

“Memangnya kau punya uang? Menikah butuh banyak uang, Chanyeol.”

Chanyeol mendengus, “Aku punya banyak uang di lemari dorm. Tabunganku—”

“Bagaimana dengan pekerjaan? Apa kau punya pekerjaan tetap?”

“Hei, aku adalah gitaris Al Capone yang keren dan selamanya akan begitu. Menjadi gitaris adalah pekerjaan tetapku.”

Yejin mengangguk. Menerima kenyataan itu semudah dia menyisir rambut Chanyeol yang kusut dan menyisipkannya di belakang telinga agar Chanyeol dapat mendengar perkataannya kali ini baik-baik.

“Apa yang akan kau katakan pada bibi dan pamanku? Kau tahu mereka seperti apa.”

Ya, Kim Yejin memang tidak tinggal dengan orang tuanya yang telah lama meninggal juga terpisah dengan kakaknya yang berada di Daegu, alih-alih tinggal bersama paman dan bibinya yang (menurut chanyeol) membencinya setengah mati dan berharap Yejin menghilang dari rumah mereka.

Chanyeol tertawa pelan dan berkata, “Hey guys, I want to marry your fucking nephew. Can you fucking allow me to do that shit?”

Satu pukulan mendarat di kepala Chanyeol dan pria itu mengerang sambil tertawa geli. Yejin mau tak mau juga ikut tertawa dan dia bersumpah sesungguhnya dia tak mau tertarik dalam pembahasan ini, tapi entah mengapa ini terasa nyata. Bukan sebuah permainan belaka.

“Kau tidak bisa mengatakan itu pada mereka, idiot. Mereka tidak akan mengijinkanmu.”

Chanyeol menghela napas pelan dan menggaruk hidungnya, “Kalau begitu tidak usah minta ijin. Aku akan membawamu kabur.”

“Maksudmu kawin lari?”

“Yap!” Chanyeol tiba-tiba menepuk tangannya cukup keras dan dilihat dari kedua matanya yang berbinar-binar, Yejin tahu sebuah pemikiran absurd telah menabrak kepala kekasihnya.

“Ya, kita kawin lari, Kim Yejin! Kita tidak butuh ijin dari bibimu. Tidakkah kau lihat bagaimana mereka memandangmu? Mereka membencimu, babe! Kita tidak perlu mengeluarkan undangan mewah yang disebar-sebar. Kita tidak butuh gedung pernikahan, kita tidak butuh—oh, oh!” Chanyeol begitu bersemangat. “Gaun! Kau tidak perlu pakai gaun super panjang seperti Lady Diana. Cukup pakai kaus dan celana jins. Lalu aku akan pakai kemeja kotak-kotakku. Wow! Itu keren! Pernikahan kita akan sangat keren!”

Yejin memandang Chanyeol aneh. Dia tidak tahu bahwa ada pernikahan macam itu. Apa-apaan menikah pakai kaus dan celana jins? Tidak menyewa gedung? Lalu mau dimana mereka mengucapkan sumpah setia itu? Tidak ada undangan? Lalu siapa yang akan jadi saksinya? Tidak butuh ijin bibi dan pamannya? Chanyeol bisa dituduh menculik Yejin!

Ini gila.

Gila adalah ketika Yejin nampak kehilangan kata-katanya. Chanyeol begitu aneh dan sinting dalam mengumbar semua isi kepalanya. Tapi cinta itu juga gila. Mereka menghancurkan sebagian akal sehatmu, membakar separuh jiwamu dan memakan semua kepintaranmu.

Dan Yejin mencintai Chanyeol.

Gila adalah ketika Yejin menganggap ini hal yang serius dengan menanyakan tentang cincin pernikahan mereka.

“Kalau kau mau menikahiku, kau harus melamarku lebih dulu. Sekarang dimana cincinnya?” tanya Yejin menadahkan tangannya ke arah Chanyeol sementara pria itu hanya melihat kosong tangannya.

“Cincin? Aku…belum membelinya.”

Lagi-lagi Yejin harus memukul kepalanya dan betapa bodoh dia menganggap Chanyeol benar-benar akan menikahinya. Tapi setengah dirinya masih sangat berharap bahwa ini nyata, bukan sekedar bualan.

“Kalau begitu beli. Lamar aku dengan cincin.”

“Tapi aku tidak punya uang.”

“Katanya kau punya uang di dalam lemari dorm.”

Chanyeol terdiam, mulutnya terkatup rapat selagi dia berpikir dan dia ingat bahwa nominalnya tidak cukup tinggi untuk membeli sebuah cincin.

“Berarti kau harus menjual gitar kesayanganmu seperti Kris menjual drum-nya demi melamar Kinsey—”

“Enak saja! Aku membelinya susah payah dan sampai mati aku tidak akan menjual gitarku!”

“Kalau begitu aku tidak jadi menikah denganmu. Adios, Park Chanyeol.” Yejin membalikkan tubuhnya menghadap dinding sementara punggungnya bertemu Chanyeol. Dia bisa merasakan aura kekecewaan menguar dari tubuh kekasihnya. Itu membuat Yejin tersenyum.

Lalu tak lama kemudian, Yejin mendengar suara berisik di belakangnya, terdengar seperti Chanyeol sedang mengaduk-aduk isi laci mejanya, mencari sesuatu apapun itu dan kembali ke tempat tidur sebelum menepuk punggung Yejin.

“Apa—”

Belum juga Yejin menyelesaikan pertanyaannya, Chanyeol sudah menyematkan sesuatu di jari manisnya. Dia bersorak, “Aku melamarmu!”

Yejin segera mengambil ponsel, menyalakan layarnya agar bisa melihat benda apa yang ada di jarinya (yang pastinya bukan cincin) dan setelah menemukan benda apa itu, Yejin melepasnya kemudian menghempaskannya ke wajah Chanyeol.

“Hei, itu cincin pernikahan kita!”

“Mana ada cincin terbuat dari kawat?!” Yejin kembali berbalik memunggungi Chanyeol dan menutup matanya. Kini dia benar-benar mengantuk, berbicara dengan Chanyeol memang menghabiskan tenaga. “Pulanglah, Yeol. Aku mau tidur.”

Yejin tidak bermaksud mengusirnya dan menyudahi ini semua. Entah makhluk apa yang merasukinya, membuat dirinya berharap—sangat, sangat, sangat, sangaaaaaaatt berharap Chanyeol tidak akan menyerah, karena…

Yejin siap menikah dengan Chanyeol atau lebih tepatnya…dia siap kawin lari bersama Park Chanyeol, si manusia paling absurd—si bodoh ini.

 

 

***

 

 

Yejin ingat.

 

Pria yang sedang dia pacari ini namanya Park Chanyeol. Seseorang dengan tinggi 185 cm, tampan, berambut cokelat dan sedikit panjang, senyumannya lebar juga menawan, pemain gitaris band underground yang cukup terkenal dan jatuh cinta padanya terasa melewati oasis di padang gurun (perumpamaan yang aneh).

Dan pria ini punya filosofi bahwa hidup tak seharusnya datar dan lurus layaknya jalan tol. Hidup itu harus penuh sensasi, kontroversi, hal-hal tak terduga, spontanitas, ke-absurd-an, ke-random-an, dan kejutan.

Dan ini adalah salah satu kejutan yang paling tak terduga, paling kontroversial, absurd, random, dan menimbulkan sensasi panas dingin di sekujur tubuh ketika hari minggu malam—Yejin menemukan Chanyeol mengetuk jendela kamarnya dan dia berdiri di balkon seraya mengeluarkan cincin dari dalam kantung jaketnya.

 

“Menikahlah denganku.”

 

Chanyeol tak menyerah.

 

Gadis berambut panjang itu melongo, menutup mulutnya sebelum rahang itu jatuh ke lantai karena dia kini benar-benar tidak percaya dengan apa yang dia lihat. Saking tidak percayanya hingga dia ingin mendorong jatuh Park Chanyeol ke tanah di bawah sana.

“Apa ini emas betulan?” isak Yejin.

“Tentu saja,” jawabnya sedikit tidak senang. Antara bangga dan kesal.

Tapi Yejin seketika itu berhenti menatap cincin itu dan bertanya was-was, “kau dapat uang darimana?” Yeah, karena baru saja kemarin Chanyeol bilang dia tidak punya uang dan sekarang dia bisa membeli cincin atau…

Chanyeol menjual gitar kesayangannya demi melamar Yejin?

“Aku menjual diri untuk membeli cincin itu. Puas?” cibir Chanyeol membuat senyuman di wajah Yejin menghilang. Gadis itu tidak lagi terharu. “Kau tidak membiarkanku masuk?” tanya Chanyeol yang masih berdiri di luar.

Lalu ketika dia melompat ke dalam kamar Yejin, sekali lagi Chanyeol membuat sebuah kejutan dan Yejin rasa dia seharusnya mulai terbiasa dengan semua ini sebelum dirinya terserang penyakit jantung berulang-ulang kali.

“Ayo kemasi barang-barangmu. Besok kita menikah.”

Yejin tak punya waktu untuk menyerap, menerjemahkan, mengolah perkataan itu. Inilah yang dia mau, yang dia impikan selama ini. Seseorang akan membawanya kabur dari rumah paman dan bibinya, lalu Yejin akan bahagia. Tapi yang tak dia sangka dan bayangkan adalah bahwa orang itu bernama Park Chanyeol.

Semua barang-barangnya dia masukan ke dalam koper besar; baju, buku-buku, foto-foto. Dan tiba-tiba sebuah pemikiran yang sebenarnya sangat penting untuk dipikirkan adalah dimana mereka akan tinggal setelah menikah pun muncul.

“Kita pergi ke rumah paman Kris. Dia punya satu flat kecil yang bisa kita tinggali,” kata Chanyeol memasukkan sepatu kets Yejin ke dalam koper. “untuk sementara sih. Kalau kita di usir, kita bisa tinggal di dalam mobil.”

Lalu hening, mereka sibuk berberes sebelum Yejin kembali bertanya.

“Yeol.”

“Apa?”

“Bagaimana jika kita punya anak?”

Damn, Kim Yejin—” Chanyeol menjatuhkan charger ponsel ke lantai. “—haruskah kita membicarakan ini sekarang? Hell! Kita sedang diburu waktu.”

“Oke, baiklah, baiklah.”

Yejin tidak lagi mengungkit masalah itu karena dia lebih sibuk menulis pesan singkat di kertas—sekedar formalitas, lalu dipikir-pikir kembali mungkin paman dan bibinya tidak akan peduli bahkan bersyukur atas kepergian dirinya yang terlalu tiba-tiba, jadi gadis itu merobek suratnya dan memutuskan untuk tidak meninggalkan apa-apa.

 

Hidup penuh kejutan, bukan?

 

Pasti paman dan bibinya akan terkejut menemukan Yejin tak lagi di kamarnya.

 

 

***

 

 

Pesta pernikahan Kim Yejin dan Park Chanyeol merupakan pernikahan paling sederhana di muka bumi.

Tidak ada gedung mewah, hanya ada studio musik tempat band Al Capone berlatih (yang telah disulap sedemikian rupa oleh Lay, teman mereka yang suka mendekorasi ruangan). Tidak ada altar, hanya ada beberapa bangku untuk para teman yang datang. Tidak ada champagne dan kue pernikahan, hanya ada Jack Daniel’s dan donat (yang telah disulap menjadi donat pernikahan oleh Do Kyungsoo, teman mereka yang suka memasak).

Yejin tidak memakai kaus (hell, orang bodoh mana yang memakai kaus di pernikahan mereka), dia juga tidak memakai gaun putih super panjang seperti milik mendiang Lady Diana. Yejin hanya memakai mini dress warna putih sederhana, pita di rambutnya yang terurai bebas dan dia sangat cantik membawa seikat bunga lili.

Chanyeol tidak memakai kemeja kotak-kotaknya (tentu saja!). Dia meminjam jas Kris yang warnanya hitam dan kemeja putih milik Tao. Dasi kupu-kupunya sedikit miring dan dia tidak memakai pantofel, melainkan sneakers converse bututnya.

“Park Chanyeol, apa kau menerima Kim Yejin sebagai istrimu dalam susah—”

“Ya, ya, ya, aku menerima Yejin sebagai istriku dalam susah maupun senang. Aku akan jadi suaminya, ayahnya, ibunya, kakaknya, saudaranya, tetangganya. Semuanya yang membuat Yejin bahagia. Terserah oke? Sekarang apakah aku boleh menciumnya?”

Kris sebagai saksi pun tersenyum meminta maaf pada sang pendeta karena betapa kurang ajarnya Park Chanyeol memotong perkataan pendeta.

Kris pun hanya bisa memijat pelipisnya yang berdenyut sambil bergumam sendiri, “Ya ampun, Chanyeol. Ini kan acara sakral.”

Lalu acara selanjutnya adalah melempar bunga (Tao yang mendapatkannya. Ah, apakah ini berarti Tao akan segera menyusul mereka?), kemudian memotong donat pernikahan, berdansa sebentar, dan Chanyeol harus berterima kasih pada Sehun karena telah mengubah mobil bututnya menjadi mobil pernikahan yang penuh pita dan ada tulisan ‘Just Married’  yang menempel di bumper kaca depan mobil.

“Terima kasih, semuanya! Aku mencintai kalian! Sampai jumpa!” seru Chanyeol sebelum dia menginjak gas dan mobil mereka melaju—menjauh dari kerumunan para temannya yang melambaikan tangan.

 

Hidup Park Chanyeol dan Kim Yejin pun di mulai. Sebuah petualangan seru menunggu mereka, entah kejutan apa yang akan mereka temui di ujung jalan karena mereka memulai semuanya tanpa rencana, tanpa pemikiran panjang. Hanya berbekal sedikit uang, mobil butut, musik yang mengalun lewat radio dan…

 

Cinta.

 

“Aku mencintaimu,” kata Yejin seraya bersandar pada bahu Chanyeol.

Chanyeol pun tersenyum.

I love you too, sweetie.

 

 

***

 

“Chanyeol.”

 

“Ya?”

 

“Kali ini aku serius dan tolong jawab aku dengan sangat serius.”

 

Mereka sedang makan di McDonald—pukul 2 pagi—setelah pesta pernikahan. Chanyeol berhenti mengunyah burgernya dan hampir tersedak setelah mendengar pertanyaan ini meluncur dari mulut Kim Yejin.

“Bagaimana kalau nanti aku hamil dan kita punya anak?”

Chanyeol terbatuk-batuk dan menyapu air mata dari sudut matanya. Dia terdiam sejenak dan kembali makan, “Kalau itu terjadi ya sudah apa boleh buat.”

“Bukan itu maksudku. Maksudku, apa rencanamu ke depan?”

Satu helaan nafas lelah dan Chanyeol meletakkan burgernya di piring. “Kau mau aku menyusun rencana?”

Yejin mengangguk.

“Baiklah, ini dia rencananya.” Chanyeol berdeham sekali kemudian dia kembali berbicara.

“Kau akan hamil dan kau akan memberitahuku. Lalu aku akan berteriak saking gembiranya sampai-sampai aku berlari ke studio Al Capone tanpa alas kaki. Lalu kau akan hamil sembilan bulan dan aku akan memenuhi semua permintaanmu yang macam-macam. Lalu di suatu malam kau akan mengeluh ‘Chanyeol, sepertinya aku akan melahirkan’, lalu aku akan membawamu ke rumah sakit. Kau melahirkan bayi kecil kita dan aku akan memberinya nama…Monggyu jika dia laki-laki dan Haneul kalau dia perempuan. Lalu kita bertiga pulang ke rumah dan hidup bahagia selamanya. The end.” Chanyeol melahap burgernya lagi setelah berbicara panjang lebar yang terdengar seperti rap.

“Lalu bagaimana jika kebutuhan bayi kita banyak dan kau tidak punya uang?” Oh, Yejin sedang bicara situasi terburuk.

“Beri saja rumput untuk makanannya.”

“Chanyeol, aku serius!” seru Yejin sambil melemparkan kentang goreng ke wajah Chanyeol.

“Oke, oke,” Ujar pria itu menenangkan. “Bagaimana kalau kita bicarakan itu nanti—”

“Tidak ada ‘nanti’! Pikirkan sekarang juga!”

Dan Chanyeol memikirkannya. Dia sering mendengar keluhan Luhan, temannya yang sudah lebih dulu menikah dan punya anak. Kata Luhan, susu bayi itu mahal, popok bayi itu mahal, semua kebutuhan bayi itu MAHAL dan membuatnya jatuh miskin.

O’ow, ini tidak bagus. Chanyeol menelan ludahnya selagi pikiran itu berenang dalam kepalanya.

 

“Um…bagaimana ya?”

 

Ah, Chanyeol, terkadang hidup butuh perencanaan yang baik.

 

 

THE END

 

 

A/N:

Fic lama yang sudah mengendap di handphone begitu lama dan hari ini aku selesain :) ah, random sekali ya aku hahaha

Dan aku memberikan sebuah hint untuk the next abob. Siapa yang bisa menebaknya, hm? Hahaha xD

Dan berikanlah pikiran kalian bagaimana kalo ada cowok macam Park Chanyeol begini. Kalo aku sih mau aja diajak kabur sama orang secakep dia, tapi kalo besok gak tau mau makan apa sih…aku juga mikir dua kali HAHAHAHA SEE YOU XD

 

Dan ini ada beberapa pic tambahan. Enjoy!

 

Al Capone Band Studio

 

Chanyeol’s Lovely Guitar

 

Kim Yejin’s Wedding Dress

 

The Wedding Doughnuts Created by Do Kyungsoo

 

The Wedding Car Designed By Oh Sehun

 

And, say hi to litte cutie Monggyu :)

 

 

 



The Thoughts

$
0
0

The Thoughts

 

Title:

The Thoughts

Cast: Suho [EXO-K] / You // Genre: Fluff, Romance // Length: Drabble // Rating: PG-13

Recommended Song: John Mayer – Gravity

Summary:

I didn’t know how deep his mind could really go

A/N:
Sequel to The Color of My Love

 

 

 

Menebak pikiran seseorang tidaklah mudah.

 

Kita bukan seorang mentalist, juga bukan Tuhan.

 

Betapa rumitnya otak manusia mempunyai jalan pikiran masing-masing hingga aku merasa terkadang aku tak sadar dengan apa yang kupikirkan, karena mereka terlalu banyak. Mereka terlalu sulit dienyahkan, mereka terlalu mendominasi pikiranku.

Aku memikirkan cucian yang menumpuk, aku memikirkan menu makanan yang akan kumasak besok, aku memikirkan pekerjaanku di kantor, aku memikirkan jurnalku, aku memikirkan dinding apartemen yang mulai rusak, aku memikirkan hari esok, aku memikirkan…

 

Kim Junmyeon.

 

Ketika nama itu masuk ke dalam setiap panca inderaku, aku merasa tidak ada hal lain yang perlu kupikirkan. Mungkin kah karena Junmyeon sebuah sumber pemikirkan yang menarik? Atau aku terlalu mencemaskannya? Namun, yang jelas dia menyita seluruh perhatianku.

Aku memikirkan bagaimana Junmyeon bangun setiap pagi–diliputi kegelapan pekat. Dia buta. Dunia pasti begitu abstrak–tanpa bentuk yang konkrit dalam kepalanya.

Aku memikirkan bagaimana Junmyeon dapat bertahan dalam keadaan seperti itu. Bagaimana rasanya hidup tanpa warna, tanpa cahaya, tanpa sebuah siluet asli yang dapat kau sentuh.

Aku memikirkan bagaimana Junmyeon masih dapat tersenyum bahagia di kala dia tak tahu seperti apa senyuman itu, bagaimana lengkungan di bibirnya dapat menular ke semua orang dan aku adalah salah satunya yang menikmati pemandangan itu selagi Junmyeon bercerita seru tentang lelucon di radio.

Aku juga mencemaskan dirinya saat Junmyeon memutuskan untuk berjalan-jalan di taman sendirian. Dia bilang ‘tidak apa-apa’, namun pikiranku terus saja tertuju padanya. Aku memikirkannya seribu kali lipat lebih intens daripada biasanya jika situasi ini terjadi.

Tapi di dalam hatiku, aku juga bertanya apa yang ada di kepalanya? Apa Junmyeon memikirkan sesuatu di kala senja mulai merayapi hari kami dan dirinya termenung–duduk di dekat jendela sembari menyeruput teh?

Maka tak ada salahnya aku bertanya.

 

Kami berbaring di tempat tidur setelah makan malam, mata Junmyeon tak terpejam seolah melihat lampu di langit-langit kamar dan aku mulai berujar, “Junmyeon.”

“Hm?”

“Apa yang sedang kau pikirkan?” tanyaku setengah berbisik.

Junmyeon tak langsung menjawab. Dia lagi-lagi tersenyum, “Aku memikirkan cuaca.”

“Cuaca?”

“Ya.”

Aku mendekat ke arahnya, membaringkan kepalaku di bahunya. “Ada apa dengan cuaca?”

Kemudian Junmyeon bercerita tentang cuaca besok yang dia dengar di radio. Katanya besok hujan deras, awan kelabu akan menutupi langit sepanjang hari dan dia menyarankan untuk membawa payung jika aku pergi bekerja.

“Jangan lupa bawa payung, oke? Kau bisa sakit kalau kehujanan,” gumamnya mengelus kepalaku lembut. Kuanggukan kepalaku dan dia mengerti.

“Juga jaket,” tambahnya.

“Syal?” tanyaku jahil.

Junmyeon tertawa dan berkata, “Ya, syal juga boleh.”

Kami terdiam, membiarkan lagu John Mayer mengisi kesunyian di ruangan itu. Junmyeon terlihat seribu kali lebih tampan di bawah temaram bulan yang bersinar di luar sana. Bagaimana kulitnya yang pucat sangat kontras dengan sweater warna biru gelap itu.

Dan tiba-tiba sesuatu telah mengambil seluruh udara hingga napasku tertahan ketika Junmyeon membuka mulutnya dan berbicara begitu halus, mirip bisikan.

 

“Aku juga memikirkanmu.”

 

Tanpa sadar kukepalkan tanganku di bagian sisi tubuhnya, hatiku terasa seperti disengat sesuatu kala kata-kata itu meluncur dan Junmyeon nampak begitu tenang.

“Kau memikirkanku?”

“Ya.”

Aku tak bermaksud bertanya seperti ini, namun rasa penasaranku lebih besar dari gedung perkantoran–mendesakku mengutarakannya…

“Bagaimana sosokku di pikiranmu?”

Ya, bagaimana wanita ini di dalam kepala seorang Kim Junmyeon–seseorang yang telah lama bersamanya dan sampai detik ini dia tak dapat melihat wajahku. Dia tak bisa mengatakan cantik karena definisi cantik pun nampak buram baginya. Kosong. Tak terlihat.

“Mm…aku membayangkan…kau adalah wanita yang cukup tinggi.”

“Lalu?”

“Kau punya rambut lurus sebahu, tidak terlalu panjang. Kulitmu normal, wajahmu kecil, bibirmu berwarna…merah–” Junmyeon berhenti untuk tertawa. “–aku tidak tahu warna merah itu seperti apa. Tapi, yeah, orang-orang bilang bibir itu berwarna merah jadinya…aku pikir punyamu juga begitu.”

Mendengarkam suaranya melantun ditemani alunan musik, entah mengapa itu membuatku menangis. Aku menangis dalam diam, membiarkan Junmyeon menceritakan fantasinya–khayalannya–tentangku, tanpa menginterupsinya jika ada ketidakcocokan atau kesalahan disana.

Aku membiarkan Junmyeon terus berbicara.

“Apa kau tidur?”

Aku segera menghapus air mataku dan berdeham sekali, “tidak, tidak. Aku mendengarkanmu.”

“Kau mau aku melanjutkannya?”

“Ya, lanjutkan, Junmyeon.”

Dia bilang aku punya mata yang besar dan indah. Dia membayangkan mata itu melihat segalanya yang ada di dunia, padahal dia tidak tahu bahwa mata ini hanyalah melihat dirinya. Dia bilang aku punya hidung yang mancung, tulang pipi yang cukup tinggi. Dia membayangkan bahwa aku adalah tipe wanita yang memakai flat shoes sederhana dan rok polos sehari-hari.

“Kau memakai kemeja saat pergi kerja, kau memakai kaus saat di rumah. Kau memakai dress saat kita pergi makan malam di luar.”

Junmyeon menggambarkannya terlalu sempurna.

Di dalam benaknya, aku adalah wanita sempurna.

“Bagaimana jika…aku tidak cantik dan mempesona seperti yang kau bayangkan, Junmyeon?” tanyaku memaparkan fakta itu.

Dia mengambil napas, perlahan-lahan mencari tanganku untuk digenggam dan membawanya ke pelukan yang hangat. Junmyeon selalu bersikap hangat sampai-sampai aku takut aku akan kehilangan hal itu keesokan harinya.

“Aku tahu kau cantik…”

Aku tergelak, air mata menetes dari sudut mataku. Kupikir aku terlalu terbawa perasaan, maka kugigit bagian dalam dinding mulutku agar aku tak berbicara. Tahu darimana Junmyeon bahwa aku cantik?

 

Dia tidak melihatku.

 

“…mataku memang tidak memberitahuku, tapi hatiku mengatakan kau cantik. Kau sangat cantik.”

Dia mengecup tanganku di saat aku membutuhkannya untuk sembunyikan tangisan ini.

“Dan aku percaya padanya.”

Maka aku ingat aku pernah mengatakan bahwa di saat mata tak melihat, hatilah yang merasa. Mungkin itu benar, mungkin Junmyeon mengalaminya dan dia melihatku dengan hati, bukan dengan mata.

 

Dia mencintaiku dengan perasaan, bukan pemandangan.

 

Indah adalah ketika kau merasakan seseorang mencintaimu apa adanya, tulus terasa hingga kau takut kehilangannya di kemudian hari. Terlalu sempurna hingga kau takut satu kesalahan bisa berujung fatal.

Dan Junmyeon indah.

Indah dalam hidupku.

 

“Terima kasih.” Terima kasih karena telah membiarkanku tahu apa yang kau pikirkan.

 

Itulah kata yang kuucapkan sebelum kami tidur dan menutup hari itu.

 

 

 

THE END

A/N:
Aneh adalah ketika semalem aku sakit kepala, terus dengerin lagunya John Mayer sampe pagi, trus pas bangun2 langsung kepikiran buat nulis ini /sighs/

Taulah aku random macam chanyeol gini kan <— ini minta disamain!! Hahaha /dilempar batu bata sama Monggyu/ xD

 


[!!!] SPOILER: ABOB

$
0
0

ARE YOU READY FOR THIS?

ABOB

Summary:

Dia adalah agen rahasia Wolf 88 yang menguasai 3 gerakan wushu, pistol Glock-17 adalah teman setianya, tipe pria garang yang siap mematahkan leher penjahat. Namun, siapa sangka di rumah dia hanyalah seorang ayah yang berperan sebagai Kungfu Panda bagi kedua anaknya.

 

AND…

THERE WILL BE A GUEST STAR!

MR.XXX

WHO IS HE??

SEE YOU AROUND ON SATURDAY, AUGUST 10 2013


A Bunch of Baby [Tao the Kungfu Panda Appa]

$
0
0

hfi-abob-3


Title:

A Bunch of Baby [Tao the Kungfu Panda Appa]

Cast: Tao [EXO-M] // Genre: Action, Comedy, Family, Friendship // Rating: G

Recommended Song: SHINee – Why So Serious?

Summary:

Dia adalah agen rahasia Wolf 88 yang menguasai 3 gerakan wushu, pistol Glock-17 adalah teman setianya, tipe pria garang yang siap mematahkan leher penjahat. Namun, siapa sangka di rumah dia hanyalah seorang ayah yang berperan sebagai Kungfu Panda bagi kedua anaknya.

Dia adalah Huang Zitao.

Read this too :D

Kai || Chen || Luhan || Kris || Chanyeol

A/N:

This is NOT related with the previous ABOB!

Happy reading :)

 

***

 “Agen 129! Agen 129! Apa kau mendengarku? Ganti.

 

“Aku mendengarmu, agen 147. Ganti.”

 

Huang Zitao—pria berumur 25 tahun itu tentu tak pernah membayangkan dirinya bersembunyi di balik semak-semak depan gedung tinggi yang menjulang laksana tembok cina—tengah malam, dingin, namun keringat kini membasahi pakaian anti peluru yang mengekang tubuhnya. Dia bernapas perlahan, mencoba menenangkan diri dan beranggapan bahwa ini hanyalah sebuah test agar dirinya mendapat status agen resmi di Wolf 88. Hell, dia tidak mungkin menjadi agen rahasia amatir terus menerus seumur hidupnya!

 

Dengarkan aku, bodoh. Jangan bersikap gegabah. Kau tahu siapa yang sedang kita hadapi. Dia adalah Lee Hyukjae, mafia narkoba terbesar ke-dua di Korea Selatan. Ganti.

 

“Iya, aku tahu semua informasi tentangnya dan dia memasang bom di setiap lantai gedung. Ganti.”

 

Oh ya? Masa? Ganti.

 

“Iya, masa kau tidak tahu. Eh, kau lapar tidak? Ganti.”

 

Iya, aku lapar. Pacarku tidak memberiku makan tadi sore. Ganti.

 

“Kalau aku—“

 

“Huang Zitao!” seseorang memekik pelan dari belakangnya dan memukul helm hitamnya cukup keras menggunakan pistol. Tao menoleh, mendapati Jongin—sang partner—berwajah kesal, “Apa kau bergosip ria di walkie talkie? Kita sedang dalam misi!”

Tao menunjuk walkie talkie-nya, “Sehun duluan yang memulainya!” bisiknya keras.

Jongin hanya bisa memutar kedua bola matanya kesal sambil mengerang, “kenapa aku harus mendapatkan partner sepertimu?”

“Mana kutahu? Bukankah Junmyeon-hyung yang memilih—hei! tunggu aku!”

Tao buru-buru menyelipkan walkie talkie ke rompinya dan mengikuti Jongin yang tiba-tiba bergerak cepat—berlari keluar dari semak-semak dan mulai memasuki gedung. Mereka harus segera menangkap si mafia narkoba ini sebelum dia mendapatkan uang yang tersembunyi di lantai tiga gedung dan kabur menggunakan helikopter lewat rooftop.

Beruntunglah Jongin punya kemampuan berlari yang super cepat, sedangkan Tao menguasai 3 gerakan wushu. Mereka begitu cekatan seperti bayangan malam yang sulit di tangkap ketika tanpa suara Jongin berlari di lorong gelap itu dan Tao memegang pistol Glock-17 di tangannya.

Mereka berdua berhenti sejenak di belakang tumpukan kardus saat mendengar sebuah pergerakan di ujung lorong. Beberapa langkah kaki juga ikut berhenti. Sial, mereka ketahuan.

Tao menatap Jongin penuh makna, mereka berseberangan cukup jauh dan Tao berusaha mengatur napasnya. Tiba-tiba dia banjir keringat begitu mendengar suara klik pistol bergema di lorong. Mereka pasti akan melakukan baku hantam. Oh yeah, itu pasti.

Dalam satu anggukan kepala Jongin dan hitungan ketiga, mereka membalikkan tubuh dan menembakkan beberapa peluru ke ujung lorong, lalu tak ayal tembakan balasan segera meluncur ke arah mereka.

“Agen 129,” Jongin memanggil Tao. “Lindungi aku dari belakang!”

Beruntunglah anak buah Lee Hyukjae—berjumlah sama seperti mereka. Dua lawan dua tidaklah sulit untuk di taklukkan. Namun, keadaan seketika berubah jadi buruk ketika jumlah mereka semakin banyak dan terdengar suara helikopter. Sehun pun memberikan informasi lewat walkie talkie.

Agen 141, Lee Hyukjae akan segera kabur lewat rooftop. Kelompokku terjebak di lantai 9. Kami tidak bisa menahannya—

Sebelum Sehun menyelesaikan bicaranya, Jongin segera menarik Tao dan berbicara sementara tangannya masih sibuk menembak. “Kau harus pergi ke rooftop. Tangkap Lee Hyukjae sebelum dia kabur.”

“Tapi bagaimana dengan—“

“Aku urus mereka semua. Cepat pergi!”

Tanpa berpikir dua kali, Tao segera berlari menjauh dari Jongin—ke arah lift dan menelan kenyataan bahwa lift-nya rusak, itu berarti Tao harus pergi menaiki tangga darurat. Dan sekedar informasi saja, ada enam lantai yang harus dia lalui untuk mencapai rooftop. Seketika itu juga Tao merasa kesal pada Jongin.

“Sial, pantas dia menyuruhku,” erang Tao mulai menjajakki satu persatu anak tangga.

 

Tak memakan waktu yang lama, Tao pada akhirnya sampai di sana tepat ketika pria ber-jas hitam yang dikenal dengan nama Lee Hyukjae itu berjalan menuju helikopter—sendirian tanpa anak buah. Ah, syukurlah.

“B-berhenti di sana!” seru Tao terengah-engah, berlari menaiki tangga enam lantai tentu saja mengambil seluruh napasnya.

Lee Hyukjae pun berhenti melangkah, dia berbalik menghadap Tao dan pria bersurai pirang itu mengangkat sebelah alisnya.

“J-jangan…hufth…bergerak.” Tao kembali mendapatkan tenaganya dan mengacungkan pistol ke arah pria itu. Dia memperkecil jarak diantara mereka sambil terus mempertahankan posisi pistol Glock-17. Dia berhenti dan nyengir pada Lee Hyukjae.

“Tertangkap kau, Lee Hyukjae. Pintar sekali mengirim semua anak buahmu menyerang kelompok kami di bawah dan meninggalkanmu sendirian di sini. Kau tidak menyangka bahwa akan ada yang menangkapmu di sini, bukan?”

Lee Hyukjae tersenyum tipis dan mengangguk, “ya, aku tidak menyangka bahwa kau cukup pintar bisa menangkapku di sini.” Dia mengeluarkan pistol dari balik jasnya, namun Tao lebih cepat darinya dan menendang pistol itu alhasil Lee Hyukjae kembali dengan tangan kosong.

“Aku akan menghabisimu, Lee Hyukjae,” desis Tao bersiap menarik pelatuk pistolnya.

Dalam bayangan Tao melintas bahwa Junmyeon si ketua Wolf 88 akan bangga padanya, karena dia berhasil membunuh Lee Hyukjae sendirian tanpa bantuan siapa-siapa. Kemudian Tao akan sangat berterima kasih pada teman setianya—pistol Glock-17—dan mencetak kemenangan manis ini.

 

Dia menarik pelatuknya dan…

 

 

klik’

 

 

“Eh?”

 

Tidak terjadi apa-apa. Lee Hyukjae masih hidup, kepalanya tidak berlubang dan sebuah tanda tanya besar melintas di kepala Tao. Dia menarik pelatuk pistolnya lagi dan tak ada peluru yang keluar. Ah, pelurunya pasti habis setelah baku hantam tadi.

Kekerenannya berkurang 10 persen akan hal ini. Namun, Tao ingat bahwa selalu ada pistol cadangan di tasnya.

“T-tunggu sebentar!” katanya pada Lee Hyukjae seakan mafia narkoba itu adalah tukang es krim yang bisa disuruh menunggu.

Tao meraba-raba tasnya dan mengeluarkan pistolnya yang lain. Dia nyengir, sekali lagi mendesis pada Lee Hyukjae bagai tokoh film aksi.

“Aku akan menghabisimu, Lee—woah!”

Jantung Tao melompat kaget melihat pistol di tangannya dan bertanya dalam hati, sejak kapan dia punya pistol warna biru bergambar Pororo?

 

Oh, tidak! Jangan katakan ini…

 

“T-tunggu sebentar! A-aku masih punya senjata yang lainnya. Jangan bergerak satu senti pun.”

Aneh adalah ketika Lee Hyukjae menurutinya, malah bersedekap tangan dalam diam sementara menunggu Tao mengaduk-aduk tasnya dan mereka berdua kaget ketika untuk yang kedua kalinya Tao mengacungkan senjata untuk membunuh Lee Hyukjae.

“Woah! Woah! Apa ini?? Kenapa boneka Barbie ada di dalam tasku?” teriak Tao heboh segera membuang boneka itu.

Lee Hyukjae menghela napas dan wajahnya berubah menjadi sangat prihatin pada Tao. “Apa kau yakin kau agen rahasia?”

“Harusnya sih begitu, misi ini adalah ujianku untuk mendapatkan status.”

Pria itu mengangguk sembari menepuk bahu Tao. “Berarti kau harus banyak belajar.”

“Ya, tentu.”

 

 

Bukkk’

 

 

Selanjutnya yang Tao ketahui adalah matanya sakit, kepalanya pusing, seseorang pasti telah memukulnya dengan sangat keras hingga dia bisa melihat bintang menari-nari di balik pelupuk matanya.

 

***

Mimpikah dia semalam?

 

Huang Zitao membuka matanya di hari Sabtu. Awan-awan mungil berwarna putih menghiasi langit biru, para burung-burung bertengger di dahan pohon dan bersiul indah. Tao akan menikmati pagi itu dengan hati riang, tersenyum lebar sembari meregangkan tubuh di tempat tidur.

Tapi dia tidak bisa.

Tidak bisa karena semalam itu bukan sekedar mimpi ketika Tao gagal menangkap Lee Hyukjae, mendapatkan cacian dari Junmyeon sang ketua, pemecatan, lebam di mata kanannya masih terasa berdenyut saat dia bangun. Tidak ada cara untuk menikmati pagi itu.

Tao duduk di sisi tempat tidur tepat di saat Mayleen—sang istri—masuk ke dalam kamar. Dia berpakaian rapi, aroma parfumnya menguar, dan dia berdandan. Ini jarang ditemukan Tao.

“Hai, kau sudah bangun?” sapa wanita itu memasang anting di telinga.

Tao menelengkan kepalanya, “Kau mau pergi?”

“Yap.”

“Kemana?”

Mayleen menjelaskan dia akan pergi ke ulang tahun temannya, lalu berbelanja beberapa kebutuhan (yang Tao mengerti kebutuhan itu adalah bergosip dan pergi ke salon), dan dia tidak membawa kedua anak mereka pergi bersamanya.

Mayleen mengumumkannya di kala mereka berkumpul di ruang tengah, dia mencium Zhin Yin si gadis kecil berumur lima tahun, dan memberikan cubitan kecil di pipi anak laki-laki mereka yang berumur tiga tahun—Li Jun— sebelum melangkah ke ambang pintu luar rumah mereka.

“Kalian makan di restoran bersama ayah hari ini, oke?”

“Hore! Apa kita boleh makan di McDonald? Ada boneka Minions jika membeli paket Happymeal!” sorak Zhin Yin senang.

“Tentu boleh. Ayah akan mengantar kalian ke sana.” Mayleen memberikan satu kecupan lagi dan memberi kecupan lainnya untuk suaminya. Dia tersenyum sedih, dia tahu tentang pemecatan itu, maka dia menangkup wajah Tao.

“Jangan sedih. Tersenyumlah, tampan,” kata Mayleen lembut. “Kau tetap pahlawanku, Kungfu panda bagi anak-anak walaupun kau bukan agen rahasia.”

Tao hanya bisa membalas perkataan itu dengan senyuman lemah, lalu mengantar wanita itu sampai ke depan pagar. Mobil sang teman telah menunggu di luar. Mereka melambaikan tangan—Zhin Yin beserta Li Jun di gendongan Tao.

Setelah mobil itu tak kelihatan di mata, Zhin Yin menggoyang-goyangkan tangan Tao dan merajuk, “Ayah, bisakah kita sarapan di McDonald sekarang?”

“Kau mau sekarang?”

Gadis kecil itu mengangguk.

“Tidak mau menunggu sampai makan siang?”

Gadis kecil itu menggelengkan kepala. Tidak ada pilihan lain. Lagipula mendengar kata ‘Minions’, Li Jun langsung meronta-ronta kegirangan di gendongannya, seakan dia mengerti betul makhluk kuning itu. Benar-benar harus pergi ke McDonald pukul delapan ini.

“Oke, kita mandi, lalu pergi ke McDonald.” Mereka pun pergi ke dalam rumah untuk bersiap.

 

“Pa…poooyyy!!” seru Li Jun.

 

Oh, ternyata dia mengerti Minions.

 

***

Tidak seperti biasanya, hari itu Tao tidak mengeluarkan satu suara pun saat menyetir ke arah McDonald dekat rumah mereka. Pikirannya dipenuhi oleh beberapa hal yang terus saja mengusiknya.

Pertama, bayangan bagaimana wajah-wajah para agen lainnya menertawainya kemarin karena dia membawa tas yang salah saat menjalani misi. Demi Minions di film kartun Despicable Me, mengapa dia bisa meninggalkan tas kerjanya yang penuh peluru dan senjata, lalu malah membawa tas yang dia pakai sehabis tamasya bersama keluarganya? Tentu saja isinya penuh dengan mainan Zhin Yin dan Li Jun!

Kedua, suara Jongin yang bergema di telinganya. Dia ingat Jongin pernah menasihatinya walaupun pria itu lebih muda darinya. Katanya: “Percayalah padaku, suatu hari nanti kau akan kehilangan salah satu dari dua hal yang paling kau cintai. Entah keluarga, entah pekerjaanmu.

Dan hell! Kenapa hari itu datang begitu cepat? Tao belum siap menghadapinya.

Lamunan Tao pun buyar ketika Li Jun dari kursi belakang berseru, “Paaaa….pooooyyy!!” menandakan bahwa mereka sudah sampai tanpa Tao sadari. Begitu mobil terparkir, tak menunggu lama, Zhin Yin berlari keluar mobil dan menuju ke dalam restoran.

Tao memesan dua paket Happymeal untuk anak-anaknya dan seporsi kentang untuk dirinya—dia tidak nafsu makan. Semuanya terasa pahit di lidah saat hati sedih, awan mendung berada di atas kepala.

 

Jadi, di sanalah mereka duduk. Zhin Yin melupakan ayam gorengnya dan lebih terpukau oleh boneka Minions di tangannya, sementara Tao menyuapi si kecil Li Jun yang wajahnya belepotan saus tomat. Yeah, baiklah. Katakan saja dia bukan ayah yang pandai menyuapi anak. Setidaknya dia ayah yang baik ‘kan?

Eh, ‘ayah yang baik’? Tidak juga! Dia jarang sarapan bersama seperti ini, bersama anak-anaknya. Tidak sempat mencium mereka di pagi hari, menyuapi mereka, bermain dengan mereka. Ada sedikit rasa bersalah terselip di ribuan perasaannya yang buruk tentang pemecatan dari Wolf 88. Mungkin Jongin benar.

 

Mungkin inilah saatnya lebih mementingkan keluarga daripada mencoba untuk jadi agen rahasia yang hebat.

 

“Hei, tuan puteri, makananmu hampir dingin.”

 

Zhin Yin pada akhirnya melepaskan bonekanya dan mulai makan dalam diam. Sesekali dia melirik ke arah Tao dan tersenyum, giginya ompong satu. Tao tidak tahu kapan gigi gadis kecilnya dicabut.

“Kapan kau mencabut gigi depanmu?”

“Seminggu yang lalu di sekolah.”

“Kenapa kau tidak bilang ayah?” tanya Tao sedikit kecewa. Dulu waktu dia kecil, saat gigi susu pertamanya lepas, Tao langsung memberitahukannya pada sang ayah.

“Ayah ‘kan sibuk bekerja. Jarang ada di rumah.”

 

Skak mat!

 

Tao berdeham, mencoba menggantinya dengan topik lain, “Err…Bagaimana dengan sekolah, hm? Kau tidak nakal kan di sekolah?”

Gadis kecil itu membelakkan matanya lebar-lebar—lupa total dengan pembicaraan tadi, “Aku tidak nakal, yah. Percayalah. Aku murid yang baik. Aku mendapatkan lima bintang dalam seminggu, karena telah membantu guru Lee menyiram bunga di halaman sekolah dan menjadi tim medis sekolahan.”

“Oh ya?” Tao berusaha terlihat tertarik sembari menyuapi Li Jun. “Memang apa saja tugas tim medis?”

Zhin Yin menelengkan kepalanya heran. “Ayah benar tidak tahu tugas tim medis?”

“Iya, ayah tidak tahu,” katanya sok polos. Ugh, dia tahu tugas tim medis di Wolf 88 dengan baik. Bagaimana perawat di sana cantik dan terkadang Jongin juga dirinya beralasan mengeluh sakit setelah latihan menembak. Ups, jangan sampai Mayleen tahu hal ini. Ah, tapi sekarang dia tidak akan pernah pergi ke sana, iya kan?

“Baiklah, karena ayah tidak tahu. Aku akan menjelaskannya pada ayah.” Anak itu duduk tegap dan menatap Tao serius. “Pertama-tama, kami ada untuk mengobati murid-murid yang terluka karena jatuh di lapangan atau di kelas. Kedua, kami juga bertugas mengantarkan teh hangat untuk murid yang demam atau sakit perut. Ketiga, kami menjaga UKS.”

“Oh, baiklah. Kalau begitu apakah Zhin Yin bisa mengobati luka di mata ayah?” Tao menunjuk matanya yang lebam.

Zhin Yin menatapnya dengan seksama, lalu bertanya, “Apa rasanya sangat sakit?”

“Sangat sakit.”

“Berdenyut-denyut?”

Tao mengangguk cepat. Zhin Yin berpikir sejenak, “Nampaknya parah sekali.”

“Apa itu artinya tidak bisa disembuhkan?” ujar Tao kecewa.

Zhin Yin tersenyum cerah. “Tentu bisa. Kami menamakan pengobatan ini dengan nama Boo Boo Kiss. Ini bisa menyembuhkan segala macam penyakit.”

“Bisa tunjukkan pada ayah?”

Zhin Yin mengangguk dan gadis kecil itu memajukan tubuhnya ke seberang meja agar bisa menangkup wajah sang ayah. Dia mencium mata kanan Tao cukup lama, lalu dia kembali menatap Tao sambil nyengir. “Apa sudah lebih baik? Aku baru saja memberi ayah Boo Boo Kiss.”

Tidak. Tidak lebih baik, malah sama saja. Rasanya masih sakit, berdenyut seperti dia baru saja di pukul Troll (mari salahkan Lee Hyukjae!). Tapi Tao tidak mungkin tega menghapus senyuman dari wajah gadis kecilnya, maka dia berkata, “Oh, oh, apa itu? Mata ayah tidak terasa sakit lagi! Boo Boo Kiss-nya benar-benar menyembuhkan!”

Yeay! Zhin Yin menyembuhkan ayah.”

Tao tertawa sebagai respon dan mengelus kepala gadis kecilnya. “Anak ayah pintar.”

“Ciii…uummm…” Li Jun kini merentangkan tangannya lebar-lebar pada Tao. Oh, ternyata Li Jun juga mau memberi Boo Boo Kiss pada ayahnya. Li Jun pun memberi satu kecupan kecil di mata Tao (ditambah saus tomat dan nasi sebagai penghias).

“Terima kasih, Li Jun,” ujar Tao seraya membersihkan matanya dan dia bahagia.

Entahlah, hal sederhana seperti ini membuatnya tersenyum tanpa henti, bagaimana dia melihat Zhin Yin makan dengan lahap dan Li Jun memeluk boneka Minionw-nya. Saat itulah Tao menyadari mungkin tidak apa tidak menjadi agen rahasia Wolf 88, tapi dia bisa menjadi ayah yang baik bagi anak-anaknya—Kungfu Panda appa.

Lalu sebuah pikiran random merasuki kepalanya. ‘Boo Boo Kiss…jika ini adalah pengobatan untuk segala macam penyakit, berarti Zhin Yin menyembuhkan semua orang dengan Boo Boo Kiss ini dan—apa? Semua orang! Hei! Berarti dia juga mencium anak laki-laki yang mengeluh sakit?! Apa-apaan ini!

Tao baru saja membuka mulut untuk protes terhadap gadis kecilnya, namun terdengar suara kaca pecah memotongnya.

 

 

Prraaang!!!

 


Dan Tao tahu apa yang selanjutnya terjadi.

 

Suara tembakan memekakkan telinga. Dia langsung bergerak melindungi kedua anaknya dengan tiarap di bawah meja. Keadaan mulai kacau diiringi suara tembakan dan teriakan para pengunjung. Hell, kenapa hal kriminal harus terjadi di pagi yang indah (bagi Tao) saat dirinya sedang bersenang-senang dengan kedua anaknya?! Tidak adil!

Namun, Tao segera menghapus segala macam pikiran itu—lebih tepatnya blank, karena dia baru saja melihat para pria bersenjata masuk ke belakang meja counter dan mengambil seluruh uang di kasir. Dan yang terpenting di sini adalah mereka memakai baju hitam dengan lambang jaguar di punggung mereka.

 

Anak buah Lee Hyukjae!! Apa yang mereka lakukan di sini?

 

Emosi. Marah. Benci. Dendam. Semuanya berkumpul jadi satu dan Tao ingin segera keluar dari bawah meja lalu memukul mereka satu persatu.

Ya, dia akan melakukannya dua detik kemudian. Namun, satu tangan kecil memegang tangannya—menahannya dan Tao ingat dia sedang bersama kedua anaknya.

“Ayah…”

 

Tao dilema.

 

Dia harus mengejar Lee Hyukjae, tapi bagaimana dengan anak-anaknya?

 

“Ayah, aku takut,” suara kecil Zhin Yin melantun di tengah-tengah tangisan Li Jun yang keras. Tao menggigit bibirnya. Dia mengambil sebuah resiko besar dalam hidupnya, terkadang dia bisa juga jadi gila jika di bawah situasi yang terlalu menekannya.

“Jangan takut, sayang. Ayah bersamamu. Sekarang dengarkan ayah baik-baik. Kita akan pergi ke mobil—“ ugh, Mayleen akan membunuhnya jika tahu hal ini. “—dan kita akan bermain sebuah permainan bernama ‘tangkap penjahat Lee Hyukjae’. Ini permainan yang seru, Zhin Yin, percayalah pada ayah. Oke?”

Zhin Yin mengangguk cepat. Dia tidak tahu bahwa permainan itu nyata, mereka akan sungguh-sungguh menangkap Lee Hyukjae, dan ketika ada kesempatan, Tao mengendap-endap dari balik meja-meja bersama kedua anaknya, pergi keluar menuju mobil dan beruntunglah mereka sampai dengan selamat.

Tao segera memasang seatbelt pada kedua anaknya. Sepintas Tao melihat seorang pria ber-jas hitam masuk ke dalam mobil, berambut pirang, dan wajahnya tirus. Tidak salah lagi itu adalah Lee Hyukjae. Hal itu pun membuatnya menggeram pelan sembari menancap gas mengikuti mobil Lee Hyukjae.

“Pegangan yang erat, anak-anak.” Seringai menghiasi wajah Tao. Dia melirik pistol Glock-17 di dashboard dan siap beraksi bersama kawannya itu.

 

“Kita akan menangkap Lee Hyukjae.”

 

***

Ini bukan film aksi.

 

Tao bukan pemain film. Tentu saja.

 

Jadi saat dia berpikir ini akan seperti film-film aksi yang penuh kejar-kejaran dan tembak-tembakan layaknya film James Bond, dia pun salah besar. Dan ini adalah kesalahan keduanya.

Singkat cerita, beberapa menit yang lalu dia hampir saja mendekati mobil Lee Hyukjae—bersiap membuka jendela dan menembakkan peluru dari pistol kesayangannya. Setidaknya dia bisa memecahkan ban mobilnya atau merusak bumper-nya, tapi Tao tidak cukup dekat maka dia mengambil jalan pintas di samping gedung dan ternyata…

 

Dia malah terjebak macet.

 

“Ayah, apa kita tidak jadi bermain ‘Menangkap Penjahat Lee Hyukjae’?” cicit Zhin Yin menatap ayahnya yang sedang mempertemukan kepalanya dengan stir mobil berulang kali.

Tao memandang nanar lampu merah di depan sana. Masih 123 detik lagi sebelum lampu hijau. Dasar Huang Zitao bodoh!

“Ya, kita…tetap bermain permainan itu. Ini—” dia mau menangis. “—hanya sedikit macet. Ya, sedikit macet.” Dan aku kehilangan Lee Hyukjae.

“Oh, baiklah. Hei, Li Jun, kau lihat apa?”

Tao tidak memedulikan mereka, mengetuk-ngetuk jemarinya di stir mobil dengan sabar. Mengapa waktu berjalan begitu lambat ketika dia benar-benar ingin berlari seperti ini dan waktu begitu cepat berjalan dikala dia butuh tidur lebih dari delapan jam? Hidup ini terkadang tidak adil.

Rawrrr!! Itu gambar macan ya?”

“Kuuu…ciiiing!”

“Bukan, Li Jun. itu bukan kucing. Itu macan.”

“Kuuu…ciiing!”

Zhin Yin pun menepuk pundak Tao dan bertanya, “Ayah, itu gambar kucing atau macan?”

“Hah?” Tao mengangkat kepalanya malas—menoleh sejurus dengan apa yang Zhin Yin maksud dan—

“ITU ANAK BUAH LEE HYUKJAE!!” teriaknya heboh ketika melihat sekumpulan pria berbaju hitam dengan lambang jaguar di punggung mereka, melintas jauh di belakang mobil mereka, masuk ke dalam sebuah gedung tua pinggir jalan. Tao segera memarkirkan mobilnya di tempat aman, mengambil pistolnya dan menoleh kepada anak-anaknya.

“Anak-anak, tunggu di sini. Jangan kemana-mana. Ayah…ayah akan menangkap Lee Hyukjae dan kembali secepat mungkin kesini, mengerti?”

“Jadi kami tidak ikut bermain?”

Ya Tuhan, ini bukan permainan! “Tidak. Kau dan Li Jun sampai di level ini dan ayah yang meneruskan level selanjutnya.” Dia sedang mengarang bebas.

Satu anggukan dari Zhin Yin, itu berarti Tao bisa mengunci mobilnya, membuka sedikit jendela (karena dia tidak mungkin membiarkan anak-anaknya terkunci dengan mesin yang menyala) dan dia berlari memasuki gedung tua itu diam-diam.

 

***

          Gelap.

 

Tao tidak bisa melihat apa-apa. Matanya memicing ke setiap sudut tempat yang ada sambil menutup hidung karena bau apek yang menyengat. Dia tadi sudah mengalahkan dua penjaga pintu dengan memelintir tangannya, kemudian memukul perut si penjaga yang satunya dengan satu kali tendangan. Ada kalanya dia bangga mempelajari gerakan wushu sejak kecil.

“Katakan!” desis Tao memiting pria kecil itu. “Di mana Lee Hyukjae?!”

“L-lantai e-enam…aaacks—“

Tao hendak memukulnya hingga pingsan, namun sebelum itu dia bertanya dengan nada was-was. “Apa lift-nya berfungsi?”

“T-tidak…kau—kau h-harus n-naik t-tangga.”

Mendengar jawaban itu, Tao pun protes. “Hei! Yang benar saja, lagi-lagi aku harus naik tangga untuk menangkap bedebah itu! Ah, sial!” lalu dia baru memukul si penjaga sampai ambruk—tinjuannya penuh kekesalan.

Please, naik tangga itu melelahkan!” keluhnya sebelum menaiki tangga satu persatu. Lama-kelamaan dia muak juga dengan situasi seperti ini.

 

Dia bertemu lagi dengan anak buah Lee Hyukjae di tangga, hampir terpeleset karena yang satu ini bertubuh besar, penuh otot dan wajahnya seram ketika Tao tak sengaja menimbulkan suara dan tertangkap basah oleh si pria ini.

“Kau mau kemana,” geramnya. “orang asing?!”

Tao bersandar santai di dinding sebelahnya sambil nyengir, “Aku mencari Lee Hyukjae, sekarang minggir dari jalanku, dasar babi gendut!”

Si pria ini mengepalkan tangan, dia tidak bersenjata, tapi tetap saja Tao membayangkan kerusakan apa yang akan dia alami jika tangan itu memukul tubuhnya. “Kau menantangku?”

“Apa aku terlihat seperti ingin mengajakmu bermain boneka, hah?” Aw, itu cukup membangkitkan amarah si pria besar ini dan satu tinjuan melayang ke arah Tao, hampir mengenainya kalau saja Tao tidak cepat menghindar. Alhasil, si pria ini malah meninju dinding dan menimbulkan sebuah lubang besar di sana.

Tao melongo, melihatnya bergantian antara dinding dan pria itu. “Wow, dude. Mungkin kita bisa mengobrol sebentar, siapa tahu kita bisa jadi teman, iya kan?”

Satu tinjuan lagi mengarah padanya dan Tao menunduk agar tidak kena. “Terlambat. Aku membencimu,” ujar si pria besar dengan nada datar, kemudian dia menyerang Tao berkali-kali. Gerakannya lambat, tidak bisa mengimbangi pergerakan Tao yang begitu cepat menghindar seperti hewan citah.

“Ha! Kau tidak bisa mengenaiku ‘kan! Kau lambat dan aku cepat!” yang Tao lakukan selama sepuluh menit adalah menghindar karena dia tahu akan percuma jika dia melawan bahkan dia lupa total bahwa ada pistol di kantung celananya. Dia pasti kalah. “Kau tidak tahu siapa aku, hah?”

“Tidak! Aku tidak peduli!”

“Aku. Adalah. Huang. Zitao. Agen. 129. Wolf. 88.” Tao bersalto di udara, berhasil melewati si pria ini dan dia berhenti ketika menyadari perkataannya tadi. “well, tidak lagi sih. Aku dipecat kemar—woah!”

Pria besar itu menarik kakinya, mengangkat tubuh Tao di udara sebelum menghempaskannya ke dinding. Tao pun jatuh ke anak tangga dengan suara berdebum yang cukup keras dan dia meringis kesakitan. “Aw—kau s-sadis!”

Well, Tao, hidup ini memang keras dan pria ini memang sadis. Maka, detik berikutnya pria itu mencengkeram kerah kaus Tao, mengangkatnya cukup tinggi hingga kakinya melayang beberapa senti dari lantai. Pria itu bersiap meninjunya.

“T-tunggu!” seru Tao, pria itu menahan tangannya. “K-kau serius tidak mau mengobrol denganku? Asal kau tahu saja, semua temanku bilang aku ini orang yang ramah.” Tao menambahkan satu senyuman di akhir kalimat.

 

Pria itu terdiam, dalam hati Tao berharap siapa tahu hatinya luluh.

 

Tapi…

 

“Tidak. Aku membencimu!”

 

Bukkk’!

 

Tao kembali bertemu dengan kegelapan.

 

***

Tao bermimpi.

 

Yeah, kali ini dia bermimpi berada di rumahnya. Mayleen baru saja memasak pie buah yang lezat dan memanggilnya untuk makan. Wanita itu tersenyum ramah, menggenggam tangannya sebelum dia sadar tiba-tiba istrinya berubah menjadi pria berlengan besar dan kini pria itu memukul perutnya keras-keras.

“BANGUN!” teriak seseorang menyiram air dingin ke wajahnya. Tao mengerang kesakitan—membuka matanya perlahan, sedikit mustahil bagi mata kanannya yang nampaknya kena pukul lagi.

Sulit baginya mengambil napas dan samar-samar dia melihat satu wajah yang familiar—melambaikan tangan di depannya.

“Hai, agen 129. Kita bertemu lagi,” ujarnya riang.

“Ugh…” erang Tao. “Lee Hyukaje.”

Lalu wajah itu menghilang, Tao hanya mendengar suara langkahnya dan suaranya yang menyebalkan mengalun. “Jadi kau belum menyerah? Kau tetap mengejarku, hm?”

“A-aku tidak akan melepaskanmu…”

“Ugh, mengerikan. Aku takut,” kata Lee Hyukjae mengejeknya. “Kau harusnya datang dengan senjata di tangan dan menembak mati semua anak buahku. Tidak seperti ini…” dia menyentuh pucuk kepala Tao dengan ujung sepatunya. “Basah, terluka, lemah tak berdaya.”

“Kau brengsek, Lee Hyukjae…”

Lee Hyukjae tertawa terbahak-bahak. “Wolf 88? Wolf? Serigala? Apa kau bercanda? Kau bahkan lebih mirip kucing basah saat ini.”

Astaga, Tao semakin membencinya.

“Angkat dia!” suruh pria berambut pirang itu dan Tao diangkat paksa ketika kakinya begitu lemah, sekujur tubuhnya terasa sakit dan darah mengalir dari pelipisnya.

Lee Hyukjae berjalan mendekatinya, amarah terbesit di kedua matanya yang berkilat sadis. Dia menatap Tao dengan tatapan melecehkan. “Kau dan Wolf 88 harusnya tidak bermain-main denganku, agen 129. Kau bahkan payah dalam memegang senjata, huh! Sekarang—“ dia mencengkram wajah Tao, memaksanya melihat ke sudut ruangan itu, “—lihat akibatnya jika kau mencampuri urusan Lee Hyukjae. Keluarkan mereka!”

Napasnya tertahan detik itu juga. Tao mungkin tidak bisa melihat jelas, tapi dia kenal suara itu. Suara cempreng milik gadis kecilnya dan tangisan milik puteranya.

“Ayah, ayah! Tolong kami!”

Tao melihat dua pria besar memegang kedua anaknya di tangan. Mereka meronta-ronta ingin lepas, tapi tentu saja mereka tidak akan bisa.

“Lepaskan anak-anakku, Lee Hyukjae! Mereka tidak tahu apa-apa!” teriak Tao dengan sekuat tenaga berusaha melepaskan diri, apa daya dia juga tak mampu. Terlalu lemah.

“Ayah bodoh yang meninggalkan anak-anaknya di mobil. Ah, ya, maaf jika sebelumnya aku tidak memberitahumu bahwa aku adalah penjahat paling sadis. Aku tidak peduli mereka anakmu atau bukan dan apa mereka terlibat dengan ini atau tidak.” Lee Hyukjae tersenyum lebar, itu membuat Tao ingin memukulnya.

“Aaaaaaaa!!! Ayah, tolong!” jerit Zhin Yin kesakitan di ujung sana.

“Lee Hyukjae!!” Tao begitu frustasi. “Kumohon, tolonglah…” kini dia menangis. “Kumohon, lepaskan mereka. Mereka tidak ada sangkut pautnya dengan semua ini. Please, mereka hanya anak-anak. Jika kau ingin membunuhku, bunuh aku! Jangan mereka!”

“Cih, apa kau memohon padaku, agen 129?”

“Kumohon…” isak Tao dengan kepala tertunduk. “Kumohon, lepaskan mereka.”

Lee Hyukjae memutar kedua bola matanya sebal. Dia benci melihat air mata, dan menyuruh anak buahnya melepaskan kedua anak Tao begitu juga dengan Tao, maka mereka bertemu. Tao memeluk Zhin Yin dan Li Jun begitu mereka berlari ke pelukannya.

“Ayah, aku takut,” Zhin Yin menangis di bahunya.

“Ssttt, jangan takut. Ayah di sini bersama kalian,” ujar Tao menenangkannya.

“Ugh, drama di mulai. ‘Oh, ayah aku takut. Aku takut sekali, ayah’” ujar Lee Hyukjae meniru suara Zhin Yin yang cempreng. “Aku sedang dalam mood yang baik, perlu kau tahu itu, agen 129.” Dia tersenyum sembari mengeluarkan pistol dari dalam jasnya. “Aku akan membiarkan kalian mengucapkan beberapa patah kata perpisahan sebelum aku menghabisi kalian semua.”

Tao menghela napas, dia menatap kedua anaknya yang kini berhenti menangis. Tidak, dia tidak boleh lemah di depan anak-anaknya. Maka, dia terpaksa tersenyum, mencium pipi keduanya dengan penuh perasaan. Dia tidak menyangka bahwa hidupnya akan berakhir seperti ini. Tragis.

“Ayah menyayangi kalian. Ayah sangat menyayangi kalian.”

“Ayah…apa kita kalah?”

 

Tao tidak menjawabnya.

 

Zhin Yin menyapukan jari kecilnya di pelipisnya yang terluka, juga matanya. “Ayah terluka.”

Tao mengangguk sedih, “Ya, ayah tahu. Bisakah—“ suaranya tercekat. “—bisakah Zhin Yin memberikan Boo Boo Kiss agar luka ayah sembuh?”

Zhin Yin melakukannya. Dia mencium mata Tao dan Tao memeluknya lebih erat untuk mengenyahkan rasa takut itu. Dia menutup mata, membayangkan Mayleen, rumahnya, ah…Mayleen pasti akan sangat sedih karena kehilangan suaminya juga kedua anaknya.

“Maafkan aku, Mayleen. Maaf…” bisik Tao terlalu pelan.

 

‘Klik’

 

Well, selamat tinggal, agen 129 dan anak-anaknya.”

 

Tao siap. Tao siap merasakan sakitnya.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Dorr!

 

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Tao membuka kedua matanya begitu mendengar suara tembakan. Tidak, dia tidak merasa kesakitan, karena faktanya tak satu pun dari mereka bertiga kena tembak.

Lalu detik selanjutnya yang Tao lihat adalah beberapa orang berpakaian hitam dan helm masuk ke ruangan itu, kemudian mereka memukul jatuh para anak buah Lee Hyukjae. Dia tidak tahu mereka siapa, mungkin kah mereka malaikat yang di turunkan Tuhan untuk menyelamatkannya?

 

Err, bukan. Mereka bukan malaikat.

 

“Paman Jongin!”

 

Hah? Jongin?

 

 

Tao menoleh ke belakang dan melihat Jongin baru saja memukul pria besar yang tadi meninjunya. “Hai, sobat. Aku datang di waktu yang tepat, bukan?”

“B-bagaimana kau bisa menemukanku?” sembur Tao antara percaya dan tidak percaya.

“Aku melihat mobilmu di luar. Hell, orang bodoh mana yang memarkirkan mobil di depan pertokoan. Kau tolol, agen 129!” Jongin tidak bermaksud mengatainya, dia malah tertawa sambil meninju pelan lengan Tao. “Hei, jangan bengong saja disitu. Bawa anak-anakmu ke tempat yang aman.”

Tao harusnya memeluk Jongin karena dia menyelamatkan bukan satu nyawa—melainkan tiga, tapi mungkin dia bisa melakukannya nanti setelah semua ini selesai.

“Hai, paman Jongin!” sapa Zhin Yin sebelum Tao membawanya pergi.

“Hai, cantik,” balas Jongin mengerlingkan sebelah matanya, lalu kembali memukul jatuh anak buah Lee Hyukjae.

“Paman Jongin keren ya, yah,” komentar Zhin Yin tersenyum terpesona akan sosok itu.

Tao mengerutkan dahinya, “Ayah juga keren.”

Tapi…oke, baiklah. Dia membiarkannya karena Jongin sudah menyelamatkan dirinya beserta anak-anaknya.

 

Lalu sayup-sayup terdengar suara Lee Hyukjae memohon dari kejauhan.

“Lepaskan aku, kumohon! Aku punya tiga anak dan dua istri di rumah. Kumohon, lepaskan aku! Aw—!”

Ups, ada yang sedang bermain drama. Batin Tao tersenyum lega.

 

***

Perjalanan pulang ke markas Wolf 88 sangat menenangkan. Li Jun dan Zhin Yin tidur di kursi belakang, sementara Jongin mengemudi mobil Tao dan Tao tidak dapat berhenti memperhatikannya seolah-olah dia naksir pada Jongin.

Kalau Jongin memperbolehkannya, Tao pasti sudah mencium pria itu dan melamarnya karena pertama, Jongin menyelamatkan hidupnya. Kedua, Jongin mengarang cerita bahwa Tao memanggilnya saat dia berhadapan dengan Lee Hyukjae—seakan penangkapan Lee Hyukjae ini berkat jasa Tao. Dan itu mengembalikan karirnya. Dia bukan agen rahasia amatir lagi. Kini dia agen rahasia resmi Wolf 88! Yeay!

 

Semuanya berkat Jongin.

 

“Aku mencintaimu, Jongin,” ujar Tao sebelum Jongin turun dari mobil.

“Ugh, menjijikan, Huang Zitao! Aku punya tunangan!” Jongin bergidik ngeri dan turun dari mobil, setengah berlari menjauh. Tao masih tertawa ketika mereka bertiga sampai di rumah.

 

Hah, mereka kembali dengan selamat sampai rumah. Tao senang.

 

***

Zhin Yin dan Li Jun pun tak bisa menyembunyikan hal itu saat bertemu ibunya di ruang tengah. Dia langsung bercerita panjang lebar soal permainan ‘Menangkap Lee Hyukjae’ yang katanya sangaaaaaaaaat seru.

“Lalu kami berlari melewati meja-meja diikuti tembakan, lalu…”

Tao hanya bisa mengedikkan bahunya sambil tersenyum, mengatakan bahwa itu hanya imajinasi anak-anak. Semuanya tak nyata dan Mayleen percaya.

“Sayang, ada apa dengan wajahmu?” tanya Mayleen tiba-tiba menyadarinya.

“Eumm…i-ini, aku terpeleset di toilet tadi.”

“Oh, malangnya suamiku. Ayo, pergi ke kamar. Aku akan mengobatimu.”

Tao pun mengikuti wanita itu ke kamar, membayangkan salep dingin dan sentuhan lembut sang istri di wajahnya. Ah, itu pasti menyenangkan.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

“Sayang, aku mau bicara sesuatu padamu.”

“Ya, katakan saja, Mayleen.”

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

          Brakk!

 

“AMPUUNNNN!!! Mayleen, Mayleen sayang, a-aku bisa jelaskan!”

 

Zhin Yin melongokkan kepalanya dari ruang tengah dan melihat sang ayah sedang merangkak mundur di lantai dengan ibunya memegang pistol di tangan, mengarahkannya pada Tao. Wow, ada apa ini?

 

“KAU MEMBAWA ANAK-ANAK KE DALAM MISIMU! APALAGI YANG BISA KAU JELASKAN, HUANG ZITAO, HAH?!”

 

“Memang siapa yang memberitahumu tentang ini??!!”

 

“KIM JONGIN! TADI DIA MENELEPONKU!”

 

Oh, sial! Kim Jongin benar-benar bedebah tingkat 10. Dia memang menyelamatkan hidup Tao dan karirnya, tapi dia juga MENGHANCURKAN BAHTERA RUMAH TANGGANYA!

 

“A-aku bisa jelaskan ini semua. Sayang, please, letakan pistol itu. Di sana ada pelurunya!”

 

“BIAR SAJA! AKU BERSUMPAH AKAN MELUBANGI KEPALAMU JIKA KAU MEMBAWA ANAK-ANAK KITA KE DALAM MISIMU, HUANG ZITAO!!!”

 

Zhin Yin pikir, ada orang yang lebih sadis daripada Lee Hyukjae.

 

Well, itu ibunya.

 

“Aku bersumpah! Aku bersumpah aku tidak akan membawa anak-anak kita ke dalam misi penangkapan penjahat!”

 

Oh, tentu saja.

 

Dia tidak mau membahayakan hidup anak-anaknya, kan? Karena dia menyayangi Zhin Yin dan Li Jun.

 

A bunch of babies.

 

 

THE END

A/N:

Halowww, readers! pertama-tama maaf ya karena ingkar janji mau ngepost sabtu malah hari minggu :(

Tapi Aku kembali dengan ABOB! Masih ingat kah series ini? xD maaf ya lama ngebuatnya T_T abis genre-nya begitu (lagian siapa suruh milih itu!) ya, abisnya aku…pengen…nyoba…/muntah beling/ :( Alhasil, selama aku nulis ini aku semacam kayak Suho gini…

Dan setelah selesai ngetik ‘THE END’ aku kayak Chanyeol…

nyengir-nyengir kuda gitu xD

Jadinya, eumm…mind to review? Enggak, ini emang enggak sekeren dan sedahsyat fic-fic action yang lainnya, tapi worth to try bagi sebutir/? Hangukffindo yang cuma bisa bikin fic comedy dan fluff heuuu

Tapi tetep seneng kok bisa ngelanjutin fic ini hahaha terima kasih untuk orang-orang yang sudah mendukung aku nulis, kasih aku semangat di twitter dan lewat komen (aku cinta kalian), walapun ada beberapa orang yang NAMPAKNYA TAK SUKA AKU MELANJUTKAN ABOB (iya gapapa, aku tetep sayang sama kalian, tapi bo’ong hahaha xD)

Okeh sampai berjumpa lagi di fic ABOB selanjutnya xD

 

Hint for the next ABOB:

NOT ACTION!

(kapan-kapan mungkin boleh nulis genre ini lagi hahaha)


After…

$
0
0

After...

Title:

After…

Cast: EXO Member // Genre: Slight!Comedy, Horor // Length: >3000w // Rating: PG-15

Recommended Song: My Chemical Romance – The Ghost of You

Summary:

What if EXO have an ‘experience’ after watching The Conjuring movie?

***

            “Apa yang harus kita lakukan?”

 

Junmyeon tidak akan bertanya seperti itu jika dia bukanlah seorang penyanyi dari grup bernama EXO yang terkenal itu. Nampaknya dia kebingungan karena hari itu EXO tidak punya jadwal, mungkin ini sedikit aneh karena biasanya hari-hari mereka dipenuhi sejumlah aktivitas sepadat butiran-butiran pearl di buble tea milik Sehun.

Lalu ketika hari mereka kosong sama sekali, well, mereka kebingungan. Jongin tidak tahu apa yang harus dia lakukan selain menari. Baekhyun tidak tahu apa yang harus dia perbuat selain menyanyi. Dan Jongdae tidak tahu apakah dia harus tertawa sendiri di dapur atau lebih baik menari-nari di dalam kamar (baiklah, ini aneh).

Jadi, di sanalah mereka—ruang tengah—terdiam sambil setengah melamun dengan Junmyeon yang terus bertanya, “Apa yang harus kita lakukan?”

“Bagaimana kalau kita tertawa di dapur?” ini Jongdae yang berbicara.

Please, Jongdae. Kalau kau mau, kau bisa melakukannya sendiri,” desah Luhan malas.

Jongdae terkejut. “Oh, benarkah aku bisa melakukannya? Yeay!” lalu Jongdae pergi ke dapur sendirian dan selanjutnya mereka mendengar dia tertawa dan berbicara pada panci.

“Aku mau ikut!” ujar Chanyeol senang, namun ada tangan Baekhyun yang menahannya—membuatnya tetap duduk di sofa.

Satu detik kemudian, mereka kembali diam dan Junmyeon merapalkan kalimat ‘apa yang harus kita lakukan’ sebanyak sepuluh kali, sebelum Sehun akhirnya bersuara.

“Bagaimana kalau kita menonton bioskop?”

Semua mata tertuju padanya. Sehun mengunyah biskuitnya santai seraya mengangkat alis, “Bagaimana?”

“Tapi film apa?” tanya Lay mengeluarkan ponselnya dan mulai memeriksa jadwal film di bioskop terdekat. “Ada The Smurfs 2, The Wolverine, City of Glass—“

THE SMURFS, PLEASE!!!” Chanyeol berseru—menggoyang-goyangkan bahu Lay hingga Lay tidak bisa berkonsentrasi melihat ponselnya.

City of Glass saja, pemeran wanitanya cantik,” kekeh Baekhyun. Ya, dia baru melihat iklannya kemarin di televisi dan, yeah, kau tahu ‘kan Baekhyun suka wanita cantik. Yeah, mereka suka wanita cantik dan berpikir mungkin mereka akan menonton film itu.

Junmyeon mengangkat bahunya enteng, “Terserah, apa saja oke, asalkan—“

“Tidak!” Sehun tiba-tiba menyelanya—kebiasaan buruk. Dia menyunggingkan setengah senyuman yang lebih mirip seringai. “Kita menonton…The Conjuring.”

“Sehun!!” pekik Junmyeon kesal. “Aku baru saja ingin bilang kalau kita bisa menonton apa saja asalkan jangan film horor!” Junmyeon adalah tipe orang yang tidak suka film berbau horor, pembunuhan yang menyajikan banyak darah dimana-mana. Jadi, dia menolak. Ugh, dia benci hal ini terjadi. “Aku tidak ikut.”

“Oh, ayolah! Film horor tidak akan membunuhmu, hyung,” kata Tao bersemangat dan merangkul Junmyeon. “Sekali saja, please. Setelah itu kita tidak akan menonton film horor lagi.”

Ya Tuhan, membayangkannya saja sudah membuat jantung Junmyeon berteriak meminta keluar dari rongga tubuhnya, apalagi jika dia benar-benar harus ikut menonton. Tapi wajah Tao, Jongin, dan Sehun—para maknae sepertinya terlihat berharap dia akan ikut.—seperti memelas dan jangan sampai ada di antara mereka yang mengeluarkan aegyo, karena dia akan benar-benar menyerah.

“Baiklah…” Ah, akhirnya dia menyerah. Junmyeon menghela nafas dan mereka bersorak gembira. Kesepuluh orang itu berhamburan layaknya butir-butir kelerang—menyiapkan diri.

Kris tidak bisa berhenti tersenyum melihat tingkah Junmyeon yang tidak tenang selama perjalanan ke bioskop. “Kau takut?”

“Huh, apa?” tanya Junmyeon sedikit disorientasi.

“Kau bisa memegang tanganku kalau takut nanti.”

Junmyeon mendelik kesal ke arah Kris dan memukul lengannya cukup keras. “Aku tidak selemah itu, tahu!”

Kris tertawa dan dalam hati berkata, lihat saja nanti.

 

***

“Kau lihat bagaimana hantu itu ada di atas lemari? Itu keren!”

“Dan ketika hantu pelayan rumah itu berjalan di ruang jemuran! Aku mau tertawa.”

“Boneka Annabelle-nya lucu. Apa ada yang jual di toko?”

            Keren? Mau tertawa? Boneka Annabelle lucu? Kalian gila ya? Junmyeon tidak mengerti apa yang mereka pikirkan ketika Jongin, Sehun, Tao, Baekhyun, dan Jongdae masih saja membahas film itu saat perjalanan pulang (atau sebenarnya dia tidak mengerti apa yang mereka bicarakan. Tentu saja! Junmyeon 85% menutup matanya sepanjang film berlangsung, ditambah beberapa kali memegang tangan Kris dan melepaskannya dikala mendengar pria itu menertawainya).

“Kau tidak apa-apa?” Junmyeon mendengar Kris berbicara di sebelahnya. “Kau pucat.”

“Aku tidak apa-apa,” dusta Junmyeon. Walau hampir tidak melihat semua scene seram, dia tetap saja mendengar teriakan dan suara-suara yang membuat jantungnya melompat, dan yeah, sekarang kemana semua darah yang mengalir di wajahnya? Kenapa tiba-tiba dia pucat begitu?

“Wajah Bathsheba-nya seram, aku berpikir sepintar apa tim make up­-nya,” kata Jongin penasaran.

“Kau ‘kan menutup mata setiap kali Bathsheba-nya muncul, Jongin,” ujar Kyungsoo.

“T-tidak.”

“Iya, aku memperhatikanmu.”

Jongin tersenyum lebar sekali, “Kau memperhatikanku selama nonton film ya?”

Kyungsoo terpaksa memutar kedua bola matanya, “Lupakan.”

Setelah tiga puluh menit menaiki mobil dan mereka pun tiba di dorm. Kau tahu, semacam euphoria yang tiada berhenti karena efek film, mereka tak henti-hentinya membahas film itu dan mau tak mau Junmyeon mendengarkan mereka, lalu mulai membayangkannya, sial, dia jadi semakin ketakutan.

 

Well, tak masalah jika itu sebatas pembicaraan saja, tapi bagaimana jika hal itu terbawa dan seolah…terjadi pada kehidupanmu?

 

“Lalu ketika Ed Warren—“ Lay berhenti di ambang pintu dorm mereka dan terpaku. Dia orang pertama yang masuk ke dalam sana.

“Lay? Ada apa?” tanya Kris.

“Hei, jangan berhenti di depan pintu. Kami mau masuk,” protes Jongdae dari belakang.

Lay mengerutkan dahi seraya matanya menelusuri keadaan dorm yang aneh. Dia melangkah masuk dan mengambil dua figura foto EXO yang jatuh di lantai. Kacanya tidak pecah, hanya sedikit retak karena dia ingat foto ini tertempel di dinding—cukup tinggi.

“Kenapa bisa jatuh?” gumamnya perlahan.

“Oh! Ini mirip seperti film tadi,” komentar Xiumin.

Mereka semua terdiam. Foto itu adalah foto mereka berdua belas dan Kris harus akui disana Lay terlihat yang paling tampan, namun melihat ekspresi wajahnya, Kris tahu bukan itu yang dipermasalahkan Lay. Ada sesuatu yang Kris yakini melintas di kepala Lay.

Dia pun mengambil figura itu dan meletakkannya di meja, “Mungkin ada cicak yang lewat dan tak sengaja menjatuhkannya. Oh, ayolah, jangan paranoid begitu,” ujar Kris menepuk bahu Lay dan mereka semua kembali normal (minus, Baekhyun dan Chanyeol yang berusaha menakuti Junmyeon, lalu Kris harus menghentikan mereka sebelum Junmyeon pingsan karena ketakutan).

Lay mengangguk, namun setelah melihat paku yang lepas dari dinding, pikirannya melanglang buana.

 

“Cicak? Cicak sebesar apa yang bisa melepaskan paku di dinding?”

 

Aneh.

 

***

            Tak terasa langit di luar mulai gelap. Entah mengapa menonton satu film saja membuat mereka merasa lelah dan pukul sepuluh malam terasa seperti pukul 12 malam. Mata mereka berat dan Jongin menyerah dengan mematikan teve di luar, lalu masuk ke dalam kamar untuk tidur, sama halnya dengan Luhan dan Xiumin, mereka berhenti mengobrol dan masing-masing berganti pakaian—bersiap tidur.

Kecuali dua orang yang masih asyik dengan playstation di ruang tengah. Siapa lagi kalau bukan Chanyeol dan Baekhyun.

“Payah, ini baru jam sebelas malam dan mereka semua sudah tidur,” ucap Chanyeol menekan tombol Playstation begitu bersemangat—hendak mengalahkan Baekhyun.

“Itu karena mereka tidak minum coffe latte tadi sore saat menonton—hei! Kau curang!” serunya melihat Chanyeol menekan salah satu tombol yang membuat karakter Chanyeol di teve menembakkan sesuatu pada karakter milik Baekhyun.

Chanyeol tak mau kalah, dia mendorong Baekhyun. “Enak saja! Itu trik, oke? Trik untuk menang.”

“Tapi kau tidak bisa melakukannya! Kau menyebalkan, Park Chanyeol!”

Mereka berakhir dengan bergulat di sana. Baekhyun menimpa tubuh Chanyeol dan berusaha mencubit hidungnya, namun Chanyeol lebih besar, juga punya kekuatan yang lebih kuat maka dia memiting tubuh kecil Baekhyun, hingga posisi mereka terbalik. Chanyeol siap menyerang Baekhyun, lalu tiba-tiba dia berhenti.

Chanyeol mendengar sebuah suara seretan sandal di lantai dan dia mendapati Sehun sedang berjalan gontai dari arah lorong.

“Sehun,” panggilnya.

Dia ingin memanggil lagi, namun dia tidak melakukannya karena ketika diperhatikan Sehun berjalan dengan mata tertutup. Oh, tidur sambil berjalan?

“Sehun?” Baekhyun bertanya sambil membalikkan tubuh, dia melihat Sehun pergi ke pintu utama. “Apa yang dia lakukan?”

“Tidur sambil berjalan, aku rasa,” jawab Chanyeol mulai beranjak untuk menghampiri si maknae.

Ini aneh, pikir Baekhyun. Sehun memang punya kebiasaan tidur sambil berjalan, namun itu sudah lama berlalu. Itu tidak pernah terjadi semenjak mereka debut dan ini sudah satu tahun lebih. Kebiasaan itu kembali muncul.

“Sehun?” bisik Chanyeol—menemukan Sehun sedang mempertemukan kepalanya dengan pintu berkali-kali, tidak begitu keras, tapi jika dibiarkan dia akan melukai dirinya sendiri.

“Bangunkan dia.”

Chanyeol menggeleng. “Tidak, jangan. Panggilkan Junmyeon-hyung, Baek.”

Baekhyun pun melakukannya dan tak lama kemudian kembali bersama Junmyeon yang sedikit pusing.

“Ada apa?”

“Sehun…” Chanyeol menunjuk sosok itu dan Junmyeon—yang juga bingung—tanpa berpikir dua kali segera meletakkan tangannya di antara kepala Sehun dengan pintu, berusaha menghentikan aksi itu.

Dengan perlahan, dia menuntun Sehun pergi ke kamarnya, “Ayo, Sehun. Kita kembali ke kamar. Dan kalian berdua—“ bisik Junmyeon. “—matikan televisi dan tidur. Jangan lupa kunci kamar kalian.”

Baekhyun dan Chanyeol menganggukan kepala tanda mengerti. Setelah membereskan peralatan Playstation, mereka segera masuk ke dalam kamar dan menyelimuti diri tanpa mengobrol terlebih dahulu seperti biasanya.

Mereka pikir ini aneh, dulu Sehun memang terlihat lucu memakai piyama dan berjalan dengan mata tertutup. Junmyeon selalu bilang bahwa mereka tidak boleh membangunkan Sehun jika dia sedang dalam keadaan seperti itu. Tapi entah mengapa tadi itu…membuat bulu kuduk mereka berdiri.

 

“Baek?”

“Hm?”

“Sehun mirip seperti film tadi.”

 

Baekhyun benci mengakui ini, tapi…

 

Yeah,” dia mengangguk dalam kegelapan. “Aku juga merasa begitu.”

 

***

            “Kau tidur sambil berjalan, Oh Sehun.”

“Oh ya?” Sehun menggigit rotinya dengan lahap, entah mengapa dia merasa lapar pagi itu. “Aku tidak ingat tidur sambil berjalan semalam.”

Baekhyun berdecak sebal, “Tentu saja kau tidak ingat. Dan kau…menyeramkan, hun-ah.

“Iya! Kau mirip mayat hidup atau…sebenarnya aku dan Baekhyun berpikir kau mirip Cindy dalam film The Conjuring. Kau ingat, dia tidur sambil berjalan dan pergi ke kamar kakaknya, Andrea, lalu—“

“Berhenti membahas film itu, oke?!” potong Junmyeon. Lama kelamaan dia mulai muak dengan apa yang mereka bicarakan selama 24 jam dari kemarin. The Conjuring, The Conjuring, The Conjuring. Ya, hanya film itu yang mereka bahas, apalagi nampaknya mereka suka sekali dengan adegan dimana hantu-hantunya mulai bermunculan.

“Baekyeol…” Kris memperingati dari seberang meja makan. “Berhenti, mengerti?”

Keduanya mengangguk dan kembali melanjutkan sarapan mereka dalam tenang. Junmyeon menggelengkan kepalanya beberapa kali, dia kehilangan nafsu makannya. Sial, kenapa film itu punya efek yang besar sampai-sampai membuatnya seperti ini.

“Ya, Kris benar. Zhang Yixing, berhentilah menarik kakiku. Kau menyebalkan!” sembur Luhan pada Lay.

“Aku apa?”

“Ya, semalam kau menarik kakiku tiga kali. Kau pikir itu lucu?”  Luhan terus saja berceloteh selama sarapan, mengeluhkan Lay yang menarik kakinya tiga kali membuat Luhan tidak bisa tidur tenang dan itulah alasan mengapa dia punya kantung mata pagi ini, “Aku jadi mirip Taozi, hgh.

Lay tidak mengerti.

 

“Aku tidak melakukan apa-apa semalam,” gumamnya.

 

***

            Siang menjelang sore.

 

EXO lagi-lagi tidak punya jadwal dari pagi sampai sore, karena malamnya mereka punya acara radio. Jadi, setidaknya siang ini mereka bisa bersantai sedikit atau beristirahat seperti yang Lay dan Jongin lakukan, yaitu tidur siang di sofa.

Lain dengan Kyungsoo, dia lebih memilih melakukan sesuatu yang berguna seperti membaca buku atau bermain laptop mencari artikel tentang EXO. Tidak seperti Baekhyun, Chanyeol, Jongdae, Sehun, Luhan, dan Minseok yang bermain…entahlah, yang jelas mereka sangat berisik, Kyungsoo bisa mendengarnya dari balik dinding kamar mandi ketika dia mencuci muka.

Ini tidak biasa. Matahari di luar cukup panas, namun mengapa dorm mereka terasa dingin hingga Kyungsoo mencuci muka dengan air hangat, bukan air dingin.

“Ya! Ada yang kentut!” teriak Luhan. “Kau kentut ya, Minseok?!”

“Enak saja! Chanyeol yang kentut.”

“Sial, bukan aku!” sergah Chanyeol dan mereka semakin berisik. Segera berhamburan keluar kamar, Baekhyun hampir pingsan akan aroma busuk yang menyergap paru-parunya.

“Ya Tuhan, baunya seperti daging busuk,” komentar Sehun terbatuk-batuk.

Kyungsoo hanya tertawa kecil mendengarkan mereka semua. Ugh, beruntunglah dia tidak ada disana dan mencium aroma gas beracun yang keluar dari tubuh siapa pun itu. Dia menatap bayangan dirinya di cermin.

“Apa ini jerawat?” tanyanya cemas melihat satu bintik kecil di dahi.

Seraya mencemaskan bintik merah itu, Kyungsoo melihat sekelebat sosok melintas di luar kamar mandi (ya, dia membiarkan pintu kamar mandi terbuka). “Jongin?”

 

Tidak ada jawaban.

 

Kyungsoo mengangkat bahunya acuh, ketika satu detik kemudian sosok itu melintas lagi di cermin, kini lebih cepat dan tanpa suara langkah kaki atau gerakan.

“Jongin?” panggil Kyungsoo sekali lagi dan tidak ada jawaban.  Jongin biasanya langsung menjawab jika dipanggil—oh, Kyungsoo ingat Jongin sedang tidur bersama Lay di ruang tengah, jadi mungkin ini bukan Jongin, tapi sosok itu mirip.

 

Kyungsoo menggelengkan kepala, “Mungkin aku mengantuk.”

 

Dia mencuci muka sekali lagi, menggosok matanya dan begitu dia mengangkat kepala…

 

***

Junmyeon sedang membaca majalah ketika perutnya meraung-raung meminta diberi makan. “Man, bukankah tadi kau makan banyak, huh?”

Suara bergemuruh di perut menjawab pertanyaannya.

“Oh, oke. Satu tangkup roti dan jangan meminta makan lagi.” Junmyeon paham dia harus menjaga tubuhnya atau dia akan melar seperti ban mobil jika tidak berdiet ketat.

Maka dia memutuskan untuk pergi ke dapur dan membuat setangkup roti selai kacang sebelum dia mendengar suara Tao berbicara di depan pintu utama. Terdengar akrab dan informal, tapi rasanya Tao tidak pernah sesenang itu saat mengobrol dengan anggota EXO.

“Tao,” panggil Junmyeon—perlahan-lahan melangkah dan mendengar Tao mengobrol diselingi tawa.

Junmyeon mendapati Tao sedang mengobrol dengan seseorang di balik pintu. Junmyeon tak bisa melihatnya, juga tak mendengar suaranya, itu membuat Tao seperti berbicara sendiri.

“Tao?”

Pria itu pun berhenti bicara dan menatap Junmyeon, “Ya.”

“Kau mengobrol dengan siapa?”

Tao tersenyum, “Tamu.”

 

Tamu? Sejak kapan dorm ini boleh kedatangan tamu? Junmyeon segera menghampirinya, melebarkan pintu itu dan…

 

Tidak ada siapa-siapa di sana.

 

“Tamu? Tao, dimana tamu itu?”

Tao mengedikkan bahunya sembari tersenyum kecewa, “Tamunya sudah pergi, hyung.”

Ini tidak mungkin! Satu detik yang lalu sebelum Junmyeon menarik pintu itu, Tao masih mengobrol dengan…dengan…siapa pun itu. Dan sekarang…tamunya pergi secepat itu?

Seluruh tubuh Junmyeon seketika itu banjir keringat dan saat dia hendak membuka mulut untuk bicara, terdengar teriakan Kyungsoo yang kencang.

 

“AAAAAAAAAAAAAAAAA!!!!!!!!!!!!!”

 

Semuanya mendengar hal itu.  Mereka tak ayal segera mendatangi sumber suara dengan menebak dimana Kyungsoo berada.

“Apa yang terjadi? Dimana Kyungsoo??” tanya Kris panik saat mereka saling bertemu di lorong dorm.

“Entahlah. Aku t-tidak tahu,” jawab Junmyeon masih memegang tangan Tao.

“AAAAAAAAAAA!!!! TOLONG AKUUUUU!!!” suara Kyungsoo terdengar lagi disertai gedoran pintu dan Luhan tahu dimana keberadaannya. “Kamar mandi utama! Kyungsoo berada di sana!”

Mereka pun berlari ke kamar mandi utama setelah belokan kedua lorong dan Kris memutar kenop pintu, tapi terkunci. “Kyungsoo, buka pintunya!”

“TIDAK BISA! KRIS-HYUNG, TOLONG AKU!!!”

“Aku akan menolongmu, tapi buka pintunya dan katakan apa yang terjadi!!” teriak Kris berusaha membuka pintu, tapi nihil—pintu itu tetap tak bergeming seolah ada sesuatu yang menahannya dari dalam. “Kyungsoo, buka pintunya!!”

“JANGAN DEKATI AKU, JANGAN SAKITI AKU!! TOLONG, KUMOHON!!”

Kali ini Kris merasa Kyungsoo bukan sedang berbicara dengannya—tunggu, apa ada orang lain di dalam kamar mandi bersamanya??

“Kyungsoo, apakah ada orang lain di dalam?? Jawab aku, Kyungsoo!”

Kini yang mereka dengar hanyalah isak tangis dari Kyungsoo. Kris tidak bisa berpikir, dia dapat membayangkan ada seorang pencuri masuk ke dalam dorm mereka dan menyekap Kyungsoo bersamanya di kamar mandi.

Tak lama kemudian mereka mendengar suara cermin yang pecah dan Kyungsoo berteriak lagi, “TOLONG! TOLONG, MENJAUH DARIKU!!”

Hyung! Lakukan sesuatu!” jerit Jongin.

Kris mengangguk dan melangkah mundur ke belakang beberapa meter. “Kyungsoo, menjauh dari pintu! Aku akan mendobrak pintunya!”

Lalu Kris setengah berlari menabrakkan diri pada pintu itu hingga bahunya sakit bukan main, namun sialnya, pintu itu tidak terbuka. Suara cermin berjatuhan di lantai terdengar lagi, kini ditambah percikan air. Tidak ada yang tahu apa yang tengah terjadi di dalam sana.

 

Percobaan kedua masih gagal.

 

Percobaan ketiga juga gagal.

 

Percobaan keempat…

 

BRAKK!

 

Pintu terbuka dan mereka melihat dengan jelas keadaan kamar mandi yang berantakan. Serpihan cermin, semua sabun, shampoo, deodorant, alat cukur berserakan di lantai  dan di bawah wastafel-lah Kyungsoo meringkuk gemetaran tak terkendali.

“Kyungsoo, kau tidak apa-apa??” Junmyeon menghambur masuk dan memeluk tubuhnya, sementara Kris mengedarkan pandangannya di ruangan kecil itu.

 

Tidak. Tidak ada siapa-siapa kecuali Kyungsoo.

 

Tidak ada pencuri, tidak ada orang lain.

 

Hanya Kyungsoo seorang diri.

 

“Apa yang terjadi, Kyungsoo?” tanya Kris bingung.

Kyungsoo menggelengkan kepala, menangis tersedu-sedu meskipun dia pria. Dengan tangan yang gemetaran, Kyungsoo menunjuk sudut kamar mandi dan berkata,

“A-ada s-seorang…di…di sana. D-dia tinggi, m-menyeramkan, dan d-dia mau membunuhku…” pria kecil itu menenggelamkan wajahnya ke pelukan Junmyeon dan menangis lagi. “Dia mau membunuh kita semua!”

“Tapi tidak ada siapa-siapa di sini.”

“A-ada, ada…dan aku takut.”

 

Hening, hanya ada suara tangis Kyungsoo yang memenuhi ruangan.

 

“Hei, ini mirip seperti dalam film—“

“STOP! Berhenti bicara, Byun Baekhyun, atau aku akan memukulmu!” potong Kris marah, lalu Chanyeol berdiri di depan Baekhyun seolah menjadi tamengnya. “Coba saja kalau kau berani, hyung.”

“Kris-hyung, kenapa kau seperti itu?” tanya Junmyeon hampir berbisik.

Kris menelan kenyataan dan dia frustasi. “Please, kumohon. Tolong dewasalah sedikit. Kalian terlalu terpengaruh akan film itu. Berhenti bersikap seolah-olah yang terjadi disini semuanya mirip seperti di dalam film itu. Oke? Kalian mengerti?”

“Tapi semuanya mirip, hyung,” jelas Jongdae angkat bicara. Mereka semua menatapnya dan belum pernah Jongdae menunjukkan wajah seserius itu seumur hidupnya.

“Hari ini, Luhan bilang seseorang menarik kakinya semalam dan tidak ada yang melakukannya. Kami semua tertidur.”

Luhan mengangguk, matanya terpejam seakan dia mau menangis.

“Pintu kamar kita terbuka sendiri tadi malam—“

“Itu hanya angin, Jongdae,” beritahu Kris berusaha tenang.

Jongdae mengangguk, “Mungkin. Tapi aku yakin pintunya terkunci karena semalam akulah yang menguncinya, hyung.”

Aura seram mulai merayapi kulit mereka, tiba-tiba angin dingin berhembus—membangunkan bulu kuduk mereka seraya Jongdae tetap melanjutkan kejadian aneh di dalam dorm mereka.

“Bau busuk yang tadi siang kami cium. Aku yakin itu bukan sekedar bau kentut seseorang. Itu adalah pertanda adanya aktivitas makhluk gaib.” Lalu Jongdae menunjuk Sehun. “Oh Sehun tidur sambil berjalan semalam. Sudah lama itu tidak terjadi—“

“Dan Tao berbicara sendiri di pintu utama,” sela Junmyeon bergidik ketakutan. “Dia bilang ada tamu, tapi ketika kulihat tidak ada orang disana.”

“Tao, bisakah kau jelaskan hal itu?” desak Kris.

“Aku…tidak ingat.” tatapannya menerawang sebelum Tao terhuyung ke belakang dan Minseok serta Lay harus menahannya agar tidak jatuh.

Kris pun mengangakat sebelah alisnya, berkacak pinggang menghadap mereka semua. “Jadi kalian pikir, apa yang terjadi di dalam film The Conjuring benar-benar terjadi di dorm kita ini?”

Jongdae mengangguk lagi. “Mungkin…entahlah…”

“Maksudku,” Kris mengumpulkan kata-kata yang siap dilemparkan pada mereka. “semua hantu yang berada di film itu terbawa sampai ke dorm kita?”

 

Tidak ada yang menjawab.

 

Kris tertawa dan menjentikkan jarinya di depan wajah Jongdae. “Konyol,” desisnya. “Kau tahu apa arti konyol? Konyol adalah ketika kau terlalu takut pada sebuah film horor dan mulai berdelusi. Dan maaf…aku bukan orang konyol dan aku tidak percaya akan hantu atau apalah itu. Mengerti? Sekarang, minggir!”

Dia mendorong Jongdae, Chanyeol hingga Baekhyun dan keluar dari kamar mandi yang penuh sesak oleh mereka. Kris masuk ke dalam kamar dan membanting pintunya. Dia tidak percaya mereka harus bertengkar hanya karena ini apalagi mendengar suara Junmyeon memanggil namanya, ah, dia benar-benar menyesal harus marah. Tapi…

 

“Itu konyol!” sekali lagi dia berkata sebelum dia menutup mata dan tidur, melupakan apa yang baru saja terjadi.

 

Tiga jam sebelum acara radio.

 

***

Kris membuka mata ketika alarm ponselnya berbunyi.

 

Pukul tujuh malam. Kamarnya gelap, segelap langit di luar sana dan Kris tidak mendengar satu suara pun. Waktu-waktu seperti ini seharusnya sudah dipenuhi oleh suara berisik mereka yang mandi dan bersiap satu-persatu, namun itu tidak terdengar.

Kris membuka pintu, melongokkan kepala dan menemukan dorm yang sepi seolah tidak ada penghuninya. “Kemana mereka?” Hei, tidak mungkin kan mereka berdua belas pergi ke acara radio tanpanya.

 

“Junmyeon?” panggil Kris.“Luhan? Minseok? Tao?”

 

Tidak ada yang menjawab.

 

Plok!

 

Kris terpaku. Sebuah tepukan tangan menjawab pertanyaannya.

 

“Jangan bermain-main denganku.”

 

Plok!

 

“Ini tidak lucu—“

 

Sebelum Kris bisa menyelesaikan kalimatnya, tiba-tiba seseorang menarik tubuhnya menjauh dari pintu kamar dan membantingnya ke samping tempat tidur, menimbulkan nyeri di punggung Kris yang tertabrak meja.

 

“Aww!”

 

BRAKK!

 

Pintu tertutup sendiri dan terdengar suara klik—pintunya terkunci.

 

Gelap. Kris tidak bisa melihat apa-apa ditambah dia terlalu bingung menyerap apa yang baru saja terjadi. Tangannya mencari senter di laci meja dan begitu dia menemukannya, cahaya senter itu menerangi sudut kamar.

 

“H-halo, apakah ada orang?” suaranya bergetar ketika bicara.

 

Senter pun mati sekejap, baterainya lemah dan Kris harus menepuk senter itu sebelum dia menyala lagi dan…

 

 

 

Seseorang berbisik di sebelahnya.

 

 

 

 

Do you want to play hide and clap?

 

 

Plok! Plok!

 

 

THE END

A/N:

HAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHA DO YOU WANT TO KISS BAEKHYUN AND DIE?

LOL XD

Gatau ah nulis apaan, aku lagi terserang WB dan begitu dapet ide ini langsung nulis dan…ahem, sepertinya muntah kata-kata hahaha xD

Yap! Fic yang sama seperti Knows Something. No plot, no story. Ya asal mengalir gitu aja dan tadinya mau dibuat crack, tapi…ah, nanggung. Sekalian aja emang ada hantunya hahaha xD

AND I WANT TO SAY THANK YOU FOR  ABOB, AWW, I RECEIVE SO MANY (PROS AND CONS) COMMENTS EVEN IT’S-NOT-SO-GOOD-FIC AFTER ALL, BUT THANK YOU <3 I WILL TRY TO REPLY YOUR COMMENT ONE BY ONE AND PLEASE SUPPORT ME TO WRITE THE NEXT ABOB ASAP!

SEE YA!! <3


[Writing Prompt] Fly Above the Mist

$
0
0

Fly Above the Mist

The ultimate responsibility of the pilot is to fulfill the dreams of the countless millions of earthbound ancestors who could only stare skyward and wish”

 

 ***

“Apa mimpimu?”

 

Itu adalah tanggal satu di tengah-tengah semester ganjil kelas 11. Aku kekasih Oh Sehun sejak kelas 10. Dia berambut cokelat dan manis dalam balutan seragam sekolah kami, jadi tidak ada alasan untuk katakan ‘tidak’ pada ajakan Oh Sehun waktu itu.

Permintaannya selalu kuturuti karena mereka terdengar memaksa dalam kondisi apapun dan aku akan melakukan apapun yang dia minta.

Jadi pacarku ya?

Asal tahu saja, rajukannya yang tak lebih dari permohonan anak lima tahun tentu memaksaku untuk anggukan kepala atasnya.

Ya.

Dan kini kami sedang berbaring di bawah pohon rindang di dekat sekolah. Pandangi langit biru yang memayungi dua makhluk ini. Tas kami entah pergi kemana dan yang ada hanyalah perasaan ingin bersantai menikmati waktu luang kami sebelum pulang dan bertemu segudang PR.

“Mimpiku?”

Aku pun berpikir sejenak, menyanggah kepalaku dengan tangan serta siku yang tertanam di rumput. “Eumm…entahlah. Aku suka menulis, aku bisa jadi penulis. Aku suka menggambar, aku bisa punya galeri sendiri. Aku biasa menjadi MC, mungkin aku bisa menyingkirkan Kang Hodong dari star king.” Aku terkekeh membayangkannya.

Sehun ikut tertawa, namun aku tahu dia sedang tidak bercanda, maka ku sandarkan kepala ke bahunya, bermain-main dengan kancing kemejanya.

“Kalau mimpimu?”

Sehun tidak langsung menjawabnya. Dia mengangkat tanganku ke udara, sentuhannya yang lembut meliuk-liukan gerakan disana dan aku tidak paham.

“Ya! Apa maksudmu?” Kupukul dadanya perlahan dan Oh Sehun menyerah. Dia istirahatkan tanganku di perutnya yang naik turun setiap kali bernapas.

“Pilot.”

“Pilot?” tanyaku sedikit kaget, karena aku tidak pernah menyangka bahwa mimpinya menjadi pilot bukanlah candaan semata. Oh Sehun benar-benar ingin menjadi pengendara kendaraan yang mirip burung itu.

“Oh…aku…”

“Keren bukan? Aku bisa pergi kemana saja aku mau. Terbang diatas awan adalah salah satu hal yang ingin kulakukan sejak kecil,” ucapnya riang. Rasa gembira menguar bagaikan botol parfum yang terbuka.

“Kau…terbang? Sehun, itu mengerikan!” protesku tampak sia-sia. Sehun tersenyum nakal padaku dan wajahnya yang cukup dekat membuat napas kami bertautan satu sama lain.

“Mengerikan?”

“Ya…mengerikan,” bisikku.

“Apanya yang mengerikan?”

“Semuanya!” tiba-tiba aku panik. Kujauhkan diri darinya dan menatapnya bingung. Pikiranku seperti berkabut. “Kau…kau tidak menginjak daratan dan, dan ketinggian dan segala ruang hampa. Kau tidak tahu apa yang ada diatas sana, Sehun.”

“Hei, hei, memang ada apa diatas sana? Hanya ada awan, manis. Tidak ada gunung, well, di ketinggian tertentu memang ada, namun itu sama sekali bukan masalah—”

“Bukan masalah??? Tentu saja masalah. Kau berada beribu-ribu kaki diatas permukaan laut, Oh Sehun–”

“Lalu? Aku tidak takut pada ketinggian. Ingat kita pernah pergi ke pulau Jeju? Aku bermain bungee jumping dan itu seru. Itu seru.” Dia memandangku aneh.

Senyumannya aneh, semuanya aneh.

Oh Sehun terlalu bersemangat untuk ini. Lebih daripada saat bermain roller coaster. Lebih daripada ulang tahunku dan…ini menyebalkan.

“Terserah apa katamu.” kataku pahit, membalikkan badan agar Sehun hanya menatap punggungku.

Tiba-tiba kurasakan bulu kudukku meremang di bawah sentuhan napasnya. Dia dekat sekali—membuatku ingin berbalik dan memeluknya.

“Apa salahnya jadi pilot?”

Aku menggeleng, mencabut segenggam rumput di tangan.

“Lalu kenapa kau bersikap seperti itu?” Sehun melingkarkan tangannya di pinggangku seperti mereka memang tercipta untuk tujuan itu.

“Bukan apa-apa. Lupakan saja. Anggap aku tidak mengatakan apa-apa.” tandasku tak peduli.

Kurasakan lengkungan bibirnya di kulitku. “Bagaimana bisa seperti itu, hm? Kau tahu aku tidak mudah melupakan sesuatu.”

Ya, Oh Sehun punya ingatan layaknya gajah dan dari wajahnya yang imut, aku tahu otaknya pintar mengerjakan soal fisika,.matematika, semua yang menunjang…masa depannya.

“Apa…kau takut naik pesawat?”

Akhirnya pertanyaan itu timbul juga dan mempermudah jalanku mengatakan ini pada Sehun. “Ya, ya, aku takut ketinggian, pesawat dan segala sesuatu yang membuatku tidak menapakkan kaki di tanah. Puas?”

Sehun tertawa mengolokku, namun aku berakhir dalam pelukannya yang penuh kehangatan.

“Aku akan jadi pilot handal dan membawamu tanpa ada rasa takut. Kau tidak perlu takut.”

Aku diam. Mulutku tersegel dan ciuman sebelum pulang terasa seperti musim panas.

Ya, Oh Sehun selalu terasa bagai musim panas yang menyenangkan setiap hati dan ya, dia menerbangkan hatiku ke lapisan awan yang katanya: tak akan ada apa-apa disana.

“Aku akan maneuver.”

“Jangan coba-coba melakukannya, Oh Sehun! Atau aku akan membunuhmu.”

 

***

Kau tahu, langit itu indah jika kau memandangnya dari bawah. Warnanya biru, menenangkan apalagi jika kau baru saja mengerjakan tiga puluh soal matematika untuk ujian dan yang semua orang inginkan adalah terbang melintasi langit itu, juga menyentuh awan-awan kecil di atas sana.

Aku tidak mengingankannya.

Tempat itu terlalu tinggi, terlalu jauh dan aku takut. Aku hanya akan menutup mataku.

Namun Oh Sehun menyukainya—menginginkannya.

Dia mau menjadi Peterpan berseragam pilot dan terbang membawa penumpang ke negeri Neverland yang katanya penuh kebahagiaan. Oh Sehun mau menjadi seseorang yang mengantarkan semua orang ke tujuan mereka.

“Di antara begitu banyak pekerjaan, mengapa kau memilih pekerjaan itu?” tanyaku keesokan harinya, berharap dia berubah pikiran.

“Memang kenapa? Itu pekerjaan mulia, kau tahu.” Sehun mencium pipiku dan mengeratkan pelukannya di tubuh ini.

“Aku mengantarkan orang-orang ke tujuan yang ingin mereka capai. Itu bisa memakan waktu yang sangat lama, berjam-jam lamanya perjalanan dan aku tidak tidur sementara mereka hanya duduk di sana dengan tenang.”

Aku menangkup wajahnya, memperlihatkan betapa seriusnya diriku. “Lihat, kau menderita jika menjadi pilot. Kau kurang tidur dan akan punya kantung mata seperi Taozi.”

Yeah, Taozi teman kami si mata panda itu.

“Kau mau seperti dia?”

Sehun tergelak, sekali lagi mengecup dahiku dan bergumam di permukaan kulitku.

“Asalkan orang-orang bahagia dan selamat sampai tujuan, aku akan melakukan segalanya.”

Aku tidak mengerti. Sehun mengorbankan segalanya untuk cita-citanya ini. Dia belajar, bercengkrama dengan buku-buku tebal setiap hari demi lulus ujian masuk sekolah pilot, dia menyingkirkan semuanya demi ini. Ini yang kubenci.

“Kenapa kau tidak jadi tukang koran saja atau—atau supir bus? Atau memasak di restoran? Pekerjaan itu juga menolong orang, membuat orang bahagia!” kataku bersikeras.

Ya, mungkin dia bisa jadi tukang pengantar susu atau CEO di perusahaan. Semua pekerjaan yang membuatnya berjalan di darat, bukan melayang di udara, yang seketika bisa saja menjatuhkannya ke bawah.

“Pilot.”

Aku menyerah. “Kenapa kau tidak sekalian saja jadi malaikat? Kau terlalu baik,” bisikku menenggelamkan kepalaku di pelukannya.

Sehun tertawa, getarannya sampai ke hatiku hingga kucengkram kemejanya. “Kau benar-benar menyukaiku ya?”

 

Aku menggelengkan kepala sembari tertawa kecil.

 

Tidak, aku tidak menyukaimu.

 

Aku mencintaimu.

***

 

Mungkin aku egois.

 

Ya, mari kita sebut saja bahwa aku disinilah satu-satunya pemeran antagonis yang meminta semuanya berjalan seperti yang kuinginkan. Bukan tanpa alasan mengapa tiba-tiba aku ingin menjadi Cruella Devile di film Dalmation 101.

Aku memang tak menginginkan anjing dalmation. Tidak. Bukan itu.

Aku hanya ingin Oh Sehun berhenti meraih mimpinya yang tinggi itu, setinggi matahari di langit dan gedung pencakar yang menjulang ke atas sana, ketika pagi itu aku melihat berita di televisi. Aku ingin Oh Sehun berhenti.

 

Dilaporkan bahwa pesawat boeing 777 jatuh di sekitar Celebes. 100 penumpang selamat, namun sangat disayangkan Pilot dan Co-Pilot tak dapat diselamatkan…

 

Ini kah yang Sehun sebut pekerjaan mulia?

Dengan mengorbankan nyawanya sendiri demi orang-orang yang ingin mencapai tujuan mereka–untuk merasa bahagia?

 

Pagi itu aku berlari, melupakan bahwa aku masih memakai piyama dan sandal rumah. Aku berlari ke dormnya walaupun itu berjarak 1,5 km. Semua orang menyangka aku gila karena aku berlari sambil menangis. Aku tidak peduli.

“Bagaimana denganku?”

Aku bertanya tanpa basa-basi, berdiri di ambang pintu hampir kehilangan nafasku. Tapi itu belum separah jika aku harus kehilangan Sehun.

“Apa maksudmu? Hei, bernafaslah. Kau—”

“Kau bilang pilot adalah pekerjaan mulia. Kau bilang kau akan melakukan apapun agar orang-orang bahagia,” kataku penuh emosi. “Tapi bagaimana denganku?”

“Sayang, aku tidak mengerti apa yang kau katakan. Bisakah kau masuk terlebih dulu dan—”

Sehun hendak menggenggam tanganku, namun aku menepisnya. Tiba-tiba air mata menyeruak keluar begitu saja, tak bisa dikendalikan.

“Kau lihat berita tadi pagi? Ada kecelakaan pesawat. Semua penumpangnya selamat, sementara pilot dan co-pilot-nya tewas. Itu ‘kan yang kau inginkan, semua penumpangmu selamat dan kau mengorbankan dirimu untuk mereka? Ya, Oh Sehun, mereka bahagia, misimu tercapai. Tapi bagaimana denganku? Bagaimana jika pilot tadi adalah dirimu dan aku adalah satu-satunya orang yang menangis atas kematianmu?”

Aku berhenti bicara, mengambil nafas sejenak sementara Sehun masih tidak tahu harus merespon apa.

“Bagaimana jika aku adalah istrimu. Setiap malam aku tidur sendirian, sedangkan kau terbang di langit yang gelap itu. Aku menunggumu pulang setiap hari, berusaha mengenyahkan rasa rindu yang menumpuk dan ketika tiba saatnya kau pulang…” Suaraku tercekat. “…bukanlah dirimu yang pulang, namun hanya nama dan seragammu.”

Kututup mataku, membiarkan air mata mengalir di pipiku.

“Aku akan menjadi janda diumurku yang terlalu muda. Jika kita punya anak, dia akan tumbuh tanpa seorang ayah dan aku—”

“Ssttt…”

Sehun pada akhirnya mengerti dan dia menghentikan mimpi burukku yang terlampau menyeramkan untuk dibayangkan. Laki-laki itu memelukku erat, mengusir rasa takut yang bersarang di kepala ini. Apa aku terlalu naif? Apa aku berlebihan?

“Itu tidak akan terjadi.”

Sehun merapalkan kalimat itu sembari dia merengkuh tubuh ini di tempat tidur. Aku meletakkan kepalaku di lengannya, menangis karena Sehun memang membiarkan air mata itu jatuh ke kaus putihnya, membiarkan air mata membawa kecemasanku jauh-jauh disetiap tetesnya.

“Aku tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Aku janji.”

Dia berjanji dengan menautkan jemarinya pada jemariku.

“Aku bersumpah aku tidak akan membiarkanmu menjadi janda, aku bersumpah anak kita tumbuh bersama ibu dan ayahnya. Aku bersumpah.”

 

Ya, dia bersumpah.

 

Oh Sehun bersumpah.

 

Tapi hati kecilku berbisik,

 

Kau bukan Tuhan, kau tidak tahu apa yang ada di depanmu, menunggumu. Entah maut, entah hidup yang bahagia.

 

Aku menangis lagi.

 

Aku tidak rela Sehun harus pergi dengan cara seperti itu. Haruskah aku berlutut, memohon padanya untuk melepaskan mimpinya?

“Jangan cemas. Aku mencintaimu.”

Atau…

Mungkin…haruskah aku percaya padanya, menyerahkan semua kecemasanku ke dalam tangannya?

 

Entahlah.

***

 

Oh Sehun.

 

Pria ini mencintaiku kurang lebih tujuh tahun lamanya, namun dia mencintai mimpinya menjadi pilot seumur hidupnya. Dia bercerita ingin terbang ke lapisan teratas langit dan membawa orang-orang sampai ke tujuan mereka—kebahagiaan mereka.

Maka itulah yang dia dapatkan.

Kami hanya bertemu dua kali dalam sebulan. Setiap pagi di awal bulan, aku akan merapikan kerutan di kemeja putihnya, topinya, dan memeluk sosok itu, membiarkan aroma parfumnya tinggal untuk sementara karena aku akan kehilangan hal itu dua minggu lamanya.

“Kapten Oh pergi dulu.”

Aku menganggukkan kepala sembari tertawa dan menyelipkan kata ‘hati-hati‘.

Lalu setelah dia pergi, aku akan menonton televisi dengan perasaan cemas melingkupi. Mengigit kuku tiada henti, seperti besok adalah kiamat. Dan ketika tidak ada berita tentang kecelakaan pesawat—itu sangat melegakan.

Lebih melegakan ketika ponselku berdering dan suara Oh Sehun melantun di seberang sana beberapa jam setelah kepergiannya.

Aku sudah sampai.”

Sebuah senyuman menghiasi wajahku dan aku berterima kasih pada Tuhan.

Apa itu suara Jihyun menangis?” tanyanya cemas.

“Ya, dia sudah bangun dari tidurnya, kurasa,” jawabku.

Oh, baiklah. Aku akan meneleponmu nanti. Sampaikan pada Jihyun, aku menyayanginya.

“Ya.”

Dan aku mencintaimu.

 

Kau tahu, inilah yang membuatku bertahan.

 

“Aku juga mencintaimu.”

 

Karena jika Sehun mencintaiku, dia akan pulang ke rumah ini dua minggu kemudian. Bertemu denganku, juga Jihyun anak kami yang berumur enam bulan. Dia akan berkata bahwa betapa rindunya dia pada keluarga kecil ini dan…

 

Ya, Sehun akan pulang.

THE END

 

 

A/N:

Pilot!Au lol xD

So, long long ago I have a crushed on my friend who become a pilot and one day, I tell myself to stop like him, because…yeah…I consider so many things LOL!!

HAHAHAHAHAWHYITELLYOUTHIS?

ANDWHYOHSEHUN????!!!!!

AND I HAVE SO MANY PROJECTS AND I WRITE THIS!!! JAHSAJIAUCNDJNCIDS GO FVCK MYSELF!! T_T

SEE YA!


[!!!] SEMI-HIATUS

$
0
0

lay lay

Holiday is over :”(

Let me say ‘see you soon, writing‘ and ‘hello, real life!

 

 

Halo, aku bingung mau ngomong apa di sini. But you miss me, right? kkkk :D

Aku jarang ke sini ya? Cuma ngepost dan ngepost dan ngepost, terus gak bales komen (okay, fine. Go to hell, Dir and stay there!)

/Sighs/ -__-

Oke, tapi aku mau cerita sedikit tentang liburan sebulan yang sangat tentram dan damai, sampe-sampe aku kira ini adalah liburan semi-heaven gitu. Yeah, it’s quite fun and i’m so happy. Entah kenapa seneng banget bisa ada di rumah (ya, aku tipe anak rumahan), terus bisa bangun siang, tidur malem, begadang, ngeliat muka orang rumah sampe bosen sendiri hahaha xD

Tapi secara keseluruhan, AKU SENANG!

Dan yang paling penting di sini adalah AKU BISA NULIIIIIISSSSS!!

Coba kita hitung sudah ada berapa tulisan dalam sebulan belakangan ini? Hmm…lumayan lah ya, sampe sepuluh kah? kkkk

Aku seneng karena bisa nulis di komputer, karena kalo lagi kuliah aku suka nulisnya di hape (dalam perjalanan pulang) (dalam busway) (dalam kereta) (terkadang di motor). You know ‘kan, terkadang ide itu suka muncul enggak tau diri dan kayak merajuk minta di tanggepin walaupun lagi di dalem perjalanan (kampay kamu, ide!). Dan nulis di hape itu rasanya kayak dijedotin sama Tao ke tembok, diminta dansa balet sama Kai padahal kita enggak bisa, dipaksa masuk kelas gambar yang gurunya Kris padahal kita tau sendiri ‘kan dia enggak bisa gambar.

Nah ya kurang lebih rasanya kayak gitu. Apalagi kalau hape-mu hanyalah hape touchscreen yang kecil, yang terkadang orang-orang pun suka kepo kamu nulis apa. HELL! Aku pernah digituin sama ibu-ibu. Man, kalo mau baca fic-ku buka aja hangukffindo.wordpress.com *promosi*

Oke itu suka duka bagaimana menulis di hape, tapi ya enggak tau kenapa punya sensasi tersendiri. Kadang-kadang suka sambil dengerin lagu, ngeliat kanan kiri muka-muka orang abis kerja capek, terus ada cowok cakep (NAH INI! YANG MENYULUT IDE DATENG!). Tiba-tiba lagu ke-shuffle jadi lagu cinta, ngebayangin itu cowok adalah…

Kim Jongdae

dan senyumannya manis kayak…

Do Kyungsoo

lalu timbul benih-benih fluff dan ide (enggak tau dateng darimana, mungkin dari jendela busway yang sedikit terbuka dan kebuka banget kalo lagi ujan) dateng. Wohoo!

Tapi karena ini liburan, ya jadinya nulisnya di komputer. Agak susah menyesuaikan mata dari layar kecil ke layar besar. Tiba-tiba ngerasa kayaknya udah banyak banget nulis, eh tapi kok baru berapa ratus kata. Dan itu…nyebelin. Dan sekali lagi, di awal bulan liburan, yah, syukur-syukur ya WB enggak mampir, jadinya lancar nulisnya sampe seminggu bisa ngepost tiga-empat fic. Itu kayak kesetanan nulisnya. Aku nulis si Kim Jong Troll Dae, aku nulis fic Baekyeol, aku nulis si Kaisoo I Do, aku nulis ABOB yang rasanya tak kunjung selesai tapi akhirnya selesai juga, aku nulis si Baby Baekki, aku nulis si Baek Cheesy Hyun, aku nulis nulis nulis dan menulis. Aku sampe takut orang mau marah-marah ke aku karena hampir setiap hari ngepost.

You know lah, ada beberapa orang yang tak suka aku begitu /berbisik/

So, to be honest liburan kali ini lebih bermakna karena aku menulis banyak dan juga banyak membaca novel beserta fanfic. Aku juga ikut ngebantuin benerin rumah dengan ngecat temboknya, ngecat kerangka jendela dengan ekspektasi bayaran tak perlu uang, cukup album Growl. Tapi……..albumnya tak kunjung dateng. Mungkinkah macet di jalan? (APAAN MACET?!! DIPESEN AJA KAGAK) /pukpuk diri sendiri/

Yah begitulah hidupku. Tak semuanya indah, tak semuanya yang diinginkan bisa tercapai. Keringat sudah keluar dan kering lagi, aku nak masih bersyukur masih dikasih makan sama emak dan ayahku /tiba-tiba menjadi teater koma/. Tapi pada akhirnya aku seneng ngeliat rumahku yang cantik dengan cat tembok berwarna hijau, dinding luar berwarna pink dan area dapur berwarna cokelat mocca (ini perpaduan yang aneh. Tapi…yaudah deh, yang penting gue bisa tinggal di dalemnya). BEBAS!

Dan di pertengahan bulan yang sedikit terik akan panasnya matahari dan aku mulai kayak…

“duh, aku capek…”

lalu jam 10 mata udah seperti digelayutin Sehun. Kehidupan malam (re: fangirling) sekejap menjadi kehidupan yang tabu #tsah

“aku ngantuk…”

Yap! Enggak selamanya nulis itu jadi pelarian atau obat di saat kita penat. Bahkan nulis itu terkadang bikin kita stres apalagi kalo nulis bukan karena pengen (atau mari kita sebut dengan ‘terpaksa’) Lalu aku pun berpikir ‘Oh yaudah, itu artinya aku harus berhenti nulis sejenak dan menikmati liburan sembari mencari-cari ide, kayak…

pergi jalan-jalan sama temen

pergi shopping

makan yang banyak (O.O)

atau merenung sendirian di belakang rumah, ngeliatin lalat terbang atau cacing bikin rumah/?

(kalo suka kehabisan ide sih biasanya begini ._.v)

Dan…hah…

tunjuk tangan kalo kalian adalah reader lama dan tau gimana kelakuan aku kalo hiatus.

ya, oke, kamu yang dibelakang silahkan jawab.

“….hehehehe dia kalo hiatus enggak mungkin lama-lama…”

Jadi, aku kembali menulis lagi dan berfangurling ria lagi. Oh my God, kapan aku bisa menghentikan itu semua ;;;__;;;

Yap, jadi itulah diari singkat dan penuh gambar punyaku. Duh enggak ngerti kenapa malah nulis beginian sambil buka tumblr dan gambar2nya serasa ngejek gitu T_T kampay! Mana ini jam 1 pagi huhuhu

Ini juga sebagai penanda bahwa, aku hanya semi hiatus. Bentar lagi kuliah, iya, hari Senin. Aku kangen temen-temenku, aku kangen dosen, aku kangen kampusku yang katanya kampus hijau but what the hell are you talking about?! it’s white and hot and less trees/? ya begitulah kira-kira. DAN AKU HARUS PERGI KE HALTE BUSWAY YANG PUNYA WIFI KECEPATAN SUPER KAYAK FLASH, OKE?! mungkin kalo kalian bertemen sama aku di tuiter dan suka ngeliat aku nyebutin ‘halte dukuh atas’, ‘halte dukuh atas’, ‘wifi super kenceng’, ‘donlot video 400 mb hanya 10 menit’. IT’S TRUE!!! Jadi, kalo kalian orang luar jakarta dan mau mampir ke jakarta, jangan lupa dateng ke Halte Dukuh Atas 2, jangan yang Dukuh Atas 1, soalnya di sana enggak nyampe wifi-nya :)

TADA! It’s Dukuh Atas 2 Shelter

(biasanya duduk di ujung sana tuh aku sambil nungguin bus-nya dateng–eh, itu bukan aku kan yang lagi duduk di sana?? /panik/)

Dan oh iya, hampir lupa! Aku mau ngasih tau beberapa projek menulisku. Yeah, pada akhirnya aku yang biasanya absurd bin random ini kan suka nulis ngasal ya, nah sekarang aku mau kayak orang-orang ah yang punya tujuan menulis jelas dan terarah. So, perhatikan projek-projek di bawah ini:

  1. A Bunch of Baby

tumblr_lrcsskjTIt1qi7elio1_500_large

Yes, this is my main project! Aku belom mutusin siapa appa selanjutnya, tapi udah bikin covernya duluan (ya emang sarap!). Tapi aku udah menemukan plotnya dan hanya butuh sedikit gelitikan di perut/? supaya bisa bikin yang lucu dan fluffyyy. Dan aku sih mau fokus nyelesain ini sebelum Desember, karena ABOB itu dimulai pas November taun lalu. Ya masa setaun gitu sih /nanges/ jadi, let me finish this series, walaupun masih ada enam orang lagi yang belom. Aaaaa~yaluhan (/.\)

2. Baby Jonginie

Yap! Ini udah tinggal si bocah yang satu ini nih yang belom ditulis. Aku inget, aku menjanjikan untuk nulis ceritanya si baby Jonginie dengan sangat romantis dan ya, palingan romantisnya anak umur sepuluh tahun gitu deh hahaha /brb wawancarain anak umur 10 tahun/

3. Al Capone Series

Ini udah gatel banget sebenernya tanganku pengen nulis mereka. Tapi aku takut ada reader baru yang belom baca ABOB Kris dan mereka enggak tau apa itu Al Capone. Ini aku pengen buat Band!Au gitu. Aku mau nyeritain masing-masing anggota Al Capone (Kris, Baekhyun, Chanyeol, Tao, Xiumin) dan AKU MALES BIKIN PROLOGNYA!! <—ini harus banget dikapital. atau sebenernya AKU NGGAK JAGO BIKIN PROLOG!!! Yah, jadi jangan kaget ya kalo tiba-tiba muncul fic dengan judul “AL CAPONE: Chanyeol’s Dirty Little Secret” misalnya kayak gitu. Oke oke?

Ya, oke sekian dariku. Um, terima kasih kalo kalian udah mau baca ini dan memahami segala kondisi dan keadaan >.<

Aku akan meluangkan sedikit waktu untuk nulis dan kuliah kali ini akan menyita banyak sekali tenaga juga pikiran beserta emosi jiwa. Jadi, jangan salahkan aku atau muka Baekhyun yang terlampau tampan :)

I love you guys! <3

I’ll be right back as soon as possible :3

SEE YA!!!

MUUUUUUAAAH!! <3


EXO Drabble #1

$
0
0

My Fingers

// Baekyeol // Comedy, Fluff, PG-13 //

A/N:

This is for myself and all of Baekyeol shipper. Thank you ♥

***

 

Baekhyun senang menghabiskan waktu dengan membaca. Majalah, artikel di internet, novel, komik, semuanya dia baca. Tiga puluh menit atau satu jam tak terasa telah berlalu karena berbaring di sofa dengan segelas cokelat hangat dan novel di tangan adalah momen terbaik.

Tapi tidak ketika seseorang sering mengganggunya, seperti meniup telinganya atau menarik rambutnya dari balik sofa dan bersembunyi.

“Hentikan itu, Chanyeol,” kata Baekhyun memberi peringatan.

Chanyeol akan cemberut karena tidak mendapatkan perhatiannya. Lalu dia mencoba hal lain, seperti menyalakan teve dan menyetel dvd kesukaan Baekhyun. Tapi Baekhyun tidak akan menoleh, karena—Tuhan juga tahu—mereka sudah seribu kali menonton film itu.

“Kau tidak mau menonton?”

Nope.”

“Ini film kesukaanmu.”

“Ya, tapi aku mau membaca majalah saja. Bisakah kau kecilkan suaranya?”

Chanyeol menatap Baekhyun yang kembali membaca majalah. Tak bergeming selain membalik halaman majalah dan membaca.

Kemudian Chanyeol memutar otak agar Baekhyun memberikan perhatian padanya. Dia bahkan tidak memandang ke arah mata Chanyeol seharian ini, tidak mengucapkan sepatah kata pun untuk membuka percakapan. Tidakkah ini menyebalkan?

“Aku akan mencuci baju, Baek,” beritahu Chanyeol cukup lantang.

Chanyeol adalah makhluk yang tidak bisa mencuci. Terakhir kali dia mencuci adalah bencana karena Chanyeol terlalu banyak menggunakan deterjen dan Baekhyun melarangnya untuk mencuci di waktu yang lain.

Jadi, mungkin ini akan membuat Baekhyun berpaling padanya.

“Bisakah kau mencuci baju Kyungsoo dan Jongin juga? Keranjangnya ada di depan kamar mereka.”

Chanyeol ingin meledak.

Dia ingin berkata: BAEK, AKU AKAN MENCUCI DAN MENUANGKAN TERLALU BANYAK DETERJEN! INI PARK CHANYEOL YANG AKAN MENCUCI!

Tapi dia hanya menelan kekecewaan dan tidak jadi mencuci.

“Kau tidak jadi mencuci?” tanya Baekhyun begitu melihat Chanyeol melintas di depannya, pergi kearah kamar.

“Tidak,” jawabnya dingin.

 

Lima belas menit kemudian…

 

“Baek, aku akan memasak.”

Oh, yang ini lebih parah. Park Chanyeol ditakdirkan untuk tidak bermain di area itu.

Terakhir kali dia berada di sana hanyalah menciptakan keonaran dan Kyungsoo harus mengancamnya dengan pisau agar dia tidak kembali ke sana, karena bayangkan saja Chanyeol tidak bisa membedakan antara jarinya dengan wortel.

Dia hampir memotong jarinya sendiri!

“Jangan lupa memasak untuk kami semua, Yeol,” senandung Baekhyun.

Tidakkah dia peduli?

“Aku akan MEMASAK, Baek. M-E-M-A-S-A-K.”

“Ya, aku tahu,” ujar Baekhyun enteng—membuka halaman majalah selanjutnya. “Hati-hati dengan pisaunya.”

 

Ah, ini yang membuat Chanyeol tersenyum lebar bagai Troll.

 

Dia menatap jari-jarinya dan tertawa kecil.

 

***

“Jariku! Jariku!”

 

Mungkin Baekhyun lebih senang membaca majalahnya, mungkin Baekhyun lebih suka menyeruput cokelat hangatnya, mungkin Baekhyun lebih suka berbaring di sofa.

Namun mendengar suara Chaneol mengaduh, well, tidak ada yang bisa dia lakukan selain mengikuti nalurinya untuk berlari dengan panik dan bertanya, “Ada apa??”

Chanyeol mengangkat kepalanya sedih, “Jariku.”

Baekhyun ingat ini adalah Park Chanyeol yang tidak bisa membedakan jarinya dan wortel saat memotong sayuran.

“Kau menyayat jarimu??!!” pekiknya ngeri sambil menggapai tangan itu dan…

 

Tidak terjadi apa-apa.

 

“Ada apa dengan jarimu? Tidak ada luka sama sekali di sini.”

“Bukan itu masalahnya.” Chanyeol menghela nafas.

“Lalu apa?”

Masih dengan wajah berkerut seperti merasakan kesakitan, Chanyeol menempelkan jemarinya ke milik Baekhyun.

“Aku merasa sepertinya jari telunjukku lebih pendek darimu dan—lihat! Itu memang lebih pendek!”

“Lalu apa masalahmu?” tanya Baekhyun ikut menatap jemari mereka yang menempel.

“Aku lebih tinggi darimu. Kenapa kau punya jari telunjuk yang lebih panjang?”

“Mana kutahu, Park Chanyeol?!”

Baekhyun hendak pergi dan melepaskan tangannya, namun tiba-tiba Chanyeol menelusupkan jemarinya diantara jemari Baekhyun, membuatnya terpaut dan Baekhyun tak bisa pergi kemana-mana.

“Apa yang kau lakukan?”

“Ha! Sekali kau menyentuh tangan Park Chanyeol, kau tidak bisa lepas darinya.”

“Apa-apaan—“

“Psstt, jangan berisik. Kita masak berdua,” bisik Chanyeol mulai mengambil panci.

Sungguh, Baekhyun tidak mengerti. Tapi dia tahu ini adalah trik Park Chanyeol untuk mengambil perhatiannya dan, yeah, dia berhasil. Benar-benar cara yang tidak masuk di akal manusia.

“Kau mau pergi kemana?” tanya Chanyeol tiba-tiba merasakan tarikan di tangannya.

“Aku mau mengambil majalah—“

Chanyeol menggelengkan kepalanya. “Tidak ada majalah, novel, atau apapun itu! Baekhyun harus menemani Chanyeol masak di dapur,” ujarnya keras kepala seraya mengeratkan genggamannya.

Baekhyun terpaksa memutar kedua bola matanya. “Tapi ada resep di sana. Aku mau melihatnya.”

“Oh, berarti kita pergi berdua.”

Baekhyun dan Chanyeol pergi ke ruang tengah sambil berpegangan tangan—mengambil majalah. Baekhyun dan Chanyeol memasak sambil berpegangan tangan, mereka tak terpisahkan (atau sebenarnya Chanyeol yang tidak mau melepaskannya).

“Ini konyol.”

“Tidak. Ini manis,” kata Chanyeol nyengir.

Lay menatap mereka aneh di meja makan, karena Chanyeol bahkan bersedia makan menggunakan tangan kiri demi terus menggenggam tangan kiri Baekhyun.

Guys, ada apa dengan kalian?”

“Tidak ada apa-apa. Kenapa?”

Well, semuanya punya mata dan bisa melihat pemandangan itu—menemukan apa yang dilakukan Chanyeol itu manis.

 

Mereka mencoba.

 

Jongin mencoba memegang tangan Kyungsoo, namun gagal. Kyungsoo memindahkan tangannya untuk mengambil gelas. Jongin hanya bisa menggeram pelan dan makan kembali.

Sehun dengan malu-malu menyentuh tangan Luhan di bawah meja. Luhan meliriknya dan sedetik kemudian jemari mereka saling terpaut satu sama lain, mengisi kekosongan di sana.

Kris dan Junmyeon tak sengaja mengambil sendok sup yang sama. Jari mereka bersentuhan. Kris berdeham sekali, tapi tidak memindahkan tangannya dari sana hingga tiba-tiba Tao menggenggam tangannya terang-terangan. Junmyeon pun menjauh.

 

Copy cat,” gumam Chanyeol sebal.

 

Namun, kekesalannya sirna ketika Baekhyun membalas genggamannya dan dia makan sambil tersenyum siang itu.

 

THE END

 

 

 

 

 

 



EXO Drabble #2

$
0
0

Beside You

// Hunhan // Comedy, Fluff, PG-13 //

A/N:

This is for myself and all of Hunhan shipper. Thank you ♥

 

***

“Bolehkah aku membeli yang ini?”

“Tidak kah itu terlalu terang untuk kulitmu?”

“Bagaimana dengan yang ini?”

“Umm…terlalu ketat. Yang lain mungkin.”

“Yang satu ini?”

“Warnanya terlalu gelap.”

Hyung!”

 

Sehun berkacak pinggang di depan Luhan. Sungguh, dia tidak mau marah-marah apalagi mereka sedang berada di toko baju dan berusaha tidak terlalu mencolok dengan status mereka sebagai artis. Sehun mengatupkan bibirnya, membentuk garis tipis di sana.

Biasanya berbelanja baju bersama Luhan menjadi hal terfavorit, karena Luhan sabar dalam menunggu, juga punya selera yang bagus. Tapi entah mengapa kali ini rasanya Sehun ingin membenturkan kepalanya sendiri ke aspal di jalan raya, karena ini sudah baju yang ke-tujuh dan tak satu pun sesuai dengan selera Luhan.

Hyung, aku rasa aku telah mencoba semua baju yang ada di sini,” protes Sehun.

“Oh ya? Kau sudah mencoba pakaian di rak sebelah sana?”

“Um…” Sehun melihat ke arah sudut kanan toko. “Belum.”

“Berarti kau belum mencoba semuanya, Sehun,” beritahu Luhan santai. Apa dia sudah gila?

“Itu tidak berarti aku harus mencoba semuanya!” ya, Sehun benar.

Luhan beranjak dari kursinya, memandangi Sehun dari ujung kaki sampai ujung kepala. “Tapi aku bersumpah, Sehun. Aku tidak melihat satu pun baju yang pas untukmu sedari tadi, maka aku bilang ‘tidak’, ‘tidak’, dan ‘tidak’,” jelasnya.

“Dan aku harus mencoba semua baju di sini?!”

Luhan mengedikkan bahunya. “Mungkin. Bisa jadi.”

Hyung…” Sehun tidak percaya.

Luhan terkekeh pelan dan menepuk bahu Sehun. “Bercanda. Aku hanya bercanda. Kemeja dengan motif kotak-kotak pas untukmu.” Dia menunjuk satu yang berwarna merah.

“Itu ‘kan yang aku coba pertama kali!”

“Oh ya? Masa?” Luhan memperhatikan kemeja itu dengan wajah datar dan mengangguk. “Ah, ya. Kau benar, kau telah mencobanya tadi.”

Sehun mendesis. “Dan kau bilang itu jelek di kulitku.”

Lagi-lagi Luhan mengangkat bahunya acuh. “Aku berubah pikiran. Aku baru ingat kau tampan memakai apa pun.”

Sehun berada di antara perasaan senang dan sebal. Senang karena Luhan menyebutnya tampan, tapi kini dia harus menahan rasa kesal yang meluap-luap karena kemeja itu. Sabar, Oh Sehun.

“Kau mengerjaiku ya?” tuduh Sehun sambil cemberut.

Luhan tergelak, tidak mengerti mengapa hari itu dia begitu ingin menjahili si laki-laki yang lebih muda daripadanya empat tahun.

“Tidak.”

Dia memasang wajah polos dan datar, tapi pandangan Sehun sembari menyipitkan matanya terus saja mengikuti sosok Luhan yang tengah memilih baju.

Lalu tiba-tiba sebuah ide muncul masuk ke kepala Sehun. Dan dia menyeringai lebar.

Hyung.”

“Ya?”

“Mau…kubelikan baju?” Sehun melongokkan kepala ke arah Luhan. “Sebagai tanda terima kasih karena mau menemaniku.”

 

Luhan mengangguk tanpa suara.

Sekali lagi Sehun harus tersenyum.

 

***

 

“Woah! Kemejamu bagus,” komentar Tao melihat Sehun mencobanya sesampai di dorm. Tao dari dulu ingin punya baju yang seperti itu.

“Tentu saja, ini pilihan Luhan-hyung.” Sehun mengumumkan dengan senang hati.

Yeah, aku bisa melihat kau gembira karena itu pilihan Luhan daripada kemejanya sendiri,” dengus Baekhyun sembari makan es krim di sofa.

Sehun kaget setengah mati.

“M-maksudmu apa? Aku suka kemejanya, kok.”

Kemudian Luhan pun bergabung dengan mereka di ruang tengah, memperhatikan Sehun memakai kemeja itu dan dia tersenyum mengingat kejadian di toko tadi.

“Ah, ya. Luhan-hyung juga kubelikan baju. Hyung, kau harus mencobanya,” kata Sehun mengaduk-aduk tas belanjanya.

Luhan sebenarnya tak terlalu mempedulikan apa yang Sehun beli untuknya. Dia bahkan tidak melihat bagaimana rupa baju itu, well, bagaimana kalau itu baju renang? Atau baju bermotif polkadot? Ada secercah perasaan was-was.

Tapi Luhan menghela napas lega ketika Sehun mengeluarkan kaus berwarna putih dan menyodorkannya pada Luhan. “Pakai.”

Luhan tidak membuka bajunya, langsung memasukkan kepalanya ke lubang kaus, dan setelah selesai dia merentangkan tangannya di depan semua orang.

“Bagaimana?”

Ada suatu kesunyian yang cukup janggal melingkupi ruangan itu. Dia melihat Kris menahan tawa dan Junmyeon memukul lengannya agar berhenti tertawa. Luhan menggosok lehernya, tersenyum kecil. Sedangkan Chanyeol nampaknya…ada yang salah pada rahangnya karena dia terus saja melongo.

Cheesy.”

Lay-lah orang pertama yang berucap.

“Apa?”

Luhan buru-buru menatap kausnya dan…

 

“’M…mine’?” ejanya dan melihat ada tanda panah ke kanan, matanya pun mengikuti arah panah itu dan…

 

Oh Sehun berdiri di sana—di sebelah kanannya.

 

“APA-APAAN INI??!!” pekik Luhan bingung harus berbuat apa.

“Aku tidak tahu kalau Hunhan harus se-cheesy ini. Sungguh,” timpal Minseok tergelak.

“I-ini tidak seperti yang kalian pikirkan—kau!” Luhan menatap sinis sosok Oh Sehun yang hanya tersenyum tipis. Aku akan membunuhmu!

Dan Luhan benar-benar hendak membunuhnya ketika Sehun lewat di sampingnya dan berbisik, “Ini berarti aku harus selalu berjalan di sebelah kananmu setiap kali kau memakai kaus ini.”

 

Tapi daripada membunuhnya, sebenarnya kaus itu cukup tebal dan nyaman dipakai untuk tidur. Maka Luhan hanya memakainya pada saat malam hari sebagai piyama dan dia tidak bisa mengelak dari kenyataan bahwa tempat tidur Sehun berada di samping kanannya.

 

Anak ini benar-benar.

 

***

 

“Kris-ge, bisakah kita beli satu yang seperti itu? Aku tidak lagi menginginkan kemeja kotak-kotak warna biru.”

 

 

THE END

 

 


EXO Drabble #3

$
0
0

I don't Care, I love it

I Don’t Care, I Love It

// D.O & You //  Romance, Smut (I’m serious, really) //

 A/N:

This is for my lovely ‘beach’, Nadia. I hate you for the rest of my life because you force me to turn our lovely kyungsoo into…into something like this!

Blame this song —-> Icona Pop – I Don’t Care I Love It

 

***

Aku membuka mataku saat sinar matahari menyentuh pelupuk mataku. Dia tak seharusnya melakukan itu, karena kepalaku mengingat bahwa hari ini adalah hari minggu, demi Tuhan, aku tak mau bangun dan meninggalkan tempat tidurku.

Tapi kuingat hari Minggu kali ini sedikit berbeda—um, tidak, ini SANGAT berbeda. Tidak ada aroma pancake ibuku, kopi milik ayahku, atau suara adik-adikku yang menyebalkan. Hanya ada suara dengkuran asing sejauh telingaku menangkapnya. Dengkuran itu sedikit teredam bantal dan begitu aku membuka mataku, semua memori menabrak kepalaku begitu keras sampai rasanya sakit sekali.

 

Oh, ini pengaruh alkohol kurasa.

 

Aku ingat semalam aku bersama ketiga temanku pergi ke pantai, kami berpesta di tepi pantai dan menari dengan cocktail di tangan. Ada musik, ada banyak orang, lalu mataku menatap seorang pria tampan dengan kemeja biru lautnya. Setengah tersenyum sambil mengangkat gelasnya padaku.

 

Terjadi begitu cepat…

 

Dia mendekatiku.

 

Kami mengobrol sebentar.

 

Dia menciumku.

 

Pintu kamarnya bernomor 23.

 

Kasurnya empuk.

 

Aroma parfumnya…Infusion d’homme, Prada, mirip dengan milik Jongin—mantan pacarku. Shit.

 

Aku tersenyum mengingatnya dan ketika untuk kedua kalinya aku menoleh pada sosok di sebelahku, tanpa busana—oh yeah—matanya tengah menyapu wajahku. Sekali lagi aku kehabisan napas untuk itu.

“Hai,” sapaku ceria.

Dia menyunggingkan senyumannya dan bergumam dalam nada mengantuk, “Kau tidak berteriak histeris?”

“Untuk?”

Ini.”

Yeah, untuk semua yang telah kita lakukan atau mungkin lebih tepat untuk sebuah dosa paling hina. Gosh, aku akan masuk neraka setelah ini dan menjalani hukuman di atas hukuman, penderitaan demi penderitaan.

Aku tertawa, mengambil salah satu bantal untuk menyangga kepalaku hingga kini aku lebih tinggi daripadanya,

Well, ibuku berpesan jangan minum alkohol di pinggir pantai dan tidur bersama pria yang baru kau kenal malam itu,” kataku santai. “Saat aku melangkah dari pintu rumah, aku tahu aku akan melanggar semua itu. Jadi, aku tidak akan kaget jika hal itu terjadi.”

Dia tergelak tanda tidak percaya, “You’re impossible.”

Thank you.” Aku memberinya satu senyuman simpul. “ Kau juga mengatakannya semalam sebanyak tiga kali.”

Dia memutar kedua bola matanya dan merengkuh tubuhku, mengubur wajahnya di lekukan leherku, “Kita bahkan tidak saling mengenal. Hanya tahu nama saja.”

Well, setidaknya kita tahu apa yang harus kita teriakkan semalam.”

Damn, kau suka padaku?” tanyanya menghembuskan napas yang membuatku merinding.

Aku tidak tahu apa yang aku rasakan terhadapnya. Dia tampan, bibirnya merah muda mirip buah cherry yang kumakan semalam, kulitnya seputih susu—sangat kontras dengan selimut berwarna cokelat tua ini, rambutnya lembut, dan namanya Do Kyungsoo. Aku yakini semua perempuan menyukai tipe pria seperti ini.

“Entahlah,” bahuku terangkat pelan. “Aku baru putus dengan pacarku, namanya Jongin.”

Kukira dia tertidur, tapi dia kembali bicara.

“Hmm…one night stand untuk melupakan mantan pacarmu?”

Aku berpikir mungkin ini akan sangat menyakitkan bagi Jongin jika melihatku seperti ini, tapi—hei, siapa yang tahu kalau Jongin ternyata melakukan ini di waktu yang bersamaan dan di tempat yang berbeda, oh yeah, mungkin mereka melakukannya di sofa kesayangan ibu Jongin. Siapa yang tahu.

“Dosenku selalu bilang cara untuk melupakan mantan pacar adalah membalasnya lebih sadis daripada yang seharusnya.”

“Dan…kau pikir ini cukup sadis untuk memukul Jongin?”

Aku mengangguk, tapi tidak terlalu yakin. Aku tidak ingin membahas Kim Jongin atau siapa pun dia. Aku hanya ingin berbaring—berhadapan dengan wajah Kyungsoo dan menciumnya.

“Kau tak seharusnya melakukan ini.” Dia bergumam di bibirku.

“Aku tidak peduli, aku menyukainya.”

“Kau tidak seharusnya mengiyakan ajakanku semalam.”

“Aku tidak peduli, aku menyukainya.”

“Aku bisa saja orang jahat.”

Yeah, penjahat dengan wajah paling polos dengan kedua mata besar yang meluluhkan setiap hati perempuan. Yeah, kau adalah orang jahat yang menarik tanganku, mendorongku ke kasur ini, dan menghilangkan setiap jarak diantara kita semalam.

“Bagaimana jika aku adalah seorang penjahat kelas kakap, mafia pengedar narkoba? Kau masih tidak peduli?” tanyanya setengah bercanda.

Aku menggelengkan kepala.

“Bagaimana jika aku telah menyuntikkan morfin ke dalam tubuhmu? Kau akan diperiksa polisi dan dipenjara karena mereka menemukan kau positif pemakai obat terlarang.”

Aku tersenyum dan berbisik di telinganya perlahan, “Kalau begitu lakukan lagi, Kyungsoo.”

Kyungsoo menatapku tidak percaya, jemarinya menyisir rambutku, menyelipkannya dibelakang telingaku. Tidak ada kata yang bisa dilontarkan, hanya jemarinya yang menari-nari di kulitku dan berbisik kata-kata sweet nothing. Aku tak akan semudah itu jatuh cinta pada pria ini, tapi mengapa kata cheesy yang meluncur dari kedua belah bibirnya—well, aku ingin dia mengucapkannya lagi dan lagi.

“Bagaimana jika aku akan melupakanmu setelah ini, meninggalkanmu?”

Dia bertanya terlampau serius, aku tertawa kecil. Jika kau berniat melakukan itu, mengapa kau masih berada di sini—memelukku seakan tak mau kehilanganku?

Aku mengedikkan bahuku untuk yang kesekian kalinya. “Aku mencari orang lain atau kembali pada Jongin. Aku tidak akan menderita tanpamu, damnit Kyungsoo. Kau pikir kau siapa.” Gelak tawaku memenuhi ruangan itu.

“Bagaimana—“

“Sssttt…” aku memotong kata-katanya dengan menempelkan jemari di bibirnya. Entah apalagi yang ingin dia katakan, apalagi kemungkinan-kemungkinan buruk yang bisa terjadi, dan siapa pun Kyungsoo, siapa dia, apa pekerjaannya, apa yang akan terjadi selanjutnya…

 

 

I don’t care, I love it.

 

 

Karena ini adalah hari minggu, demi Tuhan, aku tak mau bangun dan meninggalkan tempat tidur.

THE END

 


[♥] Thank You: ABOB TAO

$
0
0

To All My Lovely Readers…

 

 

Oke, hands up! Aku menyerah.

Ternyata aku nggak bisa bales komen kalian di ABOB Tao satu persatu. Terima kasih ya, aku tau ini sedikit terlambat untuk mengucapkan terima kasih secara resmi/? but, THANK YOU SO MUCH! Aku pernah janji buat balesin komen kalian satu-satu, tapi apa daya…aku jarang menyentuh komputer :( Jadi mungkin untuk selanjutnya aku akan tulis ucapan terima kasih ini secara terpisah kalau aku nggak bisa ngebalesin satu persatu komen kalian oke.

BIG THANKS FOR MY LOVELY READERS:

nikki kwon, park raera, s.harfi, g.lin, istrinyakris, tyanaBaekki, Reisa kimjongin, christabelia_dahlia, kevinli, kanarisma20, @rizkyesungie, littlesweetdreams, Nis, silvish cho, Salsabila Raihani, Cho Hyein, ninasomnia, Minchan (thanks for being my beta reader), Jung Sang Neul, nicken, dtktr, puji, AngganaRaras, secret admirer, Jisun, Black Pearl, Nisa, Lee Diamond, Fadia Aqilla, gyucha, ivanacesarimajinrisihye, Latiefah Awwaliyah (@Choconime) (terima kasih untuk enam komentarnya), dheaarsya, arumrumaa, ramitha, Fräulein Wie, angellefrandt, alissajung3, Delviijae, amandaAP, sarahdeha, Aya Ajibana ^^, ladycosgrove, sexykyuhae, oncemelody, indhsky, DobiPark, hyunjiee, theboleroo, sweetchilice, ChoChoi45, SsongSae, byunbaekhee, thesidofme, Hyora Kim, veromissaphrodite91, jaemidojaemikim, Yohanita, chenxingmachinee, raen, kky15, mrw, brida, quiteries, Inddyybee, Peizhi (hey, are you Kris’ daughter lol), megadeska, dobisonyeo, Hwang0203, monicanr, kiddoyeoja, Katya Kim, ibel, okaysena, ananfakeester, Kim Kumiko, Linda Lestari, bebekhyun, boogy_ah, CL, Putri, Ansholissa, sarahdeha, BabyPanda, anitanamira.

 

Terima kasih karena sudah menyempatkan untuk baca dan komentar. Selamat datang untuk para reader baru atau yang baru muncul dan berkomentar (REALLY WELCOME AND THANK YOU, I ALWAYS WAIT FOR YOUR COMMENT TO BE HONEST ;;;). Komentar panjang, komentar pendek, atau komentar yang kasat mata/? Ah, ya aku suka semuanya :)

 

Aww, I still don’t get it why I have a bunch of lovely, sweet and pretty readers like you :***. Thank you so much and please wait for the next ABOB!

 

SEE YA! <3


[♥] Thank You: EXO Drabbles

$
0
0

To All My Lovely Readers…

 

Halo, aku di sini mengucapkan lagi terima kasih yang sebesar-besarnya untuk para reader yang sudah komentar di tiga EXO Drabble yang paling singkat di dunia. Terima kasih sudah meluangkan waktu untuk membaca dan komentar di ke-tiga fic itu, aww, thank you so much :) dan ini ada beberapa patah kata untuk tiap drabble dari aku:

EXO Drabble #1

Seriously, aku sekarang merasa jadi lebih sering nulis baekyeol daripada kaisoo. Whaaiii??!! Ceritanya mereka lagi naik daun melebihi kaisoo ya sepertinya (ya baiklah). Dan untuk part yang terakhir, uhum…ya itu aku menyelipkan Hunhan Kaisoo (even) Krishotao moment HAHAHAHA XD

EXO Drabble #2

Yap! Pairing yang satu ini memang udah jarang banget keliatan (yeah, everybody can see it). Aku sebenernya juga gak terlalu Hunhan banget, tapi di malam yang kelam itu…aku buka tumblr dan melihat foto mereka dan…yeah, aku menulis mereka HAHAHAHA XD dan iya, yang terakhir itu adalah Taoris pfft xD

EXO Drabble #3

Umm…haruskah kita bahas yang satu ini? AKUTAKBERMAKSUDMENULISSMUTSUMPAH! Pokoknya, adik-adikku yang manis, lain kali kalo ada tulisan smut dan dikasih warna merah, jangan dibaca ya :”)

Dan kenapa harus Diyo?? Whaiii, kenapa dia? Well, simple aja sih. Terlalu mainstream memakai cast yang aura seksinya udah tumpah-tumpah kemana-mana. Jadi, mengapa kita tidak memakai satu yang inosen layaknya Diyo? (dan ada satu temenku yang bilang bagaimana kalo bikin fic smut ber-cast-kan idol bertampang inosen layaknya xiumin, suho, baekhyun! HAHAHAHA)

Dan bagi yang mau nambah, KALIAN SERIUS? AKU PINGSAN DI TEMPAT NIH ENTAR XD

BIG THANKS FOR MY LOVELY READERS:

Nananina, G.Lin, puji, RahmTalks, SummerSehun, nadanstn, byunbaekhee, heal90, tyanabaekki, paperbiee, nisa, gyucha, Jang Soobin, Minchan, tutimutz, Suciramadhaniy, nunadk, Ansholissa, dtktr, Hwang0203, zazazazzz, nadia, indryyaulia, sehunssi, Delviijae, Jung Sang Neul, orange, mekiyakiya, Fräulein Wie, miawcho, Katya Kim, sweetchilice, crazyfinder, cheverlyjin, alifamuthiaa, princessarchkyu, PS Siskarani, nissaa, fardmard, Kim Kumiko, 1206Nis, ohmysehuna, sehunssi, arumrumaa, euncha, brida, princessarchkyu, Zein, kevinli, @rizkyesungie, Janni Aulia, hyunjiee, angellefrandt, ridka, mutiahrhl, N I K K I, trililiii (kita udah bicara ya hahaha), arumrumaa, rismagari, Daliadampeng, Chan+Z, Han Ji Kyung, W.A.P, Cho Hyein, ivanacesarimajinrisihye, DeviLee, raen, crazyfinder, nvladty, anitanamira, ilachan, theboleroo

 

Thank you and sorry ;;;AA;;;

 

Because you are lovely and sweet as heaven, I will give you a BIG SURPRISE ON WEDNESDAY, SEPTEMBER 18th 2013 (tenang, kali ini aku gak bakalan PHP karena hari Rabu itu aku libur kuliah and oh yeah, I will spend my time at home!)

 

SEE YAAA!! <3

 


Paper Cranes

$
0
0

Paper Cranes

Paper Cranes

 

Cast: Chanyeol EXO-K // Genre: Sad, Romance // Rating: G // Length: Ficlet

Recommended Song: Shinee – Selene 6.23

Summary:

Setiap lipatannya tersimpan namamu…

 

***

Aku tak pernah bermaksud untuk jatuh cinta padamu. Hati ini yang menginginkannya. Aku tak pernah meminta jantung ini berdetak lebih cepat dari yang biasanya, tapi dia tetap melakukannya saat sosokmu melintas di depanku…

Begitu cantik.

Begitu sempurna.

Rambut panjangmu, kulit putihmu, senyuman yang menghiasi wajahmu, atau kerlingan matamu setiap pandangan kita bertemu di dalam kelas.

Kau adalah satu yang dikejar-kejar setiap pria. Mereka selalu menunggu kesendirianmu dan sekali mereka mendapatkan kesempatan itu, mereka segera mengambilnya tanpa melihat apakah kau menyukainya atau tidak.

Katakan saja aku adalah salah satu pria beruntung dari antara berpuluh-puluh pria yang mengantri di hadapanmu. Awalnya aku tak melihat adanya kesempatan, aku tak melihat ada tanda-tanda bahwa kau akan sendirian di stasiun kereta waktu itu, hujan, seragammu basah dan rambut panjangmu terlihat kusut. Tapi tak mengapa, kau tetap cantik di mataku.

Kau tetap cantik saat menyapaku ‘hai’.

Kau tetap cantik ketika kita mengobrol, membuat lelucon tentang guru matematika di sekolah.

Kau tetap cantik ketika tak sengaja kau jatuh ke arahku karena tiba-tiba ada orang yang mendorongmu seenaknya.

“Hei, perhatikan jalanmu!” Aku berteriak pada pria yang berlalu begitu saja tanpa peduli. “Kau tidak apa-apa?”

Kau menggelengkan kepala dan kau tetap cantik walaupun bibirmu membiru karena udara dingin.

“C-Chanyeol, apa yang kau lakukan?” Aku tahu kau akan meluncurkan pertanyaan itu ketika aku membuka jaketku dan memberikannya padamu.

“Pakai ini.”

“Tidak. Aku tidak apa-apa.” Kau menolaknya, tentu—dapat diprediksi. Tapi siapa yang tahan melihatmu begitu, aku pun segera menyampirkan jaket itu ke tubuhmu, mengaitkan setiap kancingnya, tak terasa aku juga mengaitkan perasaanku padamu.

“Chanyeol…”

Aku tersenyum dan berkata, “Nah, sekarang kau tidak akan kedinginan.”

Lalu aku tak tahu perlakuanku terhadapmu ini seperti mencuri hatimu atau inikah caramu memberi kesempatan padaku yang jatuh cinta padamu setengah hidup, setengah pingsan, setengah mati.

Aku berusaha mengenyahkan suara di dalam kepalaku yang terus menceracau tak jelas sepanjang perjalanan pulang seraya kepalamu bersandar di pundakku dan aku baru saja melewati stasiun di mana aku seharusnya turun.

 

“Aku mencintaimu, aku mencintaimu, aku mencintaimu.”

***

Ada satu mitos yang tengah beredar di sekolah waktu itu. Terdengar tak masuk akal, tapi entah mengapa hatiku percaya. Terdengar konyol bagi nalarku, tapi saat jatuh cinta…siapa yang butuh nalar dan akal, karena detik di mana kau berkata bahwa kau juga menyukaiku…

 

Kau melebihi batas untuk berpikir layaknya orang normal.

 

“Dongho, apa yang kau lakukan?”

Aku melihat teman satu bandku ini sedang duduk di tangga saat istirahat tengah berlangsung. Ya, temanku yang suka makan dan menunggu waktu istirahat sepanjang pelajaran, kini menghabiskan waktunya dengan melipat kertas berwarna-warni di pangkuannya.

“Err, Dongho?”

“Psstt! Park Chanyeol, kau mengganggu konsentrasiku!” hardiknya kencang, membuatku kaget. Ada apa dengannya?

Aku pun duduk di sebelahnya dan mengambil salah satu kertas dari pangkuannya, mulai mengikutinya. Hanya iseng.

“Jadi kau masuk kelas anak ayam dan belajar melipat origami?” godaku dengan tawa kecil.

Dia tidak menjawab awalnya, tapi setelah dia menyelesaikan lipatan terakhirnya, Dongho menatapku sebal. “Park Chanyeol, kau merusak suasana hatiku saat melipat. Bagaimana kalau harapanku tidak tercapai, itu pasti gara-gara kau!”

“Hei, memang apa salahku?” Ya, aku kan hanya bertanya.

“Kau tidak tahu?”

“Tahu apa?”

Dia mendengus cukup keras. “Cih, makanya jangan bermain gitar terus. Kau tidak tahu ya kalau kita melipat 100 origami burung, semua harapan kita bisa terkabulkan.”

‘Kepercayaan macam apa itu?’ Pikirku waktu itu.

“Idiot. Mana ada yang seperti itu?”

Sepanjang hari itu aku membuat lelucon tentang hobi baru Dongho. Dia bilang dia punya harapan dapat lulus dengan nilai bagus dan mendapatkan hati Hwayoung si ketua cheers. Dan aku bisa melihat betapa kerasnya usaha Dongho sampai-sampai seharian itu dia dapat membuat sekitar 15 origami burung bangau itu.

Aku tak percaya pada awalnya.

 

Tapi…

 

Setelah kencan pertama di restoran jepang dan ciuman yang terasa seperti stroberi bersamamu di hari itu.

 

Aku punya satu harapan.

 

Aku harap ini untuk selamanya. Aku berharap kau adalah satu-satunya, segalanya dan selamanya.

 

“Hei, Dongho! Kau beli di mana kertas origami itu?”

 

***

Satu origami…

Aku harap kau bersamaku.

 

Origami yang kedua…

Aku harap kita bisa lulus bersama.

 

Origami yang ketiga…

Aku harap hanya aku yang ada di hatimu.

 

Origami yang keempat…

Bisakah kita satu universitas?

 

Origami yang kelima…

Aku mencintaimu, aku sungguh mencintaimu.

 

Hari itu aku hanya bisa menyelesaikan lima origami dan aku berpikir sembari menatap hasil karyaku yang tak begitu rapi. Tapi tak mengapa, aku melipatnya sepenuh hati dan sambil memikirkanmu.

 

Setiap lipatannya terselip namamu dan…aku mencintaimu.

 

Aku pun membeli sebuah toples ukuran sedang untuk menaruh semua origami burung yang nantinya selesai kubuat. Aku tak pedulikan hari itu hujan, toples yang kubeli menguras uang jajanku.

 

Ini demi dirimu.

 

Hanya untukmu.

 

***

Origami ketiga puluh…

Aku harap kita punya anak anjing.

 

Origami keempat puluh dua…

Aku mencintaimu, semua yang ada padamu.

 

Origami kelima puluh tiga…

Aku harap kita bisa pergi ke pantai lagi.

 

Burung origami keenam puluh tujuh…

Aku harap kau adalah masa depanku, tempat terakhir perjalanan seorang Park Chanyeol, biarkan dia berhenti di sana selamanya. Si bodoh ini lelah, si bodoh ini harus beristirahat.

 

Dan

 

Origami ketujuh puluh…

 

Stop!

 

***

“Waktu itu aku pergi ke toko untuk membeli toples agar aku bisa meletakkan semua origami itu di dalamnya.”

“Lalu?”

“Ya, aku membelinya, tapi saat origami itu baru mencapai tujuh puluh banyaknya, dia…”

 

Kenangan lama kembali datang tanpa diundang atau aku memang sengaja memanggilnya. Kenangan empat tahun lalu yang sesungguhnya tak ingin aku ingat lagi karena terlalu menyakitkan, sangat menyakitkan karena waktu itu umurku baru 17 dan patah hati adalah suatu situasi yang tidak dapat ditolerir hatiku.

Aku sungguh tak mau membicarakan ini. Membuka lembaran lama saat wawancara di radio, dengan Junmyeon-hyung yang tersenyum menatapku. Tak seharusnya begini, karena semua orang yakin aku tak akan memikirkanmu lagi ketika aku masuk di SM Entertainment dan menjadi artis.

 

Mereka salah.

 

Aku selalu memikirkanmu.

 

Setiap detiknya, walaupun waktu itu kau katakan: “Maaf, Chanyeol. Aku tidak bisa…

 

Tidak suka lagi padaku, rasa sayang itu luntur dan menghilang. Kau memutuskan hubungan kita.

 

“Well, dia memutuskan hubungan kami.”

“Oh, itu pasti menyakitkan.”

 

Lebih dari sakit. Rasanya ada seribu pisau sedang berusaha menghancurkan setiap saraf di tubuhmu.

 

“Lalu di mana kau menyimpannya sekarang? Atau jangan-jangan kau sudah membuangnya.”

Aku tertawa pahit, tapi tetap menjawabnya. “Tidak, aku tetap menyimpannya. Walaupun hubungan kami berakhir hari itu, aku tetap melipatnya sampai seratus.dan aku menaruhnya di atas piano rumahku.”

Junmyeon-hyung tiba-tiba menepuk bahuku, berkata seolah dia dapat membaca pikiranku, “kalau begitu kau harus memberikannya pada pacarmu yang selanjutnya.”

 

Namun dia tak bisa menebak apa isi hatiku.

 

“Ah, ya…” Aku memasang wajah sedih yang dibuat-buat karena aku tahu ada dua kamera yang menyorotku. “tapi itu sangat menyakitkan setiap kali melihatnya.”

 

Karena setiap lipatannya tersimpan namamu dan harapanku, di mana aku mencintaimu, di mana hati ini hanya milikmu.

 

THE END

A/N:

HAHAHAHA modal sok tau aja sih aku. Aku gatau mereka beneran ngomongin ini ato enggak. Aku blom nonton videonya, aku cuma tau waktu itu pokoknya mereka ngomongin ciuman pertama, kencan-kencan gitu kan di radio? Terus pagi-pagi aku ngeliat ada yg nge-tweet itu. Tersayat-sayat lah hatiku, Yeol, kalo emang bener kamu begitu T___T

Ini ada tweet yg aku temuin… T__T

wpid-BUUtONcCIAAmFM4.jpg

 

P.S: jangan pernah menulis di kereta. It’s really…..T_T and this is NOT the SURPRISE :D

 


Viewing all 236 articles
Browse latest View live