Quantcast
Channel: Hangukffindo
Viewing all 236 articles
Browse latest View live

Polar Light Noona

$
0
0

Polar Light Noona

Cast: Baekhyun [EXO-K] // Genre: Fluff, Sad, Romance // Rating: G // Length: <2000w

Recommended Song: James Blunt – You’re Beautiful

Summary:

“Dari ratusan kamera, Byun Baekhyun…kenapa hanya dia?”

A/N:

Dedicated for Polar Light (Baekhyun’s Fansite), thank you for updating Baekhyun’s photo lol! Every moments captured by you ^^

***

 You’re beautiful. You’re beautiful.
You’re beautiful, it’s true.
I saw your face in a crowded place,
And I don’t know what to do,
‘Cause I’ll never be with you.

 

***

 

Ini mimpiku dari dulu, bukan mimpi siapa-siapa. Tak ada yang memaksa, tidak ada yang menyuruh karena aku menginginkannya, meski harus menempuh perjalanan panjang, tapi ini adalah satu-satunya yang kuinginkan di dunia.

Aku ingin jadi penyanyi dan inilah Byun Baekhyun, lead vocal dalam grup bernama EXO. Dan aku punya banyak fans.

Fans.

 

Aku mendengar tentang hal itu semasa menjadi trainee di SM Entertainment. Mereka bilang, “Byun Baekhyun, kau akan segera punya fans setelah teaser-mu keluar. Bukan satu, bukan dua. Tapi banyak. Mungkin kau tidak bisa menghitungnya.”

Hal itu dibuktikan begitu benar, begitu tepat. Aku berbicara, mereka meneriakkan namaku. Aku bernyanyi, beberapa dari mereka menangis. Aku menari dengan seluruh jiwa dan ragaku, mereka menyukaiku. Mereka penggemarku.

Jutaan flashlight menyirami wajahku, membutakan mataku setiap kali fansigning diadakan. Aku tak terlalu menyukainya, namun senyuman itu tak boleh absen karena kami diajarkan untuk selalu tersenyum dengan beberapa peringatan seperti: “kau tak mau terlihat jelek ‘kan di foto?” atau “kau tak mau kan fotomu sedang menguap beredar di internet?”

Tersenyum.

 

Terkadang senyum di saat sedih, di saat sakit, di saat bertengkar dengan member lain dan emosi berada di ujung kepala. Demi tak mau terlihat jelek atau…demi fans, karena tak mau mereka berpikir yang macam-macam.

Berbicara tentang fans, aku terkadang berpikir, tidak lelah kah mereka?

Maksudku, bukankah perjalanan ini terlalu panjang bagi mereka? Karena bagiku, ini sangatlah panjang dan melelahkan.

Mengikutiku…akan sangat melelahkan.

Dari satu acara ke acara musik yang lain. Dari satu tempat ke tempat lain. Tak jarang aku melihat beberapa wajah familiar yang memakai pakaian yang sama dari pagi sampai malam, membawa kamera besar di genggaman mereka.

Dan salah satu dari mereka…

Wajahnya terlalu familiar…

Dari pertama kali melihat gadis itu, wajahnya yang selalu tertutup kamera dan yang bisa kulakukan adalah tersenyum sementara mataku bertemu pandang dengan lensanya.

Hatiku pun bertanya, ‘Siapa dia?’

“Jangan bilang kau naksir fans,” ujar Chanyeol setelah kami menyelesaikan fansigning di Busan.

Aku bercerita tentang gadis itu, satu yang memakai baju warna putih dan rambutnya lurus. Entah kamera tipe apa yang dia bawa, aku tidak tahu, tapi aku sadar dia hanya mengambil fotoku dari kejauhan. Dia pasti fans-ku.

Aku mengedikkan bahu perlahan. “Memangnya itu ilegal?”

“Entahlah,” mata Chanyeol menerawang ke luar jendela dorm kami. “tidak ada yang pernah mempermasalahkan hal itu, tapi…yang jelas kau akan mematahkan banyak hati perempuan di dunia ini, Baek.”

Hahaha, ironis sekali.

Chanyeol berbaring di sebelahku dan membuka mulutnya untuk bicara, “Memangnya dia cantik, Baek?”

Cantik kah?

“Mm…ya begitulah.”

“Aku juga melihat satu yang cantik tadi.” Chanyeol menyeringai lebar, dia lebih seram daripada Joker. “Rambutnya sebahu, dia meminta tanda tanganku dengan tangan gemetaran, tapi ketika dia tersenyum,” Chanyeol menyenggolku. “Dunia terasa berhenti, Baek!”

“Kau berlebihan.” Aku memukul kepalanya menggunakan bantal dan kami tertawa.

Yeah, duniaku tak berhenti berputar saat melihatnya, tidak seperti Chanyeol. Kau tahu, seperti ada ribuan matahari menyerang mataku, bukan karena flashlight yang berasal dari kameranya.

Tapi dari dirinya.

Ketika pikiranku melayang cukup jauh, perkataan yang Chanyeol lontarkan tiga puluh detik kemudian membuatku kembali turun ke bumi dan melihat kenyataan.

“Jangan terlalu dipikirkan, Baek. Kau pasti akan lupa dengan sendirinya. Besok kau akan menemukan gadis yang lebih cantik dan begitu selanjutnya.”

Benarkah?

Benarkah itu?

Aku telah melihat ribuan wajah fans, beberapa yang kuingat hari ini, tapi kulupakan keesokannya. Dan yang satu ini berbeda. Apa yang membedakannya? Entahlah, aku juga tidak tahu.

“Hei, apa kalian sedang membicarakan fansite? Aku dengar Jongdae-hyung punya fansite yang dikepalai seorang fanboy. Dia tidak berhenti mengambil foto Jongdae-hyung.”

“Benarkah??!!” Chanyeol segera beranjak dari tempat tidur. Ini akan menjadi topik yang seru untuk dibicarakan.

“HUANG ZITAO! SUDAH KUBILANG JANGAN BICARAKAN HAL ITU LAGI!!” teriak Jongdae dari kamar mandi dan fakta itu membuatku sedikit tersenyum.

Well, setidaknya aku dapat penggemar yang cantik, bukan tampan.

***

Yes, she caught my eye,
As we walked on by

Aku melihatnya lagi. Hari ini di fansigning. Rambutnya tak tergerai bebas seperti kemarin, dia menguncirnya, pakaiannya berwarna kuning cerah dan untuk kesekian kalinya aku menatap lensa kameranya. Aku tersenyum sambil mengacungkan jempol padanya.

‘Good job’. Ya kerja yang bagus, karena telah mengambil fotoku.

Tapi untuk kali ini…

Untuk yang pertama kalinya, gadis itu menurunkan kameranya dan pikiranku melanglang buana, ‘apa dia lelah mengambil fotoku?’

Bukan. Bukan itu.

Aku terpana ketika mata kami bertemu, tanpa halangan, tanpa apa pun. Matanya bertemu dengan mataku. Seolah berbicara, tapi entah apa yang dia bicarakan.

Dia cantik. Cantik dalam definisi yang…yang…aku tidak bisa jelaskan, karena aku tidak tahu apakah dia termasuk tipeku, tapi siapa yang peduli akan semua itu saat gadis secantik dirinya berdiri di tengah kerumunan—menatapmu pasti.

Aku bisa mendengar jantungku berdetak kencang, darah berdesir dan aku tersadar selama beberapa detik ketika Tao menyenggol tanganku, aku pun mengerjapkan mata. Lalu…

Aku kehilangannya di tengah kerumunan itu.

And I don’t think that I’ll see her
again,
But we shared a moment that will
last ’til the end.

***

“Polar…light?”

“Uhum, Polar Light.”

Aku menggaruk kepalaku yang tak gatal seraya melihat website itu. Di sana terdapat banyak sekali foto-fotoku—dengan berbagai pose. Aku salut gadis itu bisa mengambil fotoku dari berbagai angle, membuatku semakin…tampan?

(well, beberapa foto membuatku semakin mirip anak kecil. Terima kasih)

“Ini termasuk fansite terbesar,” ujar Chanyeol meng-scroll halaman website ke bawah dan melihat jumlah foto di setiap acara, terbilang tidak sedikit. Dia menatapku dengan dahi berkerut. “Haruskah aku memberimu selamat, Baek?”

“Ugh, buat apa? Kau juga punya banyak penggemar dan fansite,” balasku memutar bola mata.

Chanyeol mengangkat bahu dan berkata lagi, “Entahlah, aku juga ingin punya fotografer pribadi secantik Polar Light noona-mu itu.”

“Polar Light noona? Darimana kau mendapatkan panggilan itu?” Aku tergelak.

“Hei, update-lah sedikit, Baek. Netizen sedang membicarakanmu dan Polar Light noona ini.”

“Oh, benarkah?” tanyaku terkejut.

“Baek,” Chanyeol merangkulku dan perlakuannya itu membuat wajahku jadi dekat sekali dengan layar komputer. “Tidakkah kau lihat, kau selalu menatap ke arah lensa kamera Polar Light noona?”

Ya, dia benar.

Mengapa aku melakukannya?

Aku menatap fotoku sendiri yang seperti sedang melihatiku. Melihatnya seperti aku sedang bercermin dan Chanyeol benar.

“Dari ratusan kamera, Byun Baekhyun…kenapa hanya dia?”

Chanyeol, mengapa kau tanyakan hal itu padaku? Karena jujur saja, aku juga mempertanyakan hal itu. Setiap pembuluh darah ini bertanya setiap harinya, hingga otakku lelah menjawabnya.

Karena memang aku tak punya jawabannya.

Karena setiap hari aku bertanya, aku memikirkannya di setiap kali kami latihan menari dan bernyanyi, bertanya di saat aku hendak tidur walaupun tubuh ini lelah…otak ini seharusnya tak memikirkan apa-apa lagi. Tapi tetap aku bertanya…

‘siapa namanya?’, ‘berapa umurnya?’, ‘apa yang dia lakukan saat EXO tak punya acara apa-apa?’, ‘apa dia punya pekerjaan lain?’

Bahkan satu yang tak pantas aku tanyakan.

‘apa dia punya pacar?’

Hell, aku memutuskan berhenti bertanya sebelum perasaan ini semakin memburuk dan aku kembali mengingat perkataan Chanyeol, merapalkannya bagai mantra.

‘Jangan terlalu dipikirkan, Baek. Kau pasti akan lupa dengan sendirinya. Besok kau akan menemukan gadis yang lebih cantik dan begitu selanjutnya.’

Aku akan melupakannya. Tentu.

***

‘Bisakah kita bertemu di luar sana, jika aku bukanlah Byun Baekhyun si member EXO?’

‘Mungkinkah kau akan menyukaiku sebesar ini jika aku hanyalah pria biasa dengan pakaian biasa dan terlepas dari segala make up yang menempel di wajahku?’

‘Maukah kau tetap mengambil fotoku jika aku hanyalah mahasiswa biasa yang berjalan dengan buku di tangan?’



Lucu ketika aku memikirkan beberapa kemungkinan yang terjadi jika aku adalah Byun Baekhyun si pria biasa yang suka melucu dan bernyanyi di acara-acara sekolah—bukan di panggung besar seperti SM Town Concert dan yang lainnya.

Akankah orang-orang menyukaiku seperti ‘ini’?

“Kau melamun lagi.”

Aku mendengar Jongdae berbicara di sebelahku. Kami kini berada di bandara, hendak melakukan penerbangan kembali pulang ke Korea dari Amerika.

“Ugh, apa?”

“Aku perhatikan kau melamun terus. Ayolah, Bacon. Apa masalahmu?”

“Oh, kau perhatian sekali, Kim Jongdae.” Aku merangkulnya manja dan melihat beberapa fans mengambil foto kami. Aku yakin ini akan sedikit menghebohkan.

“Lepaskan aku, dasar Bacon!”

Aku tertawa dan melepaskannya. Lalu, Aku tak bisa menahan diriku untuk tidak melihat ke arah kerumunan fans untuk mencari siapa tahu Polar Light noona (ah, aku jadi terbiasa memanggilnya begitu karena Chanyeol) ada di sana.

Tapi sayangnya, mataku tak menangkap sosok itu. Aku tersenyum sedih. Kemana dia?

“Hei, Jongdae. Aku mau ke toilet.”

“Karena aku perhatian padamu jadi aku harus menemanimu ke toilet juga?”

“Kau menyebalkan, Troll Dae,” desisku.

“Terima kasih.” Lalu Jongdae kembali sibuk dengan ponselnya dan aku berjalan sendirian ke arah toilet setelah bertanya di mana tempatnya.

Fans melakukan pergerakan, ya, tentu saja begitu melihatku berjalan sendirian. Asalkan mereka tidak mengambil fotoku sedang buang air kecil, itu tidak masalah.

Lalu setelah aku selesai dan keluar dari toilet, aku ngeri melihat betapa banyak fans di sana, dan beruntungnya toilet ini punya dua pintu, maka aku langsung pergi keluar melalui pintu yang satunya lagi.

Aku muncul di lobi dekat eskalator bagian belakang bandara. Tempat itu sepi, tidak ada yang mengenaliku. Kami melewatinya tadi dan tinggal satu kali putaran maka aku akan bertemu lagi dengan member yang lainnya.

Aku berjalan.

Berjalan.

Berjalan.

Terus berjalan sambil memandangi interior lobi.

Sesekali berhenti untuk mengikat tali sepatuku yang lepas dan ketika aku selesai, hendak berjalan lagi…

Dia ada di sana.

Di hadapanku.

Berdiri dengan mini dress warna biru gelap, sneakers hijau, dan kamera di tangan. Kami berdua membeku.

Detik itu dia tidak berdiri di tengah kerumunan. Detik itu dia berdiri tak jauh dariku—hanya sekitar dua meter. Detik itu kami bertatapan langsung. Detik itu sepi, hanya ada kami berdua.

Detik itu dia tersenyum dan membungkuk kepadaku, “Annyeonghaseyo, Byun Baekhyun. Senang bertemu denganmu.”

Dan Chanyeol benar.

Detik itu rasanya duniaku berhenti berputar.

Ada banyak yang ingin kuutarakan padanya, beberapa pertanyaan, beberapa pernyataan, beberapa hal yang menggangguku karena kini dia masih tersenyum dan dia tidak berteriak layaknya penggemar lainnya.

Ini memang gila, bagaimana bisa aku jatuh hati pada fans-ku sendiri?!

Aku membayangkan jika saja aku bisa mengambil sebuah keputusan gila dan menarik tangannya, kami berlari kabur dan meninggalkan semua yang ada di belakang…

But it’s time to face the truth…

Tapi bernyanyi adalah mimpiku.

“Hei, Byun Baek! Apa yang kau lakukan di sana? Sebentar lagi kita akan naik pesawat.” Itu suara Chanyeol.

Dan mungkin…dia adalah mimpi kesekian yang masih bisa menunggu.

Atau mungkin tidak.

Aku pun pergi setelah membungkuk padanya, tak lupa tersenyum dan mengherankan mengapa dia tidak mengambil fotoku. Ini peluang yang besar bukan?

I will never be with you.

THE END

 

 

Bonus photos from Polar Light for Baekhyun’s stan, enjoy! :D

 

 



End of May

$
0
0

End of May

Cast: Xiumin and Luhan // Genre: Fluff, FRIENDSHIP! Sad (oh no!) // Length: >1000w

Recommendation Song: Michael Buble – End of May

Summary:

Mereka bilang sahabat itu seperti gumpalan awan, untaian berlian, dan butiran mutiara

***

Omong kosong kah jika aku berkata bahwa persahabatan itu lebih penting dari apapun yang ada di dunia ini? Sebuah bualan kah jika aku mengatakan bahwa aku sayang sahabatku dan akan melakukan apapun untuknya? Ya, aku akan melakukan apapun yang dia pinta.

Bahkan jika sahabat tak bisa mengambil bulan di langit, aku akan mencari tangga tertinggi untuk mencapai langit. Jika sahabat kehabisan bekalnya di perjalanan kami yang sangat jauh, aku rela tak makan seharian dan membiarkan sahabat memakan bekalku. Jika hanya ada satu pelampung untuk menyeberangi lautan, aku akan berenang tanpa pelampung dan membiarkan sahabat memakai pelampung itu agar dia tidak tenggelam.

 

Karena…

 

Akan lebih baik jika aku yang tenggelam sementara sahabat bisa sampai ke seberang sana. Akan lebih baik jika aku yang menghilang bagai buih di lautan lepas daripada sahabat yang mengalaminya.

 

Tapi apakah itu benar adanya?

 

Aku bersahabat dengan seseorang bernama Xiumin. Dia anak yang gendut saat kami pertama kali bertemu di sekolah dasar. Aku ingat guru Lee mengajarkan pada kami bahwa sahabat itu terbuat dari gumpalan awan, untaian emas, dan butiran mutiara.  Betapa berharganya mereka hingga mereka harus selalu dijaga.

Aku tak yakin apakah aku harus menjaga Xiumin atau tidak karena kala itu aku tidak melihatnya seperti gumpalan awan atau untaian emas atau butiran mutiara. Namun ada beberapa kejadian yang membuatku mengerti bahwa Xiumin lebih dari sekedar ketiga hal tersebut.

“Kenapa kau menangis?” tanyaku saat menemukan Xiumin meringkuk di dekat loker. Aku dengar beberapa anak takut mendekati Xiumin karena tubuhnya yang gemuk dan besar. Mereka takut Xiumin berubah menjadi monster dan memukul mereka, tapi melihat keadaannya seperti ini, aku rasa Xiumin bukan monster.

 

Gumpalan awan.

 

Xiumin adalah gumpalan awan ketika aku membantunya berdiri setelah mendengar dia berkata, “Kakiku keseleo.” Ah aku pun mengerti dan merangkul Xiumin. Tubuhnya hangat, gempal, dan lembek. Apanya yang monster? Dia bagai setumpuk kapas sampai-sampai aku mengira aku sedang memeluk boneka beruang super besar.

 

Untaian emas.

 

Xiumin adalah untaian emas yang terlalu berharga. Dia merupakan anak tunggal pengusaha konglomerat di Cina dan berteman dengannya begitu menyenangkan.

Rumahnya besar, ada taman bermain di belakang rumahnya. Kami berenang di kolam ombak pribadinya, kami makan di McDonald miliknya, kami nonton film the Parent’s Trap di  home theater-nya dan makan cokelat sepuasnya. Xiumin begitu berharga hingga ada sepuluh pengawal yang menemani harinya. Tapi bagiku, aku memandang Xiumin berharga karena dia teman yang baik.

 

Butiran mutiara.

 

Xiumin adalah butiran mutiara karena saat dia menangis akibat kesepian menderanya, bulir-bulir air mata yang mewarnai pipi tembamnya terlihat bagai mutiara dan aku akan datang ke rumahnya—mengusir rasa sepi itu—mengajaknya bermain playstation tiga jam lamanya, lalu kami tidur siang, lalu kami mandi bersama seraya menghabiskan shampoo di kamar mandi. Kami makan semangkuk berdua, aku memakai baju Xiumin yang kedodoran di tubuhku.  

 

Kemudian aku sadar bahwa Xiumin adalah sahabatku. Sahabat terbaik yang tak mungkin bisa kulupakan dan aku ingat aku berjanji padanya di ulang tahun-nya yang ke-sembilan.

“Aku akan menjagamu, Xiu Xiu. Aku tidak akan membiarkan dirimu kesepian walaupun orang tuamu sibuk bekerja. Aku akan selalu bersamamu. Ingat itu, Xiu Xiu?”

Xiumin mengangguk dan kami berpelukan. Kue black forest saat itu terasa sangat manis di mulutku. Melihat Xiumin tertawa lepas dan menari-nari dengan badut juga para pelayan, aku tahu aku sanggup membuat sahabatku satu-satunya ini bahagia.

Bagaimana pun caranya.

Apapun caranya.

Aku berbohong demi Xiumin. Aku bilang pada guru Lee bahwa akulah yang memecahkan jendela kaca kelas karena bermain sepak bola, padahal Xiumin lah penyebabnya. Bukan aku. Tapi aku yang terkena hukuman dijemur di lapangan. Dalam hati aku berkata ‘tak apa’, tak apa selama itu bukan Xiumin yang terluka.

Aku tidak makan demi Xiumin. Hari itu kami pergi jalan-jalan rekreasi dan Xiumin lupa membawa bekalnya. Walau lapar menderaku sepanjang siang itu, dalam hati aku berkata ‘tak apa’, tak apa selama bukan Xiumin yang kelaparan.

 

“Luhan, apa kau malaikat?” tanya Xiumin polos.

 

Aku mengulum senyum tipis dan mengangkat bahuku pelan. “Entahlah. Mungkin iya. Memang kenapa?”

 

“Kau sangat baik padaku, kautahu itu?”

 

***

Kami jadi sahabat baik selama lima belas tahun. Jika ada grammy awards kategori persahabatan terawet, mungkin kami lah yang akan membawa pulang piala itu. Mungkin kami lah pemenang di atas pemenang. Mungkin kami lah pasangan sahabat yang abadi. Tapi…mungkinkah?

Mungkinkah persahabatan masih terasa berharga bagai gumpalan awan, untaian emas, dan butiran mutiara ketika cinta datang menghampiri kami di satu hari?

 

“Kenapa kau tersenyum seperti itu?” aku menyikut lengan Xiumin. Dia berhenti tersenyum dan menoleh padaku, “hah? Apa?”

“Ada sesuatu yang kau sembunyikan? Iya ‘kan?”

“Tidak. Tidak ada,” jawabnya setengah tertawa, tapi dia tahu dia tidak bisa menyembunyikan apapun dari sahabatnya. “Ah, baiklah.”

 

Kautahu, andaikan waktu itu aku tidak bertanya mungkin aku tak perlu pulang di bawah rinai hujan dan merasakan rasa aneh di dada. Andaikan waktu itu aku tidak bertanya ‘ada apa’ mungkin aku bisa tidur nyenyak dan tak memikirkan apa-apa.

 

“Aku jatuh cinta,” aku Xiumin berseri-seri. “Dia sangat, sangat, sangat, sangat, cantiiikk, Luhan. Aku bisa gila memikirkannya!”

“Oh, oke baiklah. Siapa gadis beruntung ini, XiuXiu? Katakan padaku,” kataku ikut bersemangat. Siapa yang tak bahagia jika melihat sahabatmu bahagia?

Xiumin mendeskripsikan gadis itu, gadis yang mempesona itu. Gadis yang bekerja di café dan yang berambut panjang, gadis dengan senyuman manis dan bibir merah muda yang penuh. Gadis berkulit putih dan mata yang besar juga wewangian bunga sakura di musim semi. Mendeskripsikan bagaimana dia menyita seluruh perhatian Xiumin sahabatku.

 

Mendeskripsikan sosok yang juga membuatku jatuh cinta.

 

Aku bertemu gadis ini dua minggu yang lalu, menyeruput latte buatannya yang terasa manis di bibirku seraya kami mengobrol dan bercanda ria. Dan waktu itu aku pulang dalam keadaan berbunga-bunga…

 

“Aku seperti berbunga-bunga, Luhan.”

 

…aku berbicara pada bulan di langit malam itu dan berkata ‘dia cantik bagai bidadari’…

 

“Dia cantik, Luhan. Sangat cantik, bagai bidadari.”

 

…aku berkata dalam hati bahwa aku jatuh cinta, aku jatuh cinta pada gadis ini…

 

“Aku jatuh cinta padanya, Luhan. Aku jatuh cinta pada gadis ini. Astaga!”

 

 

***

Kala itu aku berjalan pulang di bawah rinai hujan tanpa payung melainkan sebuah perasaan aneh menyerang dadaku. Apa ini? Mengapa begini?

Aku tak mau dibutakan oleh cinta, bagaimana sejumlah lagu menyatakan bahwa persahabatan lebih penting dan bagaimana cinta datang merusak segalanya. Setengah diriku ingin percaya bahwa semuanya akan baik-baik saja. Seperti biasa…mungkin aku bisa…

Mengalah?

 

Lagi?

 

Lalu pertanyaan menyebalkan muncul tiba-tiba menggoyahkan pendirianku.

 

Sampai kapan? Sampai kapan aku harus terus mengalah dan mundur demi kebahagiaan Xiumin? Apakah Xiumin pernah sedetik saja memikirkan kebahagiaanku?

 

Itu pikiran terjahat yang mendominasi kepalaku dan merasuki akal sehatku. Ya, pernahkah sekali saja Xiumin menderita demiku? Pernahkah sekali saja Xiumin menangis demi melindungiku? Pernahkah sekali saja Xiumin membuatku merasa bahwa aku juga merupakan gumpalan awan, untaian emas, dan butiran mutiara? Pernahkah?

Maka saat itu aku buru-buru pergi menulis surat, menulis berpuluh-puluh puisi indah untuk gadis tercinta. Aku akan melamarnya, aku akan melangkah jauh di depan Xiumin. Aku akan menyematkan cincin itu lebih dulu daripada Xiumin. Ya, ya, ya itulah yang akan terjadi dan aku tidak akan menyesalinya.

 

Hidup harus memilih bukan?

 

Aku memilih cinta daripada persahabatan karena kukira gadis ini juga penting, dia juga berharga, dia juga cinta dalam hidupku dan mungkin Xiumin mau mengerti.

 

Mau mengerti bahwa aku jatuh cinta pada gadis ini lebih dulu darinya.

 

Tapi aku ternyata salah.

 

Anggapan bahwa Xiumin hanya tahu aku lah satu-satunya sahabat yang peduli kebahagiaannya itu salah besar. Aku tidak sadar betapa sahabat bukanlah hanya segumpal awan yang merupakan benda mati, bukan untaian emas yang merupakan benda mati, juga butiran mutiara yang merupakan benda mati.

 

Sahabat adalah setengah nyawamu—setengah jiwamu yang berada di tubuh orang lain.

 

“Aku tahu kau jatuh cinta padanya juga.”

“A-apa maksudmu?” aku menatap Xiumin di kala matahari terlalu lelah untuk muncul di langit.

“Jangan bohong padaku, Luhan.” Xiumin menyodorkan salah satu kertas puisiku yang entah bagaimana dia bisa menemukannya. “Pergilah bersamanya, Luhan.”

Aku menggelengkan kepalaku cepat dan memegang tangan Xiumin, namun dia mengelak. “Kau lebih dulu bertemu dengannya. Aku tak punya hak untuk memilikinya.”

“Tidak, Xiumin. Tidak, aku—”

“Jangan begitu, Luhan. Kau sahabatku—“

“Kau juga sahabatku!” potongku bersikeras. Emosi meluap diantara kami, bukan karena akhirnya kami bertemu dengan masalah ini, tapi bagaimana aku membenci hidup harus memilih antara cinta dan persahabatan. Itu sulit! Itu sangat sulit.

Xiumin menangis. Dia meneteskan air mata walau umur kami sudah mencapai 23 tahun dan aku merasa bersalah. Tak seharusnya Xiumin menangis karena aku sudah berjanji untuk membuatnya bahagia. Ya, tak seharusnya kami jatuh cinta pada satu gadis yang sama.

 

Ini sebuah kesalahan? Ini sebuah takdir? Atau jalan kehidupan?

 

“Xiu Xiu, dengarkan aku.” Aku menangkup wajah bulatnya. “Kita tidak perlu melakukan ini. Aku tidak mau kau menderita—“

“Lalu kau mau apa, Lu? Membagi gadis yang kita cintai menjadi dua? Berpikirlah rasional. Dan jangan pikirkan apakah aku menderita atau tidak karena…” Xiumin tersenyum sedih. “Kau juga berharga. Kau sahabatku, kau adalah gumpalan awan, untaian emas, dan butiran mutiara.”

 

Aku melongo, aku menganga.

 

Tak pernah menyangka bahwa Xiumin akan mengatakannya di hari itu, tak menyangka bahwa Xiumin juga tahu perumpamaan itu, tak sadar bahwa selama ini Xiumin juga menganggapku berharga. Bodohnya diri ini.

 

Aku sadar…

 

Itu bukanlah sebuah omong kosong jika aku berkata bahwa persahabatan itu lebih penting dari apapun yang ada di dunia ini. Bukan sebuah bualan jika aku mengatakan bahwa aku sayang sahabatku dan akan melakukan apapun untuknya. Ya, aku akan melakukan apapun yang dia pinta.

 

Xiumin memintaku untuk bersama gadis pujaan kami berdua.

 

Xiumin memintaku untuk mencintainya dengan sepenuh hati.

 

Ya, aku melakukannya.

 

Tapi aku sedih ketika Xiumin meminta ijin pergi keluar negeri, menjauh dan menghilang dari kehidupanku.

Dia katakan, “Jangan lupakan aku, Luhan.” Ya, aku melakukannya.

Dia bilang, “Aku pergi untuk kebaikan kita bersama.” Dan aku pun mengerti.

 

Aku pun mengerti bahwa kami sama-sama bahagia dan menderita bagi seseorang yang kami sayangi.

 

Xiumin tak pernah terlihat lagi di mataku dan itu terjadi di akhir bulan Mei.

 

 

THE END

A/N:

I don’t feels like want to write an author’s note. But I miss you guys :”)

Maaf untuk fic sedih yang belakangan ini sering muncul, astaga ;;; I should stop write about it, really! karena aku nulis fic sedih (lagi) belakangan ini, tapi jadwal kuliah bener-bener menyita banyak waktu heuuu>.<


I’m in Love with Betty and Whatever [Prologue]

$
0
0

I'm in Love with Betty and Whatever

Cast: Kris [EXO-M] and OC [Betty] || Support Cast: EXO Members || Genre: Comedy, Romance, Telenovela! AU || Length: Chaptered || Rating: PG

Disclaimer:

Adapted from the most popular telenovela in Columbia—Yo Soy Betty, La Fea (I am Betty, the Ugly One).

Summary:

Kris butuh sekretaris, Luhan membawakan Betty padanya.

 

 {Prologue}

Bukan salah Kris jika dia menginginkan seseorang yang sempurna–yang bisa menjadi sekretarisnya. Dia adalah orang nomor satu di perusahaan yang bergerak di bidang fashion—EXO Moda dan dia berhak untuk mendapatkan semua yang dia inginkan. Well, itu yang menjadi masalahnya. Semua yang dia inginkan terkadang tak tersedia, seperti dalam teori sumber daya yang berkata bahwa: “sumber daya itu ada yang langka.” Katakan saja bahwa hal itu berlaku padanya, tak peduli dia adalah CEO perusahaan nomor satu di negara itu.

.

.

.

 

“Demi Tuhan, Kris. Apa sebenarnya visi, misi, maksud dan tujuanmu terus-terusan memanggilku?”

“Sebenarnya sederhana saja, Luhan,” pria berambut cokelat itu tersenyum lebar. Senyuman penuh arti. “Jika saja aku punya sekretaris, kau tidak perlu mondar-mandir seperti kecoa kecil.”

 

.

.

.

Mencari sekretaris untuk Kris bukanlah sesuatu yang mudah. Seperti mencari jarum di antara jerami, sesulit menebak usia Kim Minseok si Manajer Keuangan yang terlihat muda, sesusah menyuruh Park Chanyeol si tukang fotocopy untuk menyelesaikan pekerjaannya sebelum matahari tenggelam, sesukar melarang Kim Jongin si Supervisor Pemasaran untuk tidak bermain mata dengan para staff. Dan itu menjadi lebih sulit dari apapun yang ada dunia bagi Luhan, karena Kris adalah sahabatnya dan dia sedikit pikun.

 

 “APA KAU TERSERANG AMNESIA??!!!” teriak Luhan. “KAU MEMECAT HAMPIR LIMA BELAS SEKRETARIS DALAM SEBULAN!! Bukan, bahkan lebih. DUA PULUH, KRISSIE!!! DUA PULUH DAN MEREKA PULANG SAMBIL MENANGIS!”

 

.

.

.

 

Saat sekretaris ke-21 datang dan dia merupakan hasil pencarian Kim Jongdae si Manajer SDM.

“KELUAR DARI RUANGANKU!!”

 

.

.

.

 

Kris memang harus diberi pelajaran.

“AKU AKAN MENCARIKANNYA DAN AKU BERSUMPAH INI AKAN JADI YANG TERAKHIR, WU YI FUCK! JIKA KAU MEMECAT SEKRETARIS KE-22 INI—“ Luhan berhenti di sana dan mengambil nafas dalam-dalam. “—aku akan mengundurkan diri.”

“Tidak, kau tidak bisa melakukan itu!” ujar Kris cepat.

“TENTU AKU BISA MELAKUKANNYA! AKU AKAN MEMBAWA SEKRETARIS KE-22 INI TANPA SPESIFIKASI APAPUN DAN KAU HARUS MENERIMA APAPUN KEADAANNYA. MENGERTI, KRISSIE?!

.

.

.

.

Kris membutuhkan sekretaris

Luhan membawakan Betty padanya

Dia sekretaris tanpa spesifikasi apapun

Dia bukan yang Kris inginkan

Tapi…

Bagaimana jika suatu hari Kris jatuh cinta padanya?

dan apapun yang terjadi…

Kris tidak peduli.

###

 

Hangukffindo’s Podium:

*Check one, two, and three*

Aloha semuanya! DO YOU MISS ME?? Oke, aku tidak akan menceritakan betapa miserable dan penuhnya hari-hariku dengan tugas. I always tweet how I feel on twitter, right? kkk xD

Jadi, ahem, this is gonna be my first (serious-not-serious) chaptered fic. Yap! Entahlah, kalian tau bagaimana diriku ini. So don’t expect too much, but do support me as much as you can xD

Ya, ya, ya. Mungkin baru kali ini kalian menemukan telenovela!au, percayalah padaku, sebenarnya aku gak terlalu pede dengan ini. Tapi saat pertama kali ide ini muncul dan telenovela ini adalah FAVORITKU! dan menulisnya semacam lancar kayak jalan tol, well, marilah berharap ini bisa selesai sampai akhir, karena aku berencana membuat ini semacam 4-5 chapter dan THE END AHAHAHAHA XD (how short it is)

Oke, kalau kalian lupa sama cerita si Betty La Fea, kalian bisa intip-intip dulu di sini —> Betty La Fea

OKAY, GOTTA GO! SEE YAAAA!!! BECAUSE THIS IS SOOOOOO RIDICULOUS AS HELL!!! WAIT FOR YOUR COMMENT, I NEED IT REALLY >.<

 

P.S: Chapter satu sudah ready, tinggal di publish. Mungkin minggu depan :)

 

 


Diproteksi: [Birthday Fic] for Kak Silvya

$
0
0

Tulisan ini terlindungi oleh kata sandi. Anda harus mengunjungi situs tersebut dan memasukkan kata sandinya untuk melanjutkan membaca.


Diproteksi: [Birthday Fic] for Amer

$
0
0

Tulisan ini terlindungi oleh kata sandi. Anda harus mengunjungi situs tersebut dan memasukkan kata sandinya untuk melanjutkan membaca.


Apple, I’m Yours

$
0
0

Apple, I'm Yours

Cast: Lay [EXO-M] & OC [Apple] || Genre: Fluff, Romance || Rating: PG-13 || Length: 1500+w

Recommendation Song: Arctic Monkeys – Baby, I’m Yours (CUTE!! I tell you >.<)

Read this too:

She’s My Apple || A Letter to My Apple

Summary:

Inilah cara Lay untuk mengatakan bahwa dirinya adalah milik Apple

(a/n: this is Lay’s POV. Happy reading)

***

“Apa ini menjadi kebiasaanmu? Menulis apa yang tidak bisa kau ungkapkan?” Luhan menatapku dari atas ke bawah seakan ingin mencincangku. “Jangan sampai kau lupa fungsi mulutmu, Lay!”

“Entahlah, aku hanya suka hal itu dan—oh! Salahkan Junmyeon, dia yang mengajarkan metode ini,” ujarku tersenyum—sembari memukul lengan Luhan sahabtku yang lagi-lagi harus menelan kenyataan bahwa aku harus menulis sesuatu untukmu, Apple. Lagi-lagi dia melihatku merobek beberapa lembar kertas dari buku pelajaran dan menyelipkan pensil di belakang telingaku. Lagi-lagi Luhan harus memandang kepergian sahabatnya mencari tempat damai untuk menulis dan Luhan pikir…”KENAPA KAU TIDAK SEKALIAN SAJA BERKOLABORASI DENGAN J.K ROWLING, HAH?”

Aku tak mendengarnya. Tentu. Kepalaku dipenuhi satu nama yang manis—semanis buah apel. Ada satu hal yang…mungkin ini akan menjadi hal terakhir yang kutulis, karena ini sekedar pengingat—sebuah surat yang menyatakan bahwa…

Apple, I’m yours…

And I’ll be yours until the stars fall from the sky,
Yours, until the rivers all run dry
In other words, until I die

.

.

.

.

Apple, aku milikmu.

Itulah hal pertama yang terlintas di kepalaku ketika melihat gadis bernama Apple di tahun pertama sekolah menengahku. Ini cukup aneh dimana biasanya laki-laki yang menginginkan seorang gadis untuk jadi miliknya, tapi aku tidak. Misalnya seperti Kris menginginkan bola basket yang ada tanda tangan bintang lapangan basket terkenal itu (aku lupa namanya), seperti Jongdae yang menginginkan topi Rusty seumur hidupnya, seperti Baekhyun yang menginginkan Taeyeon untuk jadi pacarnya (lucu sekali ini. Mari berharap suatu hari dia akan mendapatkannya).

Tapi kali ini berbeda. Keinginanku untuk memilikimu hanyalah sebesar jagung, sementara keinginanku untuk menjadi milikmu sebesar gunung Everest. Begitu besar dan begitu menginginkannya. Dan ketika pesta dansa sekolah diselenggarakan, seolah memberiku kesempatan, tanpa harus berpikir dua kali—aku mengajakmu berdansa bersamaku. Kau tentu ingat, bukan? (aku memakai jas aneh itu, tapi terima kasih, Apple…kau tetap mau berdansa dengan orang ini. Omong-omong, kau cantik waktu itu. Aku sudah mengatakannya berkali-kali bukan?)

Jadikan aku milikmu, Apple. Aku berpikir sepanjang malam itu. Aku mengulangnya sambil berdoa jika benar memang Tuhan memberikan telinga-Nya padaku dan mengabulkan permintaanku malam itu. Aku merapalkannya bagai mantra yang tak pernah mati hingga mulutku berbicara sesuatu yang tak pernah kubayangkan sebelumnya, sungguh. Terdengar seperti gemuruh di kala hujan, tapi aku tetap bisa mengatakannya.

“Apple, kau mau jadi pacarku?”

Kau menatapku di bawah keremangan lampu dan malu untuk mengatakan apa yang seharusnya kau katakan karena mungkinkah aku terlalu dekat denganmu? Aku terlalu dekat hingga aku bisa mencium aroma cinnamons di tubuhmu dan detakan jantungmu yang tak terkendali (aku juga begitu, sih). Kau menganggukkan kepala. KAU MENGANGGUKKAN KEPALA!!!

Apple, rasanya aku dapat berlari, terbang, berenang, melompat dari jurang—ketika anggukan itu mengartikan segalanya. Sesuatu harus meng-claim hal ini, mungkin dengan sebuah ciuman? (aku sungguh-sungguh berpikir seperti itu. Maaf).

Aku baru saja ingin mencium gadis bertubuh gempal yang tak lain adalah kau saat sebuah kesalahan langkah dalam berdansa terjadi dan alhasil kau menginjak kakiku begitu kuat (kau Wonderwoman, Apple. Kau harus tahu itu!).

Aku milikmu, yeah, dengan sebuah injakan di kaki.

Apple, I’m yours

And I’ll be yours until the sun no longer shines,
Yours, until the poets run out of rhyme
In other words, until the end of time

.

.

.

.

Aku adalah milikmu, Apple.

Aku adalah milikmu tanpa kupedulikan apakah kau berpikir demikian terhadapku. Tidak? Aku tidak peduli. Kau adalah satu-satunya yang aku cintai, Apple. Aku adalah milikmu dan tidak ada kesempatan bagimu untuk mencabut claim itu dari kakiku, karena kau telah menginjak kaki ini. No, no, no. Kau tidak bisa kembali dan menghapus kejadian itu. Apple, aku bersedia untuk kau injak berulang-ulang kali. Badan ini, kaki ini, tangan ini, semuanya boleh kau injak.

(Jika itu memang bisa membuatku selalu menjadi milikmu.)

Kau boleh melakukan apapun semenjak aku adalah milikmu. Kau boleh mengibaratkanku dengan…benda. Tenang saja, Apple, benda yang satu ini tidak punya tanggal kadarluwarsa. Lay tahan lama, Lay tahan selamanya. Kau bisa menjemurku di luar sana, membiarkan hujan mengguyurku, membiarkan matahari menyiramiku dan cintaku tidak akan luntur. Aku bisa jamin hal itu. Aku milikmu yang tak akan pernah rusak hingga matahari tidak lagi mampu bersinar.

Aku milikmu, Apple. Selamanya tertulis begitu.

Tak perlu kau ragukan cinta milik Lay, karena cintaku tidak akan pernah kehabisan kata untuk memujimu, mengagumi, dan aku tidak akan pernah bosan mengatakan betapa aku mencintaimu. Aku berani menjamin bahwa aku adalah Shakespeare abad 21 yang mampu menulis perasaanku di atas beribu-ribu lembar kertas. Dan jika puisi memang tidak lagi eksis, well, aku bisa beralih profesi menjadi pelukis agar aku bisa melukismu atau menjadi pemahat agar patungmu ada di mana-mana.

Aku akan menjadi milikmu selamanya.

Dengan kata lain, aku akan menjadi milikmu hingga dunia ini kiamat.

(LAY BERGARANSI SATU JUTA TAHUN!!)

I’m gonna stay right here by your side,
Do my best to keep you satisfied
Nothin’ in the world could drive me away
‘Cause every day, you’ll hear me say

Apple, I’m Yours

.

.

.

.

Lay-milik-Apple

Kau mungkin akan bosan mendengar ini. Kau mungkin akan muntah sebentar lagi atau mungkin kau akan kehilangan selera makanmu (tolong, jangan seperti ini). Kau perlu tahu, tidak ada alasan bagiku untuk tidak mengingatkanmu bahwa aku adalah milikmu dan apapun yang terjadi, Apple, aku akan selalu berada di sampingmu.

Tidak peduli saat kau berada di level terendah dalam kehidupan ini, air mata mengotori wajahmu dan kau terlihat berantakan. Ayahmu sakit, ayahmu yang galak itu jatuh sakit dan aku tidak senang, Apple, sungguh. Kau sedih, aku pun juga begitu. Dia adalah calon mertuaku (aku berharap). Aku juga menyayanginya dan melihatmu sedih, hati ini terluka, Apple.

“Apple,”

“Hmm?”

“Kyungsoo apa yang bisa menari?”

“Hah?”

(Kau pasti super bingung saat mendengar teka-teki itu. Percayalah, aku berusaha melucu saat itu dan maaf, Kyungsoo harus jadi korbannya)

“KyungSoojung f(x).”

Bibirmu terangkat sedikit, membentuk sebuah senyuman yang lama menghilang sejak kita berada di rumah sakit.

“Kyungsoo apa yang lucu dan imut?” tanyaku lagi.

“Entahlah,” kau tergelak. “KyungSoojung?”

“Aissh, bukan. KyungSulli.”

“Hahahaha…ya ampun.” Kau tertawa, kau tertawa tanda senang dan aku senang melihatnya.

Aku memelukmu waktu itu hingga jam di dinding lelah berputar. Aku berkata padamu mungkin aku tidak bisa membuat ayahmu sembuh, tentu, aku bukan dokter. Tapi aku bisa berada disampingmu, memelukmu se-erat itu dan tak keberatan jika kau tertidur di pelukanmu (karena kau hangat, Apple. Aku suka memelukmu).

Aku akan jadi kekuatanmu, yang mendorongmu untuk terus semangat. Dan jangan lupa bahwa setiap hari (kau mungkin akan bosan mendengarnya) aku akan mengatakan ini padamu:

Apple, I’m Yours

And I’ll be yours until two and two is three,
Yours, until the mountains crumble to the sea
In other words, until eternity

.

.

.

.

Aku milikmu, kau milikku, aku milikmu, kau milikku, Lay adalah kepunyaan Apple, Apple adalah kepunyaan Lay.

Apple, tolong simpan aku baik-baik. Bukan, bukan karena aku mudah pecah atau tidak tahan lama. Aku tidak seperti itu, tapi aku hanya ingin berada dalam kondisi yang baik  ketika aku harus menemanimu atau harus melakukan beberapa hal di beberapa situasi, sebagai berikut:

-      saat kau sedih,

-      saat kau senang,

-      saat aku melamarmu nanti,

-   saat aku harus berlari sambil berteriak ketika kau berkata ‘ya’ (kau akan mengatakan ‘ya’, Apple. Harus! Hahaha),

-      saat aku harus menggendongmu ke kamar danmelakukanbeberapahal!,

-      saat aku harus membelikan makanan untukmu saat kau hamil,

-      saat aku harus mengantarmu ke rumah sakit untuk melahirkan,

-      saat aku harus terbangun untuk menjaga anak kita,

-      saat aku harus mengantar-jemput anak kita dari sekolah

-      saat aku dan kau—kita telah menua dan uban memenuhi kepala kita

Aku berjanji aku akan menjadi Lay yang kau inginkan sampai dua menjadi tiga, tiga menjadi empat, empat menjadi lima, hingga Baekhyun dan Taeyeon bersama, hingga Chanyeol dapat menjadi artis papan atas, hingga Kris dapat jadi pemain basket ternama, hingga Tao dapat menjadi master kungfu, hingga Junmyeon dapat menjadi presiden negara ini.

Aku selamanya milikmu hingga gunung runtuh ke dalam laut…

Well, dengan kata lain itu tentu saja masih lama dan hampir tidak mungkin terjadi.

Aku selamanya milikmu.

Untuk kali ini aku serius, kau harus menyatakan bahwa aku adalah milikmu dengan sangat resmi, bukan dengan injakan di kaki atau apapun itu. Apapun yang terjadi, jangan pernah melepaskanku, tetap bersamaku, Apple. Dan tolong tanda tangani beberapa hal di bawah ini:

Lay is mine
(Til the stars fall from the sky)

Lay is mine
(Til the rivers all run dry)

Lay is mine
(Til the sun no longer shines)

Lay is mine
(Til the poets run out of rhymes)

Changsa, 2013 October 18th

(        Apple        )

***

Apa yang bisa Apple lakukan ketika beberapa lembar kertas terlampir di mejanya? Kira-kira ada sepuluh lembar surat siap untuk dibaca hingga Apple tak bisa berhenti tersenyum saat membalik setiap halamannya dan kini yang dia lakukan adalah mencari pulpen.

“Perlukah kau melakukan ini, Lay? Perlukah aku memastikan dengan semua ini?” pertanyaan itu tetap mengitari kepala Apple.

(Tapi tak mengapa, Apple tetap menandatanganinya dengan derai air mata kebahagiaan)

Lay is mine
(Til the stars fall from the sky)

Lay is mine
(Til the rivers all run dry)

Lay is mine
(Til the sun no longer shines)

Lay is mine
(Til the poets run out of rhymes)

Changsa, 2013 October 18th

apple

(        Apple        )

P.S: Yes, you’re mine :)

 

 

THE END

A/N:

Arctic Monkeys, why so addicted??

Aku semalem nulis ini di hape sambil tiduran, sampe ketiduran dengerin lagu ini sembari nulis hahaha xD <— bahasanya berantakan gimana sih hahaha /maaf/

So, apakah kalian merindukan couple ini?? Karena kalo aku iya hahaha pas ngedengerin lagu ini tuh langsung keingetan mereka, gatau kenapa :)

Reminder!

Besok (Sabtu, 19-10-2013) aku akan post I’m in Love with Betty and Whatever Episode 1

(tenang aku gabakalan PHP, itu udah terjadwal di wordpress-nya hohoho)


I’m in Love with Betty and Whatever [Ep.1]

$
0
0

I'm in Love with Betty and Whatever

Cast: Kris [EXO-M] and OC [Betty] || Support Cast: EXO Members || Genre: Comedy, Romance, Telenovela! AU || Length: Chaptered || Rating: PG

Disclaimer:

Adapted from the most popular telenovela in Columbia—Yo Soy Betty, La Fea (I am Betty, the Ugly One).

Summary:

Kris butuh sekretaris, Luhan membawakan Betty padanya.

 

***

{Episode One}

Secretary Number 22

Ini adalah kisah yang seharusnya dibuka dengan kalimat ‘pada suatu hari’ atau ‘di suatu hari yang cerah’, tapi ini tidak. Karena ini adalah kisah milik Kris, milik seseorang yang ruangannya berada di lantai 10 gedung EXO Moda. Tentu saja ini berbeda.

          “Kris…Wu Yi Fuck!!!”

Kris tidak mengangkat kepalanya sedikit pun ketika Luhan sang manajer masuk ke dalam ruangannya, yeah, koreksi—masuk dengan tidak sopannya ke dalam ruangan Presiden Direktur atau CEO perusahaan dan seharusnya Kris berbuat sesuatu untuk memperingatkan si manajer agar lebih menjaga mulutnya. Hei, dimana manner yang selalu Luhan agung-agungkan? Apa itu yang dinamakan manner ketika dia masuk dan menendang pintu sekeras-kerasnya?

Umm…well, itu memang tidak sopan. Tapi tidak lagi menjadi tidak sopan ketika fakta menunjukkan bahwa Luhan sudah masuk ke dalam ruang Kris sebanyak 10 kali—dalam kurun waktu 30 menit. Oh, pantas.

“Berhenti memanggilku, Kris! Aku bukan pembantumu!”

“Tapi kau manajer perusahaan dan aku adalah atasanmu.”

“Tidak! Aku adalah Luhan si pria tampan.”

“Tapi aku tetap atasanmu.”

Fuck you!” semua kosakata milik Luhan telah habis terbakar emosi, menyisakan dua kata itu di ubun-ubun kepalanya. “Demi Tuhan, Kris. Apa sebenarnya visi, misi, maksud dan tujuanmu terus-terusan memanggilku? Apa kau naksir padaku?”

Kris tidak langsung menjawab (apa dia benar-benar naksir Luhan?) Oh, bukan, ternyata dia sedang sibuk mengecek laporan hasil penjualan dan membandingkannya dengan yang tahun lalu. Dia menggumamkan kata-kata di mulutnya, tak jelas terdengar oleh telinga Luhan, tapi apapun itu Luhan tak peduli. Yang dia inginkan adalah penjelasan, oke? P-e-n-j-e-l-a-s-a-n.

“Kau mau tahu kenapa?” Kris pada akhirnya berkata sambil menaruh map di mejanya dan fokus pada Luhan. “Yang jelas ini tidak berkaitan apakah aku naksir padamu atau tidak.”

Luhan memutar kedua bola matanya sebal. “Oke, bicaralah.”

“Pertama, kau adalah bawahanku dan aku adalah atasanmu. Aku bos. Aku boleh melakukan apa pun yang kumau terhadap pegawaiku. Kedua, aku yang menggajimu. Secara tidak langsung, pakaian yang kau pakai itu adalah hasil dari gaji yang kuberikan padamu, ponsel yang dikantungmu juga, begitu pula dengan parfum yang melekat di jasmu. Dan yang ketiga—“ Kris bersandar ke kursi super besarnya dan mengatupkan kedua tangannya, tersenyum bijaksana.

“Dan yang ketiga, kau naksir padaku? Shit man, aku punya kekasih di luar sana dan dia perempuan dan aku normal!” ujar Luhan setengah memekik, dia pasti sangat frustasi.

“Siapa yang naksir denganmu?! Kau benar-benar minta dipecat ya?” Kris menatapnya ngeri dan Luhan menghela nafas lelah. “Oke, oke, Kris. Kau tidak naksir padaku. Apapun itu, jelaskanlah hal yang ketiga.”

Kris tidak habis pikir bagaimana bisa dia dulu memasukkan sahabatnya sendiri ke dalam perusahaan, menjadikannya manajer pemasaran yang kurang ajar. Hufth.

“Sebenarnya sederhana saja, Luhan,” pria berambut cokelat terang itu tersenyum lebar. Senyuman penuh arti. “Jika saja aku punya sekretaris, kau tidak perlu mondar-mandir seperti kecoa kecil.”

Luhan melongo mendengar panggilan kecoa kecil yang Kris berikan padanya. Dulu waktu kuliah dia dipanggil kodok, rusa imut, ilama, penguin, dan sekarang…kecoa? Luhan akan mencari nama binatang paling hina untuk Kris. Sungguh!

Tapi selain itu, sebenarnya alasan utama Luhan menjatuhkan rahangnya selebar goa adalah Kris bilang dia butuh sekretaris? S-e-k-r-e-t-a-r-i-s??!!! Biar Luhan jabarkan tentang fakta sekretaris karena ini adalah topik yang sangat seru untuk dibicarakan. Apalagi dengan orang bernama Kris ini.

Excuse you, Wu Yi Fuck! Kau bilang kau butuh sekretaris, hah?!” Luhan kini berjalan mendekati meja Kris, lalu berhenti di depannya dengan tangan terkepal di atas meja. Kris kira sesuatu sedang merasukinya karena luhan terlihat sangat marah. “Dengarkan aku, Krissie!” (nama panggilan yang bagus) “Kau adalah satu-satunya orang yang membutuhkan sekretaris dan tidak membutuhkannya dalam satu waktu yang sama!”

“Apa maksudmu?”

“APA KAU TERSERANG AMNESIA??!!!” teriak Luhan. “KAU MEMECAT HAMPIR LIMA BELAS SEKRETARIS DALAM SEBULAN!! Bukan, bahkan lebih. DUA PULUH, KRISSIE!!! DUA PULUH DAN MEREKA PULANG SAMBIL MENANGIS!”

“Itu karena—“

“KAU BILANG ‘DIA BODOH’, ‘DIA TIDAK SOPAN’, ‘AKU TIDAK SUKA PADANYA’, ‘AKU BUTUH SEKRETARIS YANG LEBIH PINTAR DARINYA’.”

“Tapi itu—“

“MANUSIA MACAM APA KAU INI?! KAU MEMBUAT JUMLAH PENGANGGURAN SEMAKIN MENINGKAT!”

Oh, ya, tentu saja. Luhan tidak perlu memberitahukannya soal itu. Kris tahu betul apa dampaknya. Tapi apa yang bisa dia perbuat? Dia butuh sekretaris yang mengerti tentangnya, berwawasan luas. Tidak, dia tidak butuh satu yang cantik dengan rok mini dan heels tinggi. Hello, yang dia butuhkan adalah sekretaris, bukan istri (untuk saat ini).

“Tenang, Lulu,” kata Kris berusaha menenangkan Luhan yang bernafas pendek-pendek. “Kau bisa terkena serang jantung.”

“BIARKAN SAJA SAHABATMU INI MATI!”

“Kau bisa terkena stroke,” senandung Kris.

“AKU TIDAK PEDULI!”

“Dan ketampananmu bisa berkurang.”

Luhan melotot dan menangkup wajahnya sendiri. “Oh, benarkah?” uhuh, dia cemas.

“Makanya, berhenti berteriak dan carikan aku sekretaris.”

Pria bernama Luhan itu pun menutup wajahnya, mengacak-acak rambutnya frustasi. Kris telah mengatakan hal itu sebanyak—kira-kira—dua puluh kali di waktu lampau padanya dan semuanya akan kembali terulang lagi dan lagi. Luhan lelah. “Kris, kenapa kau tidak menyuruh Jongdae si manajer sumber daya manusia?” yeah, kenapa aku? Aku ‘kan manajer pemasaran. Kalau kau bilang karena aku adalah sahabatmu, aku akan memukulmu!

Dan Kris berkata, “Oke, baiklah. Aku akan memanggil Jongdae kalau begitu.”

Beberapa saat kemudian, Jongdae muncul di pintu ruangan Kris dengan donat di mulutnya. “Kau memanggilku?”

“Apa kau sedang makan? Ini—“ Luhan melirik jam tangannya dan protes. “—hei, waktu makan siang sudah lewat, tahu!”

“Aku lapar, oke? Apa masalahmu?” balas Jongdae ketus sembari melewati Luhan dengan gaya angkuh (pssst, mereka itu saingan, kau perlu tahu). Dia menghadap Kris. “Ada apa, bos?”

“Jongdae, ada tugas untukmu.”

“Yap! Apa itu?”

“Carikan sekretaris untukku,” kata Kris serius. Jongdae mengangguk, mengunyah, menelan, dan berkata, “Oke, baiklah.”

Mereka tenggelam dalam suasana kaku yang aneh, dimana Kris dan Luhan menatapnya diam. Kim Jongdae pun menatap mereka secara bergantian. “Err…oke, aku akan mencarikannya. Tenang saja.”

“Ini serius, Jongdae. Aku ingin sekretaris dengan beberapa spesifikasi yang kutentukan. Kau bisa melakukannya?”

Jongdae tersenyum sambil menjilat sisa gula donat di jemarinyanya dan dengan sangat percaya diri dia mengatakan, “Apa kau meragukanku? Aku adalah Kim Jongdae sang manajer sumber daya manusia. Serahkan semuanya padaku.”

 

***

 

Kau tahu, ada kalanya kau ingin sekali percaya dengan seseorang yang mengatakan ‘ya’ atas segala permintaanmu dan tersenyum sambil menjilati jemarinya yang penuh gula donat. Dia berkata, ‘oh, jangan cemas. Jangan meragukanku’ dan yeah, kau percaya akan keahliannya. Tapi…ada kalanya jangan pernah mempercayai orang-orang spesies itu.

 

“KELUAR DARI RUANGANKU! DASAR WANITA NAKAL!!”

 

Hampir semua orang yang berada satu lantai dengan Kris mendengar teriakannya itu. Park Chanyeol si tukang fotokopi sampai-sampai mengkopi tangannya sendiri lewat mesin, alhasil surat kontrak milik Kim Minseok ada gambar tangannya. “Oh, shit!” rutuknya.

Semua orang penasaran apa yang terjadi dengan Kris, namun mereka pura-pura mengerjakan tugas masing-masing ketika seorang wanita seksi baru saja keluar dari ruangan Kris—ahem! Danpakaiannyasetengahterbukarambutnyaberantakansekali. Wanita itu berlari terbirit-birit tanpa alas kaki menuju lift, lalu tak lama kemudian Kris keluar dengan wajah semerah cabai.

“DI MANA KIM JONGDAE?”

Oh, ini buruk. Jongdae rasanya ingin meleburkan diri—menyatu dengan kursi kerjanya. Well, rencana itu pudar ketika Kris menarik kerahnya dan memaksa Jongdae berdiri hampir berjinjit di tempatnya.

“APA YANG KAU LAKUKAN? SEKRETARIS MACAM APA YANG KAU BERIKAN PADAKU?!”

“B-bos…i-itu sekretarismu.”

“DIA BUKAN SEKRETARIS!! KAU MEMBAWAKAN STRIPPER!”

Semua orang yang mendengarnya terpaksa menahan tawa susah payah. Kim Jongdae, apa yang kau lakukan?

“K-kau bilang sekretarismu harus lincah dan cekatan—“ ujar Jongdae susah payah menelan ludah.

“UHUH! CEKATAN? DIA CEKATAN DALAM MEMBUKA BAJUNYA DAN MEMBUKA KANCING KEMEJAKU!! WANITA ITU HAMPIR SAJA MEMPERKOSAKU!!!”

Chanyeol si tukang fotokopi tergelak seraya perkataan itu terdengar olehnya dan tak sengaja menendang mesin fotokopi, lalu mesin itu berhenti alias rusak (padahal surat-surat kontrak milik Minseok masih banyak yang harus diperbanyak). “Oh shitI!” lagi-lagi dia merutuk.

Jongin sang supervisor pemasaran baru saja ingin melerai mereka sebelum Kris membunuh Jongdae, ketika dari ujung koridor Luhan datang dengan derap langkah yang berat, juga wajah tegang seolah mereka terbuat dari batu. Nampaknya, bukan hanya Kris yang marah detik itu.

“Wu Yi Fuck!!”

Luhan tiba-tiba menarik Kris dengan seluruh kekuatannya dan memaksa pria tinggi itu duduk di kursi Kim Jongdae. Kris mengedipkan mata untuk menyadari apa yang tengah terjadi. Dari mana Luhan datang? Kapan dia datang?

Kemudian Luhan menyambar surat yang berisi spesifikasi sekretaris milik Kris dan menyobeknya hingga menjadi serpihan-serpihan kecil yang beterbangan di atas paha Kris.

Fuck this fucking shit!” raung Luhan. Kini, dia yang mencengkram kerah Kris dan mendekatkan wajahnya. “Itu…adalah sekretaris ke-21 dan aku akan mencarikan sekretaris ke-22 untukmu, Wu Yi Fuck!!” desisnya.

“O-oh ya?”

“IYA!!!” teriak Luhan. “AKU AKAN MENCARIKANNYA DAN AKU BERSUMPAH INI AKAN JADI YANG TERAKHIR, WU YI FUCK! JIKA KAU MEMECAT SEKRETARIS KE-22 INI—“ Luhan berhenti di sana dan mengambil nafas dalam-dalam. “—aku akan mengundurkan diri.”

“Tidak, kau tidak bisa melakukan itu!” ujar Kris cepat. Dia tidak bisa kehilangan manajer pemasaran begitu saja.

“TENTU AKU BISA MELAKUKANNYA! AKU AKAN MEMBAWA SEKRETARIS KE-22 INI TANPA SPESIFIKASI APAPUN DAN KAU HARUS MENERIMA APAPUN KEADAANNYA. MENGERTI, KRISSIE?!” (Chanyeol tertawa lagi sembari berusaha membetulkan mesin fotokopi).

“T-tapi—“

“KAU MENGERTI??!!”

“IYA, AKU MENGERTI!”

Lalu seolah ada angin yang menghapus semua kemarahan Luhan, wajah itu kembali seperti sedia kala—imut, tampan, lembut dan sebagainya. Ini aneh.

“Oke, masalah selesai. Semuanya kembali bekerja.” Luhan pun melenggang pergi sembari menyenandungkan lagu Justin Bieber hingga suaranya tak terdengar lagi di ujung koridor.

 

Kris—kali ini mau tidak mau harus percaya padanya.

 

“Tolong jangan bawa stripper lagi.” Kris mau menangis.

 

***

          Wu Yi Fan atau semua orang biasanya memanggil pria bertubuh tinggi ini dengan panggilan Kris—adalah seorang CEO dari sebuah perusahaan baju yang terkenal, EXO Moda. Umurnya menginjak angka 26 tahun ini. Tampan, keren, cerdas, berpendidikan, bergelimang harta, semua pria di muka bumi ini bisa saja iri dengannya karena ketampanan yang dimiliki Kris berada di skala 8321098319 dan disarankan jangan pernah mengintip akun bank-nya, karena sesekali Chanyeol si tukang fotokopi pernah melihatnya dan dia mau pingsan.

Kris adalah Presiden Direktur yang baru saja diangkat setelah ayahnya meninggal, keluarganya memutuskan dialah orang yang tepat untuk mengambil alih bisnis ini. Perusahaan pun berkembang pesat di tangan Kris, dengan adanya pergantian struktur dan beberapa regulasi, EXO Moda dalam sekejap menjadi market leader. Tak dapat disangkal semua bertanya-tanya apa yang telah diperbuat Kris. Mengapa semuanya terlihat sempurna? Strategi penjualan apa yang dia pakai? Bagaimana bisa dia meng-hire sumber daya manusia terbaik yang bisa menjalankan perusahaan hingga dalam kurun waktu yang terlampau singkat, EXO Moda berada di jajaran paling atas dan menarik para investor untuk menanamkan modalnya?

Apa karena Kris tampan? Wajahnya pernah menjadi sampul majalah Forbes.

Apa karena Kris orang kaya? Namanya tercantum di peringkat 23 untuk orang-orang terkaya di dunia.

Apa karena Kris pintar? Dia adalah lulusan terbaik Harvard dan menyelesaikan S2-nya hanya dalam kurun waktu dua tahun.

Entahlah, tidak ada satu pun yang tahu.

Hari ini masih seperti hari-hari yang kemarin. Tidak ada yang berubah kecuali sebuah perasaan aneh yang melanda Kris di pagi hari. Perasaan itu terus saja menyerangnya saat sehabis mandi. Dia berpikir mungkin dia salah memakai kemeja, atau dasinya yang miring, atau jasnya yang wangi. Tidak. tidak ada yang salah.

Kris sarapan, perasaan tidak enak itu masih bersarang di dadanya. Kris pergi ke kantor, perasaan itu tidak mau menghilang. Kris berjalan ke arah ruangannya dan berhenti ketika melihat Jongdae si manajer SDM tengah makan donat—tersenyum sambil melambaikan tangan padanya.

Aneh.

Sial.

“Apa yang terjadi padaku?” tanya Kris menekan dadanya. Tidak mungkin ini gejala jantung ‘kan? Kris berpikir mungkin akhir bulan nanti dia bisa pergi ke Hawaii dan berlibur sejenak untuk menenangkan diri.

Terserah.

Kris duduk di kursi super besarnya, mencermati keadaan mejanya yang rapi dan…ada segelas kopi hangat di atas mejanya. Perasaan aneh itu muncul lagi. Seingatnya, hal ini tidak pernah terjadi semenjak dia tidak punya sekretaris (yang kemarin itu tidak masuk ke dalam hitungan).

“Apa ini…“ Kris menutup mulutnya dan segera menelepon Luhan di saluran 3—berharap kopi itu adalah buatan Luhan.

“Kau memanggilku?” kepala Luhan muncul dari balik pintu.

Entah mengapa tiba-tiba Kris kehilangan kata-katanya. Dia menunjuk-nunjuk kopinya tanpa sepatah kata pun, membuat Luhan mengerutkan dahinya.

“Kopi?” tanya Luhan dan Kris mengangguk. “Ya, itu memang kopimu,” kata Luhan memastikan, lalu Kris menunjuk kopi dan Luhan secara bergantian (dia mirip pantomime). “Kopi itu? Aku yang membuatnya? Oh, bukan, Kris—oh!” Luhan seketika tersenyum lebar—sangat khas.

“Tunggu sebentar, Kris.” Luhan pun menghilang dalam kerjapan mata, tanpa penjelasan. Perasaan aneh itu kembali mendera seperti ada firasat bencana alam akan datang sebentar lagi—persis seperti yang ada di film-film itu.

 

Satu menit.

 

          “Pergi ke mana Luhan?”

 

Tiga menit.

 

“Apa maksudnya dengan ‘tunggu sebentar’?”

 

Lima menit.

 

“Jika ini kejutan, well, aku tidak suka kejutan.”

 

Enam setengah menit.

 

Kris mendengar suara Luhan di balik pintu. “…tidak apa, tidak apa. Tenang saja. Dia orang yang baik.”

Luhan berbicara pada siapa?

Pintu pun terbuka. Luhan berdiri di sana dengan senyuman mengembang di wajah. Dia masuk ke dalam ruangan Kris perlahan-lahan sembari tangannya berada di belakang dan Kris dapat melihat ada orang di belakang sana. Siapa dia?

          “Kris,” ujar Luhan.

“Ya?”

“Ingat apa yang kujanjikan dua hari lalu?”

“Err, apa ya?”

Luhan menghela nafas dan memutar kedua bola matanya sebal. “Lagi-lagi terkena amnesia. Hei, kau harus terbiasa dengan penyakit aneh yang diderita oleh bos-mu, oke?” ujar Luhan memiringkan kepalanya ke belakang.

“Kau bicara dengan siapa?” tanya Kris penasaran.

 

Well, satu senyuman Luhan.

 

Satu langkah ke kiri yang diambil Luhan.

 

Dan Kris bisa melihat-nya.

 

“Kris, ini adalah sekretaris barumu. Perkenalkan dirimu, dear.”

 

“Selamat pagi, Pak Kris. Namaku Betty. Aku adalah sekretarismu yang baru.”

 

***

 

“Pak, apa yang kau lakukan di sini?”

 

“Psstt! Chanyeol, jangan berisik! Nanti aku ketahuan.”

 

“Memang kau bersembunyi dari siapa?”

 

“Luhan dan—“

 

Kris berhenti di sana. Lidahnya terikat kencang hingga tidak ada sepatah kata pun yang dapat keluar. Dia tidak ingin mengingat nama itu, juga tidak mau membayangkan bagaimana sosok itu berdiri di ruangannya. Kris bergidik ketakutan.

“Tapi kau tidak bisa terus-terusan berada di bawah sana, pak,” ujar Chanyeol mengintip ke bawah meja pantry—di mana Kris sang CEO EXO Moda berada.

Kris tidak peduli. Kakinya tertekuk sakit, seolah-olah ada seribu semut yang mulai merayapi kakinya, kepalanya terus terantuk kayu di atasnya dan pinggangnya sakit. Ugh, apa dia setua itu?

“Oh, pak. Bagaimana dengan sekretaris barumu? Aku dengar dia mulai bekerja hari ini.”

Kris mendelik ke arah Chanyeol. “Tahu darimana kau?”

“Semua orang tentu tahu, pak. Bahkan anjing di belakang EXO Moda saja tahu,” kini Chanyeol berjongkok di sebelahnya, dia menyeringai sambil menyenggol lengan Kris. Hei, aku ini bos-mu! Beraninya!

“Bagaimana, Pak?”

“Apanya yang bagaimana?”

“Ah, masa kau tidak tahu.” Satu senggolan lagi.

“Katakan apa maksudmu!”

“Seksi tidak?”

“Apanya yang seksi?”

Sepertinya Kris senang sekali membuat orang memutar kedua bola mata mereka, bahkan Chanyeol si tukang fotokopi pun melakukan hal yang serupa dengan Luhan.

“Si sekretaris barumu itu lho, pak.”

 

Kris diam.

 

“Pak, apa kau masih hidup?”

 

Kris menatap Chanyeol setengah menerawang. Pikirannya bercabang bagai pohon dan sebelum Chanyeol bisa berkata lagi, Kris kembali diingatkan oleh kenangan tadi pagi. Bukan, ini bukan kenangan yang pantas untuk diingat karena seandainya ada tombol delete untuk menghapusnya…Kris dengan senang hati akan menekannya!

“Chanyeol.”

“Ya, pak?”

Dia ragu apakah ini pantas dilakukan—maksudnya, dia yang notabene-nya adalah bos dari segala bos, bercerita pada tukang fotokopi. What the hell, Kris! Kau bahkan mengumpat di bawah meja. Kurang hina apa lagi?

“Kau mau dengar ceritaku tidak?”

 

***

“Kris, ini adalah sekretaris barumu. Perkenalkan dirimu, dear.”

 

“Selamat pagi, Pak Kris. Namaku Betty. Aku adalah sekretarismu yang baru.”

Mungkin ini tidak pernah terlintas sebelumnya dalam pikiran, angan-angan, lamunan seorang gadis bernama Betty. Pertama kali dia melangkah ke dalam perusahaan EXO Moda, dia tahu ini akan menjadi langkah awal yang bagus untuk memulai segalanya setelah seribu rintangan telah dia lewati. Uhuh, rintangan yang dimaksud ini adalah wawancara yang selalu gagal, penolakan dari perusahaan secara mentah-mentah, bahkan sampai tindakan anarkis yang membuatnya trauma dengan botol air mineral (yeah, siapa yang tidak trauma setelah botol air mineral mendarat di kepala dengan keras).

Betty sudah menyiapkan mental setebal aspal, sekuat baja jika EXO Moda menolak CV-nya waktu itu, namun tidak. Dia diwawancarai dengan seseorang bernama Kim Jongdae yang berwajah masam saat berhadapan dengannya, lalu di malam hari dia mendapatkan telepon dari seseorang bernama Luhan. Ditambah, suara itu terdengar menyenangkan dan ramah. Betty pun senang.

Apa aku berbicara dengan Betty?

“Ya, ini aku.”

Selamat, dear! Kau diterima di perusahaan EXO Moda. Datanglah besok pukul 8 pagi dan aku akan menjelaskan job desk-mu, oke?

Betty hampir menangis. Bukan hanya karena dia diterima oleh perusahaan ternama itu, namun dia terharu mendengar Luhan memanggilnya ‘dear’. Tidak ada yang pernah memanggilnya seperti itu sebelumnya, apalagi yang satu ini terdengar tulus.

“Benarkah? Terima kasih, terima kasih!!”

 

Betty tidak dapat tidur malam itu.

 

Hari itu Betty mempersiapkan segalanya. Dia menyisir rambutnya sebanyak 10 kali, memastikan bahwa tidak ada sisa makanan yang menyangkut di behelnya, memakai vest terbaik, sweater warisan neneknya (apa?), juga kaus kaki polkadot keberuntungannya (beruntung? Baiklah), tak lupa membersihkan kacamata minus lima-nya yang tebal. Betty adalah gadis berumur 23 tahun, pintar, cerdas, bersemangat, tapi…entahlah, dia juga tidak mengerti mengapa ijazah dengan IP 4 di hampir setiap semesternya tak pernah menarik perhatian perusahaan-perusahaan itu. Atau…sebenarnya ada faktor lain? (KAU MASIH BERTANYA?!!)

Tapi lupakan semua itu. Kini Betty resmi menjadi salah satu karyawan EXO Moda.

“Pak, aku sedikit takut dan cemas,” ujar Betty setengah berlari untuk menyamai langkah Luhan. Mereka hendak menuju ruangan Kris.

“Kenapa? Kau akan bertemu dengan orang nomor satu di EXO Moda, bukan siapa-siapa.” (Hei, Luhan. Itulah alasannya. Astaga).

Betty meremas tangannya sendiri. “Tapi bagaimana jika dia tidak menyukaiku?”

Luhan berhenti tiba-tiba dan Betty hampir saja menabrak punggungnya. Luhan berbalik padanya, tersenyum secerah mentari. “Tidak apa, tidak apa. Tenang saja. Dia orang yang baik.”

 

Betty telah mempersiapkan segalanya. Tidak peduli jika orang ini tidak menyukainya atau bahkan membencinya.

 

Ya, segalanya.

 

Tapi dia tidak mempersiapkan hatinya yang rentan ketika pintu terbuka, menyodorkan pemandangan akan sesosok pria yang duduk di kursi super besar—pesona, ketampanan, kharisma…semuanya menguar bagaikan parfum mahal. Pria itu memakai jas hitam, dasi berwarna biru gelap, potongan rambut yang rapi, struktur wajah tegas dan tampan, dan itu merubah kaki Betty sekejap menjadi jelly.

 

Dia bos-ku?

 

Bernafas, Betty, bernafas.

         

Gadis itu lupa bernafas.

 

***

 

“Kau tahu, Chanyeol, ada momen-momen tertentu yang membuatmu ingin berlari ke luar gedung, menatap langit biru di atas sana dan bertanya pada Tuhan untuk segala sesuatu yang terjadi dalam hidupmu.”

“Oke.”

“Atau terkadang kau hanya ingin keluar dan menghirup angin segar, karena tiba-tiba perutmu bergejolak, semua makanan rasanya hendak keluar melalui mulutmu kalau kau terus menahannya. Pernahkah kau merasakannya, Chanyeol?”

“Err…sepertinya pernah, pak.”

Lima belas menit berlalu dengan cepat saat Kris bercerita dari bawah meja pantry dan Chanyeol duduk di sebelahnya sambil mendengarkan keluhan tentang si sekretaris baru. Mereka tidak seharusnya seperti itu. Kris punya setumpuk dokumen-dokumen yang harus ditandatangani, sementara Chanyeol punya segudang surat kontrak yang harus di-copy. Lalu kenapa mereka masih duduk di sana?

Kris mengingat detik dimana sekretaris itu muncul di hadapannya, suaranya yang cempreng melantun di telinga Kris bagaikan suara deritan kuku di papan tulis. Dan wajahnya—tidak mau terlalu sadis mengatakannya. No no no. Mari kita umpamakan dengan…umm…sebatang toge yang hampir layu, hampir masuk ke tempat pembuangan sampah. (Oh, tidak! Ini sadis!)

Gadis itu jauh dari kata cantik. Jauh dari kata sempurna yang selama ini menyirami hidup Kris. Dia bukan makhluk yang indah, dari ujung kepala sampai ujung kaki—semuanya salah.

Sepatu pantofel usang yang dipadukan dengan kaus kaki panjang bermotif polkadot. Salah.

Rok panjang yang menggantung di atas mata kaki sebanyak 10 sentimeter terlihat jelek di tubuhnya. Salah.

Kemeja putih, vest rajut warna cokelat, sweater yang kebesaran (dari zaman apa gadis ini?) juga tidak luput dari perhatian adalah bros bunga besar di dadanya. Salah.

Wajahnya, ah, astaga. Apa ini harus dibahas? Baiklah, wajah itu…jauuuuuuuuhhh dari kata manis atau cantik. Behel di giginya begitu menyilaukan. Begitu salah. Kacamatanya super tebal. Super salah. Gaya rambut yang ketinggalan zaman, rambut keriting yang kering dan bercabang dan…dan…SEMUANYA SALAH, SALAH, SALAH, DAN SALAH!!

“Mungkin ini memang salahku,” kata Kris mengakui. “Aku memberikan wewenang pada Luhan untuk mencarikan sekretaris. Aku menginginkan SEKRETARIS bukan STRIPPER, tapi juga bukan seseorang seperti ini. Luhan membawakan seseorang bernama Betty dan dia—aish, aku tidak bisa berkata apa-apa. Rasanya aku ingin memecatnya.”

“Lagi, pak?” tanya Chanyeol sedikit kaget.

Mau bagaimana lagi?

“Tapi Manajer Luhan pasti akan membunuhmu, pak. Ini yang ke-22.”

Tidak, dia tidak akan membunuhku. Tapi aku yang akan bunuh diri karena kehilangan manajer pemasaran terbaik di perusahaan ini.

“Entahlah, aku—“

“Krissie?”

Oh, tidak! Itu Luhan!

Kris menyembunyikan wajahnya di kedua lututnya, namun terlambat. Luhan menemukannya. “Krissie? Apa yang kau lakukan di sana? Chanyeol, apa yang kau lakukan bersama Kris?”

“Eumm…ini…”

“Kim Minseok menunggu surat kontraknya. Cepat bekerja!”

Tanpa menunggu lebih lama, Chanyeol segera beranjak dan menghilang secepat angin. Siapa sih yang tidak takut pada Luhan si manajer yang galak ini? Kini di ruangan itu hanya ada Kris dan Luhan. Ugh, semoga hal buruk tidak terjadi.

“Kris,” panggil Luhan. “keluar dari sana dan jelaskan padaku, mengapa kau kabur setelah melihat Betty.”

“asjadakndjsanja”

“Apa?”

“Aku tidak mau keluar.”

“Apa masalahmu?” Luhan ikut berjongkok persis seperti yang dilakukan Chanyeol tadi. “Kris, bicaralah padaku.”

“Apa yang kau bawa padaku?” Kris mengernyitkan wajahnya, Luhan pun juga ikut mengernyit sepertinya, dia tergelak. “’Apa’? Kris, Betty itu manusia. Seharusnya kau tanyakan ‘siapa’ bukan ‘apa’.”

Kris menolaknya. “Tidak. Apa yang kau bawa padaku?”

Luhan menghela nafas lelah. “Sekretaris.”

“Sekretaris?!” nadanya meninggi. “Tapi, Luhan—“

Stop!” Luhan menghentikan bicaranya. “Aku tidak menerima alasan atau kata-kata apapun darimu, Kris. Aku tahu apa yang ada dipikiranmu, tenang saja. Tapi kini saatnya menyadari bahwa walaupun kau orang nomor satu di EXO Moda, kau tetap harus menerima keadaan. Kau butuh sekretaris, aku membawakan Betty padamu. Titik.”

Tidak punya pilihan? Apa kau gila?!

          “Dan kau tahu apa konsekuensinya jika kau memecat Betty,” senandung Luhan senang.

Kenapa kau begini padaku? Aku kira kita sahabat, Lu!

          ”Dan perlakukan dia dengan baik, Kris. Betty gadis yang manis.”

Kau dibayar berapa untuk mengatakan hal ini, hah?!

          “Dan—oh, kalau kau tidak keberatan, aku rasa akan lebih baik jika meja kerja Betty dimasukkan ke dalam ruanganmu saja. Kau tahu, agar kau tidak perlu repot-repot memanggilnya masuk,” ujar Luhan seraya melenggang pergi.

 

What the hell?!

 

“L-Luhan! Luhan! Jangan lakukan itu! LUHAN!!!”

 

-TBC-

                     

Hangukffindo’s Podium:

*Check one, two, and three*

Alohaaa~ So…how? Bagaimana episode satu ini? /menggelinding/

Maafkan untuk segala typo dan capslock yang tidak santai itu. Yeah, I know! It’s probably the worst!

Okay, episode dua menyusul (kalau sempet nulis >.<)

Always wait for your comment. Aku menerima komen dalam segala macam bentuk. Bentuk persegi panjang, kotak, bulat, pipih, kerucut…iya semuanya hahahaha :D

See yaaa!!! <3 <3 <3


Dumb Ways to Die

$
0
0

dumb ways to die

Cast: Sehun [EXO-K] || Minor Cast: Kai [EXO-K] || Genre: COMEDY, Friendship, Slight!Sad || Length: Oneshot || Rating: PG-15

Soundtrack: Tangerine Kitty – Dumb Ways To Die

Summary:

Ini adalah kisah tujuh kali percobaan bunuh diri super konyol yang dilakukan Oh Sehun

 ***

 

Pernahkah kau merasa putus asa akan hidup ini?

 

Kau tahu, hidup ini penuh dengan intrik—permasalahan yang terkadang kau rasa tak punya penyelesaian yang tepat. Kau melihat masalah sebagai jalan tol yang tak berujung, Xiumin melihat masalah seperti roti besar yang tak bisa habis dimakan, Baekhyun melihat masalah mirip kubik warna-warni—satu yang tak bisa dia selesaikan tapi entah mengapa Luhan bisa menyelesaikannya dalam waktu kurang dari dua menit. Mungkinkah dia bisa menyelesaikan setiap masalah dalam hidup ini?

Oh, tidak juga. Satu kali Luhan pernah menolak makan, mogok kuliah karena dia punya masalah dengan potongan rambutnya yang jelek.

Kau pernah seperti itu? Merasa putus asa dan sebuah ide terlintas begitu cepat di kepalamu sepersekian detik, begitu menggoda.

 

Bunuh diri.

 

Sehun pernah mengalaminya.

Dia begitu frustasi, kuliah di tempat yang jauh dari ibunya yang berada di Busan, uang menipis setipis kasur dorm-nya, seseorang bernama Key (pemilik dorm) menagih uang sewa setiap hari, tugas kuliah menumpuk, dia tidak tahu besok dia akan makan apa, dia kesepian, dia mau mati, dia mau mati saja.

Omong-omong tentang ‘mati’, Sehun selalu bertanya pada Tuhan setiap malam kapan dia mati.

“Tuhan, kapan aku mati?”

Keesokannya dia masih hidup.

“Kapan Kau merencanakan kematianku?”

Dia masih bernapas di kemudian harinya.

“Aku serius, apa Kau tidak membiarkanku mati?”

Tidak.

Mungkin belum saatnya.

Malam itu Sehun berdoa dan menangis, tapi begitu konyol bagaimana dia meminta untuk mati daripada menemukan kunci untuk menyelesaikan masalahnya.

“Tidak bisakah Kau membiarkanku mati? Atau membuatku mati? Aku muak dengan hidup ini.”

Tok tok tok!

“Oh Sehun! Kapan kau akan membayar biaya sewamu? Ini bulan yang kedua, kau perlu tahu itu!!” teriak Key dari luar kamarnya.

“Lihat, lihat! Jika aku tidak mati maka aku harus membayar uang sewa,” bisik Sehun sedih bercampur panik.

(Dan malam itu Sehun bergelung di lantai, lagi-lagi menangis dan memohon berkali-kali agar besok dia menjadi mayat kaku)

 

Maka di suatu hari yang cerah, matahari hampir mengumpat sepenuhnya di balik awan, Sehun melamun di dekat Sungai Han. Lagi-lagi memikirkan kapan dia mati, lalu sesuatu menghentak kepalanya. Lebih tepatnya, sebuah suara asing yang mirip bisikan angin.

Oh Sehun…daripada memikirkan kapan kau mati, mengapa tidak kau sendiri saja yang menentukannya?” kata suara asing itu.

“Memangnya bisa?”

“Tentu bisa! Tentu! Bunuh diri saja.”

“Oh,” Sehun baru menyadarinya detik itu dan betapa bodohnya dia. “Kenapa tidak terpikirkan olehku?”

Dia pun melihat ke bawah, di mana Sungai Han mengalir cukup deras dan jaraknya cukup tinggi dari Sehun berdiri. Umm…jika dia menjatuhkan diri, kemungkinan besar dia bisa mati.

“Ayo, lompat. Maka hidupmu akan berakhir.”

Sehun menaikkan kakinya di pagar jembatan, berpikir mungkin dia tidak akan melihat matahari, tidak akan bertemu Key dan bermain dengan sahabat satu-satunya Kim Jongin. Ah, siapa peduli.

Tapi ketika itu Sehun melihat kaus yang dia kenakan. “Ini kaus dari Jongin,” gumamnya. Itu kaus kesukaannya sepanjang hidup, dia mendapatkannya dari Jongin saat ulang tahunnya yang ke-17, dan dia tidak mungkin membiarkan kaus itu terkena air kotor Sungai Han.

Sehun pun mengedikkan bahu dan menurunkan kakinya. “Mungkin aku akan pulang mengganti baju dulu, lalu pergi ke sini lagi.” (Apa?)

Sehun pun pulang sore itu ke dorm, berniat ganti baju, tapi dia ingat ada tugas statistik yang belum dia sentuh sama sekali. Dia pun mengerjakannya sambil makan kentang dan lupa kembali ke sungai Han.

 

Percobaan bunuh diri ke-1: lompat ke Sungai Han. Gagal.

 

***

 

Masalah bisa datang kapan pun tanpa kau undang. Benar?

Dia bukan temanmu (eww!), dia bukan sahabatmu (tentu!), dia bukan seseorang yang kau sukai, maka tentu kehadirannya tak pernah diharapkan. Tapi apa boleh buat ketika masalah iseng bertamu ke kehidupanmu dan sesungguhnya kau tidak perlu menyediakan kue atau minuman, karena itu sama saja kau menanggapinya.

Seseorang bernama Oh Sehun dengan bodohnya menanggapi. Dia memberikan biskuit oreo, sepertinya.

Hari ini dia bertemu dengan masalah di mata kuliah statistik. Semua tugasnya salah (ditambah ada noda minyak goreng mengotori kertas tugasnya). Sehun terancam mendapat D (lalu setelah ditelisik lagi, ternyata Sehun melewatkan satu kuis maka jika dikalkulasikan ulang, dia mendapat E).

Kali itu Sehun benar-benar memutuskan untuk bunuh diri. Dia pulang ke dorm-nya, mengganti baju dengan kaus paling lusuh di lemari, dia harus bunuh diri saat itu apapun yang terjadi. Tidak ada yang bisa melarangnya.

Dia pergi ke stasiun kereta api terdekat dan berjalan di sepanjang relnya. Dia pikir, mungkin akan lebih baik jika jasadnya hancur tak dikenali lagi. Jadi, semua orang akan mengira dirinya menghilang begitu saja.

Laki-laki berumur 20 tahun itu pun berbaring di sana dengan tenang. Terik matahari membakar kulitnya dan dia tahu sebentar lagi pasti ada kereta yang lewat dengan kecepatan penuh dan….wusssshhh! Selamat tinggal dunia. Sehun bahkan tidak mau repot-repot menulis surat wasiat (memang apa yang mau dia tinggalkan? TIDAK ADA!)

 

Jadi…

 

Di sanalah dia menunggu.

 

10 menit.



“Sebentar lagi keretanya akan datang?”

 

20 menit.

 

“Di mana keretanya?”

 

30 menit.



“Hoam,” Sehun menguap. “Apa keretanya mogok?”

 

45 menit.

 

“Zzzzzz…” Sehun tertidur.

 

Dan setelah 4 jam 35 menit 12 detik Sehun terlelap dalam mimpi dan membuka mata pada detik kelima belas, dia pun melihat langit di atasnya sudah gelap bertaburkan bintang-bintang. Sehun mengucek matanya sebelum melirik jam tangannya yang menunjukkan pukul tujuh malam dan hal terparah adalah…

 

Dia. Masih. Utuh.

 

Sehun. Masih. Hidup.

 

Padahal. Dia. Sudah. Berbaring. Di. Rel. Kereta. Api. Selama. Itu.

 

Wow.

 

Bingung? Ya, tentu saja.

 

Tidak lama kemudian Sehun mendapatkan jawabannya dari seorang pria tua yang berteriak dari ujung rel.

“Hei, nak! Apa yang kau lakukan di sana?”

Sehun tidak mungkin bilang dia mau bunuh diri. “Err…tidak melakukan apa-apa,” dustanya. “Pak, apakah seharian ini kereta tidak beroperasi? Aku tidak melihatnya melintasi rel ini.”

Pria tua itu berdecak. “Apa kau bercanda? Ini rel yang sudah lama tidak dipakai. Kereta api hanya melintas di jalur satu dan dua.” Dan Sehun berada di jalur tiga. Selamat!

Sehun melongo.

Kematian hanya berjarak kurang dari satu setengah meter dan dengan bodohnya dia berbaring di tempat aman! Benar-benar tolol.

Sehun pun pada akhirnya pulang sambil memukul kepalanya, tak lupa mengatakan ‘idiot, tolol, bodoh, dungu’ terhadap dirinya sendiri. Dan berhenti melakukan tindakan itu ketika dirasa pukulan ke-25 terlalu menyakiti kepalanya dan dia jadi pusing bukan kepalang.

“Aku harus istirahat,” ujarnya.

Ya, mungkin kau harus istirahat dan mencoba bunuh diri di lain kesempatan. (kalau berhasil)

 
Percobaan bunuh diri ke-2: berbaring di rel kereta api dan dilindas. Gagal.

 

***

 

Percobaan ke-3 tak kalah seru (atau bisa dibilang tak kalah idiotnya) ketika Sehun menemukan kesempatan itu dan sebelum berpikir dua kali, dia pun mengambil keputusan untuk mengakhiri hidupnya dengan cara…

Melompat dari balkon kampusnya di lantai lima.

Tenang saja, kali ini cukup tinggi. Di bawah sana ada tong sampah besar, besi yang mencuat di tanah, dan beberapa serpihan kaca yang akan segera menyambutnya. Jadi Sehun dapat memastikan bahwa dia akan jatuh dengan kepala mengenai tong sampah terlebih dahulu, lalu perutnya akan menancap di besi-besi itu, dan serpihan kaca akan menghiasi kulit punggungnya.

“Sakitkah?” tanya Sehun sedikit ngeri.

Ah, siapa yang peduli akan rasa sakit jika menjalani hidup ini lebih menyakitkan.

Oh Sehun berjalan mundur—menjauh—dari tepi balkon dan menutup matanya selama lima menit. “Kau bisa melakukannya, Oh Sehun. Kau pasti bisa. Kau tidak akan bertemu dengan semua orang menyebalkan itu. Kau akan mati dalam tenang.”

Lalu hatinya mantap. Sehun berbalik, berlari sekuat tenaga sebelum melemparkan dirinya ke depan, tubuhnya melayang di udara sepersekian detik. Rasanya damai, rasanya tenang, tapi Sehun tahu rasa sakit akan datang setelah ini.

 

Aku siap

 

Aku siap

 

Aku siap

 

Aku—
Well.
Umm…setahu Sehun rasa kepala menabrak tong sampah itu…sakit. Dan…kenapa batang besi menjadi lembek? Eh, ke mana serpihan kaca yang tajam itu?

“Oh Sehun!!!”

Sehun kenal suara itu, dia mendengar riuh rendah suara tepukan tangan serta sorakan orang-orang. Matanya terbuka, dan…yeah, dia masih hidup, perutnya tidak berlubang, kepalanya utuh, dan yang dia lihat adalah kerumunan orang berwajah senang berada di sekelilingnya.

Apa yang terjadi?

“Oh Sehun,” dosen mata kuliah perilaku organisasi mendekatinya sambil bertepuk tangan bangga. “aku tidak percaya kau berani mengajukan diri menjadi voluntir dan melompat dari sana untuk simulasi ini.”

Voluntir? Simulasi? Apa ini?

“Lima menit yang lalu kami mengadakan simulasi kebakaran dan menaruh trampolin di sini, sayang sekali voluntir kami kabur semua ketika disuruh melompat dari lantai lima. Tapi…tiba-tiba kau datang. Terima kasih, ya.”

What the hell?!

Sehun melongo di atas trampolin super lembut dan elastis itu. Damn, gagal lagi, utuknya dalam hati.

Lalu Sehun pulang dan tidur di atas kasurnya–setengah hati berharap kasur ini dapat berubah jadi trampolin tadi karena jujur, rasanya lembut sekali.

 

 

Percobaan bunuh diri ke-3: melompat dari lantai lima kampus. Gagal.

 

***

 

Kali ini tidak mungkin gagal.

Persetan dengan semua daya usaha yang sadis untuk membunuh diri. Kali ini Sehun mendapatkan ide lain yang cukup cemerlang, membuatnya pergi ke apotek dan membeli obat tidur.

Rencananya, dia akan meminum pil obat tidur ini lebih dari dosis yang dianjurkan. Uhuh, klasik, tapi tidak ada yang bisa mencegahnya mati setelah obat itu bekerja dan Sehun akan tidur…selamanya.

Yap! Itu yang dia inginkan.

“Satu botol obat tidur.”

“Siapa nama anda, Tuan?” tanya sang apoteker.

“Oh Sehun.”

“Baiklah, Tuan Oh, eumm…apa kau punya riwayat insomnia?”

Sehun menggaruk tengkuknya. “Err…ya begitulah.” Apa kau perlu bertanya hal ini?

Wanita itu tersenyum sedih. “Baiklah, kau tahu, belakangan ini banyak sekali orang yang bunuh diri memakai obat ini. Hufth, mereka tidak menghargai hidup sepertinya.”

Memang itu yang ingin kulakukan, bodoh.

“Baiklah, Tuan Oh. Silakan menunggu namamu dipanggil dan kau bisa mengambil obatmu di counter nomor empat.”

“Oke.”

Sehun duduk sembari menunggu namanya dipanggil, mendengarkan musik The Used melantun dan dia ingat ini kesukaan sahabatnya, Kim Jongin dan dirinya. Well, setelah ini akan menjadi lagu favorit Jongin sendiri.

“Saudara Oh.”

Sehun buru-buru beranjak dan mengambil obatnya tanpa basa-basi. Dia pulang menerobos dinginnya hujan malam itu, setengah berlari ke arah dorm-nya. Sesampainya di sana, tanpa mengganti bajunya dan setelah bersin dua kali, Sehun menumpahkan sekitar sepuluh pil ke tangannya.

“Selamat tinggal, dunia. Terima kasih atas dua puluh tahun yang menyakitkan ini.”

Oh Sehun menelan semua pil itu dan agak bingung akan rasa manis terkecap di lidahnya.

Mungkin ini rasa baru, pikirnya seraya mengangkat bahu.

Kemudian dia berbaring di atas tempat tidur dengan tangan terlipat, menunggu reaksi di sekujur tubuh seperti apa yang dia baca di internet. Dia menunggu mulutnya berbusa dan pusing tak tertahankan di kepala muncul. Tapi…

Kenapa tidak kunjung muncul?

Dia pun penasaran dan mengambil botol berwarna putih itu. Ketika membaca keterangan di sana, rasanya Sehun ingin membenturkan kepala ke WC.

“Nama pasien Oh Minho, usia sembilan tahun, vitamin C. Semoga cepat sembuh, bbuing bbuing.” (ditambah emoticon seperti ini ^.^v)

Sehun tidak percaya ini terjadi lagi. Kegagalan dalam membunuh diri karena salah mengambil obat.

(lagipula ternyata meminum vitamin C sebanyak itu berdampak baik baginya. Dia meminum dua butir sebelum tidur dan flu-nya hilang di keesokan pagi)

 

 

Percobaan bunuh diri ke-4: overdosis pil obat tidur. Gagal.

 

***

 

Kemudian…

Katakan saja, mungkin Sehun memang tidak diperbolehkan mati di usia semuda itu karena berapa kali pun dia mencoba hasilnya akan sama.

 

“Aku akan menyayat nadiku dengan pisau ini.”

Tok tok tok!

“Sehun?” Itu Key.

“Ya?”

“Boleh pinjam pisau? Aku mau makan apel dan kalau kau mau, kita bisa makan bersama.”

(Lalu mereka berakhir duduk di teras dan makan apel bersama)

 

Percobaan bunuh diri ke-5: menyayat nadi dengan pisau. Gagal.

 

 

“Aku akan menenggelamkan diri di kolam berenang.”

Sehun menenggelamkan diri di dalam air tanpa mengambil napas terlebih dahulu. Setelah sekitar satu menit dia merasa paru-parunya terbakar karena butuh asupan oksigen tiba-tiba seorang anak kecil berkacamata renang menepuk bahunya. Dia pun muncul ke permukaan.

“A-apa??” tanya Sehun terengah-engah.

Hyung, bolehkah kau mengajariku gaya kupu-kupu?”

What?

“Kumohon?”

Hati Sehun pun luluh. “Baiklah, naikkan kakimu, rentangkan tanganmu seperti ini. Iya betul seperti itu.”

(dan Sehun berakhir ditraktir makan di restoran pinggir kolam renang bersama keluarga sang anak. Dan err…makanannya enak, Sehun boleh makan dua kali).

 

 

Percobaan bunuh diri ke-6: menenggelamkan diri di air. Gagal.

 

***

 

Sehun tidak mengerti.

Dia tidak mengerti apa yang hidup inginkan ketika hidup memberinya luka, kesedihan, duka, air mata, semua hal buruk padanya. Dan dengan teganya hidup mempertahankan dirinya mengarungi semua itu seolah Oh Sehun terbuat dari baja paling kuat di dunia.

Aku hanya manusia. Aku lemah. Sehun mengakuinya secara gamblang.

Ya, tentu saja.

Sehun menelan begitu banyak penderitaan dan ketika menangis tidak cukup membantunya, mungkin bunuh diri dapat mengakhiri semuanya.

“Aku mau mati.”

Ini percobaan ke-7 dan ini adalah yang terakhir. Sehun tidak mau tahu, dia harus mati saat itu.

Seutas tali telah terpasang di langit-langit kamarnya. Sebuah kursi berada tepat di bawahnya. Sehun menaiki kursi itu, langung berhadapan dengan lingkaran tali. Dia menghela napas.

“Sungguh, kali ini…biarkan aku mati. Biarkan aku mengakhiri semuanya. Kumohon.” Satu butir air mata mengalir di pipinya dan Sehun memasukkan kepalanya ke dalam tali itu. “Kau sadis jika masih membiarkanku hidup.”

Sehun menutup mata.

 

Bersiap menendang kursi itu.

 

Dan…

 

Tok tok tok!

 

Sial!

 

“Siapa?” (dan kau masih sempat menyahutinya, Oh Sehun?!)

“Ini aku. Jongin.”

Sehun bisa saja dengan mudah menghiraukan Jongin dan menendang kursinya. Tapi apa daya, dia sudah lama tidak bertemu sahabatnya itu dan mungkin…biarlah Jongin menjadi orang terakhir yang dia temui sebelum mati.

“Ada apa?” Sehun membuka pintu dan memunculkan wajahnya. Jongin berada di sana dengan payung biru serta kaus metalica yang juga Sehun punyai.

“Aku mau mengembalikan bukumu—” dia berhenti bicara ketika dia melihat ada tali menggantung di langit-langit kamar dan…apa itu air mata di bulu mata Sehun? “Kau…” jongin menaikkan alisnya. “…mau bunuh diri ya?”

Mata Sehun terbelak dan dia menyangkal hal itu. “A-apa? Tidak.”

“Kau bohong,” tuding Jongin.

“Ti–”

“Minggir!” Jongin mendorong tubuh kurus Sehun dan memaksa masuk. Oh, ternyata benar, Sehun mau bunuh diri. Tidak bisa dipungkiri lagi. Ada kursi, ada tali. Ya, ini percobaan bunuh diri.

“Kau mau bunuh diri, huh?”

Sehun menggeleng pasrah.

Jongin tergelak, “Kau tahu, jika kau benar ingin gantung diri, aku pastikan 99 persen kau akan gagal. Tahu kenapa?” Jongin menunjuk tali itu. “Pertama, talinya terlalu rendah.” lalu dia menunjuk kursi di lantai. “Kedua, kursinya terlalu pendek. Aku yakin jika kau menendang kursi ini setelah melilitkan tali itu di lehermu, kaki panjangmu akan menyentuh lantai. Kau masih bisa berjinjit dan tetap hidup, Oh Sehun.”

“Masa?” tanya Sehun polos.

Jongin tanpa bicara lagi, tiba-tiba menaiki kursi dan memasang tali di posisi yang lebih tinggi, lalu mengganti kursinya menjadi lebih tinggi lagi. Dia menatap Oh Sehun serius.

“Nah, sekarang kalau kau mau bunuh diri, silakan. Kali ini pasti berhasil.”

Sehun terpaku di tempatnya. Entah mengapa tiba-tiba dia merinding, keringat dingin membasahi bajunya dan ketakutan menyergapnya.

Sehun. Tidak. Mau. Mati. Sekarang.

Dia. Takut.

“Ayo, apa lagi yang kau tunggu?” Jongin mendekatinya, Sehun mundur satu langkah.

Aish—kemari kau, Oh Sehun.” Jongin hendak menggapai tangannya ketika Oh Sehun tiba-tiba berteriak dan berlari keluar seolah dia baru saja melihat hantu.

“AAAAAAAA TIDAAAAAAKKK, AKU TIDAK MAU MATIIIIIIIIIII!!!!!”

Yap! Kala itu Sehun berlari keluar dorm tanpa alas kaki, boxer bermotif nanas melekat di tubuhnya beserta kaus oblong yang punya lubang di mana-mana.

“AKU TIDAK MAU MATIIIIII AAAAAAAAAAAA!!!!”

 

 

Percobaan bunuh diri ke-7: gantung diri. Digagalkan oleh Jongin.

 

***

 

Hidup memang sulit, percayalah.

Hidup tak semudah membalikkan telapak tangan atau menjentikkan jemarimu, percayalah.

Masalah pasti ada, tentu saja.

Masalah pasti datang tak peduli sebaik apapun dirimu, tak peduli sepintar apapun dirimu menghindarinya. Tentu saja.

Tapi mengakhiri hidup sebelum waktunya bukanlah jalan yang tepat untuk menyelesaikan masalah.

Di sini—di restoran McDonald yang buka 24 jam dengan dua gelas milkshake dan burger keju—Jongin menjelaskan alasan mengapa kau tidak bisa begitu saja menggunting tali kehidupan dan berharap semua masalah selesai.

“Oh Sehun.”

“Hmmm?” Sehun mengunyah burgernya dengan lahap dan Jongin sesungguhnya tak tega mengganggu acara makan itu karena Sehun terlihat begitu menikmatinya, tapi tetap saja…mereka harus bicara.

“Sehun, dengarkan aku.”

“Oke.”

“Aku serius.”

“Iya, aku juga serius mendengarkanmu,” kata Sehun memastikan. Jongin menghela napas dan menaruh burgernya di atas piring, dia mulai bicara.

“Sehun, kau tidak boleh mencoba bunuh diri. Kau tahu kenapa?”

“Umm…” Sehun berpikir sejenak (dia masih berpikir untuk menjawab pertanyaan ini????) “karena tidak baik?”

Jongin memutar bola matanya. Dia seperti sedang berbicara dengan bocah berumur lima tahun.

“Iya, kau benar. Itu tidak baik.”

“Aku benar, yeay!”

“Tapi bukan itu saja, Sehun.” Jongin merendahkan suaranya tanda serius. “Ada beberapa hal yang perlu kau ketahui jika kau bunuh diri. Pertama, kau tidak punya siapa-siapa di dunia ini kecuali aku dan ibumu yang berada di Busan. Jadi jika kau mati, jangan berharap akan ada jutaan orang yang menangisi kematianmu seperti Michael Jackson. Kesimpulannya, pemakamanmu akan sangat sepi. Well, mungkin Key akan datang di sana. Tapi tetap saja akan sepi.”

“Kedua, kau tahu ‘kan aku bukan tipe melankolis dan aku percaya bahwa aku harus merelakan kematian orang lain. Jadi, aku tidak akan menangis. Aku akan tertawa, Sehun. Aku akan tertawa dan menari makarena di atas petimu. Lalu aku akan meminjam cat warna pink dari Zitao dan menggambar hello kitty, stroberi, lolipop, pelangi di petimu.”

“Aw, kau sadis, Jongin.”

“Oh, itu belum seberapa sadisnya ketika aku menggambar hal-hal lucu dan ibumu berhenti menangis dan ikut tertawa. Aku menghamburkan uang di atas petimu dan Key tertawa. Dan karena kami terlalu lelah tertawa seharian, kami tidak bisa mengubur petimu dan membiarkannya tidak terkubur di dalam tanah selamanya.”

Sehun terdiam seraya dia berhenti mengunyah dan menatap piringnya. “Benar kau akan melakukan semua itu, Jongin?”

“Yap, tentu. Dan tidak ada bunga-bunga, Oh Sehun.”

“S-serius?”

“Kau tahu aku tidak suka bercanda.”

Sehun cemberut dan matanya berair. Dia menggelengkan kepalanya, “aku tidak akan mencoba bunuh diri lagi.”

“Oh ya? Kau sungguh-sungguh mengatakannya?”

Satu anggukan, namun Jongin masih memicingkan matanya tanda tak percaya. Mereka memainkan satu kebiasaan lama untuk mengikat janji.

Jongin megulurkan tangan untuk menjepit hidung Sehun. Konon, waktu mereka kecil, mereka percaya mengikat janji dengan cara seperti ini sangat ampuh, karena jika kau melanggarnya maka selamanya kau akan berbicara dengan suara sumbang seperti hidungmu ditekan. Tidak kah itu mengerikan?

“Ucapkan janjimu.”

Aku Oh Sehun berjanji tidak akan mencoba bunuh diri lagi.” Suaranya lucu mirip bebek.

Jongin tersenyum seraya melepaskan cubitannya. “Bagus.”

Lalu mereka makan dalam tenang, melupakan apa yang mereka alami beberapa jam lalu. Mereka mendapati hidup memang tak selamanya menyenangkan dan anggap saja masalah itu seperti cabai super pedas yang tak sengaja kau makan, percayalah pedasnya akan hilang setelah kau minum air hangat.

“Jongin.”

“Yap?”

Sehun tersenyum padanya. “Terima kasih.”

Malam itu mereka pulang ke rumah Jongin sambil berjalan kaki. Sehun menceritakan ketujuh percobaan bunuh dirinya yang super konyol pada Jongin.

“Kau tahu, saat pertama kali aku mau melompat ke Sungai Han, aku berpikir aku tidak mungkin melompat dengan baju pemberianmu, maka aku pulang berniat untuk ganti baju dan kembali. Tapi aku malah lupa untuk kembali.” Mereka berdua tertawa.

Entah mengapa Jongin senang mendengarnya. Dia senang Sehun meletakkannya sebagai alasan untuk tidak bunuh diri di awal percobaan dan Jongin adalah orang yang menggagalkan percobaan bunuh diri terakhir.

 

 

THE END

 

A/N:

For someone out there, here…I have something for you :)

 

Life is too short to wake up with regrets

So love the people who treat you right

Forget about those who don’t

Believe everything happens for a reason

If you get a chance, take it

If it changes your life, let it

Nobody said life would be easy

They just promised it would most likely be worth it

–Harvey MacKay—

 

P.S: eum halo, terima kasih udah baca dan please, be patient for the other fics >.< minggu besok itu akan sangat sangat gila. Doakan aku sehat selalu dan bertahan hidup (?) huhuhu FIGHTING UNTUK SEMUA HANGUKFFINDO’S READER!!! AH SARANGHAEYOOOO <3



[Writing Prompts] Don’t Falling in Love with The Writer

$
0
0

If a writer falls in love with you, you can never die.

 

 

 

Jangan jatuh cinta pada penulis…

Mereka hanya bisa memberimu kata, bukan cinta.

 

Aku tak yakin di mana pernah menemukan kalimat itu, yang jelas mereka menempel di kepalaku bagaikan perekat. Di kala senja mulai merayapi hari dan kau tersenyum di ambang keputusasaan, kalimat itu pun terlintas lagi.

Tak seharusnya kau jatuh cinta pada seseorang yang kesehariannya bercumbu dengan kata-kata. Perempuan itu aneh. Dia lebih memilih berkutat di depan komputer dan mengetik setiap paragraf tentang kisah orang lain daripada merajut kasih denganmu. Jemarinya lebih suka menari-nari di biji-biji keyboard daripada menyentuh kulitmu yang lebih membutuhkannya. Otaknya lebih senang memikirkan plot cerita daripada memikirkanmu.

 

Bagaimana bisa kau menaruh hati padanya?

 

Tak seharusnya kau pulang membawa makanan untuknya. Buat apa? Perempuan itu tak pernah merasa kelaparan. Dia dapat bertahan di depan layar komputer tanpa makanan, tanpa minuman, karena dia hanya butuh ide. Tak seharusnya kau berusaha memeluknya dan menciumnya. Buat apa? Perempuan itu lebih suka menambahkan adegan tersebut di dalam ceritanya ketimbang melakukannya di kenyataan.

 

Bagaimana bisa kau masih mencintainya?

 

Tak seharusnya kau menyentuh kakinya saat malam dan tidur di sebelahnya bagaikan penjaga yang takut kehilangan hartanya. Perempuan itu tak takut pada gelap, dia tak takut pada desau angin dan berpura-pura tidur saat kau mengajaknya bicara. Dia lebih takut jika esok hari dia akan kehilangan jemarinya, idenya, akalnya, daripada kehilangan dirimu. Dia pelit berbicara karena mungkin saja kosakata telah habis ditelan Microsoft word.

 

Kisahnya tak nyata. Masih kah kau mencintainya?

 

Kau jelas bukan tipe idealnya, meskipun kau menganggap sosok itu adalah yang paling sempurna.

 

Dia memuja seseorang dalam setiap paragraf yang dia tulis. Perempuan itu menginginkan pria jahat yang menyakit hatinya berulang-ulang kali. Dia menginginkan pria ber-etiket buruk yang merampas semua kebahagiaannya dan mengembalikannya lagi saat rentetan kata maaf dilantunkan mirip lagu favoritnya.

Kau tentu bukan pria seperti itu. Kau tidak pernah menyakitinya, melihatnya menangis saja kau tak tega. Kau selalu yang mengucapkan kata ‘maaf’ di awal, dan perempuan itu tak menyadari bahwa dialah yang seharusnya melakukan hal itu. Dan harimu selalu berakhir tidur di sofa, memeluk bantalmu sendirian, sementara perempuan itu dengan egoisnya mengambi semua selimut di kamar.

 

Berpikirlah, pantaskah kau mendapatkan semua itu?

 

Kau nampak seperti satu-satunya yang jatuh cinta padanya dalam kasus ini, merasakan betapa dunia terlalu sempit hingga kau tidak merasa cukup untuk tinggal bersamanya. Pernahkah terlintas di kepalamu untuk pergi meninggalkannya? Menjadi pria jahat yang dia inginkan?

 

Ya, kau pernah.

 

Sesekali kau meninggalkan semua kenangan di belakang punggungmu dan berlari dengan harapan seseorang mengejarmu, menuntunmu kembali mengulang hidup dan memperbaiki semua kesalahan. Namun, lagi-lagi kau sendiri yang kembali tanpa disuruh, meski dia tidak menginginkanmu.

 

Tapi kau meninginkannya.

 

Pernahkah kau melihatnya menulis kisah kalian di layar komputer itu?

 

Perempuan itu hebat dalam mempermainkan kata-kata. Kisah yang dia buat selalu dibumbui intrik berpadu dengan sejumlah adegan romantis yang membuat pembaca menginginkan kisah seperti itu.

Tapi pernahkah kau melihatnya menulis kisahnya sendiri, atau tentangmu yang mencintainya setengah mati?

 

Tidak.

 

Atau mungkin pernah, namun semua tahu perempuan itu pandai mengolah fakta menjadi fiksi. Mungkin saja kisahmu menyedihkan, lalu saat sampai di tangannya, itu adalah sepenggal kisah yang manis.

 

Mengapa…

 

Mengapa kau jatuh cinta pada perempuan yang tak pernah menanyakan bagaimana harimu? Kau selalu berlakon penuh keseriusan.

“Bagaimana hari ini, hm?”

“Aku tidak bisa menulis apa-apa.”

“Kenapa? Kau tidak punya ide? Apa ada yang salah dengan komputernya?”

Perempuan itu menggelengkan kepalanya dan cairan bening mengalir dari sudut matanya. Kau bertanya apa salahmu, apa maunya, apa yang harus kau lakukan selain meminta maaf, karena kata itu kini tak tepat untuk diutarakan. Karena tidak ada kesalahan.

“Ada apa?” bisikmu terlampau pelan.

Kau berpikir mungkin perempuan itu stres frustasi, dia tidak bisa menulis, mungkin dia butuh sesuatu untuk memicunya. Apapun itu. “Katakan padaku, apa yang bisa kubantu?”

Kau sekejap menjadi pria yang paling diinginkan perempuan itu ketika tangannya melingkar di pinggangmu, kehangatan membungkusmu kelak dikala dia mencium bibirmu, lamat-lamat jemarinya membuka satu persatu kancing kemejamu dan kau tahu apa yang dia inginkan.

Terlalu paham.

Terlalu mengerti.

Kau mendorong tubuhnya ke kasur, menghilangkan setiap jarak yang ada diantara kalian. Bercinta dengannya tak pernah terasa salah, selama namamu lah yang dia sebut, selama dirimu lah yang dia lihat dibalik mata gelapnya.

 

Terasa sempurna. Ya, sempurna.

 

Tapi kau tidak pernah menyangka setelah permainan yang kau ciptakan usai sudah, kau harus mendengar pengakuan yang cukup menyakitkan, cukup membuatmu menangis, cukup membuatmu bertanya sampai kapan perempuan itu akan bersandiwara dan berbalik mencintaimu seperti yang semestinya.

“Aku menulis tentangmu.”

Perempuan itu berbisik di telingamu lembut. Ada sebuah misteri di balik suaranya yang kecil, diam-diam meruntuhkan sebagian jiwamu.

“Oh ya?”

Dia menganguk, bergumam di permukaan kulitmu seolah dia sedang bercapak-cakap ria dengannya.

“Dan aku menyesal.”

Terbelaklah matamu, terbukalah hatimu. Kini pertanyaan mengapa dan apa dan bagaimana tak dirasa terlalu penting saat perempuan itu menangis lagi, ada sebongkah perasaan pilu di kedalaman hatimu.

“K-kau…”

Perempuan itu terisak, suaranya serak ditelan tangisan. “Aku menyesal menulismu, aku menyesal menggunakan namamu di sana, aku menyesal kisahmu harus tercetak di buku itu. Mengapa, Junmyeon? Mengapa…”

 

Kau pun melihat, mengingat.

 

Kala itu hujan mengguyur jalanan Seoul yang sepi.

 

Kau berdendang asyik seraya memutar kemudi, menjentikkan jemari sesuai irama musik. Kau punya janji akan menghadiri peresmian novel buatan perempuan yang paling kau cintai, maka kau membeli satu ikat bunga mawar di toko itu.

 

Kau menghirup aromanya.

 

Kau mengingat wajah perempuan itu.

 

Kau tersenyum.

 

Kau hendak berjalan kembali ke mobil, tak pedulikan jas hitam-mu basah akan hujan…

 

 

Doorrr!!

 

 

“…mengapa kau tinggalkan aku, Junmyeon?”

 

Kerjapan matamu tak bisa menjelaskan apa-apa. Kau menemukan dirimu masih berpakaian lengkap di detik berikutnya dan perempuan itu meringkuk di lantai, menangis sejadi-jadinya. Kau berdiri di dekat meja komputer dan melihat sejumlah artikel yang tertempel di dinding dengan headline yang menyangkut pautkan dirimu di sana.

 


Seoul, 12 Agustus 2011

CEO PERUSAHAAN SHINHWA DITEMUKAN TEWAS

 

Seoul, 12 Agustus 2011

KIM JUNMYEON DITEMUKAN TEWAS DENGAN LUKA TEMBAK DI KEPALANYA

 

Seoul, 13 Agustus 2011

BELUM DITEMUKAN SIAPA PELAKU ATAS PENEMBAKAN KIM JUNMYEON

 

Seoul, 14 Agustus 2011

TIDAK MENGHADIRI PERESMIAN NOVEL KEKASIHNYA, KIM JUNMYEON DITEMUKAN TEWAS

 

 

Dua tahun…

 

Dua tahun yang lalu hal itu terjadi.

 

Selama dua tahun pun kau tetap datang ke apartemen kecil perempuan itu dan mengharapkan cintanya masih sama padamu. Kini kau melihat beberapa alasan tak masuk akal tanpa sadar kau terenyuh ke dalamnya. Dia tidak pernah lupa padamu, sama seperti ketika menulis buku berjudul You are You yang berisikan tentangmu, tentangnya, tentang kalian berdua—dia tak pernah lupa bagaimana caranya menulis.

 

Perempuan itu bukannya tidak peduli padamu…

Kau pergi meninggalkanya.

 

Perempuan itu bukannya acuh…

Kau tak bersamanya selama ini.

 

Perempuan itu bukannya tak menuliskan kisahmu…

Dia menulisnya, namun kau tak akan pernah bisa membacanya.

 

Jangan jatuh cinta pada penulis…

Mereka hanya bisa memberimu kata, bukan cinta.

 

Karena setelah kesedihan itu berakhir dan ide kembali menghampirinya, perempuan itu berjalan lunglai ke arah komputernya dan mulai mengetik tentang kisah setelah kepergianmu. Oh ya, itu adalah ide cerita yang menarik baginya.

 

Malam itu adalah malam terakhir dimana jiwamu merasakan cinta dan bersumpah tak akan pernah jatuh cinta lagi, karena…buat apa?

 

Bagaimana jika dia hanya mencinta untuk menulis? Bagaimana jika kau hanyalah sepenggal objek menarik untuk projek barunya?

 

When He Left.

 

Perempuan itu mulai mengetik judul novel selanjutnya.

 

THE END

 

A/N:

Pengakuan!

Sebenernya ini adalah fic untuk lomba di salah satu blog. Deadline-nya sih waktu itu aku baca tanggal 30 September, lalu… begitu aku udah nulis ini dan aku ngecek lagi…AHAHAHAHAHA TERNYATA ITU 2011 LOMBANYA!!! ((AKU HARUS GIMANA SIH INI!!))

Okeh, karena terlalu malu untuk dipublish dengan kotak komentar, jadinya aku buat ini jadi writing prompts aja hahahaha

(lagipula kayaknya tulisan kayak gini gabisa menang juga kalo ikut lomba ahahaha)

Dan kenapa ini junmen…eumm…entahlah, aku juga gatau ._.v abis dia semacam cucok untuk cast ini pfftt

Fic I’m In Love With Betty And Whatever udah tinggal sedikit lagi selesai yang episode 2-nya

Aku usahakan selesai minggu ini, tapi kalo enggak selesai yaudah ya kapan-kapan aja hahahaha xD

((ENGGAK KOK, BECANDA!))


I’m in Love with Betty and Whatever [Ep.2]

$
0
0

Cast: Kris [EXO-M] and OC [Betty] || Support Cast: EXO Members || Genre: Comedy, Romance, Telenovela! AU || Length: Chaptered || Rating: PG

Disclaimer:

Adapted from the most popular telenovela in Columbia—Yo Soy Betty, La Fea (I am Betty, the Ugly One).

Summary:

Kris butuh sekretaris, Luhan membawakan Betty padanya.

(a/n: Thank you so so much, ilachan for the amazing poster <3)

{Episode Two}

Whoa!

Kris tidak pernah setakut ini dalam hidupnya.

 

Ini aneh, sungguh.

 

Betty bukan monster. Betty bukan makhluk yang punya mata merah dan berbulu hijau. Betty bukan Freddy Kruger yang bisa memasuki alam bawah sadar Kris dan mencabik-cabik tubuh pria itu menjadi potongan kecil. Betty bukan malaikat pencabut nyawa yang memakai jubah hitam dan membawa tongkat kematian di tangannya (well, kecuali sweater rajut peninggalan neneknya itu cukup mengerikan. Psstt…jangan sampai Kris tahu hal ini).

 

Betty hanyalah Betty.

 

Dia hanya seorang gadis biasa dengan selera fashion yang aneh. Apa yang mengerikan dari hal itu, Kris?

 

Dan—oh, kalau kau tidak keberatan, aku rasa akan lebih baik jika meja kerja Betty dimasukkan ke dalam ruanganmu saja. Kau tahu, agar kau tidak perlu repot-repot memanggilnya masuk.”

 

Demi cangkir Spongebob milik Kim Jongdae, Kris tidak mau satu ruangan dengan Betty. Dia ingin meja sang sekretaris berjarak 10 meter darinya, eh—tidak! 20 meter akan lebih baik. Dan ketika mendengar perkataan Luhan, insting Kris berkata, jangan biarkan hal itu terjadi!

Kris pun beranjak dari bawah meja, berusaha mengabaikan rasa kesemutan yang menyerang kaki kirinya, membuat pria tinggi itu berjalan terseok-seok hingga sampai di lantai 10. Lalu Kris berhenti, bersembunyi di belakang tanaman pakis saat dia melihat sosok Betty dan Luhan tengah berdiri di depan ruangannya.

“Luhan benar-benar mau memasukkannya ke dalam ruanganku?” tanya Kris ngeri. Dia terus mengamati kedua sosok itu saling berbicara dan berharap Luhan melupakan rencananya.

Beberapa menit berlangsung tanpa Kris sadari, setelah itu dia melihat Luhan pada akhirnya pergi dan Betty duduk di tempat yang seharusnya (baca: meja sekretaris di luar ruangan Kris). Kris menghela napas lega dan tak peduli lagi jika dia terlihat konyol di belakang tanaman pakis. Hei, ada apa dengannya hari ini? Derajatnya sebagai CEO seketika turun dari yang setinggi langit, tiba-tiba berada di daratan.

Pertama, bersembunyi di bawah meja pantry.

Kedua, bercerita pada tukang fotokopi.

Ketiga, bersembunyi di belakang tanaman pakis.

Ini semua terjadi sejak kedatangan Betty di EXO Moda!

 

Selagi pikiran Kris melayang, tiba-tiba…

 

“Pak?”

 

“WHOA!!”

 

Kris hampir menubruk tanaman pakis hingga jatuh karena saking kagetnya, untungnya dia mempunyai keseimbangan yang bagus dan dia rasanya mau memukul orang yang mengagetkannya. Well, tapi dia mengurungkan niat itu ketika dia tahu bahwa orang itu adalah Patricia, sekretaris Kim Jongdae.

“Patricia! Apa yang kau lakukan di sini?”

“Harusnya aku yang bertanya seperti itu kepadamu, pak.” Gadis berambut pirang itu mengibaskan rambutnya ke belakang, menatap Kris bingung. “Apa yang kau lakukan di belakang tanaman pakis, pak?”

“Psstt…pelankan suaramu! Aku sedang bersembunyi.”

“Bersembunyi? Dari siapa? Apa ada penjahat di sini? Ke mana Sehun di saat-saat seperti ini?” ujar Patricia panik.

Kris menggelengkan kepalanya, bukan penjahat, hanya sesosok makhluk hidup bernama Betty. Ugh, menyebut namanya di dalam hati saja terasa aneh.

“Bukan penjahat, Patricia. Dia…dia…” Kris tidak melanjutkan bicaranya dan menunjuk gadis yang berada di depan ruangannya. Patricia pun membulatkan mulutnya, “Oh dia…”

Pria itu menganggukkan kepalanya cepat. “Iya, Luhan membawakannya untukku. Dan sekarang pergilah ke sana, mengobrol dengannya atau apapun yang membuatnya tidak melihatku saat masuk ke ruang kerjaku.”

Perkataan Kris tentu membuat Patricia mengerutkan dahinya. Buat apa melakukan hal itu? “Pak, kau aneh.”

“Aku tahu. Patricia! Cepat pergi ke sana atau aku memecatmu!” kata Kris setengah memekik dan dengan itu pun Patricia buru-buru pergi ke meja Betty.

 

***

 

Betty mengamati sekelilingnya dan terperangah.

 

EXO Moda, whoa…

 

Jika diperbolehkan sedari tadi Betty pasti sudah bersujud menciumi lantai EXO Moda berulang-ulang kali, karena…hei, ini adalah perusahaan dimana semua orang ingin bekerja. EXO Moda yang terkenal dengan koleksi baju-baju musim panas, dingin, semi, gugur terbaik sepanjang masa. Ditambah Betty tak pernah berpikir dia akan menjadi sekretaris CEO perusahaan ini, sekali lagi dia berkata—

 

EXO Moda, whoa…

 

Apalagi dia mendapati bahwa orang-orang di sini cukup ramah. Well, sebenarnya hanya satu yang ramah. Luhan. Dia sangat ramah pada Betty dan gadis itu belum bertemu dengan yang lainnya. Belum.

Sedang memperhatikan meja kerja barunya, tiba-tiba sebuah suara ringan melantun dan aroma parfum yang manis tercium.

“Hai.”

Betty mengangkat kepalanya dan di sanalah gadis itu berdiri. Cantik, blazer warna abu-abu, rambut pirang. “H-hai,” balas Betty.

“Kau…sekretaris baru Pak Kris?”

“Ya, kau benar.” Betty beranjak dari kursinya begitu semangat dan mengulurkan tangan. “Hai, namaku Betty.”

Uluran tangan itu tak disambut baik oleh Patricia. Dia hanya diam melipat tangannya dan mengangkat dagu. Betty berpikir apakah ada yang salah dengan tangannya, tapi dia mungkin juga harus tahu bahwa Patricia tidak menyukai keberadaannya di posisi itu. Tidak semua orang bersikap ramah, Betty.

“Namaku Patricia, aku adalah sekretaris Kim Jongdae manajer SDM.”

“Ah ya, Tuan Kim. Dia mewawancaraiku waktu—“

“Aku tidak percaya Manajer Luhan rela mengambil CV-mu dari dalam tong sampah dan membawamu ke sini untuk menjadi sekretaris Pak Kris,” potong Patricia.

“A-apa?” Betty menurunkan tangannya dan tiba-tiba dia merasa tidak enak.

Patricia mengibaskan rambut pirangnya yang panjang dan berkata lagi, “Dalam sejarah EXO Moda, Manajer Kim selalu mengambil orang-orang terbaik untuk menjadi karyawan di dalam EXO Moda, tapi Manajer Luhan sepertinya aneh, ah—maaf, aku lupa bahwa Manajer Luhan selalu aneh dan kurang ajar. Dia membawamu, padahal dia ‘kan manajer pemasaran. Tidak ada sangkut pautnya dengan semua ini.”

Kenapa kau berbicara seperti itu tentang Manajer Luhan? batin Betty. Luhan adalah satu-satunya orang yang baik padanya sejauh ini. Luhan yang bersikap ramah dan selalu menyemangatinya. Mengapa gadis ini berbicara sangat ketus?

Patricia mencondongkan tubuhnya ke arah Betty dan berbicara sepelan mungkin. “Padahal Manajer Kim sudah membuangmu, Betty. Kau perlu tahu bahwa kau tidak pantas bekerja di sini.”

Betty menutup mulutnya, berusaha mencerna kata ‘tidak pantas’ di sini. Dia pernah mendengar sebelumnya betapa dunia kerja begitu keras dan kejam, tapi dia tidak menyangka bahwa ada orang yang begitu membencinya, padahal mereka baru saja berkenalan.

“Kau tidak pantas ada di sini, duduk di pantry saja pun kau tidak pantas.”

Hati Betty sakit, wajahnya berubah jadi sendu bercampur kaget di kala sekelebat sosok berjas hitam baru saja melintas di depan mereka dan membanting pintu ruang kerja Kris dengan keras. Apa itu Pak Kris?

Pandangan Betty kembali pada Patricia si gadis bermulut ketus. Betty tak tahu harus berkata apa. Dan semuanya semakin menyakitkan ketika Kim Jongdae datang menghampiri mereka berdua.

Well, well, well…kita lihat, siapa yang baru mencium aroma kantor EXO Moda di sini.” wajahnya tidak kelihatan senang.

Patricia mendengus, “Seseorang dengan kacamata super tebal dan fashion jaman batu.” (Oh, itu sadis!)

Jongdae berdecak dan berpose sama seperti Patricia sang sekretaris. “Betty,  Betty, Betty,” Jongdae seperti sedang melantunkan sebuah lagu. “Aku harap kau sudah kenal dengan Patricia sekretarisku dan Patricia pasti sudah memberimu beberapa kalimat sambutan yang hangat, bukan?” dia tersenyum sinis.

“Y-ya…” jawab Betty gugup.

“Bagus, bagus! Kita akan lihat, Betty, seberapa lama kau bertahan di sini sebelum Kris menendangmu keluar dan menyalahkan Luhan karena telah membawamu ke sini. well, akan lebih baik lagi jika Luhan keluar bersamamu.”

Kenapa semua orang membenci Manajer Luhan? Betty sungguh tidak mengerti.

“Pak, aku rasa dia tidak mengerti kebiasaan CEO kita.”

Kebiasaan? Kebiasaan apa?

“Oh!” Jongdae menepuk tangan satu kali dan tertawa kencang. “Aku lupa memberitahukan sekretaris kedua puluh dua ini. Ya, Betty, kau adalah sekretaris kedua puluh dua bulan ini dan jika kau pintar, kau bisa menyimpulkan pernyataan yang baru saja kukatakan.”

Aku? Sekretaris ke-22…bulan ini? “Itu berarti—“

“Yap! Kau benar,” potong Jongdae bertepuk tangan lagi (senang sekali dia melakukan hal ini). “Bersiap-siaplah untuk mencari pekerjaan baru, Betty, karena setelah ini EXO Moda tidak akan menerima makhluk-makhluk semacam kau,” tunjukknya tepat di hidung Betty. “dasar perempuan jaman batu.”

Patricia dan Kim Jongdae tertawa begitu kencang di depan wajah Betty yang murung. Dia benar-benar dibenci oleh kedua orang ini. Apa mereka berlaku seperti itu kepada sekretaris sebelum-sebelumnya? Kalau iya, well, ini sadis. Ini…sangat…sadis.

“Ya! Apa yang kalian berdua lakukan?!” terdengar teriakan Luhan dari ujung lorong dan dua orang itu pun berhenti tertawa sembari menatap satu sama lain.

“Itu Luhan! Ayo, kita pergi, Patricia. Aku malas berurusan dengannya, sungguh.” Lalu mereka berdua pun pergi seiring kedatangan Luhan ke meja Betty dengan rambut sedikit berantakan dan dasi yang miring. Sepertinya pekerjaan Luhan sedang menumpuk.

“Apa-apaan tertawa sekencang itu di kantor. Benar-benar…” gerutu Luhan menatap kepergian mereka dan bertanya pada Betty. “Kau berbicara pada mereka?”

Betty mengangguk.

“Apa mereka berbicara yang tidak-tidak?”

Ya. “T-tidak.”

Bahu Luhan melorot seraya napas lega terhembus dari mulutnya. “Ah, lupakan kedua kutu busuk itu. Jika mereka berbicara yang macam-macam, anggap saja seperti angin lalu. Oke, Betty?”

Untuk pertama kalinya Betty merasakan matahari kembali bersinar setelah awan mendung beserta petir menghampirinya tadi. Dia tersenyum sambil mengangguk, dalam hati bertanya…bagaimana bisa orang sebaik ini dibenci?

Mungkin Betty harus lebih mengenal seluk beluk EXO Moda.

“Oh ya, apa Kris sudah memberimu pekerjaan? Bagaimana? Dia tidak galak ‘kan?” tanya Luhan penuh ekspektasi, yeah, itu terbaca di kedua matanya. Mungkin dia mengira Kris sudah mau menerima kehadiran Betty di sini dan sangat mengandalkannya. Namun, Luhan sepertinya harus berusaha mengendalikan amarahnya kali ini.

“Umm, Manajer Luhan, umm…sebenarnya…” Betty meremas tangannya canggung.

“Sebenarnya?”

Betty tersenyum getir. “Pak Kris belum memberiku perintah apa-apa. Dia bahkan tidak menjelaskan apa job desk-ku lebih detil.”

O’ow…ini buruk.

 

“APA???”

 

***

Kris mengerutkan dahi membaca beberapa proposal dan dokumen di atas mejanya. Penjualan di segmen tas pria agak mengalami penurunan, namun kabar baik menyapanya ketika melihat grafik kepuasan pelanggan melonjak drastis dan itu cukup membuat Kris tersenyum lebar melihat begitu banyak respon positif akan produk EXO Moda lainnya.

Tapi…err…tak selamanya senyuman itu bertahan di sana, karena detik selanjutnya pintu ruang kerja milik Kris terbuka lebar tanpa iringan ketukan sebelumnya.

Dan Kris tahu hanya ada satu orang yang bisa melakukannya.

“Apa lagi, Lu? Aku tidak memanggilmu—“

Krissie, lihat aku.”

Kris tidak suka mendengar nama panggilan itu, sungguh. Dia meletakkan bolpoin mont blanc-nya dan menengadah menghadap Luhan.

“WHOA!!” (ini kedua kalinya Kris berteriak). Kris memegangi dadanya yang tiba-tiba sakit setiap kali melihat Betty. Haruskah dia terbiasa dengan semua ini? “Apa yang dia lakukan di sini?” tanya Kris memundurkan kursinya.

Luhan memutar kedua bola matanya sebal. “Berhenti bertingkah konyol begitu, Krissie. Dan jelaskan padaku sekarang, kenapa kau belum memberitahu Betty tentang job desk-nya?”

Pentingkah memberitahukannya?

“Um…itu karena…um…”

Luhan berkacak pinggang dan Kris langsung buka mulut. “Oke, oke, oke. Aku akan menjelaskannya—”

“Oh, tunggu, Kris.” Luhan mengangkat tangannya, lagi-lagi memotong perkataan sang CEO. “Sebelum kau menjelaskan apa yang harus Betty kerjakan, kenapa kau tidak mengajaknya berkeliling EXO Moda dan memberi semacam…short-trip?”

“A-apa?” Kris melongo. Mengajak Betty berkeliling EXO Moda? Kris itu CEO, Luhan. Dia bukan tour guide. Dan Betty hanyalah seorang sekretaris, demi Tuhan. Ini akan jadi sejarah baru di EXO Moda dan di seluruh perusahaan sejagat raya, bahwa ada CEO yang memberikan perjalanan singkat dalam mengenalkan perusahaannya pada sekretaris. Ini gila. Luhan gila.

“Aku tidak mungkin melakukan itu! Aku punya banyak pekerjaan, Lu!” Kris menggeleng-gelengkan kepalanya dan kembali menatap dokumen-dokumen di mejanya.

“Oh ayolah, Kris. Aku baru menyadari bahwa beberapa sekretarismu datang dan pergi dengan otak yang kosong tanpa tahu apa pun tentang EXO Moda. Dan itu salahmu.”

“Salahku? Memangnya aku harus apa? Itu salah mereka. Mereka tidak membaca buku panduan yang telah dibuat Jongdae tentang EXO Moda,” balas Kris.

Luhan menghela napas. “Kau tahu, buku itu sampah. Isinya terlalu banyak foto Kim Jongdae. Aku tidak mau Betty mengenal EXO Moda dari sana, aku ingin kau  yang memperkenalkannya sendiri.” Di akhir kalimat, Luhan merangkul Betty dan memberinya guncangan. “Kau mau ‘kan melihat-lihat ke sekeliling EXO Moda, Betty?”

“Umm, tapi pak…” Betty melirik Kris ragu. Betty butuh konfirmasi jelas dari Kris, namun…yeah, kau tahu Luhan seperti apa. Dia tidak memberi orang waktu banyak untuk berpikir.

“Yap! Kau menyetujuinya. Ayo, Kris! Up, up, up!” Luhan berjalan mendekati Kris dan menarik lengannya untuk bangkit dari kursi besarnya itu.

“Aku tidak—“

“Ssshh! Perlakukanlah sekretarismu dengan baik, Krissie.” Hah? Apa tidak terbalik, Lu?

Luhan tersenyum pada Betty dan mengirim sebuah tatapan mematikan untuk Kris. Lalu mereka berdua didorong paksa keluar dari ruangan Kris dan Luhan tersenyum seperti tidak ada beban sama sekali.

Bye!” katanya seraya melangkah kembali ke ruangannya.

“Kenapa tidak kau saja yang melakukan ini?” Kris setengah berteriak.

“Aku tidak mungkin melakukan itu! Aku punya banyak pekerjaan, Kris!” balas Luhan mengkopi kata-kata Kris tadi.

 

Well, seseorang harus menambahkan kejadian ini di dalam sejarah EXO Moda, karena…

 

“Pak, kau tidak perlu melakukan ini.”

“Tidak, Betty—“ Kris membetulkan dasinya dan jasnya. Dia juga tidak mengerti mengapa dia mau saja melakukan apa yang Luhan suruh. Oke, dia adalah CEO yang bertanggung jawab atas perkataannya dan dia baik kepada seluruh karyawan EXO Moda. Dia berkomitmen dalam hal ini. Luhan mau dia memperlakukan Betty dengan baik? Oke, Kris akan melakukannya.

Tenang, Kris. Ini hanya, Betty. Kau tidak perlu melirik ke arahnya selama perjalan. Iya, tentu saja.

“—ayo, kita pergi. Kita mulai dari divisi pemasaran.”

 

…karena Kris baru saja mengajak Betty—SEKRETARISNYA—untuk mengelilingi EXO Moda.

 

***

 

20 menit kemudian…

 

Tidak.

 

Salah.

 

Wrong.

 

Error!

 

Kris tidak bisa mengalihkan pandangannya dari Betty karena—hell, percuma. Gadis yang tingginya hanya sebahu Kris itu terus berada di sampingnya dan menatap ke kanan lalu ke kiri. Setiap gerak-geriknya selalu tertangkap oleh kedua mata Kris. Dia tidak buta. Dia melihat Betty membungkuk pada hampir semua orang dan dia takut Betty akan sakit pinggang setelah ini. Dia melihat Betty berjabat tangan dengan hampir seluruh staff di lantai sepuluh dan Kris harus menahan tawa ketika beberapa dari mereka melihat Betty aneh.

Itu terjadi pada Kim Minseok yang sedang makan bakpao dan nampaknya dia ingin memuntahkan segala macam isi di perutnya.

“Hai, Manajer Kim Minseok, namaku Betty. Aku sekretaris baru Pak Kris.”

Kim Minseok sang manajer keuangan langsung menjatuhkan bakpao-nya ke lantai dengan wajah shock. “K-kau…”

“Err, Betty. Ayo, kita pergi.” Kris mendorong Betty keluar dari ruangan Minseok. “Sampai jumpa, Minseok. Aku butuh analisis keuangan di meja-ku jam dua nanti, oke?” Kris takut Minseok akan jatuh pingsan.

 

Lain lagi dengan Kim Jongin si supervisor pemasaran. Uhuh, kau harus tahu betapa playboy-nya seorang pria tampan bernama Kim Jongin ini. Kim Jongin punya mata paling tajam dalam menganalisa tubuh wanita dari atas sampai bawah, dari ujung high heels sampai ke ujung rambut wanita. Dia biasanya tertarik dengan wanita-wanita cantik (uhuk! Sekretaris biasanya cantik) tapi kali ini…

“Pak, apa matamu sakit? Apa kau perlu pergi ke dokter? Apa kau sudah minum obat? Atau obatmu habis? Jika ya, aku dengan sangat bersedia akan mengantarkanmu ke apotek untuk membeli yang baru,” bisik Jongin prihatin saat Betty sedang berbicara pada Luhan.

Kris tertawa kecil. “Aku tidak apa-apa, Jongin.”

“Tapi, pak—“

“Tanyakan pada Luhan kalau kau mau tahu detilnya.” Atau lebih tepatnya, salahkan dia atas semua ini!

Lalu Jongin sama sekali tidak menggoda Betty (entah harus bersyukur atau tidak, karena jika Jongin menggodamu itu berarti kau cantik, kalau tidak…kau bisa menyimpulkannya sendiri). Melihatnya pun saja dia enggan. Entahlah, Kris tiba-tiba merasa iba pada gadis ini.

 

Setelah berkeliling di dalam kantor, Kris pun mengajak Betty ke belakang gedung EXO Moda, di mana sebuah pabrik besar berdiri. Betty membiarkan rahangnya jatuh beberapa senti dan menatap Kris tak percaya. “Inikah—“

“Umm, ya, ini pabrik EXO Moda, Betty.”

Betty membuka kacamatanya, mengelapnya dengan sweater itu, lalu kembali memasangkannya. Pabrik itu sungguh besar, megah, dan modern. Maksudnya, ini di atas rata-rata. Betty bisa membayangkan apa yang ada di dalam sana.

“EXO Moda punya seratus cabang di seluruh dunia, lima puluh dua anak perusahaan, dan sekitar dua ratus enam puluh lima lebih pabrik. Semua di desentralisasikan keempat tempat; Columbia, Beijing, New York, Seoul. Mereka selalu memisahkan pabriknya. Tapi aku tidak tahu kalau pabriknya sebesar ini dan mereka berdampingan dengan cabang utama di sini,” celoteh Betty.

Kini giliran Kris yang membiarkan rahangnya jatuh. Well, selama dua tahun memegang perusahaan, Kris tidak pernah mendengar satu orang pun berbicara tentang EXO Moda sedetil ini, bahkan Luhan sekali pun, tidak dengan sekretaris yang sebelum-sebelumnya. Dan hari ini Betty memaparkannya begitu jelas, seakan dia sudah menjadi bagian dari EXO Moda bertahun-tahun lamanya.

“Apa kau bilang? Darimana kau tahu itu semua?”

Betty terkekeh; memamerkan behelnya. “Aku membacanya di majalah Forbes, pak. Oh, aku membaca edisi dimana kau menjadi cover-nya. Kau sangat keren.” Betty mengacungkan jempolnya dan Kris hanya bisa terdiam.

Dia membaca majalah Forbes? Sekretaris membaca majalah Forbes?

“Pak, kau tidak apa-apa?” tanya Betty cemas karena tiba-tiba Kris berhenti di tempatnya.

“Ya, ya, aku tidak apa-apa. Aku hanya—“ aku hanya sedang bingung, oke?

“Apa kita perlu kembali ke atas, pak?”

Kris menggelengkan kepala dan mengambil napas dalam-dalam. “Tidak, aku mau memperlihatkanmu pabrik EXO Moda. Kau mau melihat ke dalamnya, bukan?”

Betty mengangguk antusias, mereka pun kembali berjalan masuk ke dalam pabrik.

Well, sama seperti kebanyakan pabrik tekstil, yang satu ini juga sangat besar dan punya ruangan yang luas tanpa sekat. Di sana terdapat berbagai macam mesin, deru suaranya memenuhi pendengaran—hampir memekakan.

“Bos!” seru seseorang dari dalam.

“Hei, Baek!” balas Kris melambaikan tangan singkat dan orang itu datang mendekat ke arah mereka. “Dia adalah kepala buruh pabrik, Betty,” jelas Kris bersuara sedikit keras untuk mengalahkan suara mesin.

Betty kira selama ini kepala buruh pabrik itu berciri-cirikan tubuh besar berotot, garang, penuh keringat dan wajahnya seram seperti ingin memukul orang. Namun, yang satu ini berbeda.

“Betty, ini Baekhyun. Baekhyun, ini Betty sekretaris baruku.”

Mereka berjabat tangan dan Baekhyun sama sekali tidak seram, tidak garang, tidak berotot. Dia bahkan terlihat seperti anak kecil, tapi—oh, tentu saja itu tidak mungkin. Semua pekerja di pabrik EXO Moda adalah yang terbaik dan berpengalaman. Mana mungkin orang yang masih amatir dapat bekerja di sini (kecuali kau punya skill yang memukau). Jadi, kembali lagi pada Baekhyun.

Dia benar-benar kepala pabrik? Hah? Dia?

“Hai, namaku Byun Baekhyun. Aku kepala pabrik. Siapa namamu?” ujar Baekhyun setengah berteriak.

“Aku Betty.”

“Hah? Siapa?”

“Betty.”

“Apa?”

“Beee…ttyyyy.”

“Apa?”

“NAMAKU BETTYYYYYYYYYYYY!!!!!!”

 

Ctaarrr!!

 

Setelah Betty berteriak, terdengar dari kejauhan suara ledakan yang cukup keras; cukup membuat jantung Kris, Betty, dan Baekhyun mengalami mini heart attack.

“Apa itu???” kata Baekhyun sambil memegangi dadanya dan bernapas berat. Shock tergambarkan di wajahnya. Belum pernah dia mendengar suara ledakan semacam itu. Pabrik EXO Moda selalu dalam keadaan baik, terutama pada mesin-mesinnya. Kali ini…

“Pak Kepala! Generator kita meledak! Tapi tidak apa-apa, kami bisa mengurusnya!”

Astaga, generator bisa meledak? Dalam sejarah EXO Moda, tidak pernah ada kejadian generator listrik meledak dan itu terjadi ketika Baekhyun bertemu dengan Betty si sekretaris berbaju aneh!

Sekitar satu menit mereka bertiga membeku di tempat, Kris pada akhirnya angkat bicara. “Err, Baek. Aku rasa, aku dan Betty…harus…pergi.”

Baekhyun mengerjapkan matanya beberapa kali dan menatap Kris nanar. Masih dalam keadaan shock, sang kepala pabrik menganggukkan kepalanya dua kali dan tak mau melihat ke arah Betty sama sekali. Dia membungkuk sekali pada Kris tanpa kata apa-apa, kemudian berbisik pada dirinya sendiri.

Generator-nya meledak, generator-nya meledak.”

“Baek, kami pergi,” kata Kris.

“Selamat siang, Pak Byun. Sampai jumpa. Semoga harimu menyenangkan,” ujar Betty membungkukkan badannya dan pergi bersama Kris.

 

Baekhyun menutup wajahnya sendiri, setengah terisak.

 

“Aku tidak mau bertemu denganmu lagi.”

 

***

 

Tepat pukul dua siang, short-trip yang dipandu oleh CEO EXO Moda berhenti saat itu juga. Dirinya dan Betty—kedua orang—itu kembali memasuki gedung, menaiki lift ke lantai sepuluh dan saat keduanya sampai di sana, Kris segera mendeklarasikan sebuah hal penting pada Betty.

Err, tidak terlalu penting sesungguhnya, karena Kris menemukan dirinya merasa ada sesuatu yang aneh dan lagi-lagi tidak bisa menyatakan bahwa apa yang sebenarnya terjadi. Kris tidak ingin Betty bekerja terlalu intens dengannya, kejadian di pabrik sudah cukup membuktikan ada yang tidak beres dengan gadis ini. Tapi…

 

Apa pekerjaanmu, Betty? Apa?? Kris belum memberikannya padamu??

 

Luhan selalu ada dibayangannya. Sial.

 

“Baiklah, Betty. Aku ingin memberitahukan apa saja pekerjaanmu sebagai sekretarisku.”

“Baik, pak.” Betty siap mendengarkan, namun Kris tak pernah siap. Pria itu hendak membuka mulutnya dan—

 

“HIYAAAATTTT!!!!”

“AAAAAAKKKHHHH!!!”

“BETTY!!”

 

(Bisakah kau menebak apa yang terjadi?)

 

Mata Kris hampir keluar dari rongganya, jantungnya menerima serangan ke…ke-entah berapa kali hari itu. Dia mendadak pusing, namun yang pasti sebelum dia jatuh pingsan, Kris harus menolong Betty terlebih dahulu karena entah darimana Sehun datang bagai ninja—menubruk dan memiting tubuh gadis itu di lantai.

“ANCAMAN! ANCAMAN! KAU BERUSAHA MENCELAKAKAN CEO KAMI ‘KAN??!! MENGAKU!!” bentak Sehun.

“Sehun! Lepaskan—“

“PAK KRIS! KAU TIDAK APA-APA? APA ORANG INI MENYAKITIMU? APA KAU TERLUKA?

“Sehun, lepaskan dia!”

“Tapi, pak—“

“DIA SEKRETARISKU!!”

 

Dengan pernyataan itu, Sehun memindahkan tatapannya ke arah gadis yang tengah dia bekuk itu dan melompat ngeri menjauh darinya. “Sekretaris? Kau punya sekretaris? Tapi aku kira—“ Sehun mengatupkan bibirnya ketika Kris membantu Betty berdiri dan mendelik sebal padanya.

“Sehun…” kata Kris geram. “Dia sekretaris baruku.”

“Benarkah? Oh—“ Sehun memandang Betty dari atas sampai bawah. Dia pun mengernyi, berbisik pelan kepada Kris. “Tapi, pak, dia terlihat seperti ancaman di mataku.”

Kris memejamkan matanya perlahan menahan rasa pusing. “Tidak. Dia Betty, sekretarisku. Dan, Betty, ini Sehun. Dia adalah security EXO Moda. Maafkan atas tingkah lakunya tadi, Betty. Kau tidak apa-apa?”

Betty menggelengkan kepala dan menjabat tangan Sehun sambil terkekeh, tak pedulikan luka gores di lututnya yang terasa perih akibat tingkah Sehun. “Hai, Sehun. Aku Betty. Tadi kau sangat keren, apa kau belajar judo? Taekwondo?”

“Err…hapkido lebih tepatnya,” jawab Sehun bingung. Aku baru saja memitingmu beberapa detik yang lalu, dan kau bilang aku keren?

Whoa, kau harusnya jadi bintang film action, Sehun! Kau punya wajah yang tampan,” kata Betty sambil mengacungkan dua jempolnya.

Detik itu Kris sontak menoleh ke arah Betty dan dia tidak tahu mengapa dia harus sekaget itu mendengarnya. “Apa??”

Betty dengan polosnya menjawab. “Sehun tampan, pak.”

Kris ingin mengatakan sesuatu, namun dia menahannya dan…hei—kenapa dia peduli Betty berkata Sehun tampan atau apalah itu. Aku butuh istirahat, aku harus istirahat. Kris memijat pelipisnya yang berdenyut dan berkata, “Betty, untuk tugas pertamamu, tolong buatkan aku kopi dan antarkan ke ruanganku. Terima kasih.”

Kemudian Kris berjalan ke ruangannya tanpa satu patah kata pun lagi.

 

Ada apa denganmu, Kris?

 

***

“Kopi, kopi, kopi untuk Pak Kris.”

Betty menyenandungkan kalimat itu seperti sedang menyenandungkan lagu kesukaannya. Betty merasa senang tiada tara. Dia tidak tahu dunia kerja akan seperti ini jadinya. Maksudnya, di pagi hari dia menemukan sebuah kejadian menyakitkan, tapi pada siang harinya serentetan kejadian menyenangkan menghampirinya. Ini aneh bukan?

Apalagi tugas pertamanya dari sang bos adalah membuat kopi. Tadi pagi dia sudah membuatkan kopi instan pemberian Luhan dan membuatnya secepat kilat di atas meja recepsionist. Apa Kris menyukai kopi buatannya?

Betty berjalan ke arah pantry lantai sepuluh. Dia hampir tersesat masuk ke dalam toilet pria kalau saja tidak bertemu dengan seorang pria tinggi, berambut keriting warna kecokelatan, matanya bulat dan dia membawa banyak sekali tumpukan kertas di tangannya, walaupun pria ini baru saja keluar dari toilet (jadi, dia membawa tumpukan kertas itu selagi buang air kecil?)

“Ini toilet pria. Kau mau ke mana?” ujar Chanyeol.

“Aku…um,” Betty menggigit jarinya. “Aku mau membuat kopi.”

“Oh, mau membuat kopi? Kalau mau membuat kopi, kau harus ke pantry. Kebetulan aku mau pergi ke sana. Ayo, ikut aku.”

Betty dengan senang hati mengangguk dan pergi mengikuti Chanyeol dari belakang. “Kau ini orang baru ya?” tanya Chanyeol melihat wajah Betty seksama. “Aku tak pernah melihatmu sebelumnya.”

“Ya, aku orang baru. Aku Betty, sekretaris baru Pak Kris.”

“Apa?”

 

Dukk!

 

“Aww!” Chanyeol mengaduh saat kepalanya beradu dengan pintu pantry.

Betty pun kaget. “Kau tidak apa-apa?”

Chanyeol tertawa pelan dan mengusap keningnya, lalu nyengir selebar-lebarnya. “Tenang saja, aku punya kepala yang kuat dan ini sering terjadi,” ujarnya seraya memasuki pantry. “Oh ya, namaku Park Chanyeol. Tukang fotokopi EXO Moda.” Dia begitu bangga saat mengatakannya.

“Tukang fotokopi? Whoa, kau tidak seharusnya bekerja di bidang ini, Chanyeol.”

“Kenapa?” tanya Chanyeol bingung.

“Harusnya kau jadi model atau bintang iklan.”

Chanyeol dibuat tertawa lagi. Dia meletakkan kertas-kertas di meja dan menatap Betty. “Apa kau bercanda? Tentu aku tidak mungkin bisa.”

“Kenapa tidak?” Betty mengerutkan dahinya. “Kau tinggi, matamu besar dan tampan.”

Pria muda itu menggelengkan kepalanya, mengambil kotak kopi dari dalam lemari dan memberikannya pada Betty. “Apanya yang tampan, Betty? Aku tidak tampan, orang-orang bilang aku ini gila, aneh dan konyol. Bukan tampan.” Lalu dia tertawa lagi, Betty juga. “Ini, kopi yang sering Pak Kris minum.”

“Terima kasih,” kata Betty mengambilnya. “Tapi aku serius, Chanyeol. Oh! Kau sering dikatai begitu? Aku juga. Mereka bilang aku ini aneh, aku jelek dan aku konyol. Ada yang bilang aku perempuan jaman batu.”

“Begitu?”

“Yap!”

Chanyeol memicingkan matanya, membuat bentuk segi empat menggunakan jarinya seperti sedang membidik Betty sebagai objek. Dia pun menggelengkan kepala setelah beberapa saat. “Kau tidak jelek dan aneh, kau…” dia menutup sebelah matanya dan mendapatkan kata yang tepat untuk mendeskripsikan sosok orang baru di EXO Moda ini.

“…unik!” serunya senang.

“Unik?”

“Ya, kau unik Betty. Maksudku, rok itu unik, kacamatamu unik. Semuanya unik.”

Betty tersenyum dan bersorak ceria di dalam hati, karena Park Chanyeol adalah orang kedua yang dia temui ramah dalam EXO Moda setelah Luhan. Dan rasanya mereka bisa menjadi teman dalam kurun waktu yang terbilang cukup singkat. Belum berapa lama mereka berkenalan, mereka sudah mengobrol satu sama lain seraya Chanyeol membuat teh untuknya sementara Betty membuat kopi untuk Kris.

“Terima kasih, Chanyeol. Jujur saja aku tidak pernah bisa mendeskripsikan diriku sendiri bagaimana. Sekarang aku bisa! Aku ini unik.”

“Dan aku juga unik!” Chanyeol berkata dengan rasa bangga memenuhinya.

 

Mereka tertawa bersama. “Ya, kita berdua unik.”

 

Kau tahu, seperti ada sebuah badai menutupi matahari yang sedang bersinar cerah…begitulah adanya ketika pintu pantry terbuka memotong tawa mereka dan sesosok gadis berambut pirang menyeruak masuk dengan suaranya yang melengking tinggi.

“Park Chanyeol! Aha, ternyata kau ada di sini.” Patricia berjalan menghampiri Chanyeol, lalu dia menjejalkan tumpukan kertas ke dada Chanyeol secara kasar.

“Bisa-bisanya kau bersantai ria di pantry sementara masih banyak dokumen yang harus kau fotokopi!”

Patricia mencondongkan tubuhnya ke kiri dan mendapati Betty di sana sedang membuat kopi. “Dan kau perempuan goa, apa yang kau lakukan di sini?“ dia memicingkan matanya dengan gaya sinis khas milik Patricia. “Dasar tidak tahu diri! Bermalas-malasan dalam kerja. Lihat saja, aku akan mengadukan hal ini pada Manajer Kim, huh!”

Dengan langkah yang dihentak-hentakan, Patricia melenggang pergi, namun sebelum menutup pintu—dia berbalik dan mengancam Chanyeol. “Cepat kerjakan tugasmu, Park Chanyeol!!”

Whoa, sadis sekali gadis ini.

“Chanyeol, kau tidak apa-apa?” ujar Betty, karena jujur saja tadi Patricia cukup kasar terhadap Chanyeol, tapi…

“Chanyeol?” Betty menelengkan kepalanya dan menemukan Chanyeol tersenyum sambil setengah melamun—matanya tak lepas dari pintu yang baru saja dilewati Patricia.

 

Oh, Chanyeol…

Patricia…

 

Betty sepertinya mengetahui sesuatu.

 

 

TBC

 

A/N:

Oh my…aku gatau harus bilang apa. Mungkin ini sangat parah dan aku gak yakin kalian akan menyukainya. Huhuhu T_T dan maaf untuk format dan segala typo, aku akan benerin nanti >.<

Aku sebenernya udah bikin plot dan draft untuk fic chaptered ini, tapi entah kenapa aku suka lost control dan…ah, entahlah, aku gatau apa ini bisa dilanjutin karena jujur, aku merasa alurnya sedikit lambat dan kalo diterusin sepertinya bisa agak panjang melebihi 4-5 episode. Ya, mari kita lihat ke depannya lagi aja ya hahhaaha xD biasanya kalo lagi setres aku bisa lanjutin ini fufufu <3

Dan apakah kalian bisa menebak siapa aja yang bakalan terlibat cinta segitiga sembarang(?) di dalam telenovela ini? Ahahaha xD

DAN SELAMAT ULANG TAUN UNTUK CEO EXO MODA, KRIS! (aku gabikin birthday fic untuk dia, ini aja ya ehehehe)

SEE YAAAA!

Berikan komenmu di bawah ini seperti biasa ehehehe maacih yaaa <3 dan aku akan berusaha untuk membalas komen kalian semua, owkay? :D


It’s Time for Coffee

$
0
0

It’s Time for Coffee

Cast: Xiumin [EXO-M] and You || Genre: Romance, Fluff, Barista! AU || Length: two drabbles || Rating: PG

a/n: the poster is so asdfghjkl! >.<

 

Drabble #1

[I Want This, I Want It, I Want You]

Aku mau mengingatmu seperti ini…

Aku mau aroma kopimu menjadi hal pertama yang memenuhi paru-paruku di pagi hari, maka aku duduk di salah satu kursi kafe-mu. Menunggu sosokmu muncul di pintu itu dengan kemeja putih sebagai seragammu. Barista adalah pekerjaan yang menurutku cukup keren dan kau menambah estetika di dalamnya.

Aku mau kopi buatanmu menjadi hal pertama yang menyentuh lidahku. Seperti hari-hari kemarin, aku akan memesan segelas espresso hangat. Membiarkan tangan kita bersentuhan saat kau memberikan gelas itu dan kau tersenyum manis, terkadang kurasa lebih manis dari kopi buatanmu ini. Lalu aku akan menghabiskan pagiku dengan melamun.

Aku mau menjadi your only one customer. Aku pernah membayangkan hal ini selagi memotong blueberry muffin-ku dan berakhir tersenyum seperti orang yang kehilangan akalnya. Aku membayangkan kau duduk di sebelahku dan kita bisa menghabiskan pagi ini dengan mengobrol satu sama lain.

Kau bisa bertanya, ‘siapa namamu?

Dan aku akan menjawabnya.

Kau bisa bertanya, ‘Apa kau menyukai kopinya?

Dan aku akan menjawab, ‘Suka, suka sekali.

Kau bisa mengatakan apa rahasianya dan aku akan mendengarkanmu dengan antusias.

Kau bisa berbicara tanpa henti tentang proses pembuatan kopi dan aku akan tetap mendengarkanmu tanpa lelah.

Well, itu hanya sebatas khayalan semata dan kau tidak mungkin berada di sampingku untuk mengobrol hingga muffin-ku habis. Ya, hal itu bisa kau lakukan jika kau ingin kehilangan pekerjaanmu.

Aku pun menggelengkan kepala, hendak mengambil tas-ku dan kembali ke rumah. Mengingat masih banyak tugas kuliah yang harus kukerjakan, namun saat itu…

“Halo.”

Aku terhenyak ke tempat dudukku semula ketika melihat seseorang duduk di sampingku dengan segelas kopi di tangan dan  honey toast bread di tangan yang satu lagi. Seseorang dengan kemeja putih dan senyuman itu.

Itu dirimu!

“H-halo.”

“Selamat pagi, kulihat kau adalah pelanggan setia kafe kami. Benar begitu?” tanyamu ramah.

“Eumm, ya begitulah.”

Kau pun mengulurkan tangan, “Namaku Xiumin. Aku barista di sini, tapi aku sedang off hari ini. Terima kasih telah mengunjungi kafe kami setiap hari. Bagaimana kopi hari ini? Apa enak?”

Yeah, ini enak.” Selalu enak.

 

Lantas, apa yang terjadi selanjutnya?

 

Aku mau mengingatmu seperti ini…

Aku mau menghabiskan pagiku dengan cari seperti ini; kau duduk di sampingku dan kita mengobrol satu sama lain, ditemani lagu Michael Buble yang mengalun sepanjang waktu.

 

####

Drabble #2

[Green Tea Latte and You]

 

“Apa yang sedang kau lakukan?”

“Mengerjakan pekerjaan kantorku?”

Aku menoleh pada sosok di belakangku. Tangannya dengan lihai memijat bahuku yang kaku dan menulis di depan komputer selama berjam-jam sesungguhnya bukanlah hal yang menyenangkan.

Aku punya deadline, sial. Aku dikejar-kejar waktu, bekerja 13 jam penuh, bercumbu dengan data-data yang membuat mataku harus terpejam untuk beberapa saat. Aku benci melakukan hal ini. Aku tak punya pilihan dan hei, aku butuh lebih dari 24 jam untuk mengerjakan semua ini.

Langit di luar telah gelap, hujan mengguyur kota selama beberapa jam tak henti-hentinya.

Tapi seolah tahu apa yang kubutuhkan, Minseok datang dan membungkusku dengan selimut tebal. Entah bagaimana caranya dia dapat mengetahui isi kepalaku yang sedari tadi berteriak, ‘aku kedinginan’.

“Masih banyak yang harus dikerjakan, hm?”

Aku berhenti mengetik dan menengadah padanya, “Banyak se-ka-li.”

“Mau kubantu?”

Aku tertawa kecil, mulai mengetik lagi. “Kau akan pusing sepertiku, babe. Aku tidak mau barista kesayanganku jadi pusing.” Aku menyentuh tangannya di bahuku. “Aku tidak apa-apa, honey.

Minseok berdecak dan berbisik di telingaku pelan. “Tunggu sebentar, aku akan membuatkanmu sesuatu.”

Hm, sesuatu?

Aku membiarkan Minseok pergi, sedikit kecewa kehilangan sentuhan hangat di bahuku.

Come on, dia hanya pergi sebentar.

Aku menghela napas sekali, dua kali, tiga kali dan—

Aku tersenyum begitu menghirup aroma yang segera menyergap hidungku.

Green tea latte.” Kesukaanku, tentu.

Tak lama kemudian Minseok datang membawa dua gelas kopi di tangan, satu gelas warna ungu diletakkan di meja dan dia menggenggam tanganku—menghentikan tanganku untuk bekerja lebih jauh.

“Berhenti dan istirahat sejenak, oke?”

Biasanya aku akan sedikit manja, menolak agar dia membujukku, tapi untuk kali ini…aku hanya bisa membiarkannya menuntunku pergi ke ruang tengah. Kami duduk di sofa dan menyesap kopi.

“Hmm…” gumamku sambil memejamkan mata.

“Apa enak?” tanya Minseok. Aku pun mengangguk dan menyandarkan kepalaku di bahunya. “Selalu enak dan sempurna.”

“Benarkah?”

yeah, tentu.”

Pria itu tersenyum sebelum mendaratkan kecupan ringan di bibirku dan bergumam, “Green tea latte-nya enak.” Dia mengecap bibirnya.

“Ya, enak,” aku meletakkan gelas kami di meja dan melingkarkan tanganku di lehernya. Kami begitu dekat, napas saling bertautan di udara. “Kau mau mencobanya lagi?”

 

Satu cengiran dan…

 

Dan…

 

Dan aku rasa Minseok benar.

 

Aku harus berhenti mengerjakan pekerjaan keparat itu dan istirahat.

 

 

 THE END

 

A/N:

Aku seharusnya mengerjakan tugasku walaupun ini adalah malam minggu dan company profile Tous Les Jours sangatlah sulit ditemukan /menenggelamkan diri ke dalam green tea latte/

Dan gambar barista minseok lewat di TL dan agak ngeselin tapi dia tampan, jadi mau benci juga gabisa hahaha

 

Bonus pics for you~~~~

 

/berbusa/ o-<–<

 

 

 

 

 


[Not Fanfiction] Lose Yourself

$
0
0

image

once you’re in the highest level of your life, just remember you could fall from a cliff.
_

Aku menulis ini di perjalananku menuju kampus, berharap kamu membacanya dan menganggap ini sebagai sebuah peringatan untukmu.

Hidupmu sedang dilanda badai. Ya, aku tahu itu. Awan mendung tak pernah lelah mengikutimu, hujan turun tanpa henti dan matahari tak pernah tersenyum ramah padamu. Kamu pernah mengalaminya beberapa tahun yang lalu, bagaimana badai memporak porandakan hidupmu dan bungkam adalah satu-satunya yang bisa kamu lakukan.

Aku tahu detik ini kamu pasti sedang menangis. Bergelung di tempat tidurmu dan membasahi seluruh kain yang ada dengan air mata penuh kesakitan. Dadamu sesak, tiba-tiba seribu penyakit menyerangmu. Keberuntungan sedang meloloskan diri dari tanganmu. Ya, aku tahu itu.

Tapi tak tahukah kamu, berapa banyak orang yang mengalami hal serupa dan hati mereka hancur berkeping-keping saat kamu tertawa di atas penderitaan mereka. Mungkin mereka adalah orang yang dulu kamu anggap sahabat, namun semudah menjentikkan jemari, kamu mengeliminasi mereka satu persatu. Mungkin mereka adalah orang yang kamu rebut kekasihnya tanpa memikirkan bagaimana hati mereka terluka. Mungkin mereka adalah korban tipu muslihatmu dan kamu tak tahu bahwa orang mulai lelah.

Lelah atas tindakanmu.

Lelah atas tingkahmu.

Orang tuaku selalu berkata, saat seseorang berada di tingkat paling atas kehidupan ini, akan mudah baginya untuk jatuh karena gelap mata.

Kamu pun begitu. Tak diragukan lagi hidupmu menukik tajam bagaikan kurva yang kita pelajari di kelas setiap hari. Bagaimana mereka turun dan naik, membentuk sebuah gelombang yang menunjukkan hidup ini mempunyai siklus yang bahkan tanpa kamu sadari berputar terus menerus–tanpa henti.

Orang tuaku juga pernah bilang janganlah menjadi bintang paling terang di langit sana karena suatu hari cahayanya akan padam, juga jangan terlalu redup karena bintang seperti itu akan terlewati begitu saja.

Entah salah siapa dirimu jadi bintang paling terang. Terkadang sinarnya terlalu terang hingga menusuk dan menyakiti mata orang lain di sekitarmu. Tapi herannya kamu tak pernah sadar hal itu. Herannya kamu masih senang bermain-main di sana dan orang-orang membencimu. Herannya kamu suka menari-nari dengan image buruk melekat di dahimu.

Iya, mereka membenci kamu. Mereka tidak menyebunyikan amarah yang meluap-luap ketika namamu terdengar dan dengan begitu teganya mereka menyamakan kamu dengan hal-hal yang bahkan tak pantas untuk ditulis di sini. Biarlah kamu tak perlu mengetahuinya karena kamu akan sakit, kamu akan sangat-sangat sakit. Atau perlukah aku mengungkapkannya? Kurasa tak perlu.

Selagi menulis ini aku pun berpikir, mengapa sulit bagimu untuk menjadi seseorang yang lurus jalannya. Bukannya aku orang yang berjalan di jalan itu, namun semua orang mencobanya. Lalu mengapa kamu tidak?

Apa salahnya tersenyum tulus pada orang lain? Apa salahnya berbuat satu kebaikan? Apa salahnya kamu menghargai dia, mereka, mereka dan dia? Apa salahnya melihat orang lain bukan dari ‘apa yang bisa kamu dapat darinya’, melainkan dari ‘apa yang bisa kamu beri padanya’? Apa salahnya cintai mereka yang memang butuh dicintai, bukan untuk dijadikan status? Apa salahnya menyayangi temanmu, sahabatmu, orang-orang yang dekat denganmu, yang melihatmu berharga? Apa salahnya mencari orang lain yang lebih pantas kamu jadikan pacar daripada mengambil satu yang lama dari sahabatmu sendiri? Apa salahnya? Apa?

Apa itu memang karaktermu? Apa itu memang kebiasaanmu? Bisakah berubah?

Sampai kapan kamu berlakon begini? Sampai satu persatu orang di dunia ini menjauh dan meninggalkanmu? Karena jika ‘ya’, ya, mereka kini perlahan-lahan belajar hidup tanpamu. Mereka mulai menghapus memori tentangmu, si bintang paling terang.

Lihat, cahayamu mulai meredup. Bagaimana jika kubiarkan terlalu lama dan lama kelamaan kamu menghilang? Bagaimana jika aku tak memperbaiki apa yang seharusnya kuperbaiki hingga kamu lelah dan menyerah. Menyerah dan membiarkan cahayamu hilang.

Bagaimana?

Karena kamu tentu tahu, bukan? Bahwa akulah satu-satunya yang bisa membuatmu kembali lagi berada di sana. Aku bukannya satu yang jahat jika mungkin ini terdengar seperti pembelaan di ruang sidang yang penuh kebohongan dan dusta. Aku hanya ingin memastikan bahwa kamu ingat hidupmu itu seperti roda yang terus berputar. Kamu sedang berada di bawah saat ini, tunggulah hingga roda berputar dan mengembalikanmu di tempat yang seharusnya.

Hanya ingat. Ingat jangan biarkan roda itu berputar dan membawamu terlalu rendah karena tingkahmu lagi dan lagi.

Pikirkan kembali.

Karena aku menulis ini dalam perjalananku menuju kampus, berharap kamu membacanya dan menyadari.

Posted from WordPress for Android


I’m in Love with Betty and Whatever [Ep.3]

$
0
0

Cast: Kris [EXO-M] and OC [Betty] || Support Cast: EXO Members || Genre: Comedy, Romance, Telenovela! AU || Length: Chaptered || Rating: PG

Disclaimer:

Adapted from the most popular telenovela in Columbia—Yo Soy Betty, La Fea (I am Betty, the Ugly One).

Summary:

Kris butuh sekretaris, Luhan membawakan Betty padanya.

| Prologue | Episode 1 | Episode 2 |

[Episode Three]

Deadline!

Tahukah kau, kalau hari-hari di EXO Moda berjalan sangat, sangat, sangat cepat hingga rasanya tiga hari terasa seperti dua detik. Wow, bagaimana mungkin?

Bagi Kris, rasanya baru hari kemarin ayahnya meninggal dan dia mulai menduduki kursi CEO EXO Moda. Rasanya baru kemarin dia membeli jas hitam untuk hari pertamanya bekerja dan mengikat dasi pun masih salah. Tanpa sadar ternyata hal itu telah berlangsung dua tahun dan Kris berumur 26 tahun, bukan 24 tahun lagi.

Berbeda dengan Luhan, rasanya baru kemarin dia melempar toganya ke udara setelah kelulusan dan berakhir dengan memanjat pohon karena toganya tersangkut di atas sana. Rasanya baru kemarin dia bolos kuliah bersama Kris. Rasanya baru kemarin dia direkrut menjadi manajer pemasaran, tanpa sadar hal itu terjadi dua tahun yang lalu.

Lain lagi dengan Kim Jongdae. Pria itu merasa baru saja membeli sekotak donat sebagai cemilannya kemarin, lalu hari ini sudah habis. Oh, tidak. Ternyata dia memang tanpa sadar menghabiskannya sambil mengerjakan laporan SDM. Baiklah.

Lalu bagaimana dengan Chanyeol?

Bagi Chanyeol, rasanya baru kemarin dia melamar kerja sebagai office boy di EXO Moda dan berakhir sebagai tukang fotokopi, karena Jongdae berkata, “Tanganmu bagus untuk menekan tombol di mesin fotokopi. Kau bisa jadi tukang fotokopi.” Alasan yang cukup rasional.

Dan—tada! Dia jadi Chanyeol si tukang fotokopi yang bertubuh tinggi. Dan jangan pernah meragukan kemampuannya, walaupun…err, dia memang suka lalai dan menghabiskan hampir setengah rim kertas karena salah mengkopi dokumen, tapi dia cukup baik. Seperti saat ini.

“Hai, Patricia.”

Patricia hanya diam seribu kata seraya tangannya menari-nari di atas keyboard; mata terpaku pada layar. Dia punya deadline, yang akan membuatnya benar-benar dead kalau dia tidak menyelesaikannya dalam waktu kurang dari satu jam.

“Hei, hei…Patty.” Chanyeol berada di depan mejanya, berusaha menarik perhatian Patricia.

“Hei.” Dia tidak menyerah.

“Halo? Apa ada orang?” Apa dia tidak tahu Patricia sedang sibuk?

“Halooooooo—AWW!!”

Sebuah pencil melayang tepat mengenai hidungnya dan jangan tanya dari mana asalnya.

“BISAKAH KAU DIAM??” teriak Patricia berang.

“Aku hanya ingin memberikanmu list gaji yang sudah ku-fotokopi,” kata Chanyeol sedih sambil menggosok hidungnya yang sakit. Patricia berhenti mengetik sejenak. “Kenapa kau tidak bilang dari tadi, Park Chanyeol?”

Well, walaupun hidungnya sakit, namun itu tidak ada apa-apanya ketika Patricia menyebut namanya dengan embel-embel ‘Park’. Dia…entahlah, hanya senang mendengarnya. Chanyeol pun tersenyum.

“Aku ‘kan mau menyapamu terlebih dahulu—”

“Jangan banyak bicara dan serahkan fotokopian itu padaku sekarang!” perintah Patricia dengan satu tangan masih mengetik dan yang lainnya menunjuk satu bidang meja yang kosong. “Letakkan di sini, Park Chanyeol.”

(Ah, Chanyeol senang lagi)

Chanyeol langsung meletakkan tumpukan kertas di sana. Dia mendapati hatinya sedikit sakit melihat Patricia menghela napas lelah setelah tumpukan kertas itu diletakkan.

“Kau lelah ya?” Chanyeol bertanya.

Patricia tidak menjawab.

“Aku tahu apa yang bisa menghilangkan rasa lelahmu.”

Gadis itu mendengus. “Oh, yeah?” Dia pikir ini konyol kalau Chanyeol tahu bagaimana kepalanya mau meledak melihat deretan nama para buruh pabrik yang akan gajian hari itu.

“Aku membuat ini untukmu.” Patricia mendengar Chanyeol bergumam pelan. “Tada! Patricia, lihat ke sini.”

Patricia baru saja ingin mengkalkulasikan uang lembur si kepala buruh pabrik Byun Baekhyun, ketika dia melirik ke arah Chanyeol dan saking kagetnya dia malah menghapus semua data Baekhyun dengan menekan tombol delete. Kasihan, Byun Baekhyun.

“APA ITU??” pekik Patricia terlonjak kaget.

Jangan anggap Patricia berlebihan, kau pasti juga akan bereaksi sama sepertinya kalau melihat ini.

“Wajahku!” jawab Chanyeol bangga memegangi kertas itu sambil nyengir. “Aku menempelkan wajah di mesin fotokopi dan jadi seperti ini. Aku bahkan mengambil beberapa ekspresi. Kau mau lihat—”

“TIDAK!” Kepala Patricia berdenyut seolah sebentar lagi akan meledak. “Chanyeol,” dia memejamkan matanya sejenak. “Kau. Sudah. Gila.”

Hati Chanyeol pun mencelos. “Tapi, ini masterpiece, Patty.”

Patricia melotot padanya. “Jangan panggil aku, Patty. Oke? Itu terdengar seperti fatty.”

“Tapi kau tidak gendut—hei!”

Tiba-tiba Patricia meremas kertas bergambar wajah Chanyeol dan melemparkannya ke sudut ruangan dekat lift. “Yes!!” Sorak Patricia, dia menatap Chanyeol sinis. “Pergi dari sini sekarang juga, Park Chanyeol. Sebelum aku men-staples matamu yang besar itu.”

Wow, ancaman yang mengerikan. Dengan berat hati Chanyeol pergi dari sana. Dan Patricia bisa melanjutkan pekerjaannya.

“Ada-ada saja tingkah orang itu.” Dia jadi tergelak sendiri. “Mengkopi wajahnya sendiri? Jaman sudah maju, dia bisa memberikan fotonya padaku kalau mau.”

Lalu Patricia menyadari apa yang baru saja dia katakan dua detik kemudian. Wanita itu refleks menutup mulutnya sendiri dan berbisik dalam hati, “Apa yang barusan kau katakan, Patricia??”

Dan yang lebih membuatnya shock adalah…

“Di mana data-data Byun Baekhyun? Astaga!! Apa aku menghapusnya??”

“Patricia, dua puluh menit lagi,” senandung Jongdae dari dalam ruangannya.

Ah, Patricia benar-benar dead, dead, dead!

***

Dari kejauhan…

Seorang pria menatap gedung EXO Moda dari balik jendela kantornya. Betapa gedung tinggi itu menjulang ke langit dengan logo besar berwarna merah, kaca berwarna hitam mengilap. Dia dapat memastikan berbagai macam orang di sana tengah memulai pekerjaan mereka dan sangat sibuk.

“Bos, ini koranmu.”

“Letakkan di meja.”

Si pria itu tidak membalikkan kursi super besarnya untuk menghadap sang asisten yang datang. Dia hanya diam, menyesap kopinya.

“Kau mau tahu apa headline koran hari ini, bos?” Yixing bertanya.

“Hmm…ya.”

“EXO Moda.”

Begitu mendengar nama EXO Moda, si pria di balik kursi itu tak bisa menahan diri, maka dia berbalik dan sudut bibirnya tertarik ke atas membentuk seulas senyum.

“Oh ya?”

Dia mengambil koran itu dari meja. Membaca headline-nya dan melihat gambar yang terpampang di sana.

“EXO MODA Siap Menggebrak Mode Busana Musim Dingin tahun 2013. Hmm…menarik.”

Dia menyandarkan tubuhnya ke kursi di belakangnya, tersenyum lebar.

“Sangat menarik, Yixing.”

***

Jika semua orang tak bisa melupakan bagaimana kesan pertama mereka masuk EXO Moda dan merasakan bagaimana waktu berjalan begitu cepat, hari ini tentu menjadi sejarah yang akan selamanya Betty ingat dalam hidupnya.

Bukanlah aneh baginya diantar pergi ke kantor dengan ayahnya. Setiap hari Betty dan ayahnya naik mobil Mini Cooper butut warna hijau keluaran tahun 1994. Sambil mendengarkan siaran radio lagu lawas beserta sarapan di mobil, ah, ya itulah kebiasaan Betty.

Semuanya berjalan sempurna pagi itu. Betty tidak terlambat bangun, jalanan begitu sepi; tak seperti biasanya yang macet. Lagu lawas dari tahun 1978 terdengar enak di telinga.

Tidak ada masalah sampai mereka berada di pompa bensin dan bertemu seseorang yang tidak disangka.

Seseorang yang menaiki mobil Mercedes Benz warna hitam. Betty mengenali sosok itu dari jendela belakangnya. Memang sih, dia baru mengenalnya tiga hari, tapi sosok ini mampu membuat kaki Betty seolah tak punya tulang mirip jelly stroberi. Sosok yang berwibawa dan dia adalah…

“Itu seperti Pak Kris,” ujar Betty memicingkan matanya saat mobilnya berada di belakang mobil hitam itu.

Sang ayah pun menoleh padanya. “Pak Kris? Oh—bos barumu itu?”

“Ya, tapi…” Betty masih harus memastikannya, karena bisa saja dia salah. “Entahlah, yah. Aku tidak yakin.”

“Yang ada di depan kita ini CEO EXO Moda???” Uhuh, ayah Betty bisa dibilang fans fanatik perusahaan mode ini sejak dulu. Bukan tertarik akan baju-bajunya, namun akan strategi bisnis yang EXO Moda pakai hingga bisa menjadi perusahaan ternama seperti sekarang.

Pria paruh baya ini pun tak menyia-nyiakan kesempatan. Siapa yang tahu kalau nanti dia tidak akan bisa bertemu CEO muda EXO Moda lagi bukan?

Betty mengangkat bahunya. “Ya, kalau tidak sal—ayah! Kau mau ke mana?”

Ayah Betty keluar dari mobil dan berjalan menuju mobil di depan mereka. Wajahnya begitu berseri-seri ketika mengetuk jendelanya.

Kris sedang membaca majalah online di ipad-nya ketika sebuah ketukan di jendela terdengar, dan jantungnya mau tidak mau melompat kaget. Dia mengalihkan pandangannya dari ipad dan menemukan seorang pria berambut tipis mengetuk jendelanya.

Kris bisa saja mengiranya orang jahat, bisa saja menelepon penjaga keamanan  pompa bensi, namun begitu melihat sosok di belakang pria tua ini, Kris tidak bisa melakukan apa-apa.

“Betty?”

Lalu Kris membuka jendela mobilnya. “Halo, Pak Kris. Selamat pagi.” Betty melambaikan tangannya dengan wajah ceria. Kris tentu tidak menyangka mereka akan bertemu di tempat seperti ini.

“Selamat pagi, Betty. Dan—” Kris menatap bingung pria tua yang tak lain ayah Betty, sedang melongo di jendelanya. “ini…”

“Dia ayahku, pak. Ayah, jangan begitu,” kata Betty berusaha menarik sang ayah dari jendela, namun nihil. Ayahnya tak mau bergerak dari sana.

“Kau CEO EXO Moda?” tanya ayah Betty setengah sadar, setengah pingsan.

“Iya, aku CEO—”
“Perkenalkan, aku ayahnya Betty.” Tiba-tiba saja—tanpa disangka—ayah Betty meraih tangan Kris di dekat jendela dan menjabatnya begitu erat. “Aku fans-mu. Aku adalah fans-mu, Pak Kris.” Ugh, itu cukup aneh bagaimana seorang pria paruh baya memanggil Kris yang jauh lebih muda darinya dengan sebutan ‘Pak’.

Kris hanya bisa pasrah melihat tangannya diremas parah oleh ayah Betty. Tidak ada yang pernah melakukan hal itu padanya. Dia menarik-narik Kris hingga tubuh itu hampir keluar dari jendela, well, Betty harus melakukan sesuatu sebelum dia kehilangan bosnya.

“Kau tampan dan kau berkarisma. Bolehkah aku tahu strategi bisnis EXO Moda?”

“Err, y-ya…terima kasih—” Kris tidak tahu harus memanggilnya apa. “—tuan. Dan…maaf, itu rahasia perusahaan.”

Ada segelintir rasa kecewa di raut wajah pria tua itu. “Oh, tak apa. Aku hanya senang Betty bisa bekerja di sana. Terima kasih sudah menerima anakku di sana. Kau tahu, kami berpesta saat mengetahui Betty diterima jadi sekretarismu.” Ayah Betty mengguncang-guncang tubuhnya, sesekali menepuk wajah itu untuk menunjukkan betapa dia sangat mengagumi sosok itu. “Oh, ya ampun! Pipimu lembut sekali!”

“Ayah, hentikan.” Betty dengan sekuat tenaga menarik sang ayah dan Kris pada akhirnya bisa bernapas lega lepas dari cengkeramannya.

“Ayah,” ucap Betty setengah marah. “Apa kau baik-baik saja, Pak Kris?”

“Ya, tentu.” Bohong. Kris melihat rambutnya, dasinya dan kemejanya di kaca spion. Semuanya berantakan.

“Baiklah, pak. Sampai bertemu di kantor,” ujar Betty segera mendorong sang ayah dari sana.

Dua orang itu menghilang dari hadapannya dengan satu anggukan kepala dari Kris. Pria itu menatap mereka lewat kaca spion, berpikir apa yang dia perbuat sampai-sampai di pagi hari seperti ini dia sudah mendapatkan perlakuan yang…yang…ya, begitulah.

Tepat saat itu sang supir masuk ke dalam mobil sehabis mengisi bensin dan bertanya, “Apa anda berbicara dengan dua orang itu, pak? Karena aku melihat mereka baru saja berjalan dari arah mobil ini. Anda mengenalnya?”

Bagaimana ya? Dia kenal Betty (tentu saja), tapi di saat-saat tertentu dia tidak ingin mengatakan hal itu.

Kris baru saja ingin membuka mulut ketika sebuah mobil hijau yang tak lain merupakan mobil Betty melintas begitu dekat dengan mobilnya. BEGITU DEKAT sehingga spionnya MENABRAK spion mobil Kris sampai RUSAK!!!

Kris memejamkan matanya erat-erat.

“Ya, aku kenal mereka.”

***

“Pak, aku minta maaf.”

“Betty, tidak apa-apa. Mobil itu diasuransi penuh.”

“Tapi, tapi, pak. Aku merasa sangat bersalah. Kau boleh memotong gajiku.”

“Betty, tidak ada yang menyalahkanmu, sungguh. Jangan merasa begitu.”

“Tapi, pak. Aku merusak kaca spionnya. Ya Tuhan, aku minta maaf.”

Betty berjalan sedikit cepat menuju lift bersama Kris. Dia pikir, bagaimana bisa tidak merasa bersalah? Kaca spion itu rusak parah, bahkan Betty bisa melihat kemarahan berkilat di mata supir Kris. Dan yang membuat perut Betty melilit sebenarnya adalah itu…mobil…Mercedes Benz. Betty bisa memperkirakan bahwa gajinya malah tak cukup untuk membayar kerusakan itu. Dia akan bekerja seumur hidupnya di EXO Moda dan tetap tidak bisa mengganti rugi kerusakannya.

Ini buruk. Dia tidak cukup siap untuk dipecat di hari ke-tiganya bekerja. Tidak!

“Pak,” gumam Betty lemah. “Maaf.” Dia menatap sedih Kris dari balik kacamata tebalnya.

“Betty…” Kris setengah tersenyum padanya. “Tidak apa-apa. Jika sekali lagi kau meminta maaf, aku benar-benar akan marah.”

Oh, astaga. Betty hampir kehilangan seluruh napasnya saat Kris tersenyum. Well, itu senyuman kecil yang hampir tidak bisa dibilang senyuman, karena sepertinya Kris jarang tersenyum. Hampir berbeda dengan sosok Luhan yang begitu ceria dan suka bercanda. Sangat berbeda dengan sosok Chanyeol, teman barunya yang suka melucu dan membuat dirinya sendiri terlihat bodoh, lalu membuat semua orang tertawa melihatnya.

“Tapi, pak—“

“Betty…”

Betty segera menutup mulutnya. “Baiklah, aku tidak akan mengatakannya lagi. Maaf.”

Kris meliriknya.

“Ah, ma—baiklah, aku tidak akan bicara apa-apa.” Mereka masuk ke dalam lift dengan tangan Betty yang menutup mulutnya sendiri sepanjang waktu.

Kris tertawa kecil dan menggeleng-gelengkan kepala. Dan…dia merasa aneh. Aneh baginya karena ini baru jam 8 pagi dan dia tertawa. Dia tidak pernah tertawa—hei, kapan terakhir kali dia tertawa?

Minggu lalu?

Oh, tidak. Minggu lalu dia tidak punya sekretaris, yang dilakukannya hanya marah, marah, marah dan marah. Jadi…

Kris memandangi pantulan wajah Betty di plat besi lift dan bertanya dalam hati. Sejak ada Betty?

Lamunannya terusik ketika pintu lift terbuka. Jongin dan seorang wanita cantik berambut panjang—menempel bagai belut (eww!)—masuk ke dalam lift. Tak segan-segan langsung menyapa Kris. “Selamat pagi, Pak Kris dan—” Jongin berhenti bicara, ragu mau menyapa Betty di sebelahnya. “—kau.” Terlalu malas untuk menyebut nama Betty.

“Selamat pagi, Jongin.” balas Betty melambaikan tangan padanya.

Jongin membuang muka. Lalu terdengar bisikan-bisikan tak menyenangkan yang mirip dengungan lebah di lift itu.

“Dia siapa, Jongin?”

“Ah, kau pasti tidak mau tahu, babe.”

“Aku tidak suka melihatnya. Dia aneh.”

“Ya, aku juga menganggapnya seperti itu. Tenang sa—”

Kris berdeham cukup keras, membuat seisi lift menoleh padanya. “Jongin, apa kau sudah membuat laporan penjualan tas bulan ini?”

“Belum, aku menunggu para staff—”

Ting!

Mereka pun sampai di lantai 10 dan Kris melangkah keluar tanpa menunggu Jongin selesai bicara. “Aku tunggu laporan itu di mejaku pukul sembilan nanti. Tidak perlu tanda tangan Luhan.” Dia melihat Jongin dengan tatapan dingin yang baru Betty lihat sejak pertama kali masuk. “Dan tidak ada kesalahan, Jongin.”

Seiring perkataan itu, Kris melenggang pergi, meninggalkan Jongin beserta rahangnya yang terbuka lebar. Jongin belum pernah kena marah oleh Kris sebelumnya. CEO itu selalu baik padanya lantaran mengetahui Jongin adalah yang termuda di perusahaan. Tapi, pagi ini dia dikejutkan dengan tingkah Kris yang seperti itu. Dia berpikir, apa salahnya sampai-sampai kena damprat begini? Dan—apa? Laporan harus sudah selesai pukul 9?? Satu jam lagi? Ini gila!!

Betty mau tak mau mengikuti Kris dari belakang, sedikit tertinggal karena bos-nya itu punya langkah yang besar dan saking cepatnya dia berjalan, dia tak sadar pulpen Mont Blanc-nya jatuh di lantai.

“Pak Kris, Pak—tunggu.”

Kris berhenti dan menoleh padanya. Gadis itu memungut pulpennya dan ragu mewarnai perasaannya sebelum menyelipkan pulpen itu ke kantung jas Kris di bagian kiri. Kejadian itu begitu lambat terasa, tangan Betty sedikit gemetaran saat melakukannya dan dia bernapas lega setelah selesai.

“P-pulpenmu jatuh, pak.” Betty meneliti wajah Kris, takut apa yang dia lakukan ini salah. Namun, yang didapati Betty hanyalah wajah datar Kris.

“Terima kasih, Betty.”

“Ya, sama-sama, Pak. Apa…” Betty menggigit bibirnya sendiri. “apa kau tidak apa-apa?”

“Aku baik-baik saja, Betty.” Kris hendak meninggalkan Betty sebelum sekretarisnya itu bicara.

“Pak, hanya ingin mengingatkan bahwa kau punya janji bertemu dengan perancang busana dari Paris bernama…” Betty mengecek catatannya. “Huang Zitao.”

Satu anggukan kemudian Kris berjalan lagi ke arah ruang kerjanya. Dia merasakan udara di sekitarnya mulai menipis dan rasa aneh bergerilya di area sekitar dada kirinya. Kris menghenyakan tubuh di kursi. Dia pusing bukan main, seakan seluruh syarafnya berteriak minta tolong. Dia pun me-reka ulang kejadian di lift, merasa ada kejanggalan luar biasa yang baru dia sadari.

Kenapa aku marah-marah pada Jongin? Kenapa aku meminta laporan itu jam 9 nanti? Aku bahkan tak memerlukannya.

Kris tidak mengerti apa yang terjadi padanya. Dia tidak memahami betul mengapa dia harus semarah itu, dia bahkan tidak bisa menemukan alasan yang tepat untuk marah-marah, apalagi pada Jongin.

Kris menghapus kejadian itu dari kepalanya ketika melihat banyak tumpukan dokumen yang sudah menghiasi mejanya. Ugh, terkadang dia membenci Luhan yang terlalu rajin bekerja, maka Kris mengambil pulpen Mont Blanc-nya dari kantung dan mengurungkan niat itu saat mengingat Betty menyentuhnya tadi.

Kris mengambil pulpen biasa di lacinya dan menandatangani semua dokumen.

Ada apa denganmu, Kris?

***

 

“Kau mau kubuatkan teh? Atau kopi?”

“Tidak.”

“Kau mau baca majalah EXO Moda? Baru saja hari ini terbit.”

Nope.”

“Kau mungkin mau melihat koleksi kami—“

“Aku mau bertemu Kris.”

Kalimat yang terucap dari mulut si pria berjaket bulu membungkam mulut Luhan. Sudah dari satu jam yang lalu Luhan berdiri di sana—menawarkan berbagai hal—bersama Huang Zitao si perancang busana dari Paris. Sudah SATU JAM dan Kris tidak terlihat batang hidungnya, membuat Luhan merutuk sejuta kali dalam hati. Hell, dia punya banyak pekerjaan. Menyambut Huang Zitao bukan termasuk pekerjaannya.

“Oh, baiklah.” Dia tersenyum lembut pada Huang Zitao dan mendesis pelan, “Wu Yi Fuck, kau ada di mana?

Seperti menjawab pertanyaan Luhan, tiba-tiba pintu ruang tunggu VIP terbuka disertai dua orang masuk ke dalamnya. Kris dengan jas hitam merk Gieves and Hawkes—dan Betty mengikutinya dari belakang—mereka berdua sampai di sana.

“Akhirnya,” gumam Luhan menghela napas lega.

Huang Zitao segera berdiri, merapikan jaket bulunya dan mendekati Kris.

“Zitao, aku minta—“

 

Plak!

 

Napas Betty berjengit ketika Huang Zitao mendaratkan sebuah tamparan di wajah Kris—tidak keras, tapi…wow! Dia baru saja menampar seorang CEO?!

Sementara Betty masih shock, Luhan sudah terbiasa akan pemandangan itu. Huang Zitao adalah teman baik Kris sekaligus perancang busana EXO Moda. Dia memang membuka tokonya di Paris dan sesekali dipanggil ke Korea setiap EXO Moda punya projek tertentu.

“Beraninya kau membuatku menunggu lama di sini, Wufan! Apa kau tidak tahu aku masih punya banyak pekerjaan, hah?” pekik Huang Zitao sambil berkacak pinggang.

“Yap, kau benar sekali, Huang Zitao,” timpal Luhan memanasi suasana.

“Aku punya sepuluh dress pernikahan yang harus ku-design. Aku punya deadline!”

Deadline. Ah, itu penting sekali.”

“Belum lagi janji makan malam bersama keluargaku.”

“Makan malam bersama keluarga.” Luhan menggelengkan kepalanya prihatin. “Ya ampun, mana mungkin bisa dilewatkan.”

Huang Zitao melirik ke arah Luhan dan berkata, “Bisakah kau diam?!”

Luhan pada akhirnya benar-benar menutup mulut. Dia berdiri di dekat Betty, lalu berbisik, “Dia sangat cerewet, Betty. Hati-hati.”

Betty hanya bisa menganggukan kepala mengerti apa yang dikatakan Luhan, namun tak cukup mengerti bagaimana pria ini cerewetnya melebihi mulut wanita. Betty juga mengangkat alis melihat penampilannya—jaket bulu-bulu, piercing di telinganya, sedikit eyeliner, rambut tertata keren, celana kulit, dan sepatu boots Prada motif leopard. Ah, Betty lupa kalau dia seorang designer.

“Maafkan aku, Zitao—“

“Uhuh, aku tidak menerima permintaan maafmu.” Huang Zitao bersedekap tangan—membuang wajah.

“Tapi…” ugh, Kris lupa bahwa temannya yang satu ini tidak suka di buat menunggu dan dia malah membuatnya begitu, namun dia ingat satu hal. “Baiklah, sebagai permintaan maaf bagaimana kalau kita pergi ke cafe dan membeli kue tiramisu sambil membicarakan projek musim dingin kita?”

Huang Zitao melompat kaget di tempatnya. “Really? You’re serious??

“Ya, tentu saja—“

Sssshhh…shut up, baby.” Huang Zitao menempelkan satu jarinya di bibir Kris. “Let’s go to the café, right now. I’m craving for tiramisu cheesecake,” lanjutnya seraya menggamit lengan Kris dan bersandar pada bahunya.

Tak sampai sepuluh langkah mereka berjalan, Betty merasa dunia berputar di kepalanya. “’Baby’?”

Luhan di belakangnya menepuk bahu gadis itu penuh simpati. “Aku mengerti apa yang kau rasakan, Betty. Tapi percayalah padaku, Kris itu normal.”

 

***

 

Tentu.

 

Tentu saja Kris normal.

 

Huang Zitao yang tidak.

Betty mencengkeram tangannya sendiri selama obrolan Kris dan Huang Zitao berlangsung. Dia memperhatikan bagaimana kursi mereka berdua begitu dekat, bahkan hampir menempel; juga bagaimana Huang Zitao memperhatikan Kris lekat-lekat setiap kali CEO muda itu berbicara— menjelaskan projek musim dingin mereka. Huang Zitao berusaha menyuapi Kris dengan sesendok tiramisu cheesecake dan Betty berani bersumpah dia tidak bermaksud menggagalkan usaha itu dengan tersedak tehnya.

Huang Zitao langsung melemparkan tatapan tajam padanya, memicingkan matanya tak suka. “Wufan, seriously, apa kau harus selalu bersama pot kaktus ini ke mana-mana?”

(Yeah, singkat cerita Huang Zitao kaget bahwa Betty adalah sekretaris baru Kris, dia menyarankan untuk menggantinya dengan yang baru, namun Kris menolak. Lalu Huang Zitao memanggil Betty dengan sebutan ‘Pot Kaktus’, karena dia bilang, rambut model apa itu? Juga mengatakan, kacamata tahun berapa yang kau kenakan? Kau tahu, itu mirip pantat botol!)

Tenang saja, Betty tidak akan pernah sakit hati oleh semua perkataan itu, tapi satu hal yang dia tidak terima di sini adalah mengapa-Huang-Zitao-harus- naksir-dengan-Kris? Eww!

“Zitao,” desah Kris lelah. “Fokus.”

“Oke, oke, oke.” Huang Zitao bersandar lagi pada bahu Kris dan melemparkan pandangan apa-kau-lihat-lihat pada Betty.

“Baiklah, ada beberapa model yang harus kau design. Tim kami sudah turun ke lapangan untuk mengambil data pakaian apa yang para wanita inginkan untuk musim dingin. Dan…” Kris mengambil dokumen yang diberikan Betty. “…hasil riset menunjukkan bahwa wanita butuh sesuatu yang penuh kehangatan—“

“Oke,” kata Huang Zitao; mengggit sendoknya.

“—kelembutan—“

“Yap, kelembutan.”

Kris melirik Betty sekilas sebelum mengatakan ini, “—dan fashion yang keren. Itu konsepnya.”

Fashion yang KEREN. Ingat itu, Pot Kaktus.” Dia mengacungkan sendoknya ke arah Betty. Betty pun cemberut.

Huang Zitao membaca ulang konsep musim dingin EXO Moda tahun ini. Kehangatan, kelembutan, fashion yang keren. Dia berpikir mudah saja menyatukan semuanya. Wanita hanya perlu jaket yang dapat menghangatkan tubuhnya, dengan sentuhan warna lembut dan permainan bahannya, namun tanpa meninggalkan kesan ‘pakaian eskimo’ yang sangat buruk—alias jaket atau pakaian itu harus tetap keren dilihat.

Mudah, tentu saja.

Namun, Huang Zitao tahu Kris tidak menginginkan hal yang biasa-biasa saja, apalagi setelah mengumbar ke media bahwa mereka akan membuat sebuah gebrakan baru. Tidak, tidak bisa begini.

“Hmm…bagaimana ya?” dia memutar-mutar tiramisu cheese cake-nya sembari berpikir.

“Eumm…maaf, Tuan.”  Betty tiba-tiba bersuara.

Huang Zitao mengangkat wajahnya dari kertas itu. “Ya?”

Betty mengulurkan tisu kepadanya. “Jaket bulu-mu terkena krim.”

Huang Zitao melihat krim menempel di bagian lengan jaketnya, dia hampir memekik ngeri. Oh, please, jaket itu harganya selangit dan Betty bisa mengerti perasaan Huang Zitao, sungguh.

“Bersihkan, bersihkan! Cepat bersihkan jaketku!”

Dengan itu pun Betty segera mengelap krim dari jaket bulu milik Huang Zitao menggunakan tisu. Selagi Huang Zitao merutuki tiramisu cheese cake itu dan berjanji tidak akan pernah memakannya lagi, Betty malah terpana dengan jaket bulunya yang ternyata…whoa, sangat lembut. Lalu sebuah ide melintas di kepalanya dan mulutnya tak bisa menahan kata per kata keluar dari sana.

“Jaketmu bagus, Tuan.”

“Tentu saja! Menurutmu?” kata Huang Zitao sarkastik.

Betty menganggukan kepalanya, menyentuh bulu-bulu halus di jaket Huang Zitao. “Bulu sintetis yang berkualitas baik jika dipadukan dengan bahan kulit akan menjadi sangat bagus. Tidak, tidak. Wanita tidak hanya memerlukan kehangatan saja dan ketebalan jaket yang membuat garis tubuh mereka tak nampak dari luar. Mungkin dengan sedikit menyadur potongan dress panjang ala wanita Perancis dan motif flamboyan yang menimbulkan sisi feminim wanita. Oh, atau jika segmentasi pasar telah dibuat dan targetnya adalah wanita pekerja kantoran, maka model yang bisa dihadirkan adalah pakaian dalam corak yang mewah berpotongan minimalis kontemporer.”

Mata gadis itu menelusuri tubuh Huang Zitao mulai dari sepatu boots leopard-nya sampai ujung rambutnya.

“Atau memadukan mantel bulu dengan gaun pendek dan diberikan sentuhan klasik ala bangsawan Inggris juga bagus—Oh!” Betty menyentuh celana Huang Zitao (sementara pria itu hanya bisa melihat dalam diam bagaimana tangan Betty menggerayangi pahanya). “Celana kulit berwarna cerah bisa meninggalkan kesan yang kuat dan mendalam di musim dingin. Ini akan membangun sebuah fashion yang keren. Juga menebar pesona kelembutan dan pakaian mereka sekaligus menghangatkan tubuh mereka.”

Betty berhenti ketika dia sadar tangannya berada di mana dan segera menarik tangan itu kembali ke dekapannya. “M-maaf…”

Tidak ada yang berkomentar sekitar 38 detik. Betty memperkirakan Huang Zitao akan meledak sebentar lagi karena Betty menyentuhnya. Dia mempersiapkan diri untuk di damprat. Hufth, kenapa hari ini dia melakukan begitu banyak kesalahan? Pertama, mobil Kris. Kedua—

“Betty, kau…kenapa?” tanya Kris perlahan.

“Maaf, Pak Kris. Maaf, Tuan Huang Zitao. Aku—“ Lalu sesuatu yang dingin menyentuh bibir Betty dan sesuatu itu tak lain adalah sendok yang dipakai Huang Zitao untuk makan kue. Dan benda itu menempel di mulutnya beserta krim keju di sana.

Ssshhh…” tatapan Huang Zitao tidak dapat dimengerti. Ekspresinya datar, mulut sedikit terbuka, satu alisnya terangkat dan dia mendekati Betty. Dekat, dekat, dekat, dekat, dan DEKAT SEKALI hingga hidung mereka bersentuhan, mungkin jika sendok itu tidak berada di sana, Huang Zitao bisa mencium Betty.

“Z-Zitao, a-apa yang kau lakukan?” Kris menarik lengannya, namun pria itu menghempaskan tangannya. Dalam posisi aneh seperti itu, Kris merasakan sesuatu yang aneh kembali berulah di dada sebelah kirinya.

Betty jadi sulit bernapas. Dia juga sulit menelan ludah ketika Huang Zitao terlalu dekat dengannya. Dia bahkan bisa mencium aroma parfumnya dan melihat maskara di setiap helai bulu mata pria ini.

“Zitao, hentikan—“

Ssshhh! Shut up, Wufan!!” Huang Zitao akhirnya mengerutkan dahi—alis bertemu di tengah. “Pot Kaktus…”

“Y-ya, tuan?”

“Apa…kau baru saja mengusulkan ide untuk projek ini?”

 

***

Pukul 7 malam.

 

Hampir setengah isi kantor EXO Moda sudah pulang ke rumah mereka masing-masing. Tentu saja. Mereka lelah, mereka butuh istirahat, bahkan Jongin pun rela berbohong pada Luhan dengan mengatakan dia sedikit demam. Jongdae juga begitu, dia bilang bahwa dia sepertinya terlalu banyak makan donat. Ya ampun.

Tapi, di lantai sepuluh masih ada satu orang yang berkeliaran dan belum pulang.

Dia adalah Park Chanyeol.

“Di mana ya? Tadi sepertinya Patricia membuang kertas itu ke arah sini.” Oh yeah, Chanyeol sedang mencari karya masterpiece-nya itu. Namun, kertas itu sudah raib entah ke mana. Chanyeol mencarinya ke belakang tanaman pakis, mencari di dalam lift, mencari di kolong meja, mencari di sudut ruangan hingga mengais tempat sampah. Tidak ada sama sekali.

“Chanyeol?”

Seseorang memanggil namanya. Ternyata itu Betty. Betty baru saja keluar dari ruang penyimpanan file-file dan dia melihat Chanyeol sedang mengorek isi tempat sampah.

“Hai, Betty.”

“Hai. Apa yang sedang kau lakukan dengan tempat sampah itu?” tanya Betty penasaran.

Chanyeol pun beranjak dari lantai, wajahnya cemberut. “Aku sedang mencari karya masterpiece-ku.”

“Karya masterpiece?”

Pria jangkung itu mengangguk sedih. “Fotokopian wajahku di kertas. Aku memberinya pada Patricia tadi pagi, tapi dia malah membuangnya. Dan sekarang aku tidak tahu ke mana harus mencarinya.”

Aish, wanita itu benar-benar sadis, komentar Betty dalam hati.

Tak tega melihat temannya itu sedih, Betty langsung berinisiatif membantunya mencari kertas itu. “Di mana terakhir kali kau melihatnya, hm?”

“Di sekitar sini.” Chanyeol menunjuk tanaman pakis dekat lift.

Mereka pun mencarinya selama hampir 45 menit. Betty mencari di sekitar lift, Chanyeol mencari di dalam tempat sampah. Mereka mencari di bawah meja hingga kepala mereka beradu dan hanya bisa tertawa sambil mengaduh. Lalu Betty menyadari sesuatu setelah itu.

“Chanyeol, kenapa kau tidak mengkopi wajahmu saja lagi di mesin fotokopi?”

Kepala Chanyeol terantuk langit-langit meja saat dia mencoba keluar dari sana. “Apa—aww!!” Betty tertawa seraya mengelus kepalanya.

“Betty!” Chanyeol memegang kedua lengan Betty. “Kau benar! Aku akan membuatnya lagi yang lebih banyak.” Kemudian dia memeluk Betty begitu erat hingga Betty tidak bisa bernapas. Chanyeol meraih tangan Betty setelah itu.

“Hei, mau ke mana, Chanyeol?”

“Pergi ke ruang fotokopi. Kau tentu mau melihat bagaimana proses pembuatan karya masterpiece oleh Park Chanyeol ‘kan?”

Betty sesungguhnya berniat pulang saat itu, mengingat Huang Zitao telah memberinya sebuah tugas penting berkenaan dengan projek musim dingin EXO Moda. Dan jangan lupakan deadline-nya tiga hari ini. Tapi, apa boleh buat ketika Chanyeol menggenggam tangannya begitu erat seolah tak mengijinkannya pergi. Juga tidak mungkin menghapus wajah gembira itu.

 

“Kau harus mencobanya, Betty. Itu sangat seru saat sinar hijau melintasi kedua matamu.”

“Err, tidak terima kasih, Chanyeol. Dan…apa kau yakin ini aman bagi matamu?”

“Entahlah. Tapi terkadang mataku sering melihat kunang-kunang saat selesai.”

 

TBC

 

 

 

 

a/n:

Alohaaaaaa~~~ hahahahaha maaf aku lagi seneng banget bisa nyelesain episode kali ini kkkkk xD

Owkay, mau sedikit curhat (ehem!) aku nulis ini sekitar 1834 kata di hp dan sisanya di komputer. Terus PAS UDAH SELESAI, tiba-tiba mamaku nyuruh aku fotokopiin KTP-nya. Terus pas aku lagi fotokopi di kamarku, aku jadi merasa…”kok aku kayak chanyeol sih”. LALU FOTOKOPIANNYA SALAH ALIAS TERBALIK GITU HAHAHAHA XD

dan mamaku bilang gini: “duh, kayak fotokopi ktp di Bulan nih.” Ih tega, emang Bulan punya tempat fotokopi :( ((((

DAN BAGI PARA TAO STAN!!! OMG, MAAF AKU TAK BERMAKSUD BIKIN DIA KAYAK GITUUUU, I SWEAR!!!! ;;;;;

terus…apakah kalian bisa menebak siapa pria yang ngomong sama yixing? xD

Yaudah segitu aja, nantikan ABOB dan fic ini owkay! Ehehehe xD

 

Dan…

SELAMAT ULANG TAHUN PARK CHANYEOL!!! WOHOOO~~~

 Chanyeol, the King of Ferret

(Aku baru sadar kalo fic I’m in Love with Betty and Whatever udah dua episode di post bersamaan dengan ultah member EXO hahaha)


[!!!] Read This and Try to Understand

$
0
0

Dear, readers.

There are something I want to tell you.

 

 

 

Aloha, para readers yang sangat-sangat lovely <3 Apa kabar? Semoga semuanya sehat-sehat aja ya :)

/menghela napas/ Oke, mari kita mulai. Maaf ya blog ini kurang aktif belakangan ini. Gak ada post-an ff dan banyak komen yang belum sempat dibalesin. Maaf banget, tugasku menggunung dan kebetulan agak-agaknya tubuhku beraroma (?) writer block. Jadi, ya begini jadinya :(

Eumm, singkat aja aku mau berterima kasih untuk para reader lama dan reader baru yang menyempatkan diri mampir ke sini. Seriously, aku selalu dapet notif di email lewat hape, entah pagi entah malem dan gak membalas komen itu bukan berarti aku gak baca komen kalian. Aku baca kok :) DAN AKU SENENG DAPET ITU EHEHEHE XD dan karena kebiasaan menumpuk membalas komen dengan mengatakan ‘besok, besok, besok dan BESOK’ pada akhirnya ya begitu, sama seperti tugasku yang setinggi gunung everest T_T

Dan sebenernya ada beberapa point yang pengen aku sampein, udah agak lama. Tapi tau kan aku suka menunda-nunda heuheu :”(

 

Dan inilah point-point itu:

 

1. Silent readers, am I bothering you?

Aduh, gimana ya bilangnya (hahaha bingung sendiri) Sebenernya aku adalah penulis yang paling santai dalam soal komen berkomen. Aku punya prinsip “DO WHATEVER YOU WANT” dan aku membiarkan orang punya prinsip kayak gitu. “Read if you want to read it”, “Write comment if you want to write it all”, “leave if you want to leave”.

Intinya, aku tidak pernah memaksa para pembaca untuk meninggalkan komen kalau memang mereka tidak mau. Tapi (yeah, selalu ada ‘tapi’) it’s almost unbearable to see the stats on wordpress doesn’t get along with the comments. Rasionya tuh 1:20 (maksudnya 1 komen mewakili 20 pembaca). I think it’s funny to see hahaha xD ya gapapa sih, tapi agak bingung aja. Mungkinkah statistic dengan jumlah yang seperti itu mengandung (?) pembaca yang pas baca dan bilang ini gak seru dan berhenti ditengah jalan, terus pergi gitu aja? SERIOUSLY, aku lebih menghargai orang yang seperti itu hahaha sorry, not sorry.

Atau aku berpikir positif bahwa ada beberapa atau BANYAK orang yang baca lewat hape dan susah untuk komen. Oke, yang ini juga gapapa :)

Dan sebenernya, writing prompts itu menurutku sudah cukup menjadi bahan bacaan untuk para silent reader. Tidak ada kotak komen kan, you can read and go. DAN TERIMA KASIH YANG UDAH MAU KOMEN LEWAT TWITTER, terima kasih banyak ya :3

Dan entahlah, I think I wanna go back to the past di mana komen dan stats berjalan seirama(?) walaupun hanya segelintir doang. Dulu aku emang nerima komen dari dia dia dia dan dia aja, tapi entah mengapa itu terasa seperti lebih dihargai ehehehe, tapi yeah, aku tetap menghargai orang-orang yang sudah mau mampir ke sini. TERIMA KASIH \(^.^)/ *tebar helaian rambut Baekhyun*

 

2. Reblog my fanfiction YES! Copy and Paste NO! Plagiat PLEASE, DON’T!

Mungkinkah ini salahku gak membuat rules seperti blog-blog lainnya? Konsep blog ini sebenernya sederhana aja sih, aku cuma pengen orang seneng main ke sini dan baca semua fanfic di sini dengan senang hati. Tapi sepertinya orang-orang makin ke sini makin menyepelekan heuheu :(

Pertama-tama, aku mau ngucapin makasih sama beberapa orang yang reblog dari sini atau dari IFK. TERIMA KASIH BANGET ;;;; I appreciate that :)

Kedua, ini yang sebenernya jadi masalah—aku menemukan ada beberapa orang yang meng-copy paste fic-ku di blog lain, juga di facebook. That’s pretty okay kalo kalian bilang terlebih dahulu sama aku. Tapi sayangnya hanya ada beberapa orang yang punya manner seperti itu. Kalau di copy paste pake ada nama authornya sih masih oke, eh tapi terkadang ada loh yang enggak pake (aduh aku sedih).

Tapi (ada ‘tapi’-nya lagi), yang membuat aku terharu adalah ada beberapa pembaca di sana yang semacam menyebar kebenaran gitu. Kayak komen: “eh ini kan udh pernah di post di hangukffindo.” Atau “harusnya jangan di copy paste.” Diberkatilah kalian yang udah seperti itu ;;;A;;; seenggaknya, masih ada yang concern. MAKASIH YA, MAKASIH LOH XD aku gabisa kasih apa-apa, tapi Cuma bisa bilang makasih ;;;

DAN TENTANG PLAGIATOR…please, don’t do this to me :”(

kena beberapa kali masalah ini and start get tired of this. Ada yang plagiatin fic Baekyeol-ku, Abob ditranslate seenaknya, fic After (yg adaptasi dari conjuring) itu juga ada yang plagiatin, dan masih ada beberapa yang…ya, yaudah lah ya. Aku sebenernya bukan a whiny writer—yang suka protes sana sini di twitter tentang semua ini, err, buat apalah. Tapi tolong hargai karya orang lain. Kalau ada yang beranggapan “kalo diplagiatin berarti bagus karyanya”. Eumm can I call this a ‘BIG BULLSHIT’?? trust me, orang mana yang suka karyanya dijiplak dan bangga akan hal itu. No, you might be crazy, pals. Because I’m officially hate it.

TAPI (ada terus ya ‘tapi’ ini hahaha), aku bakalan gak tau semua kasus ini kalo gak ada pembaca yang bilang ini sama aku. Sekali lagi bilang apa? /nyodorin mic ke penonton/ MA-KA-SIH YAAAAAAA!!! <3 <3 <3 MAKASIH BANGET! HAHAHAHA a big heart for youuuu <3 <3 <3 a big heart for all of amazing whistle blowers!! (read: whistle blowers itu kalo di perusahaan adalah orang-orang yang membocorkan masalah ke pihak-pihak tertentu ehehehe).

 

3. FIRST AND THE LAST WARNING!

Aku bukannya mengancam, tapi kalau kayak gini caranya, rasanya cukup fair untuk kita semua. Kalo masih banyak terjadi plagiat dan copy-paste di tempat lain, seriously, aku akan kunci beberapa fic di sini AND I WON’T GIVE YOU THE PASSWORD. Take a note, because I’m really serious right now.

 

4. Forgive me if I do some mistakes (>.<), but I do write whatever I want to write!

Nah, ini juga sebenernya udah dari lama pengen aku sampein, tapi sepertinya sekarang adalah waktu yang tepat untuk mengungkapkannya ehehehe xD

Sebenernya, aku punya kesulitan dengan berpegang pada prinsip “WRITE WHATEVER YOU WANT”. Gini lho, aku terkadang lupa atau mungkin sengaja menyingkirkan kenyataan bahwa aku punya pembaca. Aku punya pembaca (okay) dan segala yang aku tulis dan dipost di sini pasti ada yang baca HAHAHAHAHAHAHAAAKUBINGUNGJADINYA!! Dan kalian taulah pasti, aku author yang suka nulis seenaknya. EYD gak diperhatiin, asal nulis alurnya berantakan. Asal apa yang terlihat dimataku enak yaudah that’s pretty okay.

Dan jujur, aku juga pengen bisa nulis serapih dan sebagus author lain dan aku gak bangga akan kekurangan ini :( (INI SEDIH BANGET YALUHAN!)

Tapi (halo ‘tapi’ kita bertemu lagi ehehehe) see…ada pembaca yang membaca. Dan tidak semua yang terlihat di mataku itu bagus untuk orang lain.

I want to ignore and pretend to not know what’s going on, but I have two eyes and a heart to feel. So, yeah, how can I pretend? Although, I’m a good pretender, to be honest.

Jadi, maafkan untuk segala kesalahan dalam teknik menulis atau alur cerita yang tidak sesuai dengan keinginan kalian. Atau tulisan yang sedikit rated-nya M, like really…I’m twenty years old and it’s possible to write something like that. And I just want to breakdown my philosophy on writing. Here you are:

 

Write whatever you want to write

If it’s not good enough, let it

If it’s not funny enough to make people laugh, keep going

If it’s not sad enough to make people cry, just keep trying

If it’s not pretty enough to make people happy, just keep write it down

Because in writing, you don’t have to impress anybody

You just want to tell a story

 

Ya, kurang lebih begitu (gangerti kalo itu grammar-nya parah). Jadi…aku selalu bilang sama orang-orang, “don’t expect too much” because I’m not the one who can fulfill your desire and expectation. Tapi, beneran deh ada beberapa kritik membangun yang bener-bener jadi pembelajaran. Aku bukannya sok pinter dan merasa paling bener. Aku selalu mengakui banyak kesalahan yang terjadi dalam penulisan dan trust me, aku gak pernah merasa payah kalau ada komen sedikit pedes kayak snack maicih(?). Aku pasti akan nerima itu sebagai masukan yang baik :) jadi terima kasih ya yang udah komen koreksi ehehehe xD

Dan sebenernya, ada banyak projek menulis yang terbengkalai, TAPI (aku cinta pada kata ‘tapi’ ini <3) aku GAK BISA BILANG bahwa I WILL GIVE UP ON ABOB!! NOOO, NOOO! I WON’T GIVE UP…ON…US, EVEN IF THE SKIES GET ROUGH~ *tiba-tiba Jason Mraz nyanyi di sampingku*

So, please wait and do support me :3

 

5. This December will be oh-so-cold. Hangukffindo is so so sooo cold without any fanfiction.

Walaupun aku kuliah dan kebanyakan kalian adalah anak SMP dan SMA, marilah kita pukul rata dan menerima kenyataan bahwa di bulan ini tugas akhir menumpuk dan….UAS ADA UAS YALUHAN!! Ada apa di bulan desember ini? /nyodorin mic ke penonton/ ADA UAS, KAKAK!!! T___T *lalu kita nangis bareng-bareng*

Ya, gapapa ya. Tetap semangat hap hap hap! Kita pasti bisa melewati ini semua. Tenang aja ehehehe xD Semangat ya belajarnya, jangan kebanyakan fangirling, tapi kalo udah selesai belajar…ya gapapa kalo mau fangirling. Ato boleh naro foto oppa di depan meja sambil belajar, ya mungkin bisa menambah semangat ahahahaha (kalo aku sih enggak bisa kayak gitu xD).

Jadi, mungkin desember ini blog hangukffindo akan sangat sepi dari fanfiction. Kalo ada drabble-drabble asing(?) yang masuk pun itu berarti sangat super  aku bisa nulis ditengah kesibukan yang menggila. Jadi, haruskah aku katakan…sampai jumpa taun depan? (ADUH KESANNYA KOK LAMA BANGET YA!) tenang, cuma satu bulan kok. Ehehehe xD

Dan aku pastikan, di tahun yang baru…Hangukffindo akan lebih baik dari yang sebelumnya. promise to you ._.v

 

6. THANKSEUUUUU~ <3 (>.<) (^.^) (*O*) <3

Yaps, ternyata jika kalian membaca benar-benar dan menyadari bahwa semua keluhan dan curhatan tentang menulis ini sebenarnya selalu diakhiri dengan kata terima kasih.

Menemukan banyak silent readers, aku bilang makasih masih ada yang mau baca. Di copy-paste dan di plagiatin, aku masih bilang makasih untuk yang udh ngasih tau. Menemukan orang kecewa akan fanfic-ku, aku pun masih bersyukur mereka mau baca fanfic-ku dan menyempatkan diri untuk komen.

Jadi…kesimpulannya adalah… /nyodorin mic ke Baekhyun/ GAMSAHAMNIDA! SEMUANYA HARUS DISYUKURI XD Percaya deh, gak akan ada habis-habisnya bilang makasih ke semua orang yang baca fanfic-ku dan berteman sama aku, bahkan di antaranya ada beberapa yang udah jadi temen deket dan mereka juga seorang penulis super kece dan ada juga pembaca yang lucu sampe nulis komen pun unik banget dan di twitter dia suka ngelucu xD

Walaupun menulis fanfic ada suka dukanya, percayalah, aku lebih banyak menerima yang manis daripada yang pahitnya ehehehe xD

THANKSEU THANKSEU THANKSEUUU~~

 

P.S: maaf ya kalo aku sampe nulis seperti ini. Sebenernya aku gak pengen, tapi you know, terkadang aku perlu juga mencurahkan isi hati. Dan kalo merasa tersinggung, well, berarti mungkin kamu adalah orang yang punya masalah denganku di point……/yak, isi sendiri aja ya/

So, thankseu thankseu and sorry sorry. Love love you so much! <3 See ya

 

KAISOO GIF FOR YOU <3 <3 <3


Pumped Up Kicks

$
0
0

image

Cast: Chanyeol [EXO-K]  || Genre: Slight! Sad, Romance, Band! AU || Rating: PG-16 (ahem!) ||Length: Drabble
Soundtrack: Foster the People – Pumped Up Kicks
Summary:
Chanyeol is just a member of rock band who falls in love with the blue-haired girl.

(a/n: a lot of typos. Sorry. I post this fic from my phone)

 

Ini bukan rencana jangka panjang milik Park Chanyeol ketika dia menemukan dirinya jatuh cinta pada gadis berambut biru itu.

Chanyeol hanyalah seorang anggota band rock yang mengisi posisi gitaris. Di mata setiap orang, musisi sepertinya hanyalah titik debu yang mengotori dunia dengan lagu-lagu penuh teriakan dan sumpah serapah. Tak heran jika kekasihnya dulu meninggalkan pria jangkung ini satu tahun yang lalu, karena tak ada alasan untuk tetap bersamanya.

Karena petikan gitar dan lirik lagu tak dapat menahannya berada di sisi Chanyeol selamanya.

Maka, kesendirian menghampiri kehidupan seorang Park Chanyeol. Sendiri adalah situasi yang bisa Chanyeol hadapi, karena pada kenyataannya dia mempunyai gitar kesayangan di sisinya. Cacian dan makian, perut yang lapar dan angin dingin menjadi keadaan yang dihadapi Chanyeol setiap kali dia berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya–bersama band rock-nya.

Tak mengapa semua itu terjadi padanya, karena Park Chanyeol berhasil menumpulkan hatinya, mematikan perasaannya, bersumpah tak akan pernah jatuh cinta lagi.

Itu benar.

Begitu benar hingga suatu hari Chanyeol menemukan dirinya jatuh cinta pada gadis berambut biru elektrik itu dan tak dapat mentolerir perasaan yang satu ini.

Love is complicated,” gumam Zitao, si bassist band. Sambil menghisap rokok terakhir malam itu, membiarkannya membumbung di udara dan menghilang. “Love is complicated and hard to understand.

Chanyeol menghabiskan birnya dalam satu tegukan dan meremas kalengnya. Memperhatikan kaleng itu remuk di tangannya, merasakan sesuatu berulah di dada.

“Jatuh cinta indah pada awalnya…” Zitao melanjutkan dan Chanyeol diam-diam menyetujuinya. “…dan menyakitkan di akhir cerita.” Haruskah Chanyeol menyetujuinya kali ini?

Hati manusia serapuh kaleng minuman dalam genggamannya. Cinta sempurna pada awalnya, membawa sejuta kenangan manis yang terkecap di hati dan Chanyeol menyukainya. Namun, entahlah…apa hati semua orang yang mencinta harus berakhir mengenaskan seperti ini? Dia tidak mengerti.

“Apa yang kau bicarakan?” Chanyeol terkekeh pelan. “Apa kau sedang berusaha menciptakan lagu baru untuk band kita?”

Zitao menggelengkan kepala. Tawanya terdengar ringan di bawah langit malam dan Zitao tahu Chanyeol sedang mencoba mengalihkan topik pembicaraan. Zitao tahu pria dengan tindikan di bibir dan alisnya jatuh cinta setengah mati pada gadis berambut biru elektrik yang mereka temui di bar kemarin.

“Aku sedang membicarakan fakta, kenyataan.”

“Oh ya? Aku tak menyangka kau sangat melankolis.” Chanyeol mendengus.

Yes, I am.” Zitao menyeringai. Satu hisapan panjang pada rokoknya, Zitao membuang puntungnya di jalanan yang basah akan gerimis. “Yes, I am, Park Chanyeol.”

Dan malam itu, Chanyeol melihat sebuah arti di mata Zitao yang memberitahunya untuk tidak jatuh cinta, namun sekaligus mengizinkannya untuk menanggapi perasaan yang kian parah itu.

 

_

 

Selain hanya seorang pemain gitar listrik di dalam band, jangan lupakan bahwa Park Chanyeol juga hanyalah seorang manusia biasa yang punya hati. Hati itu pernah terluka satu kali–begitu dalam–dan dia tidak ingin merasakannya lagi.

Tidak untuk yang kedua kalinya.

Maka, bukan salah Chanyeol jika dia tidak mengizinkan matanya bertemu pandang dengan gadis itu, tak rela ketika hidungnya menangkap aroma parfum yang berpadu dengan asap rokok dan alkohol–memenuhi paru-parunya, marah saat rambut biru elektrik itu terlalu mencolok di antara penonton, kesal dikala gadis itu tak menghilang dari pandangannya, malah menari mengikuti alunan musik rock yang mereka mainkan.

Tapi…

Menyesalkah Chanyeol ketika dia membiarkan dirinya lepas kendali, menarik tangan gadis itu, melewati kerumunan penonton dan membawanya ke belakang panggung?

Sadarkah Chanyeol ketika dia mendorong gadis itu ke dinding dan memenjarakannya dengan kedua tangan di sisi tubuh gadis itu?

Berdustakah dirinya saat dia bersumpah demi nama ibunya bahwa dia tidak akan membiarkan cinta membuatnya begini, namun dia mencium kasar bibir gadis itu sebelum terhanyut dalam satu ciuman yang cukup panjang, yang cukup membuat dadanya bergemuruh, yang cukup membuat darahnya berdesir di bawah pengaruh alkohol, yang cukup membuatnya kehabisan napas saat dia menjauhkan diri dari gadis itu?

Jawabannya adalah…

“Aku tak seharusnya begini,” gumam Chanyeol sambil menyisir rambut biru sang gadis, membiarkan jemarinya terkubur dalam setiap helaian.

“Kenapa?”

Mata gadis itu menatap wajah Chanyeol penuh tanya. Perpaduan antara rasa ingin tahu dan meminta pertanggung jawaban atas ciuman tadi yang membuat kakinya lemas tak bertulang.

Chanyeol menggelengkan kepalanya. Kini bibirnya kembali mencium gadis itu, bergerak perlahan di kulitnya, menjelajahi area wajahnya hingga bibir itu berhenti di lekukan lehernya dan Chanyeol tidak percaya semudah itu dia menendang semua kenangan-kenangan yang dulu dia miliki–menggantikannya dengan satu yang baru.

Satu yang begitu menarik dan diam-diam Chanyeol menaruh harapan seperti Juliet yang berharap kisahnya tak berakhir tragis bersama Romeo.

Bolehkah dia berharap begitu?

Chanyeol menyapukan ibu jarinya di sudut mata gadis itu. Meratakan eyeliner yang sedikit luntur akan keringat dan tersenyum.

“Namaku Park Chanyeol.”

 

Inilah cara Chanyeol memulai kembali kisahnya.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Zitao memperhatikan kedua orang itu dari balik dinding tipis bar yang mereka datangi. Dentuman musik terdengar, pesta baru saja dimulai.

Namaku Park Chanyeol.”

Zitao tak pernah melarang pria itu untuk jatuh cinta lagi. Siapa yang bisa? Tapi, satu hal ini tentu membuat Zitao bertanya-tanya selagi menghisap rokoknya dan mengamati langit di luar sana.

Bagaimana cara Park Chanyeol menghilangkan bayangan kekasihnya yang meninggal satu tahun lalu–dalam kecelakaan mobil sebelum menonton konsernya–dan jatuh cinta pada si gadis berambut biru elektrik ini?

Zitao tidak mengerti.

 

 

THE END

 

 

A/n:

Aaaaa ini seharusnya menjadi writing prompts! Asdfghjkl Acks! I miss youu so so so much, guys!

Dan kenapa tiba-tiba nulis ini? Hmm…kalo kalian tau sebuah rumor yang bersangkutan dengan PCY hari ini, yeah, idenya dari sana! HAHAHAHAHA

Sebenernya pengen ngomong banyak di a/n ini aaaa tapi nanti.lg deh ehehe

I’ll be back soon :)

Posted from WordPress for Android



14 Years Later

$
0
0

xiu xiu 3

Cast: Xiumin [EXO-M] & You [OC] || Genre: Friendship, Fluff, Romance || Rating: PG-13 || Length: >4000wc

Soundtrack: Dashboard Confessional – You Have Stolen My Heart

Summary:

“and after fourteen years…I still want to marry my bestfriend”

(a/n: thanks ‘Made of Honor’, you’re my inspiration to write this kkk)

*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*

“Hei, Baozi! Jangan marah lagi.”

“Apa pedulimu? Aku tidak marah.”

“Tapi mukamu merah.”

“Aku tidak marah!”

“Dan kau berteriak, itu berarti kau masih marah.”

Sudah tiga puluh menit kami seperti ini—berada dalam posisi tidur di lantai penuh mainan—sementara Xiumin ada di ranjang tingkat dua, tidak mau melihatku sama sekali.

Katakanlah kami sedang bertengkar. Aku merusak Mr. Hong Hong si robot favorit Xiumin. Karena, sejak ada Mr. Hong Hong, Xiumin jadi lebih sering bermain dengannya daripadaku. Bagi anak berumur sembilan tahun, tentu itu sangat menyebalkan, maka dengan sangat menyesal aku berpura-pura tidak sengaja menginjak lengannya sampai patah.

“Aku kan tidak sengaja menginjak tangan Mr. Hong Hong,” kataku untuk yang keduapuluh kali, dan Xiumin tetap tak mau mendengarkan. “Lagipula dia jelek,” lanjutku berbisik pelan.

“Aku dengar kau bilang dia jelek.” Ups, maaf.

Aku pun menghela napas lelah. Kalau dibiarkan terus menerus, bisa-bisa seharian ini kami tidak jadi bermain dan ibu akan muncul untuk menyuruhku tidur siang. Oke, itu tidak bisa terjadi. (kau tahu kan, anak kecil benci tidur siang).

Maka, aku pun beranjak dari lantai, memanjat tangga untuk mencapai ranjang tingkat dua di mana si gendut itu berada. Aku mengintip sedikit dan mendapati Xiumin sedang berbaring menatap plafon kamarnya, lalu dia menoleh padaku dan segera berbalik membelakangiku.

“Tuh ‘kan, kau masih marah.”

Diam sejenak.

“Baozi?” Aku mencolek punggungnya dan dia bergerak sedikit. Setelah itu, aku tahu Xiumin menangis. Itu terdengar dalam suaranya yang bergetar. Dia terisak.

“Mr. Hong Hong…”

Aku memutar kedua bola mataku sebal. Apa bagusnya robot warna hijau itu? Dia hanya bisa berbicara dua kalimat berulang-ulang kali, namun Xiumin menyukainya. Aku bisa mengucapkan beribu-ribu kalimat kalau dia mau dan sekarang Xiumin tak mau berteman denganku lagi.

“Xiumin…” Aku tidak tahu harus mengatakan apa. Oke, kuakui aku menyesal mematahkan lengan Mr. Hong Hong. “Maaf, tapi aku tidak bisa memperbaiki Mr. Hong Hong.” Hei, aku jadi mau menangis kalau begini caranya!

Xiumin menggelengkan kepalanya, masih tidak mau berbicara apa-apa, kecuali terisak, menyedot ingus, batuk-batuk dan menangis lagi.

Aku pun memutar otak untuk ini dan aku punya ide yang…entahlah, aku pernah melihatnya di drama yang kakakku tonton. Semoga cara ini berhasil membuat Xiumin berhenti menangisi Mr. Hong Hong. Karena, aku lebih rela Xiumin menangisi tanaman toge di kelas kami yang layu.

“Baiklah, aku akan menawarkan satu hal sebagai permintaan maafku,” kataku cukup serius.

Xiumin pun membalikkan badannya, kini dia menatapku dengan kedua matanya yang berair. “Apa itu?”

“Ini bukan makanan, oke?”

“Oke.” Xiumin mengangguk.

Aku menarik napas dan bilang, “Menikahlah denganku.”

Xiumin menaikkan alisnya. Oh, tidak! Ini buruk. Aku seharusnya tidak berkata ini, karena sebentar lagi Xiumin akan mendorongku ke belakang dan membiarkanku jatuh ke lantai, lalu aku akan bernasib sama dengan Mr. Hong Hong.

“Menikah?”

“Iya, menikah denganku,” ujarku enteng.

Xiumin berpikir sejenak, menggaruk pipinya sambil mengerutkan dahi. Ah, dia pasti akan menolakku.

“Memangnya…menikah itu apa?”

Oh.

Apa ya?

Selagi pertanyaan itu menggantung di udara, aku pun ikut berpikir. Membayangkan potongan adegan di drama itu. Umm…yang kuingat hanyalah si pria meminta si wanita untuk menikah dengannya, lalu dia menyematkan cincin di jemarinya, dan mereka saling—eh, tunggu! Tidak! Ini salah. Yang mengajak menikah itu prianya, bukan wanitanya. Dan aku PEREMPUAN!!

Tapi…

Sudahlah.

“Menikah itu…” Mataku bergerilya mencari sesuatu yang mirip cincin, tapi yang kutemukan hanyalah karet di sisi tempat tidur.

“Menikah itu…seperti ini. Pinjam tanganmu!” Aku mengambil tangan Xiumin, dan mengikatkan karet di jempolnya yang gendut. “Tada! Kita menikah!!”

Pada awalnya, Xiumin bingung setengah mati. Lalu setelah beberapa detik, senyuman merekah di wajahnya dan dia tertawa gembira. “Kita menikah! Yeay!”

“Iya, kita menikah! Horeee!!”

Yeah, kami menikah walaupun tidak tahu apa artinya saat itu. Lalu karena saking senangnya, aku melepas tanganku dari tangga dan jatuh ke belakang. Aww, itu rasanya sakit sekali, kau harus tahu. Aku kehilangan kesadaranku saat merasakan kepalaku terantuk sesuatu yang ternyata Mr. Hong Hong (wow, Mr. Hong Hong, kau sangat membenciku)

Tapi, tak mengapa.

Aku dibawa ke rumah sakit  hari itu dan orang pertama yang kulihat adalah Xiumin saat membuka mata.

“Cherry, kau tidak apa-apa?”

Yeah, aku pusing.”

Xiumin mendekatkan wajahnya padaku, dia berbisik. “Cherry, kata ibu, kita tidak boleh menikah di umur sembilan tahun ini. Kita masih anak-anak. Tapi, tenang saja, aku tetap sahabatmu.”

Kau tahu, saat itu tanganku sakit karena ada jarum infus yang menusuk dagingku, kepalaku sakit bukan main, rasanya ada planet mars sedang duduk di atas kepalaku. Namun, melihat Xiumin tersenyum dan dia mau berbicara lagi denganku, aku merasa kepalaku ringan dan Xiumin adalah teman terbaik yang kumiliki

 .

.

.

.

.

.

.

.

.

14 tahun kemudian…

.

.

.

.

.

.

.

.

.

 

“Hei, Cherry! Jangan marah lagi.”

“Apa pedulimu? Aku tidak marah.”

“Tapi kau tidak mau berbicara denganku sedari tadi.”

“Aku tidak marah!”

“Dan kau berteriak, itu berarti kau masih marah.”

Empat belas tahun berlalu dan kami bukanlah anak kecil yang suka bermain rumah-rumahan di kamar Xiumin. Kenyataan menunjukkan bahwa kami sudah berumur 23 tahun dan Xiumin pulang dari Amerika setelah menyelesaikan kuliahnya di sana.

Aku merindukannya, tentu. Aku hidup sekitar empat tahun tanpa seorang sahabat dan sesungguhnya kau pasti berpikir mengapa saat dia kembali, aku malah marah-marah dengannya. Biar kujelaskan alasannya di bulan Desember yang dingin ini.

Bagaimana rasanya saat kau merindukan sahabatmu dan ketika dia pulang, dia membawa berita yang tidak enak terdengar di telingamu? Sangat, sangat, sangat, super duper sangat TIDAK MENYENANGKAN!

“Tentu aku marah!” pekikku dengan nada tinggi. “Kau mau menikah dan kau baru memberitahuku saat sampai di sini?! Kau bisa menghubungiku lewat telepon atau…atau email. Kau—“ aku kehilangan kata-kata. “—menyebalkan.”

Xiumin tersenyum padaku. Kami sedang berada di trotoar dalam cuaca dingin bulan Desember. Konyol adalah saat dia masih bisa tersenyum di udara sedingin ini, lalu dia memberitahu berita itu…rasanya, ada komet yang jatuh di kepalaku.

“Aku mau memberitahumu.”

“Lalu?”

Pria berumur 23 tahun itu menghembuskan napas. “Tapi aku merasa tidak siap.”

Aku mendengus, memutar kedua bola mataku karena dibuat kesal oleh tingkahnya. “Kau konyol, Baozi! Apanya yang membuatmu tidak siap memberitahuku? Aku sahabatmu! Kau bahkan menceritakan rahasia-paling-rahasia di hidupmu. Kau pernah pup di celana dan kau menceritakannya padaku. Kau pernah pipis di kamar mandi wanita dan kau menceritakannya padaku. Bahkan sampai mimpi—“

Xiumin menutup mulutku untuk tidak membuka aibnya yang terdalam. Kini semua orang melihati kami.

“Kau berisik sekali, Nona Cherry.” Xiumin tertawa.

“Biar saja! Aku marah karena kau idiot.”

“Aku memberitahumu, pada akhirnya.”

Pada akhirnya, yeah.

Aku mengambil satu langkah menjauh darinya, tidak berbicara padanya selama sekitar dua menit.

Tidak ada satu sel di otakku yang mengerti apa yang dipikirkan Xiumin. Well, sesungguhnya, aku jauh lebih tidak mengerti mengapa setelah bertahun-tahun aku tidak bisa mengusir perasaan ini. Perasaan yang membuat jantungku berdetak kencang saat Xiumin berada di sampingku, yang menciptakan rona merah merayapi kulit wajahku, yang membuatku tidak bisa tidur hampir setiap malam dan aku merasakannya sejak kami duduk di bangku SMA. Aku…

Jatuh cinta pada sahabatku sendiri.

Yeah.

Saat dia pergi ke Amerika, seluruh saraf di tubuhku bersorak kegirangan. Aku pikir empat tahun tanpanya akan membuatku pergi mencari pacar dan jatuh cinta pada orang lain. Namun, aku salah.

Empat tahun tanpa Xiumin adalah masa-masa terburuk dalam hidupku dan aku tak mau merasakannya lagi. Tapi setelah kepulangannya, berita itu, well, aku tidak tahu bagaimana hidupku setelah ini.

“Cherry, apa ini bagus?” Xiumin membuyarkan lamunanku. Dia menunjuk sebuah kaus kaki bermotif rusa warna abu-abu di etalase toko. “Kau mau membeli kaus kaki? Buat apa? Bukankah kau punya banyak di rumah?” kataku penasaran.

“Untuk pernikahanku.”

“Pfftt.” Aku menyemburkan tawaku. “Apa kau bercanda? Kau mau memakai benda itu ke pernikahanmu?! Xiumin, please.”

Matanya menelusuri kaus kaki itu. “Apanya yang buruk dari kaus kaki ini?”

Aku langsung menyambarnya dan mengambilkan kaus kaki berwarna hitam dengan motif sederhana. “Ini baru bagus. Kau payah.”

“Kau selalu tahu seleraku.” Dia tersenyum. Ugh, aku benci setiap kali dia melakukannya! “Hei, Cherry. Bagaimana kalau kau menemaniku berbelanja kebutuhan pernikahanku hari ini. Ah, aku baru memesan jas dan…” Dia menghela napas. “Aku tidak tahu yang lainnya.”

Oh, kenapa kau tidak meminta calon istrimu untuk menemanimu dan tinggalkan saja sahabatmu yang satu ini? Ya, tinggalkan saja.

Aku tidak yakin apakah ini yang kuinginkan, karena…seharusnya aku merusak rencana itu. Aku ingin merusak rencana pernikahannya agar Xiumin tidak jadi menikah, tapi entahlah, aku melihat Xiumin tersenyum senang dan hatiku tak tega menghapus senyuman itu dari wajahnya. Jadi…

“Oke,” gumamku melihat ke arah lain. Aku tahu aku akan menyesali ini semua nantinya.

“Kau mau menemaniku?”

Aku mengangguk.

Thank you,” ujarnya seraya merangkulku dan kami berjalan lagi.

Kami berjalan dan berjalan, membeli jajanan di pinggir jalan. Lalu kami memasuki toko kemeja. Aku memilihkan kemeja putih untuknya, mengunyah kenyataan bahwa Xiumin begitu tampan saat memakainya. Dia pernah memakai kemeja putih saat prom night, tapi saat itu dia hanyalah seorang remaja tambun yang kikuk dan aku tetap menyukainya.

Kemudian kami pergi ke toko sepatu. Aku memilihkan sepatu pantofel hitam yang mengkilap.

“Nomor 42,” ujar Xiumin pada sang pelayan toko.

“Nomor 41 setengah,” koreksiku. Aku menatapnya yang kebingungan. “Nomor 42 selalu kebesaran untukmu, nomor 41 terlalu sempit untukmu.”

Kata-kataku terbukti benar saat Xiumin mencoba kedua sepatu itu. Dia tersenyum senang padaku. “Kau tahu yang terbaik untukku.”

Hanya bisa bersedekap tangan, aku berujar. “Tentu.” Ya, tentu. Aku mengenalmu sepanjang hidupku. Bagaimana tidak?

Lalu kami membeli beberapa dasi. Kuakui Xiumin punya selera fashion yang cukup parah. Dia tidak tahu bagaimana memadukan motif yang satu dengan yang lainnya. Semuanya bertabrakan dan beruntunglah, Baozi, kau punya sahabat sepertiku. Aku segera mengambil beberapa dasi dengan corak garis-garis dan kotak-kota, lalu aku menarik dasi bermotif rusa dari tangannya.

“Tapi—“

Nope, Xiumin.” Aku bersikeras. “Ada apa dengan motif rusa, huh?”

Xiumin mengangkat bahu dan kami membayar dasi itu di kasir.

Tujuan terakhir kami adalah toko jas pernikahan Xiumin. Seseorang bernama Byun Baekhyun—perancangnya—datang menyambut kami di pintu. “Tuan Xiumin. Yang memesan jas hitam untuk pernikahannya. Am I right?”

“Ya, itu aku.” Xiumin membalas dengan senyuman mengembang di wajah.

Come, come, come here, “ senandung Baekhyun memanggil kami untuk masuk ke dalam toko.

Sejauh mataku memandang, yang kutemui hanyalah jas, jas, jas, jas, dan jas. Dimulai dari jas kasual, jas formal, jas bermotif macan (apa?), jas bermotif bunga-bunga (ugh, ya ampun), jas berhiaskan manik-manik, sampai di ujung etalase aku menemukan jas yang penuh lampu natal. Oh my God.

Aku rasa, aku terlalu asyik melihati koleksi jas butik Byun Baekhyun sampai aku tidak sadar bahwa sedari tadi, Xiumin tidak bersamaku dan di menit berikutnya, aku menemukan dia berdiri di tengah-tengah tangga, memanggil namaku hingga aku menoleh padanya.

“Cherry, lihat aku!”

Aku memalingkan pandanganku dari jas ‘uang dollar’ dan melihat sosok itu.

Wow.

Mataku mengerjap beberapa kali. Bukan karena ada debu yang masuk, tapi…pria ini—well, sahabatku ini…

“Bagaimana?”

Tidak ada yang spesial dari jas itu. Potongannya biasa saja. Warnanya hitam polos, begitu pas di tubuh Xiumin yang tidak lagi gempal. Dengan kemeja putih yang kupilihkan tadi, dasi kupu-kupu, dipadu padankan dengan celana dari bahan sutera warna hitam yang melekat di kedua kakinya terlihat begitu sempurna.

Tanpa kusadari, aku menaiki anak tangga satu persatu—menghampirinya.

Tanganku perlahan terulur membetulkan dasinya yang miring. Tangan ini otomatis meluncur ke lehernya, mendarat di dadanya sembari merapikan kerutan di sana dan aku bertanya dalam hati, mengapa kau tidak jatuh cinta padaku? Mengapa, Baozi? Mengapa?

“Aku memakai kaus kakinya juga.”

“A-apa?”

Xiumin nyengir dengan sangat lebar dan menarik celana panjangnya untuk menunjukkan kaus kaki pilihanku yang tadi kami beli. “Oh, ya.” Aku tertawa kecil. “Apa kubilang, kaus kaki itu bagus bukan?”

Yeah, thanks, Cherry. You’re the best.”

Aku yang terbaik? Mengapa kau tidak bisa menjadikanku yang terbaik di hidupmu juga? Mengapa dia?

“Umm…apa kau calon istrinya?” sebuah suara masuk ke dalam pembicaraan kami. Aku berbalik, Byun Baekhyun sedang berdiri dengan tangan di pinggang dan dia tersenyum ramah pada kami.

Aku baru saja ingin menjawab pertanyaan itu, namun Xiumin lebih cepat, “Bukan. Dia…” Xiumin berhenti untuk menatapku. Lalu dia merangkulku erat. “Dia sahabatku. Sahabat terbaik di dunia.”

Jika kami masih berumur 12 tahun, mungkin kalimat tadi bisa membuatku terbang ke lapisan langit paling atas, namun kali ini…kalimat itu terdengar bagai angin lalu—tidak lagi mempan.

Karena…

Aku tidak ingin menjadi sekedar sahabat baginya.

“Tapi kalian cocok, kau tahu itu?”

Oh, andaikan begitu kenyataannya, Byun Baekhyun.

 

***

Aku tidak tahu apa yang kupikirkan saat hari Sabtu, lagi-lagi aku mengatakan ‘oke’ untuk kesekian kalinya atas permintaan Xiumin.

Ada apa denganmu, Cherry? Mengapa kau begini?!!

Aku protes pada diriku sendiri, mempertanyakan mengapa aku harus bingung memilih dress di tempat tidurku. Aku sudah berdiri di depan cermin sekitar satu jam setelah mendapatkan telepon dari Xiumin. Ini bukan kencan, ini bukan kencan.

Aku ingin memperkenalkanmu dengan Cathlyn. Bagaimana jika kita bertiga makan siang bersama?

Oke.

Bisa tolong jelaskan mengapa aku harus berkata ‘oke’ semudah itu? Hatiku tidak menginginkannya. Aku belum siap menerima kenyataan bahwa sebentar lagi Xiumin akan menghabiskan sepanjang hidupnya bersama wanita ini.

Oh, ini benar-benar menyakiti hatiku.

Aku juga tidak paham bagaimana bisa aku duduk di sana—restoran perancis, menatap kedua orang itu saling memandang satu sama lain dengan tangan bertautan. Senyuman manis tidak pernah luntur dari wajah Xiumin, begitu juga dengan Cathlyn—si wanita berambut merah burgundy. Ugh.

Aku pikir, aku tidak akan pernah bertemu Mr. Hong Hong ‘kedua’ di kehidupanku selanjutnya setelah aku memberinya sedikit pelajaran. Bagaimana aku benci pada robot itu, dan sekarang ada ‘kembarannya’! Yang satu ini bedanya bisa berbicara lebih banyak, bisa berdandan, jenis kelaminnya wanita, dan Xiumin jatuh cinta padanya setengah mati.

Dan yang terparah adalah…aku tidak bisa menginjak tangannya hingga patah. Sial.

“Kau Cherry, teman Xiu—“

“Sahabat,” koreksiku cepat. “Sahabat terbaik yang Xiumin miliki di dunia,” lanjutku lagi sambil menyesap cocktail.

“Ah, ya. Sahabat terbaik.” Dia tersenyum, kemudian bersandar di bahu Xiumin. “Dan aku Cathlyn, wanita paling beruntung di dunia karena aku memiliki Xiumin. Iya kan, honey?”

‘Honey’?? Panggilan ‘Baozi’ku lebih baik dari itu!!

Aku benci wanita ini. Aku benci bagaimana dia bermanja-manja pada Xiumin, bergelayutan di lengannya bagai monyet kecil yang meminta diberi perhatian. Oke, kuakui Mr. Hong Hong lebih baik darinya, 100 persen lebih baik!

Tak lama kemudian, pelayan datang dan memberikan kami menu makanan. Entah apa yang merasukiku, tiba-tiba aku merasa kelaparan dan memesan begitu banyak makanan. Aku bahkan tidak peduli jika aku hanya membawa beberapa lembar uang di dompetku. Aku tidak peduli!

“Kau mau makan apa, honey?”

“Umm…entahlah, terlalu banyak makanan di sini.” Xiumin menggumam pelan. “Aku bingung.”

Lalu dengan tidak sopannya, Mr. Hong Hong versi wanita ini merebut buku menu dari tangan Xiumin dan membalik halamannya cepat. “Bagaimana dengan…umm…kepiting—“

“Tidak.”

“Tidak!”

Aku dan Xiumin bersamaan menolaknya. Wanita itu pun menatap kami bingung. “Umm…kenapa tidak?”

“Xiumin alergi kepiting. Dia tidak bisa makan apa pun yang mengandung daging kepiting,” jelasku.

Cathlyn membulatkan mulutnya dan mengangguk. Dia membalik halaman buku menu lagi, menunjuk satu gambar piring penuh escargot. “Pesan yang ini saja—“

“Tidak.”

“Tidak!”

Aku bisa melihat wajah Cathlyn cemberut akan pernyataan kami yang lagi-lagi menolak pilihannya. “Apa lagi sekarang?”

“Xiumin punya kenangan buruk memakan benda itu. Dia trauma. Hei…” aku menyadari sesuatu. “Apa kau tahu apa saja yang boleh Xiumin makan dan yang tidak?”

“Ya, tentu saja,” balas Cathlyn mengangkat dagunya tinggi-tinggi. “Aku calon istrinya. Aku tentu tahu apa yang terbaik untuk Xiumin.” Oh, benarkah kau tahu, Nona Hong Hong?!

“Apa kau tahu apa minuman soda kesukaan Xiumin?” tanyaku menantangnya.

“Umm…coca cola!”

“Salah!”

“Apa? Semua orang minum coca cola!”

“Xiumin suka pepsi. Kau saja yang tidak tahu! Apa kau tahu rasa es krim favorit Xiumin?”

“Cokelat?”

“Salah! Mint.”

“A-apa?? Tapi—“

“Apa kau tahu bagaimana cara Xiumin makan wafer?”

“Hahaha…apa kau berusaha membodohiku? Tentu saja dengan mengigitnya!”

“Salah! Xiumin selalu membuka lapis per lapisan, lalu memakannya satu persatu. Ha-ha-ha!”

“Jawaban macam apa itu?! Kau mengada-ada, Cherry!”

“Tidak, itu memang benar!”

Girls, girls!!” Xiumin menaruh buku menu di antara wajah kami, tidak sadar kami telah berteriak kencang-kencang, dan semua orang kini menatap kami seakan dua wanita ini benar-benar sudah kehilangan akal sehatnya.

Girls…” Xiumin menatap kami tidak percaya dengan kedua matanya. “Hentikan, oke?” dia bertanya dengan sangat perlahan-lahan hingga keadaan mulai membaik, aku menyandarkan tubuhku ke belakang, begitu juga dengan Cathlyn.

Xiumin menghela napas lega. “Aku pesan croissant keju saja, terima kasih.”

Aku membuang wajah setelah itu. Aku sedikit terluka setelah menemukan kenyataan ini.

Wanita ini tidak tahu apa-apa tentang Xiumin.

Nothing. She knows nothing!

Delapan bulan tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan belasan tahun! Aku telah mengenal Baozi-ku selama berbelas-belas tahun dan dia—wanita—ini tahu apa?

“Buka mulutmu, honey. Aaaa…” Xiumin melahap potongan croissant keju yang diberikan Cathlyn dengan senang.

Kau tahu apa tentang Xiumin? Aku lebih mengenalnya.

(Lalu aku berakhir pergi ke kamar mandi hari itu dan pulang dengan perut yang sakit luar biasa. Aku tidak akan pernah makan sebanyak itu lagi. Never.)

 

***

“Halo.”

“Ya?”

“Kau tidak mau membiarkanku masuk?”

“Tidak.”

“Cherry, buka jendelanya.”

“Tidak mau.”

“Oh ayolah, aku kedinginan.”

Xiumin terkadang bisa juga menjadi peganggu nomor satu di hidupku. Dia datang di saat yang paling tidak tepat kali ini (yeah, datang di saat aku sedang memikirkan rencana untuk menggagalkan pernikahannya dua hari lagi).

Xiumin mengetuk kacaku beberapa kali dan akhirnya aku bergerak dari tempat tidur dengan geraman. “Apa yang kau inginkan?” tanyaku galak setelah membuka jendela.

Fiuh…akhirnya kau mau membukakan jendelamu. Kau tahu di luar sini sangat dingin!”

“Siapa suruh datang? Demi Tuhan, ini pukul satu dini hari, Baozi.”

“Kau pernah datang ke rumahku pukul tiga dini hari dan aku tidak protes,” ugh, sial. Kenapa kau mengingatnya? “Kenapa kau jadi galak seperti ini?” ujar Xiumin seraya kami duduk di tepi jendela. Sinar rembulan menempa kulitnya yang putih, aku ingin menyentuhnya. Astaga, apa yang kupikirkan?!

Dia menelengkan kepalanya, mata penuh tanya. “Cherry?”

“Apa kau ingat saat ibumu memperkenalkan kita di taman waktu itu?”

“Oh.” Xiumin pasti tidak menyangka pertanyaan itu keluar dari mulutku. Percayalah, aku juga tidak tahu apa yang sedang kubicarakan. Dia tertawa.  “Ya, tentu saja. Kita berumur enam tahun dan kau memberikanku permen, lalu saat ibuku datang dari toilet, kau menangis. Kau bilang aku mengambil permenmu dan kau minta dibelikan es krim sebagai gantinya.”

“Oh yeah, aku ingat kejadian itu. Aku cukup pintar, bukan?”

“Kau culas, oke?” kata Xiumin setengah tertawa, mendorong kepalaku menggunakan telunjuknya. “Aku selalu jadi korban.”

“Kau juga pernah menjepit tanganku di pintu,” tudingku.

“Itu tidak sengaja.”

Kudorong kepalanya sebagai balasan. “Siapa yang tahu itu sengaja atau tidak. Kau hanya bocah ingusan berumur tujuh tahun.”

“Apa kau meragukanku?” Xiumin merengkuh pinggangku agar mendekat ke arahnya, agar dia bisa menggelitiki leherku dan beberapa titik lainnya yang membuatku mati kutu di tangannya. “Katakan lagi, Cherry! Katakan kau meragukanku.”

“Tolong, tolong, hentikan. Oke, oke! Aku tidak meragukanmu—“ aku menjauhkan tangannya dari tubuhku dan kami berdua tertawa hingga kehabisan napas. Hei, kapan terakhir kali kami seperti ini? Merasa senang, tertawa lepas, kami…kami bahagia. Iya, bahagia.

Mata Xiumin memancarkan kebahagiaan yang telah lama tidak kulihat. Tidak terlihat bahkan ketika bersama Cathlyn. Katakan aku salah, katakan aku salah lihat.

Tiga puluh menit ke depannya, kami berdua bercerita tentang masa kecil kami. Bernostalgia tentang donat, tentang mainan roller coaster, tentang perosotan, tentang es krim yang kami buat dari tanah (dan Xiumin dengan polosnya menjilat es krim itu, kami pun kena marah), sampai pada topik Mr. Hong Hong si robot hijau itu.

“Apa kau ingat Mr. Hong Hong?”

“Ha! Mana mungkin aku melupakannya. Dia meninggalkan tujuh jahitan di kepalaku,” kataku seraya mengusap bagian belakang kepalaku. Memori menyakitkan itu menghantamku kembali.

“Oh ya, kau jatuh dari tempat tidur dan menimpa Mr. Hong Hong. Itu karena kau jahat padanya. Coba, aku lihat.” Dia memutar tubuhku hingga membelakanginya, lalu Xiumin mencari bekas jahitan itu.

“Aku tidak jahat padanya,” sanggahku. “Aku…tidak sengaja menginjaknya.”

“Oh ya? Benarkah?”

Tentu saja tidak benar! “Benar.”

Xiumin menggumam sesuatu tak jelas di belakangku dan aku tahu, mungkin ini waktunya aku jujur padanya.

“Baiklah, aku sengaja menginjak tangannya,” aku mengakui setelah bertahun-tahun. “Aku sebal kau selalu bermain dengannya, sementara kau membiarkanku bermain sendirian. Setiap ada mainan baru, kau selalu seperti itu.”

“Aku? Seperti itu?”

Yeah, kau tidak menyadarinya ‘kan?” kataku jengkel. “Padahal apa bagusnya robot itu? Dia tidak punya kemampuan khusus. Warnanya hanya itu-itu saja. Oh oke, baiklah, dia mungkin bagus, hebat. Tapi apa yang dia ketahui tentangmu? Dia tidak tahu kau alergi apa, dia tidak tahu makanan apa yang boleh kau makan atau tidak boleh kau makan, dia tidak tahu minuman kesukaanmu, es krim favoritmu, caramu makan wafer. Apa yang dia tahu? Kenapa kau menyukainya? Ah ya, dia cantik. Rambutnya panjang dan dia bisa berdandan—“

“Cherry?”

“Ya?”

Aku berbalik menghadapnya kembali. Kulihat alis Xiumin terangkat tinggi, wajahnya penuh tanda tanya kasat mata.

“Mr. Hong Hong…cantik? Rambut panjang…bisa berdandan—“

Lalu aku tidak mengijinkan Xiumin berbicara lebih banyak lagi, maka aku menarik wajahnya mendekat ke arahku dan menciumnya.

Rasanya ada jutaan kembang api meledak di balik pelupuk mataku, rasanya ada smoothies stroberi menari-nari di lidahku—memberikan sebuah sensasi luar biasa yang tak pernah kurasakan sebelumnya.

Rasanya sakit, rasanya senang, rasanya bahagia, rasanya sedih. Aku tidak mengerti saat mencium Xiumin mungkin adalah hal terbaik yang pernah terjadi dalam hidupku, namun juga meninggalkan jejak luka mendalam di dada. Air mataku turun saat bibirnya bergerak dan dia menciumku balik.

He kisses me back.

Dia menciumku balik, dia memegang tengkukku dan memiringkan kepalanya agar mendapatkan angle yang baik untuk menciumku lebih dalam, lebih manis, lebih dapat dikenang.

Aku mencintaimu.

Aku mencintaimu.

Aku mencintaimu.

“Aku mencintaimu…” bibirku menggumamkan kalimat itu. Detik itu juga kami kembali ke kenyataan dan napas Xiumin menerpa wajahku. Matanya setengah terbuka, bibirnya begitu dekat denganku.

“Aku…Cherry, aku…”

“Aku mencintaimu, Baozi.”

Dia menggelengkan kepalanya, berbisik, “Aku akan menikah, Cherry.”

Lalu kenapa kau berbalik menciumku? Apa artinya, Baozi? Apa?

Dengan sentuhan bibirnya di dahiku, aku memejamkan mata dan membukanya beberapa detik kemudian.

Xiumin telah menghilang.

 

***

Hari ini…

Ya, hari ini.

Aku akan kehilangan sahabat sekaligus cinta dalam hidupku untuk selamanya.

Bukan karena Xiumin akan pergi perang dan semua orang tahu dia akan pulang dengan luka tembak di mana-mana, dan nyawanya telah pergi entah ke mana.

Namun, lebih tepatnya hari ini Xiumin akan menikahi Cathlyn dan pergi selamanya dari hidupku. Aku berharap aku dapat menghapusnya semudah aku menghapus goresan pensil di kertas. Andai semudah itu, mungkin aku sudah melupakannya dari dulu.

Mungkin kami tidak perlu berciuman di malam itu dan hati ini semakin berat melepasnya.

Pagi itu aku datang ke rumah Xiumin. Aku tahu tak ada cara untuk membatalkan pernikahannya, kecuali jika aku cukup sadis dengan menculik dan membunuh si pengantin wanitanya. Well, aku tidak sesadis itu.

Aku menaiki tangga menuju kamarnya di lantai dua, kulihat pintu kamarnya sedikit terbuka dan aku menarik napas sebelum masuk.

“Baozi?” panggilku pelan.

“Cherry?” Xiumin muncul dari balik pintu lemarinya. Rambutnya sangat berantakan walaupun jas dan segala macamnya telah melekat di tubuh itu. “Cherry, kau…”

Aku tersenyum tipis. “Aku hanya ingin melihat sahabatku untuk yang terakhir kalinya. Boleh aku masuk?”

Xiumin memutar bola matanya. “Aku hanya akan menikah, aku tidak mati, oke? Masuklah, Cherry.”

Kau memang tidak mati, tapi hatiku yang mati.

Aku melangkahkan kaki ke sana. Tidak yakin dengan suasana kamarnya yang begitu berantakan. Ada beberapa kemeja di tempat tidur, celana panjang, jas, kaus, bahkan pakaian dalam dan odol ada di sana.

“Xiumin, apa kau baik-baik saja?” tanyaku menatapnya bolak-balik masuk kamar mandi dan keluar lagi. Dia terlihat linglung.

“Apa? Ya, ya, ya, aku baik-baik saja.”

“Tapi kau terlihat tidak baik-baik saja.”

“Oh ya? Tapi…aku merasa sangat baik.”

Aku menggelengkan kepala. “Aku tahu dirimu. Aku mengenalmu, kau berbohong padaku.”

Xiumin berhenti di tempatnya, menatapku tak percaya. “Apa katamu?”

“Jangan bohong padaku, Bao—“

“Berhenti bicara seperti semua ini terasa salah, Cherry! Ini hari pentingku, hari pernikahanku! Jangan merusaknya!”

Aku pun beranjak dari tempat tidur dan mendekatinya. “Aku tidak berusaha merusaknya, tapi aku tahu kau tidak merasa baik dengan semua ini!”

“Kau selalu sok tahu, seolah kau tahu semua tentangku. Maaf, Cherry, kau memang selalu tahu bagaimana perasaanku, tapi kali ini kau salah.” Xiumin menunjuk dadanya sendiri. “Aku bahagia. Aku akan menikahi Cathlyn dan aku bahagia. Ini adalah hari yang kutunggu.”

Bullshit!” teriakku di depan wajahnya. “Jangan coba-coba berbohong padaku, Xiumin! Dan—“ aku berhenti bicara. Aku melihat kemejanya, dasi itu, sepatunya, kaus kakinya. Bukan yang kemarin kupilihkan untuknya. “—kau bahkan tidak memakai kemeja yang kemarin kita beli…”

“Tentu saja. Ini pilihan Cathlyn dan aku memakainya, karena dia calon istriku!”

“AKU BENCI PADAMU!” dengan itu kudorong tubuhnya dan berlari keluar kamar.

Aku tidak peduli ada beberapa orang yang melihatiku, mungkin riasan wajahku sudah luntur, rambutku berantakan, air mata ada di mana-mana. Aku tidak peduli! Hatiku lebih hancur, hancur berkeping-keping dan tebak siapa yang membuatnya jadi begini.

Xiumin.

Ya, dia.

“Cherry, Cherry!” kudengar suaranya memanggilku dari belakang. Aku berjalan cepat di pekarangan luas milik Xiumin. Agak sedikit susah dengan dress ini dan sepatu hak tinggi, memudahkan Xiumin dengan cepat menggapai tanganku. “Berhenti!”

“Apa maumu?!” jeritku menghempaskan tangannya. “Apa maumu, hah? Kau akan menikah dan oke, aku membiarkannya! Dan aku membencimu!”

“Kau tidak bisa membenciku!”

“Apa? Apa alasannya, hah?” kini aku berkacak pinggang di hadapannya. “Aku boleh membencimu seumur hidupku. Itu terserah padaku!”

“Kau sahabatku! Kau tidak bisa membenciku!” balas Xiumin.

Sahabat? Sahabat tidak boleh saling membenci? Dia yang membuatku seperti ini! Tidak sadarkah dia bahwa tingkahnya, keputusannya membuatku jengah dan aku membencinya hingga aku mati?! “Aku bukan sahabatmu lagi. Kalau kau sahabatku, kau pasti akan memakai kemeja, dasi, kaus kaki yang aku pilihkan untukmu.” Konyol, konyol. Cherry, ini konyol.

Lalu Xiumin tiba-tiba membuka jasnya, membuka dasinya, membuangnya ke tanah, membuka kancing kemeja abu-abu super jelek itu, meninggalkannya dengan kaus oblong yang melekat di tubuh. Dia membuka sepatunya, melepaskan kaus kaki warna merah pilihan Cathlyn.

“Aku melepaskan semuanya. Lihat? Kau tidak bisa membenciku—“

“Aku tetap membencimu.”

Shit, Cherry!! Apa maumu sekarang?”

Aku melihat Cathlyn berdiri tak jauh dari tempat kami berada dan aku menggelengkan kepala. Sudah. Semuanya sudah berakhir, Cherry.

“Lupakan, Baozi.” Aku berbalik dan kembali berjalan menjauh darinya.

“Kau marah padaku?” tanya Xiumin setengah berteriak. Aku melambaikan tangan padanya, satu tangan menekan mulutku untuk tidak menangis lebih kencang.

“Cherry, berhenti di sana!” aku pun berhenti. Dasar bodoh, jalan!  “Aku akan menawarkan satu hal padamu.”

 

Hei, aku pernah dengar kalimat itu sebelumnya.

 

14 tahun yang lalu…

 

Aku melihatnya di drama yang kakakku tonton.

 

“Menikahlah denganku.”

 

Kurasa dia mengatakannya terlalu keras, aku bisa melihat semua petugas beserta keluarga Xiumin berhenti di tempatnya, bahkan tak jauh dari sana ada Cathlyn yang menjatuhkan gelas champagne-nya.

 

Apa?

 

Menikah?

 

Aku berbalik padanya dan Xiumin berdiri di sana dengan mata berkaca-kaca.

“Aku jatuh cinta padamu. Ya, aku berbohong, aku berbohong dan sial, bagaimana bisa kau mengetahuinya, Cherry?”

Dia mengambil satu langkah mendekatiku.

“Aku jatuh cinta padamu dari dulu, tapi kau tidak pernah menyadarinya. Aku pikir ini sedikit ironis bagaimana aku jatuh cinta pada sahabatku sendiri dan mengira kau hanya menganggapku sebatas itu saja.”

Satu langkah lagi dia ambil.

“Kau kira aku ingin pergi ke Amerika? Tidak, Cherry. Aku tidak pernah menginginkannya. Tapi, menghabiskan hari bersamamu, bersamamu yang tidak bisa kumiliki…buat apa? Itu membuatku semakin sedih dan kukira empat tahun cukup untuk membuatku melupakanmu. Tapi…aku tidak bisa. Damn, Cherry. Kau sulit dilupakan.”

Sekali lagi dia melangkahkan kakinya.

“Aku pikir ini jalan terbaik, Cherry. Aku menikah dengan orang lain dan kuharap hatiku bisa berhenti tersakiti.”

Satu langkah dan dia sampai di depanku. Dia menangkup wajahku yang basah akan air mata, menyapukan ciuman kedua kami dan berbisik, “Aku baru saja hendak memulai lembaran baru dalam hidupku, Cherry. Lalu kau bilang kau mencintaiku…”

“Ya, aku mencintaimu,” isakku pelan. “Aku mencintaimu. Aku sangat mencintaimu.”

Ini ciuman ketiga sepanjang yang kuingat. Well, mungkin lebih, karena Xiumin tidak berhenti melakukannya sampai kami merasa dunia berhenti berputar dan mengosongkan isinya hanya untuk kami berdua.

“Kau pernah memintaku untuk menikah waktu umur kita sembilan tahun. Kini…biarkan aku yang memintanya. Cherry…” Xiumin meraih tanganku, dan menyematkan cincin yang seharusnya teruntuk Cathlyn.

“Maukah kau menikah denganku?”

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Dan setelah empat belas tahun berlalu…aku tetap ingin menikahi sahabatku sendiri.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

“Ya.”

 

 

 

-THE END-

a/n:

harusnya tidak sepanjang ini, teman-teman #growling #awooo (/.\)

hah, sudahlah.

Aku sebenernya lagi males nulis fic dengan latar korea, dan ini aku buat jadi semacam orific, tapi…apa daya Xiumin menempel di kepalaku belakangan ini hahaha xD

AND I TELL YOU FOR THE FIRST TIME THAT CHERRY-XIUMIN IS THE NEW OFFICIAL COUPLE AFTER LAY-APPLE KKKK XD (dan kenapa harus nama buah-buahan, yaluhan -_-)

Ya, dan terima kasih ya sudah mau komen fic sepanjang tahun 2013—ah, I will write last message on 2013. Ya, ya, ya, aku akan nulis itu.

dan…aku punya surprise nanti untuk kalian hahahaha nantikan ya :3

See yaaa <3

Say ‘hi’ to Mr. Hong Hong! XD

MR

(yaluhan ini apasih T_T sorryyy)


HAPPY NEW YEAR!!

$
0
0

happy new year

Halooo!!!

Selamat tahun baru!!! Ulalala :)  ((oke, ini telat banget! Ini udah tanggal dua huhuhu))

Sorry for the long absence, ugh sebenernya aku benci hal ini terjadi. Tapi…lupakanlah hahaha xD karena aku sudah kembali aktif menulis dan di tahun 2014 ini, aku siap untuk menyelesaikan beberapa projek menulis yang sedikit terbengkalai ;;;; Yeah, aku mulai menyiapkan sebuah resolusi di tahun 2014. Semoga tahun ini lebih baik dari kemarin ya ehehehe

Oke, sebagai pembukaannya…aku punya 4 drabble untuk kalian. Gak banyak sih dan ini ditulis karena aku merasa sedih, sebenernya pas tanggal 24 Desember kemarin aku punya kejutan untuk kalian dan kejutan itu berkaitan dengan ABOB, tapi…ternyata aku gak bisa nyelesain HAHAHAHAHAHAHA ((kebiasaan))

Semoga kalian tertawa dan bahagia membaca ini hehehehe :)

Owkay, satu lagi sebelum kalian membaca drabbles di bawah ini…

Aku mau ngucapin…

TERIMA KASIH!! Terima kasih sudah mau jadi pembaca setia Hangukffindo. Menurutku, tahun 2013 itu amazing sekali bisa kenal banyak orang lewat fanfiction ehehehe xD

Dan…mari membuat semua ini lebih amazing bersama kalian yang amazing dan bersama aku yang agak (?) amazing ini di tahun 2014. Yeah, we will rock this year yeaaaaahh!!!

HAPPY READING!

 

#1 ChanRomeo

Baekyeol // 570w // Romance (ahem!), Fluff, COMEDY!

 

“Juliet…Juliet!” ChanRomeo datang dengan setangkai bunga di tangannya. Malam itu dia merasa harus menyatakan hal ini sebelum terlambat…sebelum bulan yang menggantung di langit gelap itu menghilang, sebelum Juliet jatuh cinta pada orang lain selain dirinya.

“Juliet…Juliet!” ChanRomeo tidak bisa berkata lebih keras lagi. Dia hanya bisa berbisik kencang melawan hembusan angin di bawah balkon rumah Juliet. Pria ini memanggil namanya yang manis terasa di mulut. Namun, jika Juliet tak mendengar suaranya dan tak kunjung kelihatan batang hidungnya, maka…lupakanlah kisah cinta mereka.

“Juliet…Juliet!” ChanRomeo bertemu dengannya sekitar dua bulan yang lalu. Tak dapat terhindar dari sorot mata mereka yang bertemu di satu titik hingga ChanRomeo merasakan dirinya jatuh ke dalam lautan cinta, begitu dalam…begitu sempurna. Rasanya manis, rasanya sangat indah.

“Juliet…Juliet!” ChanRomeo sering menggumamkan nama itu sesekali, dua kali, tiga kali, hingga ratusan kali tanpa pernah merasa bosan. Dia tidak akan pernah bosan atau mau menyebutkan nama itu berapa kali pun, seolah nama ‘Juliet’ adalah mantra yang mendatangkan kebahagiaan. Ya, Park ChanRomeo bahagia setiap mengingat sosok Juliet.

Empat kali dia menyebutkan nama itu di malam ini. Yeah, sedikit keterlaluan. Gadis ini tidur atau pingsan siapa yang tahu. Maka, ChanRomeo memanjat tanaman rambat yang ada di dinding untuk bisa pergi ke balkonnya.

Dia merasa seperti pencuri. “Aku merasa seperti pencuri,” gumamnya sesampai di balkon atas. Dan ChanRomeo mulai memanggil nama itu.

“Juliet…Jul—“

“Bisakah kau diam!!”

“Tapi—“

“Aku bukan Juliet!!”

Seseorang membuka pintu yang ada di balkon dan menunjukkan dirinya di sana.

“WHOA! KAU BUKAN JULIET!”

“Tentu saja!!”

Tentu. Park ChanRomeo punya ingatan yang parah soal alamat rumah. Well, kali ini dia salah memasuki balkon orang lain.

Dan yang terparah adalah dia berada di balkon seseorang bernama Byun Baekhyun yang memakai piyama dan rambut berantakan, dan herannya ChanRomeo menemukan bahwa orang ini imut. Kulitnya halus di bawah tempaan sinar rembulan.

Wrong address, sir?” kata Baekhyun dengan nada kesalnya.

Ya, itu parah.

Tapi ada yang lebih parah lagi.

“ChanRomeo??”

Keduanya menoleh ke sumber suara. Mereka dapat melihat gadis bernama Juliet sedang mengerjapkan matanya, di BALKON TEPAT DI SAMPING rumah Baekhyun (astaga, ternyata gadis ini tetangga Byun Baekhyun). Kedua manik indah yang dua bulan ChanRomeo lihat kini berubah menjadi sepasang manik kebingungan.

Juliet melihat ChanRomeo, lalu beralih pada Baekhyun, dan bunga di tangannya menjelaskan arti yang berbeda. Oh, tidak. Ini buruk.

“Aku tidak percaya ini!”

“Juliet! Juliet! Aku bisa menjelaskannya! Aku—“

 

Blam!

 

Juliet menghilang, membanting pintu kamarnya seolah memberi jawaban pada ChanRomeo, bahwa pintu hatinya telah tertutup untuk pria itu.

 

“Juliet…” gumam ChanRomeo sedih, dia kini putus asa. “…aku bahkan sudah menulis puisi untukmu.”

Byun Baekhyun memutar kedua bola matanya dan berkata, “Cheesy. Oh, ya. Semenjak Juliet tidak akan membuka pintu kamarnya untukmu selamanya dan di luar sangatlah dingin, well, pintuku selalu terbuka bagi orang-orang tertindas sepertimu, kau mau masuk?”

ChanRomeo ragu sejenak. Dia memandang bunga di tangannya, mawar merah yang masih segar. Berusaha membuang jauh-jauh sosok Juliet dari benaknya adalah hal yang mustahil dilakukan, ChanRomeo rasa, namun…ketika melihat wajah Baekhyun…melihat wajahnya dan mata itu dan senyumannya dan… ChanRomeo lupa sama sekali dengan Juliet (wow, cepat sekali!)

“Tentu.” ChanRomeo mengikuti Baekhyun dari belakang. Baekhyun mengambil bunga itu dari tangannya dan tersenyum. “Boleh untukku?”

“Tentu.”

Tentu.

Tentu, ada sesuatu di antara mereka berdua.

.

.

.

.

.

2 bulan kemudian…

.

.

.

.

.

“Baekhyun…Baekhyun!!” ChanRomeo bertemu dengannya sekitar dua bulan yang lalu. Atas sebuah kesalahan yang menuntunnya ke arah yang…

 

Lebih baik?

 

Well, kali ini ChanRomeo tak salah alamat lagi.

 

THE END

a/n:

plot twist plot twist plot twist! IGE MWOYAAAA!!! I’m sorry, but I miss writing so much and I miss you guys! Lol lol lol! Ignore this fic please >.<

#2 The Milk Poem

Hunhan // 570wc // Fluff, Brothership, Slight!Comedy

Sehun.

Oh Sehun.

Umurnya sekitar enam tahun saat mengetahui dirinya dapat membaca dengan lancar, dan ternyata menulis itu menyenangkan. Di kala ulang tahunnya yang ke tujuh dirayakan besar-besaran di rumah, temannya yang bernama Luhan memberikan sebuah buku diari warna biru terang padanya.

“Sehunie…tulis apa pun yang kau suka di sini, oke?”

“Iya, terima kasih, hyung.” Sehun memeluk anak yang lebih tua darinya dua tahun itu. Luhan selalu terasa menyenangkan untuk dipeluk, aromanya mengingatkan Sehun akan sesuatu yang berkaitan dengan musim panas dan pantai.

Hari Sabtu kala itu, mereka habiskan dengan berbaring di halaman depan rumah Sehun. Memperhatikan awan putih yang berarak dengan latar langit biru sambil menebak bentuk-bentuknya yang terkadang lucu dan membuat mereka tertawa geli.

“Itu seperti bentuk kepala Kris!” seru Luhan.

“Bukan! Itu seperti kepala Junmyeon,” sahut Sehun dan mereka kembali tertawa.

Mereka diam sejenak, membiarkan angin yang berhembus—meniup rambut mereka yang tertimpa sinar matahari sore itu. “Sehunie…” tiba-tiba Luhan menyebut namanya.

“Hmm?” Sehun memiringkan kepalanya untuk melihat Luhan di sebelahnya.

“Menurutmu…awan itu terbuat dari apa?”

Well, Luhan, sekedar informasi saja bahwa Sehun itu baru berumur tujuh tahun dan dia belum belajar bagaimana proses terjadinya awan. Bahkan kau yang dua tahun lebih tua darinya saja belum belajar.

“Eumm…kapas?” jawab Sehun ragu. (Ya, memang mirip sih).

“Atau busa sabun cuci mobil ayahku?” tanya Luhan. (Kau pikir ayahmu mencuci mobil di atas sana?)

“Mirip krim kue ulang tahunku tadi,” kata Sehun terkekeh.

“Ah ya! Kau benar, Sehunie! Mirip krim kue, mmm…” Luhan tanpa sadar menjilat bibirnya sendiri, mencoba mengingat rasa krim kue vanilla yang tadi dia makan. Ibu Sehun sangat pintar membuat kue dan kue ulang tahun Sehun adalah satu yang paling enak di dunia, menurut Luhan.

“Lalu krim kue itu terbuat dari apa?” Sehun kini menatap Luhan penasaran.

Luhan berpikir lagi. Dia tidak pernah melihat bagaimana proses pembuatan krim kue, sungguh. Namun, sepertinya dia tahu salah satu bahannya. “Susu.” Luhan menjawab diiringi seulas senyum lebar. “Mereka terbuat dari susu, Sehunie.”

“Oh,” Sehun menganggukan kepalanya tanda mengerti. “Susu sangat enak, hyung.”

Yeah, aku menyukainya.” Luhan menyetujui pernyataan Sehun. Susu memang sangat enak, tak peduli kapan, dan di mana saja, Luhan tetap menyukainya.

“Anak-anak. Saatnya makan cookies dan susu,” kata ibu Sehun dari dalam rumah.

Yeaaayyy!!!” sorak kedua anak tersebut. Mereka masuk dengan tangan terentang di udara, aroma cookies cokelat langsung menyergap. Luhan bisa membayangkan bagaimana cookies itu meleleh di mulutnya ditambah susu…ah, ini pasti sangat lezat.

Kedua anak itu duduk di meja makan, saling tersenyum tanpa alasan sambil menggigit cookies, sesekali meminum susu hangat mereka bersamaan dan kembali makan.

“Sehunie, aku sangat menyukai susu. Kalau aku sudah besar, aku mau jadi tukang susu dan mengantarkan susu ke rumah-rumah agar semua orang dapat makan cookies dan minum susu setiap hari,” ujar Luhan memaparkan cita-citanya yang lucu itu.

Mata Sehun membulat—dipenuhi semangat. “Benarkah? Boleh aku ikut denganmu, hyung? Aku juga ingin membagikan susu.”

Luhan mengangguk. “Tentu saja. Kita akan menyebarkan susu ke seluruh dunia agar semua anak dapat tumbuh tinggi karena minum susu.”

Yeaayy!!

Dan…saat itu…Sehun rasa dia tahu apa yang harus dia tulis dalam buku diarinya yang berwarna biru terang itu.

 

Milk from school
Top grade milk
When you drink the milk it has a rich taste
In the winter the milk is aromatic
Milk with calcium
Double the times better than normal milk
Milk with 8g of Fats.

–Oh Sehun—

 

P.S: Karena Sehunie menyukai Luhan-hyung, dan Luhan-hyung menyukai susu. Maka itu, Sehunie menuliskan puisi tentang susu untuknya.

THE END

a/n:

YEHET! YEHET! I LOVE YOU MILKY LU-GE AND SEHUNIE OHORAT HAHAHAHA XD

 

 

tumblr_mpiusqyuDf1qbe040o1_500

#3 Table No. 3

Suho // 657wc // COMEDY!! Failed Romance

Katakanlah hidup Kim Junmyeon sedikit membosankan kali itu. Seperti ada orang yang mematikan radionya dan musik berhenti mengalun. Jika kau orang kaya yang punya dua belas mobil mewah di garasi, dua helikopter dan tiga pesawat pribadi, kau mungkin akan menelepon pelayanmu dan membuat radio kehidupanmu menyala lagi.

Well, Kim Junmyeon bisa saja melakukannya. Dia bisa menaiki salah satu mobil Ford-nya dan pergi ke mana saja dia mau. Dia bisa pergi berbelanja di toko London dan berbelanja sepuasnya dengan puluhan kartu. Dia bisa menghabiskan uang di salah satu club terkenal Seoul, berpesta bersama gadis-gadis cantik di Jacuzzi. Tapi kali ini…

Tidak. Dia tidak menginginkannya. Dia ingin sesuatu yang berbeda.

Maka, dengan mobil Ferrari V12-nya yang berwarna merah, dia pergi ke bar murahan di pinggir kota. Satu yang sepi dari pengunjung dan lagu Lana Del Ray melantun; mengisi ruangan itu. Aroma rokok murahan segera menyergap paru-paru pria itu ketika pertama kali menghirup napas di sana. Not his style, yes.

Bar itu hanya berisi lima sampai enam orang; tidak termasuk pelayannya. Di sudut ruangan ada pria berperut gendut tertidur karena saking mabuknya. Beberapa pasangan memulai make-out session. Lampu bar ini redup, beberapa darinya padam. Ini betul-betul bar kelas bawah. Not his style, yes.

Tapi, setidaknya ini memberikan suatu pengalaman baru…yang mungkin bisa menjadi style-nya setelah ini.

 

That girl.

 

Yes.

 

Yes, absolutely his style.

 

Mata Junmyeon menelusuri sosok itu di meja nomor 3 dari ujung boots­-nya, kaki jenjang yang berbalut stocking hitam, celana pendek jins, kemeja putih yang sedikit kebesaran, rambut panjang berwarna cokelat dengan sedikit highlight. Wow.

Kim Junmyeon adalah pemilih pasangan yang rumit. Dia punya standar tertentu yang membuat wanita bertekuk lutut di hadapannya, meminta untuk dijadikan pacar paling beruntung. Tapi, kali ini…Junmyeon tak tahu gadis ini berasal dari mana. Bisa jadi dia hanyalah gadis kelas bawah yang tidak menyelesaikan sekolahnya, keluarga dengan status sosial rendah. Tidak dapat diprediksi.

Tapi, dia berani bersumpah ketika gadis itu menyibakkan rambut panjangnya ke belakang, seperti ada ribuan berlian berjalan di atas permukaan kulitnya dan mengirimkan rasa merinding ke seluruh tubuhnya.

Stunning.

Kim Junmyeon terpana akan kulitnya yang mulus dibawah tempaan lampu bar yang remang-remang. Dan sekejap, rasanya Junmyeon menemukan style yang tepat, karena gadis itu baru saja menatapnya dengan seulas senyum singkat yang menawan.

Junmyeon pun memesan segelas wine, menyesapnya perlahan dengan tatapan menempel pada gadis itu. Lalu melihatnya sendirian, Junmyeon pada akhirnya mengangkat gelas itu sambil mengedipkan sebelah mata.

For you, sweetie,” gumam Junmyeon.

Gadis itu hanya terkikik kecil, menumpangkan dagu di tangannya sambil terus menatap Junmyeon.

You’re so beautiful and—

Baru saja Junmyeon ingin melanjutkan kalimatnya yang terdengar cheesy dan murahan, tapi siapa yang sangka sebelum kalimat itu terselesaikan…Junmyeon lebih dulu di selesaikan oleh seseorang yang mencengkeram kerahnya saat itu.

“Apa kau sedang menggoda kekasihku?!”

Junmyeon bingung. “Kekasih? Kekasih siapa?”

“KEKASIH KIM JONGDAE! NAMAKU KIM JONGDAE DAN AKU BARU SAJA MELIHATMU MENGEDIPKAN MATA KE ARAH KRISTINA! KAU MAU KUPUKUL YA??”

“T-tapi…aku tidak—“

 

Bugh! (pukulan pertama mendarat di pipinya)

Bugh! (pukulan kedua ada di perutnya)

Bugh! (pukulan ketiga membuat jatuh ke lantai)

 

“Jangan bermain-main dengan Kim Jongdae!” ancam pria bernama Kim Jongdae yang entah muncul dari mana. “Kristina, ayo kita pergi.”

Junmyeon melihat bagaimana gadis itu melangkahkan kaki, mata masih tertempel padanya yang terbaring di lantai dan Junmyeon tahu dia cukup beruntung dapat mengetahui namanya, walaupun dengan cara seperti ini.

Kristina…yeah, nama yang indah.

Kim Junmyeon melihat gadis itu melewatinya dengan tatapan pasrah dan tanpa disangka sesuatu jatuh di dekat tangannya, dan begitu Junmyeon melihat gadis itu…dia menerima sebuah kecupan jarak jauh serta…

Call me.

Junmyeon mengangguk senang.

Masih dalam keadaan berbaring di lantai, dia melihat sepotong kertas di mana sejumlah nomor tertera di sana. Walaupun pergi, setidaknya Junmyeon masih bisa meneleponnya—

“Tunggu!” Junmyeon membaca ulang nomor itu dan sebuah kenyataan menabrak kepalanya. “Ini…”

 

Tiba-tiba dia merasa perutnya berputar tak enak.

 

“INI NOMOR KRIS—WU YIFAN! TEMAN KERJAKU! OH—“

 

Junmyeon menyadarinya.

 

Kris…Kris…Kris…tina?

 

“Mustahil…” Junmyeon pun jatuh pingsan.

 

THE END

a/n:

I’m sorry guys, really really sorry xD click here, if you want to see this cheesy junmyeon-ah winkeu

 

#4 Emoticons and Love

Kaistal // 594wc // Romance, Slight!Comedy, Fluff

Soo Jung: Jongin-ah

Soo Jung: *ping

Soo Jung: jawab aku

Soo Jung: ppali!

Jongin: ada apa

Jongin: nona cerewet

Soo Jung: kau sebut aku apa?

Soo Jung: (╯҂ ‵□′)╯

Jongin: apa?

Jongin: itu memang benar ‘kan?

Soo Jung: aku sebal padamu!

Soo Jung: (Q╰_╯)==○☆‎(x,☉”)

Jongin: kenapa kau memukulku?

Soo Jung: (‾^‾)

Soo Jung: aku tidak peduli

Jongin: Soo Jung-ah

Soo Jung: ┌(“˘o˘)┐

Jongin: pinggangku terkilir saat latihan tadi

Soo Jung: tidak peduli

Soo Jung: APAAAAAA??

Soo Jung: KAU SAKIT???

Soo Jung: APA KAU BAIK-BAIK SAJA??

Soo Jung: JONGIN, KAU MERASA KESAKITAN?

Soo Jung: APA KAU KE RUMAH SAKIT TADI??

Soo Jung: SIAL! KENAPA AKU TIDAK DIBERITAHU TENTANG INI!!!

Soo Jung: JONGIN?

Soo Jung: JAWAB AKU!!

Soo Jung: *ping

Soo Jung: *ping

Soo Jung: *ping

Soo Jung: *ping

Jongin: astaga, kau ribut sekali, Soo Jung-ah

Soo Jung: AKU CEMAAAAAASSS!!!

Soo Jung: KAU YAKIN BAIK-BAIK SAJA?

Jongin: Soo Jung-ah, matikan capslock-nya

Jongin: aku pusing melihatnya

Jongin: aku baik-baik saja

Jongin: ƪ(ˆ▽ˆ)ʃ

Soo Jung: oh maaf

Soo Jung: jongin-ah

Soo Jung: kau yakin kau baik-baik saja?

Soo Jung: (-̩̩̩-̩̩̩_-̩̩̩-̩̩̩)

Jongin: jangan sedih begitu

Jongin: aku tidak apa-apa

Jongin: itu sudah biasa bukan

Jongin: kau juga harus hati-hati saat berlatih, Soo Jung-ah

Jongin: jangan bekerja terlalu keras jika kau merasa sakit

Jongin: aku tidak mau kau terluka

Jongin:  (ɔ ˘⌣˘)~♡ (っ˘з˘)っ

Jongin: Soo Jung?

Jongin: Soo Jung?

Jongin: *ping

Jongin: *ping

Jongin: *ping

 

Tok tok tok!

 

“Whoa! Soo Jung, apa yang kau lakukan di sini?”

“Bukakan jendelanya!”

Jam di dinding menunjukkan pukul tiga dini hari. Melihat gadis berambut panjang di luar jendela memang menyeramkan. Mereka sedang berada di Amerika untuk menghadiri sebuah acara penghargaan. Kamar mereka memang tidak jauh, tapi cukup membuat Jongin bertanya-tanya bagaimana bisa Soo Jung datang ke kamarnya dan…lewat jendela??

“Apa—bagaimana—?” Jongin menatap gadis itu tak percaya.

Soo Jung tak menjawabnya, dia masuk ke sana dan memeluk laki-laki itu dengan erat. Jongin mengabaikan rasa nyeri di pinggangnya. Dia lebih baik merasakan seribu kali rasa sakit daripada menyingkirkan tangan Soo Jung di sekeliling pinggangnya dan dia akan kehilangan kehangatan itu.

“Aku mencemaskanmu.”

Soo Jung berkata seperti dia tidak pernah melihat Jongin cedera karena latihan. Soo Jung berkata seperti ini baru pertama kalinya Jongin membuat dirinya sakit. Well, laki-laki itu sudah memakan begitu banyak kesakitan dan Soo Jung tahu itu.

Jongin tertawa. “Aku tidak apa-apa, Soo Jung-ah.”

“Aku tetap mencemaskanmu,” tutur gadis itu semakin memeluknya erat.

“Terima kasih.”

Dan Jongin tak pernah tahu bagaimana cara Soo Jung berakting di depan kamera layaknya ice princess, karena kenyataannya Soo Jung adalah makhluk terhangat dan terlembut di dunia. Memeluknya, merasakan gadis itu bernapas di lekukan lehernya…ah ya, jangan sampai fans tahu semua ini atau tidak mereka berdua akan benar-benar mati.

“Terima kasih?” Soo Jung menarik diri dari dekapan Jongin, wajahnya berubah cemberut, menghapus segala kecemasan di sana. “Hanya kata ‘terima kasih’ yang kudapat setelah melompati dua balkon dan memanjat dinding jendela? Kau keterlaluan?”

Jongin tertawa sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia menangkup wajah gadis itu dan mendaratkan satu kecupan di dahinya yang tidak tertutup rambut. Sebuah senyuman simpul terukir di wajah Soo Jung, begitu juga Jongin.

“Aku tidak seharusnya menciummu. Aku seharusnya memarahimu, karena kau gadis bodoh yang membahayakan hidupmu dengan melompati dua balkon dan memanjat dinding jendela,” gumam Jongin di permukaan kulit Soo Jung.

Soo Jung kembali memeluk Jongin dan menghela napas bahagia. “Aku memang bodoh, tapi kau menyukaiku ‘kan?”

Jongin tidak menjawabnya.

Tidak, aku tidak menyukaimu.

“Kau harus kembali ke kamarmu.”

 

Lebih tepatnya aku mencintaimu.

 

THE END

a/n:

I.AM.DELUSSION.GIRL! YES.I.AM HAHAHAHAHA XD

Sorry, this suppose to be kaisoo or something but let me write the normal one, because I don’t know…I feel ridiculous now days ╮(╯_╰”)╭

 

 

 

P.S: okeh, I’ll be back soon. See ya :)


Kyungsoo Dies At The End

$
0
0

Kyungsoo Dies At The End

Cast: D.O [EXO-K] & Baekhyun [EXO-K] || Genre: Angst COMEDY!, Friendship, School!Au || Rating: G || Length: >3000w

Soundtrack: Bruno Mars – Count On Me

Summary:

Bagaimana rasanya jika kau tahu akhir dari sebuah cerita bahkan sebelum kau membacanya? Tidak seru, ‘kan? Kau pasti tidak mau membacanya.

(a/n: thanks ‘John Dies At The End’! Really, it was the “BEST” movie that I’ve ever seen in my life xD)

 

 

***

Bagaimana rasanya jika kau tahu akhir dari sebuah cerita bahkan sebelum kau membacanya? Tidak seru, ‘kan? Kau pasti tidak mau membacanya.

Itulah yang terjadi pada Do Kyungsoo. Katakanlah dia punya sahabat yang super duper aneh, dengan cita-cita menjadi penulis novel yang super duper fantastis, tapi yang selama ini dia lakukan hanyalah menulis di salah satu buku kosong dan hampir semuanya tak pernah bertemu kata ‘THE END’.

Dan yang parahnya lagi, Kyungsoo jadi pembaca setia yang terus menerus dikecewakan karena…katakanlah Baekhyun tak terlalu baik dan tak terlalu buruk dalam hal menulis. Idenya tidak terlalu fantastis, bisa dibilang lebih ke arah ‘ide aneh’, tapi entah mengapa Kyungsoo menyukainya dan tetap membaca semua ceritanya.

Contohnya?

Contohnya adalah Baekhyun pernah menulis cerita fiksi berjudul ‘Tangisan Kacang Kedelai di Malam Hari’. Kau…bisa menebak cerita macam apa yang punya judul seperti itu?

’Tangisan Kacang Kedelai di Malam Hari’?” Kyungsoo membaca ulang judul itu satu kali, dua kali, dan tiga kali dan—oh, oke, itu benar-benar tangisan kacang kedelai. Bukan tangisan putri tidur atau putri duyung. Yeah, kacang kedelai.

“Baek…” Kyungsoo menatap Baekhyun sang sahabat siang itu saat istirahat di sekolah. Baekhyun tengah memakan sandwich-nya dan saus belepotan di sisi mulutnya. “Kacang kedelai?”

“Yap!” ujarnya senang.

“Eumm…kisah apa ini?”

Lalu seakan tak bisa membaca ekspresi aneh di wajah Kyungsoo, Baekhyun mengartikannya sebagai sebuah ketertarikan akan karya (ahem!) sastranya itu dan mulai menjelaskan dengan penuh semangat. Dia bahkan melupakan sandwich-nya!

“Ceritanya tentang seorang kedelai yang tertukar oleh kedelai lainnya. Dia menjadi kedelai yang kaya, padahal dia seharusnya menjadi kedelai miskin. Lalu kedelai ini punya kakak laki-laki yang sangat tampan dan hampir jatuh cinta padanya. Tapi dia ingat, mereka bersaudara, padahal…tentu saja bukan—”

“Hei, hei, sepertinya aku tahu cerita ini,” potong Kyungsoo curiga. “Seperti sebuah drama.”

Baekhyun mengangguk antusias dan merentangkan tangan di udara dengan wajah senang. “Aku memang mengadaptasinya dari film Endless Love!! Keren. ‘kan?”

Oh.

Oke.

Kyungsoo tidak mempermasalahkan hal itu. Baekhyun bebas mengadaptasi cerita dari mana saja. Ya, tentu. Dan dia pikir ini unik. Ya, ampun kenapa manusia dijadikan kedelai seperti ini? (Yeah, diam-diam Kyungsoo bertanya dalam hati).

“Dan…Baek.” Kyungsoo membalik halaman demi halaman buku tulis itu.

“Ya?” jawab Baekhyun–mulut penuh sandwich.

“Bukan ‘seorang kedelai’, kau tahu, kedelai bukan manusia jadi kau harus menggunakan kata ‘sebutir’.”

Mata Baekhyun pun membulat dan mengangguk paham. “Ah ya, aku akan menggantinya nanti.”

Dan Kyungsoo bingung setengah mati bagaimana bisa Baekhyun bercita-cita jadi penulis novel kalau dia saja tidak bisa membedakan penggunaan kata ‘seorang’ dan ‘sebutir’. Ini aneh. Oh ya, Baekhyun memang aneh.

“Hei, Kyungie, kau pintar sekali. Kau mau jadi editorku tidak?” tiba-tiba Baekhyun berkata setelah melahap habis sandwich-nya, menatap Kyungsoo penuh harapan di kedua mata itu.

“Boleh.”

Kyungsoo mengiyakan hal itu karena dia pikir sesungguhnya yang Baekhyun perlukan hanyalah seorang editor untuk mengedit tulisannya yang sangat berantakan. Dan siang itu, Kyungsoo membaca sampai habis kisah ‘Tangisan Kacang Kedelai di Malam Hari’ dan dia menangis.

Well, hanya Baekhyun yang bisa menulis seperti itu, bukan?

Namun, Kyungsoo kecewa saat melihat ada kata ‘bersambung’ di sudut kertas itu. “Ke mana lanjutannya?”

“Sedang dikerjakan,” senandung Baekhyun riang.

Lalu…

Sebagai editor, Kyungsoo menagih tulisan itu satu minggu berikutnya dan yang dia dapat adalah…

“Aku mendapatkan ide baru. Tangisan Kacang Kedelai sudah tidak nge-trend lagi. Lihat, aku menulis yang lainnya…” Baekhyun menyodorkan buku bersampul cokelat yang kelihatannya masih baru. “…Kentang Berlumuran Lumpur.”

Kyungsoo mengambil buku itu dan membaca judulnya yang super duper aneh. Mengapa lagi-lagi sayuran? Padahal Kyungsoo mengenal sosok Baekhyun tidak suka makan sayuran dari dulu.

Well, kalau kau mau memeriksanya, silakan. Tapi hati-hati!” Baekhyun seketika itu mencondongkan tubuh ke depan dan berbisik di telinga Kyungsoo. “Ini kisah horor.” Ekspresinya cukup meyakinkan, yeah, meyakinkan. Namun, sensasi geli berpusat di perut Kyungsoo setiap kali membaca judul itu.

Kentang? Berlumuran Lumpur? Horor? Kau bercanda, ya?

Kali ini Kyungsoo membaca dan anehnya dia merinding. Padahal…ini kisah sebuah KENTANG!! YANG BERLUMURAN LUMPUR!! Sudah dikatakan dari awal, Baekhyun memang aneh tapi dia bisa menulis, ini…situasi yang membingungkan.

Sekaligus mengecewakan.

Bersambung hehehe ._.v

“Bersambung? Lagi?” tanya Kyungsoo tak percaya, namun pertanyaan itu hanyalah angin lalu bagi Baekhyun. Ketika Kyungsoo menoleh, sahabatnya itu tengah tidur dengan mulut terbuka di bawah pohon rindang belakang sekolah, dan yang parahnya dia tidur saat sedang mengunyah makan siangnya (roti selai stroberi), jadi…pemandangan itu cukup menjijikan.

Kyungsoo hanya bisa menghela napas sembari merapikan poni Baekhyun yang berantakan tertiup angin. Pemuda itu akhirnya menyerah dan ikut tidur di samping Baekhyun. Tidur sekitar sepuluh menit sebelum bel berbunyi dan waktu istirahat berakhir.

“Kau bahkan menambahkan kata ‘hehehe’ setelah kata ‘bersambung’, Baek.”

Baekhyun membalasnya dengan mengorok.

***

Kau tahu, jika kau seorang peneliti handal, kau bisa menyatakan bahwa Byun Baekhyun adalah objek penelitian yang patut diteliti. Kau bisa mengambil beberapa variabel yang mempengaruhi Baekhyun untuk tidak menyelesaikan kisahnya, dan membangun hipotesis atau dugaan awal seperti ‘mungkin dia terlalu malas’, ‘mungkin dia terlalu konyol’, ‘mungkin dia terlalu aneh’.

Ya, kau bisa.

Dan kau bisa menyerahkan hasil penelitian itu pada Do Kyungsoo, karena, sungguh, dia ingin tahu.

Kyungsoo menatap beberapa buku tulis di mejanya. Itu semua milik Baekhyun dan semuanya punya judul yang berbeda sekaligus aneh.

‘Gitar Tanpa Senar’ (ini kisah sedih yang menyayat hati)

‘Lemari Yang Terbuka Sendiri’ (ini horor!)

‘Kode Pelangi di Segitiga Bermuda’ (ini fiksi action)

Dan semuanya…

“Byun Baekhyun, kau serius menulis atau tidak? Tak satu pun dari tulisanmu selesai,” kata Kyungsoo menatap sebal sang sahabat di sampingnya, lagi-lagi sedang sibuk mengunyah roti isi tuna dan ada mayonaise di pipinya. Kyungsoo memutar bola matanya sebal, kemudian mengelap mayonaise dari pipi Baekhyun.

“Aku juga tidak tahu kenapa bisa begitu!” balas Baekhyun.

“Cobalah untuk serius! Selesaikan satu cerita, lalu kau boleh menulis yang lainnya,” ujar Kyungsoo menasihatinya. Dia memang bukan seorang penulis dan tidak tahu sistematika menulis yang pasti, tapi satu yang dia ketahui adalah cerita-cerita fiksi ini haru SELESAI. “Sebagai editor, aku kecewa.”

Baekhyun menjatuhkan rahangnya, menjatuhkan potongan terakhir roti tunanya dan mencengkram bahu kecil milik Kyungsoo, dia pun memekik, “Kau tidak boleh kecewa, Kyungie! Kau adalah editorku!”

“Aku adalah editor gratis tanpa bayaran dan penulisku aneh. Apa sanggahanmu agar aku tidak kecewa?” tantang Kyungsoo sedikit menaikkan dagunya.

Baekhyun menggelengkan kepalanya cepat. Menelan kenyataan Kyungsoo kecewa lebih sulit daripada menelan potongan roti tuna yang besar tanpa bantuan air mineral. “Aku…aku akan serius, oke? Aku akan menulis satu cerita lagi dan selesai. Aku janji yang satu ini akan selesai.”

Kau tahu, jika seseorang bernama Byun Baekhyun menggantungkan janjinya di atas kepalamu dan membuatmu menengadah untuk meneliti apa benar dia serius saat mengucapkannya, sungguh, kau harus memegang janji itu.

“Kau berjanji?”

“Ya, aku berjanji.”

“Benar?” Kyungsoo menyipitkan matanya.

“Tentu! Tapi…” Baekhyun cemberut. Dia menggaruk tengkuknya yang tak gatal. “Aku tak tahu harus menulis apa.”

Seraya perkataan itu meluncur dari mulut Baekhyun-yang-berbentuk-kotak-jika-dia-tertawa, Kyungsoo segera beranjak dari kursinya, merangkul Baekhyun untuk mendekat ke arah jendela kelas mereka dan mereka…mengintip seseorang.

Oh—bukan, bukan mengintip murid perempuan, well, itu hanya Kim Junmyeon si ketua osis yang sedang berbicara dengan seorang gadis di dekat tangga yang mereka lihat.

“Kau lihat Junmyeon?”

“Yap!”

“Sekali-sekali kau harus berhenti menulis cerita tentang sayur-sayuran atau benda mati. Tulislah kisah percintaan antara orang kaya dan orang miskin. Bayangkan Junmyeon menjadi si orang kaya dan gadis itu jadi orang miskin dan mereka tidak bisa bersatu karena status sosial mereka. Mengerti?”

Baekhyun mengangguk, namun sebagai sahabat, Kyungsoo tahu cerita klasik seperti itu bukanlah tipenya. Maka itu, Kyungsoo membawanya ke jendela yang menghadap ke lapangan dan menunjuk sosok tinggi di sana.

“Kau lihat dia?”

“Yap! Tao.” (Tao si ketua club wushu yang membawa tongkat kayu ke mana-mana sampai di kelas pun begitu).

“Bayangkan Tao adalah…manusia super yang lahir dari sebongkah batu dan dia adalah pahlawan yang menyelamatkan anak perempuan presiden saat gadis itu hendak melompat dari atas pohon. Bagaimana? Kau mengerti?”

Baekhyun diam. Kyungsoo pikir kini dia yang lebih aneh dari seorang Byun Baekhyun, karena idenya sangat-sangat konyol. Namun, sepersekian detik kemudian, Kyungsoo melihat ada sesuatu di mata Baekhyun. Bukan! Bukan kotoran mata, oke? Seperti…sparkle, kilauan di kedua mata bulat itu, lalu selanjutnya…Baekhyun menyeringai lebar.

“Kau bisa menulisnya?” tanya Kyungsoo perlahan.

Satu anggukan kepala darinya. “Tao. Lahir dari batu. Aku bisa menyelesaikannya, Kyungie.”

“Baguslah kalau begitu.” Kyungsoo menepuk bahunya satu kali, dua kali, dan saat tepukan yang ketiga meluncur, Baekhyun terlanjur melesat dari sana—menuju kursinya. Dia mengeluarkan pensil dan buku tulis dari dalam tasnya, mulai menulis.

Yeah, bagus.”

Kyungsoo berharap mendapatkan kisah utuh, seutuh cinta Lay pada Apple sang kekasih, karena kini Kyungsoo melihat temannya yang satu itu sedang menyuapi kue keju ke dalam mulut Apple.

Dan mungkin kisah yang manis, semanis senyuman di wajah sepasang kekasih ini.

***

Dua hari kemudian…

“Aku akan menyelesaikannya sesegera mungkin!”

Empat hari kemudian…

“Tinggal beberapa scene lagi.”

Enam hari kemudian…

“Aku mau istirahat, ugh…aku kehabisan ide.”

Sembilan hari kemudian dan Kyungsoo mulai berang.

 

“Apa? Kenapa kau melihatiku seperti itu?” Baekhyun kelihatan bingung. Dia menyentuh pipinya…tidak, tidak ada saus atau mayonaise yang menempel di pipinya, jadi…”Hei, Kyungie, kena—”

“Di mana. Tulisan. Tao. Si Manusia. Yang. Lahir. Dari. Batu. Itu?”

Baekhyun menelan ludahnya gugup. Dia dapat mendengar ada nada tak suka di suara Kyungsoo dan ekspresi wajahnya itu sama sekali bukan favorit Baekhyun. Ekspresi itu selalu dia lihat setiap kali Kyungsoo memaksa Baekhyun mengerjakan PR-nya atau belajar logaritma. Ah, dia sangat membenci pelajaran itu.

“Eumm…” Dia memutar-mutar pensil di tangannya. “A…da?”

Ya, Baekhyun sebenarnya juga mempertanyakan ke mana buku tulis berisikan cerita Tao si Manusia Super yang lahir dari sebongkah batu. Tapi…dia tidak berani mengatakannya pada Kyungsoo.

“Byun Baekhyun…”

“Oke, oke, oke! Aku menghilangkannya…” Baekhyun berhenti di sana melihat ekspresi Kyungsoo yang kaget. “…sepertinya.” Dia terkekeh. Sama sekali tidak membantu.

“Byun Baekhyun! Kau sungguh keterlaluan! Aku tidak mau jadi editormu lagi!!” Dengan itu, Kyungsoo mengambil kotak makannya dari meja kantin dan pergi menjauh. Hari itu hujan deras, deru angin tidak dapat mengalahkan suara keras Kyungsoo.

“Hei, Kyungie! Tunggu aku!” Baekhyun mengejarnya dan sepertinya, dia tahu semua ini akan berakhir seperti apa.

“Untuk apa? Aku pikir kau mau serius menulis sesuatu.”

“Aku serius,” kata Baekhyun memelas.

“Oh ya, kau yakin? Sepuluh hari yang lalu kau juga berkata demikian dan apa? Kau tidak pernah menyelesaikan apa yang kau mulai!” teriak Kyungsoo.

“Tapi, aku—”

“Dan kau tahu, aku mulai capek denganmu!” Ya, Kyungsoo lelah. Apa Baekhyun kira mudah memperbaiki kalimat yang acak-acakan strukturnya ditambah dengan tulisan cakar ayam miliknya—membuat sakit mata Kyungsoo? Untuk memperbaiki satu paragraf saja, dia perlu waktu sekitar 15 menit. Dan mengapa Baekhyun tidak mengetiknya di komputer?! Demi Tuhan, ini tahun 2014!

Baiklah, kali ini Kyungsoo sudah merasa cukup dengan semua tingkah konyol Baekhyun, cukup muak melihat kata ‘bersambung’ di setiap cerita yang ditulis Baekhyun.

“Kau konyol, kau penulis yang aneh!” Oh, itu kata-kata yang cukup membuat hati seseorang sakit. Kyungsoo membalikkan tubuhnya dan kembali berjalan menjauh dari Baekhyun nampaknya juga kesal.

“Berhenti di sana, Tuan Pendek!” Oh, Baekhyun seharusnya tak berkata seperti itu.

Kyungsoo berhenti, dia menoleh ke belakang dan melihat Baekhyun mengepalkan tangannya. “Dasar Tuan Pendek yang menyebalkan! Kau galak, kau cerewet, wajahmu seperti angry bird! Aku benci padamu!”

“Memangnya aku tidak benci padamu?!!” balas Kyungsoo dengan teriakan yang lebih kencang. Semua teman-temannya melihat mereka dari kejauhan. Keduanya saling berhadapan dalam jarak dua meter setengah. Kalau kau punya kemampuan lebih, kau mungkin bisa melihat ada api tengah membara di atas kepala mereka.

Sesungguhnya, mereka tak perlu meributkan hal ini. Tapi untuk yang satu ini, Kyungsoo tidak bisa menahannya. Dia baru menyesali hal ini beberapa saat kemudian.

“Oke, koreksi! Aku tidak mau menjadi editormu dan AKU TIDAK MAU JADI SAHABATMU LAGI!”

Baekhyun terdiam. Mulutnya terkatup rapat di kala Kyungsoo mengatakan pernyataan itu. Sumpah, dia tidak bermaksud membuat Kyungsoo marah. Tiba-tiba dunianya terasa runtuh perlahan-lahan seraya sosok kecil Kyungsoo berlari meninggalkannya.

***

 

Tak lama setelah pertengkaran itu terjadi, bel pulang sekolah pun berbunyi, Baekhyun masih terpaku di sana. Dia sedang mengira-ngira kapan terakhir kali dia bertengkar hebat dengan Kyungsoo. Tunggu—dua tahun yang lalu? Tiga tahun? Mereka pernah bertengkar soal majalah gundam yang Baekhyun sembunyikan dari Kyungsoo, mereka pernah bertengkar soal sandwich tuna milik Kyungsoo yang dilahap habis oleh Baekhyun si Piranha, mereka pernah bertengkar soal lagu bodoh yang sampai sekarang Baekhyun lupa judulnya apa.

Dan, tebak! Siapa penyebab pertengkaran itu terjadi?

“Aku,” gumam Baekhyun.

Ya, kau. Byun Baekhyun.

Remaja berumur tujuh belas tahun itu melihat sang sahabat (ups, bukan lagi) Kyungsoo turun dari tangga dan membuang muka saat bertatapan dengannya.

“Kyungie…”

Kyungsoo tak mau menoleh. Dia terus berjalan, berjalan, dan berjalan seolah suara Baekhyun adalah hal yang paling menyebalkan di dunia setelah suara petir yang kini menyambar kian mengerikan.

“Kyungie, dengarkan aku!” Baekhyun berlari kecil di belakangnya, mengikuti Kyungsoo di bawah rinai hujan yang mulai membasahi rambutnya juga seragamnya.

“Aku ‘kan sudah bilang aku tidak mau bersahabat denganmu lagi!” sahut Kyungsoo tanpa menoleh barang sedikit pun.

Ini kedua kalinya Baekhyun mendengar pernyataan itu dan kali ini…efeknya sedikit menampar wajahnya, dia mulai kesal, lalu menyerah. Jika ini memang yang Kyungsoo inginkan, well, baiklah—terserah. Maka itu, dia berhenti mengikuti Kyungsoo, berhenti melangkah karena seberapa banyak langkah yang dia ambil…Kyungsoo tetap akan mengatakan hal itu dan menyakiti hatinya.

“Jika itu memang maumu, baiklah!!! Kau dengar aku, Tuan Pendek?!”

Kyungsoo mengangkat ibu jari di udara sebagai respon, dan itu pula yang membuat Baekhyun memutar tubuhnya, hendak kembali ke sekolah karena—demi Tuhan, dia tidak membawa tas sekolahnya!

Air hujan memang dingin di kulitnya, lalu sesuatu yang panas keluar dari sudut matanya—mengalahkan dinginnya air hujan. Baekhyun menangis? Yeah, dia menangis. Siapa bilang laki-laki tidak boleh menangis? Siapa bilang laki-laki tidak boleh menangis di tengah hujan? Siapa bilang seorang penulis tidak boleh menangis? Siapa bilang seorang penulis sepertinya tidak boleh menangis di tengah hujan setelah kehilangan sahabatnya sekaligus editornya?

Dan…

Siapa yang tahu kalau…

Kata ‘kehilangan’ di sini benar-benar mempunyai arti yang sebenarnya.

 

Angin berhembus kencang saat itu. Tiba-tiba Baekhyun mendengar bunyi ‘krak’ yang kencang di belakangnya dan begitu dia menoleh…

 

Terlambat sudah.

 

“Kyungie!!!”

 

***

Bagaimana rasanya jika kau tahu akhir dari sebuah cerita bahkan sebelum kau mulai membacanya? Tidak seru, ‘kan? Kau pasti tidak mau membacanya.

Hidup ini pun begitu. Jika kau sudah tahu akhirnya, kau pasti tidak mau menjalani hidup yang seperti itu. Sama seperti Baekhyun, rasanya dia sudah dapat melihat akhir dari kisah persahabatannya dengan Do Kyungsoo. Saat mereka bertengkar di depan ruang UKS hari itu, dia punya firasat aneh yang bersarang di dadanya.

Namun sungguh, dia tidak berpikir jauh sampai ke sini—sampai di rumah sakit, ruang UGD dan menangis di samping tubuh Kyungsoo yang basah dan kaku. Kulitnya pucat dan dingin, Baekhyun tidak mau melihatnya…dia tidak mau Kyungsoo yang seperti ini.

“Kyungie…” dia menangis tersedu-sedu. Entah berapa kali duah Baekhyun menyebutkan nama itu. “Kyungie, maafkan aku. Jangan pergi…”

Baekhyun pikir, di mana lagi dia akan menemukan sahabat seperti Kyungsoo?

Baekhyun pikir, siapa lagi yang akan mengingatkannya mengerjakan PR matematika dan memukul kepalanya jika dia salah menghafal pelajaran sejarah?

Baekhyun pikir, jika Kyungsoo pergi, apa yang akan dia perbuat untuk melalui hari-harinya tanpa Kyungsoo?

Baekhyun pikir, siapa yang akan menemaninya makan sandwich tuna di kantin? Siapa yang akan mengedit tulisannya yang hancur parah?

Baekhyun pikir, tanpa Kyungsoo…dia tidak akan pernah menjadi penulis hebat seperti yang selama ini dia pikirkan.

 

Baekhyun pikir…

 

Baekhyun pikir…

 

Baekhyun pikir…

 

Baekhyun pikir…

 

“Baek?”

 

Suara parau itu!

 

WHOA!!!” Baekhyun melompat menjauh dari tempat tidur Kyungsoo, dia menempel di dinding sambil memegangi dadanya. Jantungnya berdetak cepat saat melihat Kyungsoo membuka matanya, sedang melirik ke arahnya.

Well, Baekhyun pikir Kyungsoo sudah mati.

“AKU PIKIR KAU SUDAH MATI, KYUNGIE!!! KARENA MEREKA BILANG…mereka bilang…” Baekhyun berpikir sejenak dan dia mengingat sesuatu. “Mereka bilang kau tidak mati, sih.”

Kyungsoo tertawa dan meringis setelah itu, membuat Baekhyun mendekat padanya dan berkata, “Apa kau baik-baik saja, Kyungie?”

“Kepalaku sakit sekali. Apa yang terjadi padaku?” Kyungsoo balik bertanya.

“Kita bertengkar, aku memanggilmu di tengah hujan, tapi kau—“

“Aku ingat bagian yang itu. Setelahnya, Baek.”

“Oh—“ Baekhyun tampak menimbang-nimbang perkataannya. “Kau tahu…papan reklame Nature Republic yang ada gambar Taeyeon-nya di depan sekolah kita?”

“Yang selalu kau foto setiap pagi?”

Baekhyun mengangguk. “Angin kencang meniupnya dan menimpa tubuhmu.”

Oh! Sial. Itu ‘kan besar sekali!

“Dan a-aku…aku pikir kau akan menjadi seperti daging cincang setelah mereka mengangkat papan super besar itu, tapi…” Baekhyun menangis lagi. “Kau selamat.”

Ini sedikit ambigu. Baekhyun menangis karena dia sedih Kyungsoo selamat atau dia senang karena Kyungsoo selamat dari maut?

“Dan kau pasti senang dan mengharapkan kematianku,” kata Kyungsoo mendelik ke arah Baekhyun. Baekhyun segera menepis kenyataan itu, dia bahkan marah padanya.

“Bagaimana bisa kau berpikir seperti itu!!” Lalu tanpa sadar Baekhyun memeluk Kyungsoo, tak pedulikan kenyataan yang beberapa menit lalu perawat katakan bahwa Kyungsoo mengalami patah rusuk dan tangannya remuk di beberapa bagian. “Aku takut kehilangan sahabat sepertimu, oke?”

Kyungsoo pun mengerti, dia tidak pernah bisa terlalu lama marah pada Baekhyun. Walaupun dia super duper aneh…tetap saja, Kyungsoo tak bisa membencinya, jadi apa yang tadi siang dia katakan itu sebenarnya diucapkan dengan setengah hati.

“Maaf, kami harus membawa Kyungsoo ke dalam ruang operasi. Orang tuanya telah memberikan persetujuan untuk mengoperasinya.”

Baekhyun melepaskan pelukan itu, mengikuti Kyungsoo hingga di muka pintu ruang operasi dan melambaikan tangannya lemah. Kyungsoo pikir, ini sangat konyol.

 

Untung aku tidak mati tertimpa papan reklame Nature Republic. Apa jadinya jika hal itu terjadi? Apa judul headline di koran-koran nanti? ‘Seorang Siswa Sekolah Shinwa Tewas Tertimpa Papan Reklame Nature Republic yang Dibintangi Taeyeon SNSD’???

 

Eumm…ya, itu konyol.

 

***

“Kyungie, aku yakini cerita yang kutulis ini punya kata The End.”

“Oh ya? Coba kulihat?”

“Oh, oh, oh! Buka dari lembar terakhir buku tulis ini.”

Kyungsoo membuka buku bersampul merah itu dari bagian belakangnya dan tersedak ludahnya sendiri saat melihat ada namanya di sana sebagai tokoh dalam cerita.

“Aku menggunakan namamu,” senandung Baekhyun riang.

Kyungsoo tak mempermasalahkan hal itu. Dia tidak mengerti mengapa Baekhyun menyuruhnya membaca dari halaman belakang. Cerita yang ditulis Baekhyun kali ini adalah tentang Kyungsoo sebagai korban monster laba-laba besar yang menyerang kota. Dan dia benar-benar mati di sana. Scene terakhir menyatakan bahwa Kyungsoo tewas dilahap monster laba-laba. Monster itu memakannya dari kaki, badan, lalu kepala. Tidak, Kyungsoo tidak mempermasalahkannya, dia bahkan terkejut ada kata ‘THE END’ di sana yang berarti…

“Kau menyelesaikannya?”

Baekhyun tidak menjawab, hanya menyunggingkan senyuman tipis. Tunggu—ini patut dicurigai.

 

Dan…

 

Benar saja.

 

“Yah! Apa-apaan ini?? Kau hanya menulis bagian akhirnya!” Kyungsoo membalik halaman per halaman ke dan hanya menemukan kertas kosong tanpa coretan sedikit pun. “Byun Baekhyun—“

“Kau bilang kau selalu ingin melihat kata THE END di tulisanku. Nah, sekarang aku menciptakan sebuah metode yang aku yakin kali ini pasti selesai.” Baekhyun menunjuk buku itu. “Aku akan menulis dari halaman belakang, lalu maju, maju, maju dan maju sampai ke halaman depan—ke awal cerita.”

Kyungsoo melongo, bagaimana mungkin bisa begitu.

“Dan…karena setiap orang bilang kalau kau sudah menulis kata THE END, maka kau bisa menentukan judulnya. Aku pun memberi judul untuk ini. Sungguh, aku tidak punya ide lain, mungkin kau punya satu yang bagus, Kyungie?”

Mereka kembali ke halaman buku paling depan dan Kyungsoo rasanya ingin menangis melihat judulnya. Tapi sebelum dia menangis, dia ingat ini Byun Baekhyun, si penulis aneh yang bercita-cita jadi novelis terkenal. Jadi, Kyungsoo hanya bisa tertawa sebagai tindakan untuk menyembunyikan air matanya.

“’Kyungsoo Dies At The End’. Aku bahkan menggunakan bahasa inggris, Yeay! Bagus tidak?”

Kyungsoo menganggukan kepalanya dan tersenyum. “Ini judul yang sangat bagus, Baek.”

 

 

To Be Continued

THE END

a/n:

I…am…sorry?

Maaf untuk segala kebodohan dalam meletakkan kata di Microsoft Word belakangan ini, dan aku berakhir jadi seperti ini :(

And this fic reminds me of…someone…Kkkkk xD

DAN SEBENERNYA AKU GAK SELESAI NONTON ‘JOHN DIES AT THE END’ HAHAHAHAHAHAHA AKU TIDUR AJA WAKTU NONTON TAPI ASELI LAH FILM ITU… XD KALO ADA DARI KALIAN YANG NONTON ITU DAN SAMPE ABIS, TOLONG JELASIN KE AKU YA SEBENERNYA FILM ITU TENTANG APA AHAHAHAHA


A Bunch of Baby [Sehun The Youngest Appa]

$
0
0

Sehun The Youngest Appa

Cast: Sehun [EXO-K] || Genre: Comedy, Fluff, Family || Rating: G

Soundtrack: Katy Perry – Roar

Summary:

Menurutnya, dia adalah ayah termuda sejagat raya. Dia bilang menjadi ayah itu tidak seru. Namun pada akhirnya, dia rela melakukan apa pun untuk gadis kecilnya.

Termasuk membelikannya seekor gajah.

Dia adalah Oh Sehun.

Read this too :D

Kai || Chen || Luhan || Kris || Chanyeol || Tao

***

Sehun benci rumah sakit.

 

Sehun benci tempat itu sampai di kedalaman hatinya. Bagaimana aroma antiseptik terasa sangat mengganggu bulu hidungnya dan Oh Sehun tahu dia seharusnya tak berada di sana. Seharusnya dia berlari selagi ada kesempatan, bukannya duduk di bangku panjang berwarna biru. Mungkin saja bangku itu penuh kuman dan bakteri. Ugh, Sehun benci membayangkannya. Dia harus mandi beberapa kali sepulang ini. Ya, harus!

Namun, seluruh hatinya menahan tubuh itu agar tetap menunggu dengan sabar. Satu jam berlalu, dua jam berlalu—waktu terus bergerak selagi Sehun seribu kali berjalan bolak-balik bagai setrikaan di lorong itu, tanpa bisa menghilangkan degupan jantungnya yang berdetak seribu kali lebih cepat dari biasanya.

Melihat tas besar miliknya, juga beberapa barang-barang seperti baju bayi, sepatu, botol susu; Sehun ingin sekali mengambil ponsel di kantung celananya dan menelepon sang ayah untuk bertanya: Halo Ayah, apakah seperti ini rasanya menunggu persalinan?

Pikiran Sehun melayang sementara dokter belum juga keluar dari sana. Sehun sendirian berdiri di dekat jendela, hujan turun pukul tiga pagi dan dia sangat cemas. Wow, dia baru berumur 20 tahun dan merasakan kecemasan tingkat tinggi seperti itu. Terkadang Sehun memikirkan banyak hal sampai dia tidak bisa berbicara apa-apa lagi ketika menerima berita yang mencampur adukkan emosinya. Mungkin Jongin bisa membantunya.

 

Halo, kediaman Kim Jongin.

“Jongin?”

Oh! Hei, Sehun, apa itu kau? Bagaimana keadaan Minji?

“Dia…baik-baik saja. Dia sudah melahirkan.” Suara Sehun melantun pelan di telepon sehingga Jongin di seberang sana harus menempelkan lekat-lekat telepon ke telinganya.

Laki-laki atau perempuan?” tanya Jongin ceria, lalu juga ada suara Soo Jung di sana yang ikut bergabung ingin mendengarkan berita dari Sehun. “Halo, halo, Sehun! Ini aku Soo Jung. Bagaimana dengan anakmu?

Ish! Bisakah kau tenang sedikit, Soo Jung-ah? Sehun baru saja akan bercerita dan kau menginterupsinya.” Sehun terpaksa mendengar pertengkaran kecil mereka sejenak di telepon sebelum Jongin kembali fokus padanya. “Jadi, Sehun, anakmu perempuan atau laki-laki?

Sehun menggigit bibirnya dan melihat dari luar jendela kamar, Minji beserta bayi mungil di pelukannya tersenyum menembus hati kecil Sehun. “P-perempuan,” jawab Sehun setengah berbisik.

Woah! Selamat, Sehun! Dia pasti sangat cantik, iya kan? Dia juga—

“Jongin,” potong Sehun menghentikan Jongin yang hendak berceloteh panjang lebar soal ini.

Ya?

Pria kurus itu menyisir poninya yang basah akan keringat ke belakang. Entah sejak kapan menelan ludah itu terasa sulit karena kini Sehun juga sulit bernapas seakan ada tali yang mengikat lehernya. Sebuah sensasi aneh menuruni dadanya setiap kali melirik ke arah Minji.

“A-aku jadi ayah…”

Tentu saja kau jadi ayah, Bodoh! Memang kau mau jadi ibu?!” ujar Jongin tergelak.

 

Tapi bukan, bukan itu masalahnya.

 

“A-aku jadi ayah! Ayah, Jongin!!” tiba-tiba Sehun histeris, menyebut kata ayah berulang-ulang kali dan dunia seakan berjungkir balik, membanting tubuh kurus itu ke darat, mencelupkan dirinya ke dalam air laut, tenggelam dalam samudera. Ini parah.

“AKU JADI AYAH, JONGIN! AKU JADI AYAH DAN AYAH!” jeritnya tak terkendali, tak pedulikan lagi ini adalah rumah sakit.

Lalu?” tanya Jongin datar.

“Aku jadi ayah…” suara Sehun penuh keputusasaan. Dia mau mati saja. “Aku jadi ayah termuda di dunia dan namaku akan tercatat di Guinness Book Of World Records,” ujarnya sarkatis.

Hei, jangan berlebihan! Kau pikir aku tidak terjebak di situasi yang sama—aww! Soo Jung, kenapa kau memukul kepalaku?!” pekiknya kesakitan di seberang sana, lalu kembali bicara, “ayolah, Sehun. Menjadi ayah itu tidak buruk. Kau punya anak yang lucu, bermain dengannya setiap saat…

Mendengar perkataan Jongin selalu membuat Sehun sedikit percaya diri dan kembali melirik bayi perempuannya di dalam ruang kamar 102.

Sekarang bayi itu menguap kecil dengan mata bulatnya yang terpejam rapat. Bibir mungilnya berwarna merah muda, mirip Sehun. Mata itu mirip Minji dan semua perawat mengakui bahwa bayi yang diberi nama Oh Min Hee ini mirip dengan ayahnya secara keseluruhan, namun Sehun hanya mematung mendengar pernyataan itu.

Dia harus senang atau apa? Dia harus bereaksi seperti apa? Sehun juga tak tahu.

Jongin telah lebih dulu menjalani peran ayah dan melihatnya, sepertinya menjadi ayah tak terlalu buruk. Sehun hampir memercayainya sebelum…

Jadi ayah itu seru, Kawan. Contohnya, aku selalu bermain dengan Moonkyu setiap minggu, mandi bersamanya, meninabobokannya sebelum tidur dan—Moonkyu!!” Jongin memekik tertahan. “Moonkyu, apa itu makalah penelitian ayah?? Kau pipis di atasnya??!!”

 

Cklek…tuuuuuut…

 

Jongin menutup teleponnya dan Sehun bisa membayangkan seperti apa kehidupannya setelah menjadi seorang ayah.

“APANYA YANG SERU KALAU ANAKMU PIPIS DI ATAS MAKALAH PENELITIANMU!!” maki Sehun sia-sia di ponselnya, berharap Jongin dapat mendengar teriakan penuh frustasi itu dan sadar bahwa…ini akan sangat sulit. Sehun berumur 20 tahun dan dia menjadi ayah termuda di dunia (menurut dirinya sendiri).

 

Bagaimana hari-harinya ke depan?

 

Menjadi ayah tidak seru.

 

***

Sehun ingat…

 

Dia adalah anak paling menyebalkan sejagat raya dan bayi paling cengeng berdasarkan cerita ibunya dulu. Sehun sering menangis, tak pedulikan itu malam atau siang, pagi atau sore. Sehun si bayi kecil terus menangis dan tangisannya yang melengking selalu memenuhi hari-hari kedua orangtuanya. Sehun tidak berharap mau mendengarnya karena bayi jenis seperti itu tentu menyebalkan. Sangat.

Well, Sehun tidak mendengar hal itu terjadi di apartemen kecil miliknya. Min Hee si bayi mungil yang berumur tiga bulan hanya menangis beberapa kali sehari oleh karena dia lapar atau buang air. Tapi kali ini Sehun yang harus menangis.

 

Ya, pria muda itu menangis.

 

“Apa kau bercanda??!!” Ini adalah ke-20 kalinya Sehun memekik dalam hari itu. Alisnya bertemu di tengah dan dia duduk setengah tidak percaya di tepi tempat tidur; memperhatikan bagaimana Minji membereskan baju-bajunya ke dalam koper.

“Kau mau meninggalkanku bersama Min Hee satu hari lamanya??”

“Aku harus pergi membantu kakakku di Busan. Toko rotinya buka hari ini dan tak ada yang membantunya,” jawab Minji.

“Di mana suaminya? Di mana orang tuamu? Apa tidak ada orang lain yang dapat membantunya selain dirimu?” ujar Sehun tak sabar dan menghentikan aktivitas sang istri.

Minji berdecak sebal. “Kalau ada, aku tentu tidak perlu ke sana, Sehun. Aku benar-benar harus pergi.” Wanita itu melepaskan tangan Sehun dan kembali membereskan barang-barangnya.

“Tapi apa yang harus kulakukan dengan Min Hee? Aku tidak tahu bagaimana cara mengurusnya!” Sehun mengubur wajahnya di telapak tangan. Kegelapan segera menyambutnya dan dia ingin sekali lompat keluar lewat jendela.

Minji mengusap kepalanya lembut, lantas berjalan ke sana ke mari mengambil beberapa peralatan make up.

“Kau pasti bisa mengurusnya.”

“Bagaimana kalau aku menyakiti Min Hee?”

“Maksudmu?”

“Mungkin aku tidak sengaja mencelupkan Min Hee ke bak mandi, salah memberinya susu, lalu membuka jendela dan tiba-tiba Min Hee terjun bebas dari sana tanpa sepengetahuanku…”

Jujur saja itu adalah alasan yang tidak masuk akal, Sehun. Bagaimana mungkin bayi berumur tiga bulan dapat terjun bebas dari jendela? Atau bagaimana bisa Sehun membiarkan anak itu tenggelam di bak mandi?

Minji menatapnya dingin dan Sehun segera menambahkan, “Kau tidak baca koran kalau belakangan ini banyak sekali kecelakaan yang disebabkan oleh kelalaian orangtua?”

Minji masih menatapnya seperti itu.

“Makanya jangan pergi, ya? Kumohon…” Sehun memeluk kaki sang istri.

Namun itu tidak mengubah apapun. Minji tetap pergi meskipun Sehun berlutut dan berkata, “Aku mencintaimu, aku tidak bisa hidup tanpamu.”

Dan komentar terakhir yang Minji ucapkan sebelum menutup pintu itu adalah:

 

“Kau berlebihan. Jaga Min Hee sampai aku pulang, oke? Daaahh!”

 

“JANGAN TINGGALKAN AKU, MINJI!!”

 

***

Tegakah Minji? Meninggalkan pria berumur 20 tahun dalam kondisi super labil bersama bayi yang baru berumur 3 bulan dalam apartemennya.

Sehun mandi di pukul sembilan pagi. Mencuci mukanya sekitar delapan kali dan bolak balik keluar kamar mandi, lalu ada sebuah kenyataan yang tak bisa dia hindari, yaitu Min Hee si bayi kecil masih berada di dalam box bayi.

Tidak. Bukan berharap dia menghilang atau apa, Sehun hanya tidak mengerti mengapa hari ini harus datang—ketakutan yang selalu dia pinta dalam doa agar tidak mampir harus datang padanya. Bukan karena apa-apa, Sehun merasa Tuhan menciptakannya tidak untuk punya anak—melainkan hanya sebatas mengurus kucing di rumah orang tuanya.

Oh my God, apa yang harus kulakukan?” tanya Sehun mengintip dari balik pintu, memperhatikan Min Hee yang berbaring terlentang di sana. Tangannya bergerak-gerak dan kakinya menendang-nendang udara.

Sesungguhnya, Sehun tak perlu melakukan apa-apa. Yeah, mungkin jika dia mau, dia bisa bermain dengan si bayi kecil—itu lebih bagus. Tapi dia tentu harus melakukan sesuatu dalam beberapa kasus tertentu.

“Aku harap dia tidak menangis, karena kalau iya—“

 

Dan Min Hee menangis.

 

“TIDAAAAAAAAAK!!!!” Sehun ikut menjerit dan berlari mengelilingi apartemennya yang kecil. Sempat tersandung karpet, jatuh, berdiri lagi, berlari lagi, dan berhenti sejenak di depan kamar Min Hee untuk melihat keadaannya.

 

Min Hee masih menangis.

 

“TIDAAAAAAAAAAK!!!!” Sehun berlari ke ruang teve, bermaksud menelepon 119 untuk bantuan. Hell, jemarinya gemetaran saat menekan tombol.

Menunggu…

Menunggu nada sambung itu berhenti dan pada akhirnya seorang wanita menjawab di seberang sana.

Halo, 119. Keadaan darurat apa yang kau alami?

“ANAKKUMENANGISDANAKUTIDAKTAHUAHARUSBERBUATAPABISAKAHKAUMENGHENTIKANNYA???!!!!”

Oke, tenangkan dirimu. Bolehkah kami tahu identitasmu dan di mana kau berada sekarang?

Sehun mengambil napas panjang dan mulai berbicara, “Namaku Oh Sehun dan aku berada di apartemen SummerSet nomor dua ratus tiga puluh satu. Dan anakku menangis, kumohon tolong hentikan dia.”

Apa? Anakmu?

“Ya, ya, ya! Dia anakku, namanya Oh Min Hee, beratnya tiga setengah kilogram saat lahir dan dia menangis sekarang. Tolong—“

Oh, maaf, nak. 119 bukan tempat untuk bermain. Kau pasti hanya anak sekolah yang tidak punya kerjaan dan menelepon ke sini. Tidak lucu, nak. Kenapa kau tidak mengerjakan PR saja?

Sehun menjauhkan telepon dari telinganya—menatap telepon warna putih itu dengan mata tidak percaya. ‘Nak’? Siapa yang kau sebut ‘nak’? Sehun baru saja ingin membuka mulut untuk protes, tapi dia kembali menutupnya setelah wanita itu memutus teleponnya.

Okay, fine! Lakukan sesukamu! 119 tidak berguna!” dia menutup telepon. “Dan aku bukan anak sekolahan! Aku sedang kuliah!” timpalnya. “Dan tugasku banyak!” dia menendang meja telepon. “Aww!!”

 

Dan Min Hee masih menangis.

 

Sungguh, Sehun tidak punya pengetahuan yang cukup luas. Well, sebenarnya bukan itu akar permasalahannya. Sehun hanya takut jika dia mengangkat tubuh ringkih itu, tiba-tiba Minji mati karena dia terlalu erat mendekapnya atau dia salah menggendongnya lalu tiba-tiba tangan Minji patah. Ugh, itu tidak lucu, sumpah.

“Min Hee, berhenti menangis ya? Ayah tidak tahu apa yang harus kulakukan padamu.”

Sehun mengulurkan tangannya untuk menggendong anak itu dan menariknya lagi. “Aku tidak bisa melakukannya!”

Dan astaga, jam tujuh malam itu masih lama.

“Bermain bersama ayah, oke? Oh—oh, gwiyomi! Ayah pintar melakukannya. Perhatikan, ya, Min Hee.” Sehun mulai menyanyikannya dengan suara sumbang yang super duper…sumbang. Ya, sumbang. Berusaha terlihat lucu, namun dia baru ingat dia bukan seseorang yang pro dalam melakukan gwiyomi.

Cara itu tak berhasil, pandangannya pun tertumbuk pada boneka hadiah Junmyeon, yaitu berupa boneka gajah warna abu-abu yang lucu. Sehun meraihnya dan memainkannya di depan wajah Min Hee dengan harapan bayi mungil itu akan berhenti menangis.

“Min Hee, lihat. Boneka gajah—“

Min Hee terdiam sejenak melihatnya, lalu beberapa detik kemudian dia menangis lagi.

“Oh tidak, tidak tidak, Min Hee. Berhenti menangis, oke? Kalau kau berhenti menangis, Ayah akan membawakan gajah sungguhan ke sini.” Konyol. Sungguh konyol. Dan itu terasa lebih konyol ketika Min Hee tak berhenti menangis.

Jam tujuh malam terasa lama tanpa Minji sang istri. Sehun tidak dapat membayangkan bagaimana jadinya beberapa tahun ke depan.

 

Menjadi ayah tentu tidak seru.

 

***

6 tahun kemudian.

 

Enam tahun kemudian, wow, semua orang hampir tak percaya Oh Sehun berhasil menjadi ayah selama itu. Dengan banyak prasangka buruk dari Do Kyungsoo seperti dia akan mencelupkan anaknya di bak mandi, atau kata Luhan dia akan meninggalkan Min Hee di taman depan apartemennya dan membiarkan anjing memakannya. Well, semua itu tidak terjadi dan Min Hee tetap hidup. Untunglah.

Enam tahun kemudian, Min Hee tumbuh menjadi anak yang cantik. Sedikit pendiam, namun semua orang menyukainya. Rambutnya yang lurus di kuncir dua dengan pita warna pink pagi itu dan dia duduk di meja makan, siap menyantap sarapannya dengan senyuman paling manis di dunia, menurut semua orang.

Tapi sayangnya, enam tahun berlalu dan entah apa yang Sehun lakukan, dia membuat gadis kecil itu lebih dekat pada ibunya ketimbang dirinya. Hubungan antara ayah dan anak ini sangat kaku—bisa dikatakan, sekaku kanebo yang sudah kering. Ah ya, seperti itu kurang lebih.

Di pagi yang cerah itu, keluarga kecil Oh Sehun berkumpul di meja makan dan sarapan bersama. Hari Sabtu hari ini ternyata Min Hee punya jadwal dari sekolahnya, yaitu studi tur ke kebun binatang bersama para orangtua.

“Sehun, bisakah kau menemani Min Hee ke kebun binatang?” ujar Minji seraya meletakkan roti di kotak bekal milik Min Hee. “Studi tur. Dia punya tugas dari sekolahnya untuk…apa, honey?”

“Untuk mendapatkan informasi tentang binatang dan mencatatnya di jurnal,” jawab Min Hee senang.

Minji tersenyum lebar. “Ya, untuk mendapatkan informasi tentang binatang. Itu sangat menarik, honey. Dan…maaf, Ibu tidak bisa menemanimu,” Minji melemparkan tatapan bersalah itu pada anaknya, lalu berpindah pada Sehun. “Aku tidak tahan dengan bau binatang-binatang itu. Jadi bisakah kau saja yang menemaninya?”

Sehun tidak ada masalah dengan bau binatang-binatang, karena percayalah, dorm yang dulu dia tinggali semasa kuliah bersama Jongin, Tao, dan Kris beraroma lebih busuk daripada bau binatang apa pun di muka bumi ini. Jadi…

“Ya, tentu saja.”

 

Sebenarnya yang menjadi masalah di sini adalah…

 

“Ayo Min Hee, kita berangkat.”

Tak ada panggilan ‘honey’, tidak ada sesi berpegangan tangan saat menuruni tangga, Min Hee berjalan di sampingnya seperti Sehun adalah orang asing dalam hidupnya, Min Hee memasangkan seatbelt-nya sendiri, dan perjalanan menuju kebun binatang…sangatlah sepi.

Sesepi dorm Sehun semasa kuliah saat dia belajar untuk ujian akhir.

***

Kau tahu? Ada beberapa situasi yang Oh Sehun paling benci di dunia ini. Pertama adalah ketika dosen di kuliahnya dulu jarang masuk dan ujian terasa seperti kiamat kecil baginya. Kedua adalah ketika keempat temannya sedang berkumpul dan seseorang kentut diam-diam, lalu tak mengakuinya. Ketiga adalah ketika kulitnya gatal pada malam hari, namun saat digaruk rasa gatalnya bukan terletak di sana, tapi terasa gatal, tapi ketika digaruk—hal itu tak mengurangi rasa gatalnya.

Dan lupakan semua situasi menyebalkan itu, karena yang satu ini lebih memuakkan dan membuat Sehun ingin melompat ke kandang singa detik itu—detik di mana dia sampai di depan gerbang kebun binatang.

Studi tur ke kebun binatang bersama para orangtua, ya? Batin Sehun pahit. Atau lebih tepatnya studi tur ke kebun binatang bersama para IBU, hah?

“Itu Min Hee.”

“Halo, cantik.”

“Min Hee manis sekali hari ini.”

Di sana hampir tidak ada ayah sejauh mata Sehun memandangnya. Yang ada hanyalah sekitar puluhan ibu-ibu yang menggandeng tangan anak-anak mereka. Kau tahu kan, tipikal ibu-ibu dengan lipstik merah, alis setebal angry bird, tubuh sebulat buah semangka, dan Sehun percaya mereka menghabiskan waktu untuk bergosip ria saat menjemput anak-anaknya di sekolah. Astaga, untunglah Minji bukan tipe ibu-ibu seperti itu.

“Hai, Min Hee, kau datang bersama…” Seorang ibu menghampiri mereka. “Kakakmu?”

Gadis kecil menggelengkan kepalanya cepat. “Bukan, Nyonya Kim. Ini ayah Min Hee.”

Sehun menyunggingkan senyuman tipis dan dia merasa senyuman itu pasti terlihat aneh. “Hai, aku ayah Min Hee. Namaku Oh—“

“Hei, ini ayahnya Min Hee!” sebelum Sehun selesai memperkenalkan diri, wanita bertubuh gempal ini terlanjur mengumumkan kedatangan mereka dan hal itu membuat hampir separuh dari jumlah ibu-ibu di sana datang bagaikan sekumpulan banteng dan mengelilinginya, mencubitinya, mengelus kepalanya, mengomentarinya, seperti:

“Ya ampun, ayah Min Hee masih muda ya.”

“Semuda ini sudah punya anak?”

“Anakku yang paling besar seumuran dengannya.”

“Astaga, kau terlalu imut untuk menjadi ayah.”

Mereka baru meninggalkannya setelah lima menit hal itu berlangsung—hal yang menurut Sehun seperti pengeroyokkan masal.

“Ayah tidak apa-apa?” tanya Min Hee cemas melihat rambut ayahnya yang berantakan tak karuan, juga kausnya yang sedikit miring.

Sehun menatap nanar ke arahnya seolah dia baru saja mengalami traumatis paling parah sepanjang hidupnya. Dia menggelengkan kepalanya, lalu terdengar dari kejauhan suara guru Min Hee yang menyuruh mereka mendekat untuk mendengarkan pengarahan.

“Hari ini, anak-anak Anda semua mempunyai tugas, yaitu mengamati para binatang yang ada di kebun binatang ini, mencari infromasi sebanyak-banyaknya dan akan mencatatnya di jurnal masing-masing. Anak-anak boleh mengamati binatang apa saja di sini, jumlahnya tidak ditentukan. Dan tolong, patuhi peraturan kebun binatang. Jangan memasukkan tangan ke dalam kandang, jangan memberi mereka makan….”

“Ingat itu, Min Hee,” gumam Sehun pelan.

Anak itu mengangguk.

“….dan para orangtua, jangan pernah melepaskan perhatian Anda dari anak-anak. Jaga mereka dan temani mereka ke mana pun mereka pergi.”

Mendengar hal itu, semua orangtua otomatis menggenggam tangan anak mereka. Sehun mau tak mau segera mengeluarkan tangannya dari kantung celana, lalu dia meraih tangan kecil milik gadis itu. Sehun merasakan Min Hee terkesiap di sebelahnya, memandangnya tak percaya.

Guru itu pun pada akhirnya tersenyum. “Sekian pengarahan studi tur kali ini. Anak-anak boleh pergi sekarang untuk mengamati binatang dan berkumpul kembali di sini untuk makan siang pukul dua belas tepat. Terima kasih.”

Sekumpulan manusia ini mulai berpencar, menyisakan Sehun dan Min Hee yang masih terpaku di sana.

“Kau mau mulai dari binatang apa, Min Hee?”

Gadis kecil itu menimbang-nimbang jawabannya sejenak dan berkata dengan suara yang teramat pelan—penuh keraguan. “Boleh Min Hee melihat ikan laut?”

“Tentu saja boleh. Ayo kita ke sana.”

 

Mereka berdua pun pergi.

 

***

Ini mungkin kali pertamanya Sehun dikelilingi oleh tangki-tangki besar dengan ratusan ikan warna-warni berenang bebas di dalamnya. Sehun mau tak mau terpana akan pemandangan itu, begitu juga dengan Min Hee yang tak bisa menutup mulutnya. Bahkan aroma amis tak mengganggu mereka sama sekali karena saking menikmati pemandangan menakjubkan di sana.

“Oh, Nemo!!” pekik Min Hee tiba-tiba menarik tangan Sehun untuk pergi ke tangki di mana puluhan ikan berwarna belang jingga dan putih itu berada. Mata Min Hee mengikuti pergerakan mereka dan dia mulai mengeluarkan jurnalnya dari dalam tas. “Min Hee mau mencatat yang ini.”

“Wow, ini seperti yang ada di dalam film ikan itu,” komentar Sehun sambil mendekatkan wajahnya ke kaca tangki.

“Itu adalah ikan di film Nemo, Ayah.”

“Oh.”

Sehun membaca penjelasan yang tertulis di papan dekat tangki tentang ikan ini.

“Lihat ini, Min Hee. Mereka bilang clownfishes atau anemofishes adalah ikan yang paling populer di akuarium laut. Mereka memiliki warna yang menarik, menunjukkan perilaku menarik, dan mereka adalah satu di antara ikan laut yang punya sifat tabah—eh, tabah? Mana ada ikan yang tabah!”

Membaca kata ‘tabah’, Sehun jadi teringat Junmyeon sang teman yang selalu tabah dalam semua situasi.

Walaupun sedikit membingungkan, Min Hee terus menulisnya.

Kemudian mereka berpindah ke tangki lain, di mana terdapat kepiting merah besar sedang berjalan menyamping di sana. Warna merahnya yang menyala mengingatkan Sehun pada Kyungsoo tanpa alasan yang pasti.

“Sebastian!” sorak anak itu melompat-lompat kegirangan. Dia menunjuk kepiting itu sambil menggoyangkan tangan Sehun. “Ayah, ada Sebastian di sini.”

“Hei, tahu dari mana namanya Sebastian?” tanya Sehun tak mengerti dari mana datangnya nama itu, karena di papan tidak ada nama Sebastian. Min Hee pasti keliru. Lagipula nama Sebastian terlalu keren untuk seekor kepiting.

Min Hee menelengkan kepalanya sedikit dan menatap penuh tanya sang ayah. “Ayah tidak tahu kalau Sebastian itu nama kepitingnya Ariel si Putri Duyung?”

Well, Sehun bukan ayah seperti Kris yang membacakan buku serial Disney pada Peizhi setiap kali mau tidur, tentu saja dia tidak tahu siapa itu Sebastian. Mungkin sehabis ini dia bisa mulai membacakan satu cerita untuk Min Hee setiap sebelum tidur.

“Oh, kalau begitu di mana Putri Duyungnya, hm?” tanya Sehun lagi sambil mengedarkan pandangan ke dalam tangki itu. (Apa kau bercanda, Oh Sehun?!)

Min Hee tak menjawabnya sebelum dia benar-benar selesai menulis di jurnal dan gadis kecil itu menutup bukunya. “Ayah mau lihat duyung?”

Sehun mengangguk antusias.

 

***

“Ini. Adalah. Makhluk. Paling. Jelek. Yang. Pernah. Kulihat.”

 

Sehun tak dapat mempercayai matanya. Dia mengira saat Min Hee menarik tangannya ke tangki nomor 23, dia akan menemui Putri Duyung super cantik—yang mungkin saja salah satu atraksi di kebun binatang ini, namun yang dia lihat sekarang adalah…

“Dugong?”

Min Hee mengangguk antusias sambil membacakan jurnalnya. “Duyung atau Dugong merupakan salah satu jenis mamalia di laut. Dugong juga adalah salah satu anggota dari jenis Sirenia atau sering disebut dengan lembu laut yang sampai saat ini masih bertahan hidup selain dari anggota manatee. Dan dia betina, Yah. Dia cantik, kan?”

Kini dugong betina itu berenang sambil berputar-pura dalam air, seolah sedang menari. Dan Sehun kaget setengah mati saat seorang anak berkata pada ibunya, “Bu, sepertinya dugong itu tertarik pada paman ini.”

Sehun jadi mual. “Min Hee, bisakah kita pergi keluar dari sini sekarang?”

“Tentu, Yah. Min Hee mau lihat monyet.”

 

Monyet lebih baik daripada duyung atau dugong atau apapun itu sebutannya!

 

***

Sehun tidak salah.

Monyet jauh lebih baik, karena badannya yang kecil begitu menarik dilihat. Monyet itu dengan lincah melompat ke sana kemari, dari satu pohon ke pohon lain sehingga Min Hee sulit mengambil fotonya menggunakan kamera ponsel milik Sehun.

“Yah, diamlah sebentar, Little Monkey. Kau tidak mau kufoto?” ujar Min Hee cemberut.

Tak tega melihat kekecewaan itu, Sehun mengambil kotak makan dari dalam tas Min Hee. Dia membukanya, melihat ada dua potong roti keju buatan Minji. Dalam hati dia meminta maaf sejuta kali pada Minji dan bergumam: persetan dengan peraturan kebun binatang.

“Apa yang Ayah lakukan?” Min Hee memekik tertahan saat melihat Sehun menyobek sedikit rotinya dan melemparkannya ke dalam kandang.

Sehun menempelkan jari telunjuk di bibir. “Psst, perhatikan.” Dia berjongkok di sebelah Min Hee dan begitu melihat si monyet itu berhenti melompat untuk memakan roti yang Sehun lemparkan, segera dia berkata, “Ayo ambil fotonya, Min Hee.”

Min Hee pun mengambil fotonya. Masih dalam keadaan bingung, dia menatap sang ayah. “Ayah, guru Lee bilang kita tidak boleh memberi mereka makan.”

Sehun berdecak. “Jangan didengarkan. Ini hanya roti keju. Min Hee makan roti keju setiap hari dan sehat-sehat saja, kan?” Sehun berkata seraya menyunggingkan senyuman nakalnya. “Tambahkan informasi ini di jurnalmu. Katakan bahwa monyet suka makan roti keju.”

Ini mungkin bukan tindakan yang benar, bukan sesuatu yang patut dicontoh. Tapi melihat senyuman bahagia di wajah Min Hee membuat hatinya hangat, sensasinya mirip seperti saat dia minum cokelat hangat di musim dingin. Dan Sehun menyadari bahwa Min Hee begitu cantik, manis, mirip Minji.

Sehun mencubit hidung mungil itu dan beranjak. “Ayo kita pergi ke tempat lain sebelum waktu makan siang.”

Min Hee mengangguk, menggenggam tangan Sehun erat seakan tak akan pernah melepaskannya.

 

Binatang yang mereka lihat selanjutnya adalah burung kakaktua berwarna putih.

Sehun lagi-lagi melanggar peraturan. Salahkan sekantung biskuit yang dia temukan di dalam kantung celananya. Setelah memastikan tidak ada penjaga di sana, dia memberikan burung kakaktua itu sepotong kecil biskuit dan burung itu terlihat menikmatinya. Bahkan dia bersuara dan meminta biskuit tambahan.

“Tambah, tambah!”

“Kau rakus juga, ya?” kata Sehun setengah tertawa. “Min Hee mau coba memberinya makan?”

Gadis kecil itu menggelengkan kepalanya ragu sambil tersenyum dalam diam pada awalnya, beberapa detik kemudian dia akhirnya mengangguk. Sehun menggendongnya, menuntun tangan itu terulur ke arah mulut si burung kakaktua. “Hati-hati tanganmu.”

Bahagia adalah kata yang mewakili perasaan si burung kakaktua itu. Dan tanpa sadar Sehun juga merasa bahagia. Seru juga adalah kata yang dia temui  saat seorang petugas mempergoki mereka dan yang bisa dia lakukan adalah berlari.

”Lari, Min Hee!”

Sehun berlari seraya menggendong Min Hee di tangannya. Mereka tertawa, mereka bahagia. Ya, sangat bahagia. Ini bahkan terasa lebih seru daripada waktu kabur dari perkumpulan organisasi bersama Jongin dulu.

Pria berumur 26 tahun itu berhenti berlari beberapa saat kemudian. Masih dalam keadaan tertawa bersama Min Hee. Mereka berjalan, berjalan dan berhenti di depan kandang gajah yang merupakan favorit Min Hee. Gadis kecil itu menulis informasi tentang gajah ini lebih panjang dari binatang yang lainnya. Sehun memperhatikan bagaimana gadis kecil itu mengeluarkan lidahnya saat menulis dan dia tak menyangka dia menuruni kebiasaan itu pada Min Hee.

“Kau suka gajah?”

Min Hee mengangguk antusias. “Sangat suka.”

“Kenapa?”

Tanpa berpikir panjang, Min Hee langsung berceloteh, seolah jawaban itu telah dia siapkan sedari dulu. “Karena gajah itu lucu, Yah. Warnanya abu-abu mirip boneka gajah milik Min Hee di rumah, si Mr. Elvi. Belalainya panjang, badannya besar, dan dia terlihat kuat. Angin kencang pun tidak mungkin dapat menggoyangkan badannya, Yah.”

Sehun membulatkan mulutnya tanda mengerti.

“Dan dia tidak sulit disuruh makan, Yah. Min Hee pernah melihatnya di teve. Gajah makan semua yang penjaga berikan padanya.”

Mendengar kepolosan yang terucap dari bibir anak itu, Sehun tertawa. Gelembung-gelembung kebahagiaan memenuhi dadanya dan siap menerbangkannya.

“Mau berfoto dengan Tuan Gajah yang satu ini?” tanya Sehun. Min Hee mengiyakan pertanyaan itu tanpa pikir panjang dan berpose begitu menggemaskan di depan kandang. Sehun mengambil beberapa foto mereka berdua sebelum kembali ke tempat tadi untuk makan siang.

Bye, Mr. Elephant!

 

***

Enam tahun yang lalu…

Sehun adalah ayah yang paling payah di dunia. Dia takut menyentuh Min Hee, anak itu menangis dan tak ada yang bisa dia lakukan. Dia bahkan menelepon 119 untuk menghentikan tangisan Min Hee yang memekakan telinga. Dia bahkan pernah berpikir mungkin lebih baik mengurus kucing saja daripada harus mengurus anaknya sendiri. Dia pernah berpikir, mungkin dia selamanya tak akan pernah dekat dengan Min Hee—hubungan mereka akan kaku, sekaku kanebo kering.

Tapi satu yang tak disangka adalah ketika hal itu berubah dalam satu hari setelah enam tahun lamanya. Dia menggenggam tangan kecil itu, dia menggendong tubuh mungil itu, dia tertawa bersama gadis kecilnya dan itu membuatnya bahagia. Dan momen ini—situasi ini—adalah favoritnya sepanjang masa.

Tidak akan terlupakan.

Lagipula Sehun juga tak terlalu buruk dalam menyuapi Min Hee di taman. Dia juga ikut mengobrol dengan para ibu-ibu di sana. Ini aneh, dia ternyata bisa juga mengikuti topik pembicaraan mereka.

“Ayah, boleh Min Hee naik ayunan?”

“Tentu, Ayah akan mengawasimu dari sini. Hati-hati, honey.”

Sehun tersentak akan perkataan yang baru saja dia ucapkan. Tidak, tak ada rasa menyesal karena ternyata panggilan ‘honey’ memang pantas untuk seorang Min Hee.

Min Hee itu manis, semanis madu. Tak ada satu pun perkataannya yang pernah menyakiti orang lain. Bodoh adalah ketika Sehun baru menyadarinya sekarang, betapa beruntungnya dia mendapatkan anak seperti Min Hee. Keluarga kecil ini tentu sangat dia cintai.

Hatinya sedikit sakit mengingat betapa buruknya dia menjadi seorang ayah. Min Hee pantas mendapatkan ayah yang lebih baik darinya, namun setelah membayangkan Min Hee bersama ayah lain…tidak, dia tidak mau hal itu terjadi. Dia mau Min Hee selamanya bersamanya.

Seraya pikiran itu melambung tinggi di udara, tiba-tiba matanya melihat Min Hee terlalu kencang mengayun ayunannya dan jantung Sehun berhenti berdenyut ketika melihat anak itu terpelanting—jatuh ke tanah dengan posisi tubuh menelungkup.

“Min Hee!!!!”

Kaki itu membawanya ke tempat di mana Min Hee jatuh lebih cepat dari tsunami melanda daratan. Tak pedulikan jinsnya yang berwarna terang, Sehun berlutut di tanah dan mengangkat Min Hee cepat.

“Min Hee, kau tidak apa-apa?” Sehun panik.

Untunglah hanya lututnya yang tergores. Anak itu menangis sejadi-jadinya dan Sehun merasa sangat bersalah. “Min Hee, jangan menangis. Sssttt…tidak apa-apa, oke. Jangan menangis lagi.”

Sehun memeluknya, mencium keningnya, apa saja yang membuatnya berhenti menangis saat luka di lututnya dibersihkan dan diberi obat. Min Hee masih menangis.

“Min Hee, anak yang kuat. Jangan menangis lagi, honey,” Sehun mengelap air mata dipipi gadis kecilnya. “Maafkan Ayah, oke? Maaf membiarkanmu jatuh seperti itu. Ayah memang bodoh, Ayah memang bodoh!” Sehun memukul kepalanya sendiri dan berkata lagi, “Jika Min Hee mau, Ayah bisa membelikanmu gajah yang besar agar gajah itu bisa menghukum Ayah dengan belalainya—“

“Ayah mau membelikan Min Hee seekor gajah?” anak itu tiba-tiba memelankan tangisannya.

“Iya, apapun yang Min Hee mau,” jawab Sehun cepat.

Min Hee memeluk Sehun lagi dan tangisan itu sekejap berganti senyuman kecil khas miliknya. “Min Hee mau gajah, tapi gajah itu tidak boleh menghukum Ayah. ‘Kan Ayah yang membelinya.”

Sehun tidak bisa berkata apa-apa selain memeluk Min Hee erat, napasnya kembali berembus tenang seraya rasa bersalah meluruh dengan sendirinya.

 

Apapun yang bisa membuat Min Hee bahagia.

***

“Minji.”

“Ya?”

“Kira-kira berapa harga seekor gajah?”

“Apa?”

Minji membuka matanya setelah dia berusaha keras untuk tidur. Dia menatap Sehun bingung. “Gajah?”

Lalu Sehun menceritakan tentang janjinya membelikan Min Hee seekor gajah. Itu adalah janji paling konyol dan paling tidak realistis, namun Min Hee terlanjur mengingatnya.

“Kita tidak akan bisa membelinya, Sehun,” kata Minji.

“Aku akan meminjam uang dari Junmyeon-hyung.”

Sehun mengambil ponselnya dan mengetik di sana.

 

From: Sehun

To: Junmyeonnie-hyung

Hyung, aku mau pinjam uang :)

 

From: Junmyeonnie-hyung

To: Sehun

Untuk apa? O.O

 

From: Sehun

To: Junmyeonnie-hyung

Untuk membeli gajah ._.v

 

From: Junmyeonnie-hyung

To: Sehun

GAJAH???? KAU SUDAH GILA YAAAA!!!!

 

Sehun menghela napas. “Junmyeon-hyung tak mau meminjamkan uangnya. Sial.”

Minji tertawa dalam diam dan ini sudah pukul 11 malam. Dia menyelimuti Sehun, memejamkan mata untuk kesekian kalinya.

“Kita akan pikirkan lagi besok, Sehun-ah.”

Sehun mengangguk dalam kegelapan kamar mereka, memandangi wallpaper ponselnya—Min Hee dan Tuan Gajah.

“Ya, aku pikir aku akan menyicil dengan membeli kandangnya terlebih dulu.”

Ya, apa pun untuk gadis kecilnya yang manis.

 

My Honey Min Hee.

 

A bunch of baby.

 

THE END

A/N:

ABOB!!! AYEY!!!

Pertama-tama, maaf untuk keterlambatan yang super duper ini. I’m lame, I know. Tapi pada akhirnya, aku menyelesaikannya huhuhu :”)

Kedua, terima kasih untuk kalian yang sudah mau menunggu fanfic ini muncul kembali. Waktu itu aku janji sama beberapa reader untuk publish fic ini di bulan Januari, tapi ternyata aku menyelesaikannya di tanggal 1 februari hehehe maaf ya, meleset satu hari gapapa kan? *winkeu winkeu*

Dan yang terakhir, saya mau kasih bocoran hohoho

Sebenernya  aku nyicil nulis tiga abob dalam  dua bulan dan melihat yang mana yang paling cepet ditulis.

Tiga abob itu adalah: Sehun, Baekhyun, Lay.

Dan ternyata Sehun yang paling cepet kelar (yehet!)

Jadi…

Ya, nantikan siapa yang akan duluan kelar atau mungkin yang lainnya bisa aja muncul. I’m random, I know >.<

Okay, sekian terima kasih. Ditunggu reviewnya :)

YEAH-EAT-IT

(This is the cutest dugong i’ve ever seen, why sehun doesn’t like it?)


It Must Be True Love

$
0
0

tumblr_mxlev2TBIP1qde8rwo2_400

Cast: Chanyeol [EXO-K] & Yejin [OC] | Genre: Slight!Comedy, Romance | Rating: Pg-15 | Length: >3000wc

Soundtrack: Pink ft. Lily Alen –True Love

Summary:

You’re an asshole but I love you

Warning:

Related to Al Capone, so yeah, a lot of swears

AND I AM SORRY FOR THE SUMMARY HAHAHA XD

AND THE POSTER TOO, I AM LAZY I KNOW

 

***

Yejin membenci Park Chanyeol melebihi apapun.

Rasa bencinya terhadap Park Chanyeol lebih tinggi daripada rasa benci terhadap kecoa atau cacing yang menggeliat di tanah. Entah apa yang merasuki gadis itu hingga melihat wajah Park Chanyeol dari kejauhan lorong kampus membuatnya mual dan lebih memilih mengumpat di balik punggung sahabatnya daripada bertemu dengan lelaki itu.

“Oh my God, oh my God! Sembunyikan aku darinya,” bisik Yejin melihat sosok itu mulai melangkah ke arahnya. Senyuman di wajah si jangkung itu terlalu lebar, menurut Yejin. Rambutnya yang sedikit gondrong dan keriting menjuntai berantakan. Matanya tersembunyi di balik poni itu, membuat Yejin ingin menjepit poni itu. Sepatunya juga sangat kotor, Yejin bersumpah dia mau menyikatnya sampai bersih.

Apa? Menyikat sepatu si tinggi dan bodoh ini?

“Hei, sahabatnya-Yejin-sejak-kelas-empat!” Dia memanggil sahabat Yejin begitu. “Apa kau melihat Yejin?”

“Umm…tidak,” Sahabat Yejin bertubuh sedikit gemuk, sukses menyembunyikannya dari si Park Chanyeol.

“Oh ya? Aku melihatnya di sekitar sini tadi. Tapi…tiba-tiba dia menghilang begitu saja,” Yejin mendengar nada sedih terselip di suara Chanyeol yang berat. Apa dia harus keluar dari tempat persembunyian sekarang juga? Oh, tidak. Terima kasih.

“Kurasa dia pergi ke perpustakaan,” Yejin bersyukur sahabatnya pintar mengelabui si jangkung itu, mengarahkannya ke tempat sepi nan kosong alias perpustakaan. Tentu saja Yejin tak akan berada di sana.

Saat Chanyeol melangkah pergi, gadis itu muncul dari belakang tubuh sahabatnya dan meninju udara dengan senyum penuh kemenangan. “Yes!! Aku tidak akan pernah bertemu dengannya lagi.”

“Kau sadis.”

“A-apa?” Yejin bingung melihat sang sahabat berkacak pinggang. “Kenapa kau melihatku seperti aku adalah penjahat begitu?”

Sahabatnya itu menggelengkan kepala. “Seriously, Yejin, kau adalah gadis paling sadis di dunia. Dia mencarimu dua minggu lamanya dan kau terus saja bersembunyi darinya. Please, temui saja dia—”

Oh, dia tidak tahu betapa bencinya Yejin pada sosok Park Chanyeol. Rasa benci itu tak bisa dijelaskan oleh teori manapun. Bahkan jika kau memanggil Isaac Newton atau Einstein atau siapapun itu, tak ada satu pun yang bisa mengartikan rasa benci itu muncul dari mana.

Yejin bertanya-tanya pada dirinya sendiri, mencoba mengingat kesalahan apa yang telah Chanyeol lakukan padanya sehingga rasa benci itu menumpuk kian tinggi, setinggi gunung Everest.

Dan seberapapun gadis itu mencoba menghindar darinya, seolah ada saja sesuatu yang mempertemukan mereka bagaimanapun caranya. Walaupun Yejin berusaha keras untuk tidak melihat wajahnya sehari saja, tapi tidak…itu tidak mungkin.

“Yejin? Kau sibuk hari ini?” tiba-tiba Junmyeon si ketua fakultas menghampirinya dengan beberapa gulungan poster di tangannya.

Yejin menggelengkan kepalanya. “Tidak, aku baru saja selesai kuliah. Ada apa?”

Wajah Junmyeon jadi cerah begitu mendengar jawaban dari gadis itu. Dia memberikan dua gulung poster ke tangan Yejin dan berkata, “Good! Kau bisa bantu aku menempelkan poster ini di perpustakaan.”

“APA? Perpustakaan??”

Perpustakaan = Park Chanyeol.

“Oh, tidak, tidak, tidak. Aku…aku…punya kelas lagi. I-iya kan?” Yejin berusaha mencari alasan, meminta bantuan pada sang sahabat, namun Junmyeon terlanjur menggamit lengannya erat dan membawanya ke perpustakaan.

Ingat!

Perpustakaan = Park Chanyeol.

“Yejin!”

Mendengar namanya disebut, rasanya keceriaan langsung hengkang dari hidup Yejin. Pertamanya, dia mendapati si jangkung itu tengah berdiri celingukan di antara rak-rak buku. Kasihan juga, namun saat dia memanggil nama Yejin, menyebutnya di bibir itu…ah, Yejin benci Park Chanyeol.

“Yejin, astaga. Aku mencarimu seharian ini.”

“Kenapa? Ada apa?” tanya Yejin tak sepenuhnya ingin tahu jawaban Chanyeol.

Laki-laki itu hanya mengedikkan bahunya acuh. “Tidak tahu. Tapi aku hanya ingin bertemu denganmu saja. Melihat wajahmu atau…yeah, semacamnya.”

Itu aneh.

Chanyeol memang aneh.

Junmyeon menatap kedua orang ini dan seperti seseorang melemparkan sinyal ke kepalanya cukup keras, dia mengerti. Dia mengerti sampai-sampai rasanya ini sedikit keterlaluan, sedikit berengsek, tapi tak apalah.

Junmyeon memberikan semua gulungan poster itu pada Chanyeol, lalu mengibas-ngibaskan tangannya yang bebas. “Oke, guys. Sepertinya aku sangat sibuk hari ini. Kuserahkan pekerjaan menempel poster ini pada kalian. Sepertinya kalian mahir dalam hal ini.”

Kemudian Junmyeon pergi begitu saja dengan kekehan ringan seraya meninggalkan kedua makhluk itu berdiri canggung.

Dan Yejin tidak hanya membenci Park Chanyeol.

Dia juga benci Kim Junmyeon.

Well, aku akan menempel di sebelah sini,” ujar Yejin menunjuk sisi kanan perpustakaan dan mulai melangkah, tapi kemudian dia berhenti dan mendapati si jangkung sedang mengikutinya.

Yejin menghela napas. “Kau menempel di sebelah sana, Park Chanyeol.”

Chanyeol tidak banyak mengeluh. Dia hanya mengangguk dan nyengir. Rambut cokelatnya yang memanjang bergoyang seraya dia pergi menjauh dari Yejin dan rasanya aneh.

Yejin membencinya, tapi mengapa rasanya aneh ketika Chanyeol melangkah pergi darinya.

“Mungkin itu hanya perasaan.”

***

Pertama kali bertemu dengan Chanyeol, umur Yejin belum genap 18 tahun. Di tahun pertama memasuki kuliah, Yejin membenci sosok itu tanpa pernah mengerti apa penyebabnya.

Apa karena dia bodoh di kelas?

Chanyeol tak pernah bisa menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh dosen. Dia hanya melongo di bangku belakang dan jika pertanyaan itu telah dijawab orang lain, Chanyeol akan tidur dengan membenamkan wajah ke tasnya atau jika kuliah mulai membosankan, Chanyeol akan mengambil rokok dan izin keluar dari kelas.

Apa karena dia tukang makan?

Ugh, man! Aku seperti sedang menonton animal planet siaran langsung dimana jerapah rakus sedang makan daun!” Baekhyun sahabat Chanyeol tentu kehilangan selera makannya saat melihat Chanyeol mengunyah daun selada banyak-banyak di mulut. Saus berada di seluruh bagian dagunya dan itu sungguh menjijikan.

Apa karena rambut panjangnya?

Menurut Yejin, pada kodratnya laki-laki harus berambut pendek atau cepak. Itu akan membuat mereka terlihat seratus kali lipat lebih tampan dan rapi. Lantas, Chanyeol jauh dari itu semua. Rambut gondrongnya selalu menutupi telinga, mungkin itu alasan Chanyeol tak bisa mendengarkan apa yang dosen katakan saat mengajar.

Apa karena dia anak band Al Capone itu?

I love youuuu. Day and night. When you say you love me, I could say I love you more…” Chanyeol dan teman-temannya dari band Al Capone menyanyikan lagu itu di satu acara kampus.

Well, akui saja, semua orang tahu makhluk macam apa anggota band itu. Mulutnya melontarkan kata-kata manis, otaknya berputar untuk menciptakan nada-nada indah yang harmonis dan hatinya tak pernah menetap pada satu gadis. Jadi, Yejin dapat membayangkan bagaimana rasanya menjadi pacar Park Chanyeol.

Pasti setiap hari dibuatkan lagu romantis. Ugh, siapa yang tahu kalau Chanyeol telah menyanyikan lagu itu untuk gadis lain sebelumku.

Tunggu!

Apa dia baru saja membayangkan rasanya menjadi pacar Park Chanyeol?

Pacar si jangkung yang bodoh itu?

Oh, no. This is so wrong.

Lamunan Yejin buyar kala itu. Park Chanyeol duduk di sampingnya dan tersenyum. “Mau pocky stroberi?”

Gadis itu membencinya. Se-te-ngah ma-ti. Dia menatap bungkus pocky yang Chanyeol tawarkan, lalu menatap lelaki yang kini nyengir selebar-lebarnya. Dan parahnya, ada sisa selai stroberi di gigi depannya. Eww!

“Tidak. Terima kasih.”

Cengirain itu menghilang seperti ada angin topan baru saja lewat di sana. “Kenapa? Pocky kan enak.”

Yejin menggelengkan kepalanya sebagai jawaban dan itu berhasil mengusir Chanyeol dari sebelahnya.

Ini aneh.

Yejin bukan penggemar berat pocky rasa stroberi, namun ada rasa tak rela ketika Chanyeol membaginya pada orang-orang. Kau tahu? Seolah pocky itu milik Yejin, tapi dengan kurang ajar Chanyeol membiarkan Minseok, Luhan, Baekhyun, dan Kris menghabiskannya.

Apalagi saat Chanyeol memberikan dua batang pocky untuk Sandara Park si senior primadona itu.

Yejin benci Chanyeol.

***

“Kenapa kau membenci Park Chanyeol?”

“Aku tidak tahu.”

“Yakinkah kau membencinya?”

Yeah, kurasa begitu.”

“Kau bisa pastikan itu bukan rasa jatuh cinta? Karena kau tahu kan, rasa cinta dan rasa benci itu beda tipis.”

Yejin menoleh ke arah sahabatnya. Tak tahu pasti mengapa mereka berdua bisa berada di kursi paling depan ruang studio musik untuk menonton Al Capone si band rock itu perform. Oh, Yejin ingat. Ini pekerjaan Kim Junmyeon yang bilang ada voucher belanja di zara setelah konser kecil ini. Salahkan otak perempuan yang gila belanja dan terlalu tolol untuk menyadari bahwa Junmyeon baru saja membohongi mereka berdua.

(Demi Neptunus, Yejin mendengar Junmyeon terkekeh saat meninggalkan mereka berdua di dalam sana dan itu menyebalkan!)

“Jatuh cinta? Pada Park Chanyeol? Apa kau gila?” Yejin tertawa sangat kencang mendengar pertanyaan sang sahabat. Karena gila adalah ketika kau membenci seseorang hingga batas tertentu dan orang malah mengira kau jatuh cinta padanya.

“Kenapa tidak? Chanyeol tak pernah memperlakukanmu dengan buruk dan tiba-tiba kau membencinya. Apa itu…masuk akal? Maksudku, membenci orang tanpa alasan yang jelas, itu…gila namanya.”

Mungkin aku sudah gila, batin Yejin mencoba menemukan satu saja alasan yang membuatnya benci setengah mati pada si jangkung berambut gondrong itu.

“Yejin!!!” Chanyeol melongo melihat gadis itu duduk di barisan paling depan, tak ada cara untuk menyembunyikan diri dari Park Chanyeol kali ini. Gitarnya hampir saja jatuh ke lantai panggung jika Baekhyun tak sigap menahannya. Rasanya terlalu berlebihan jika Chanyeol tak percaya Yejin akan datang menontonnya, tapi itulah yang terjadi.

“Kau datang ke sini????”

“Y-yeah,” jawab Yejin ragu (Dia dijebak Junmyeon, oke?)

“Kau datang ke sini untuk menontonku?” Mata Chanyeol membelak, membuat matanya terlihat semakin besar dari biasanya.

“Eumm…ya.”

“Woah!” Chanyeol tak bisa bergerak dari sana, hanya menatap tak percaya ke arah Yejin seolah dia baru saja mendapati presiden menonton perform band kecilnya. Astaga, yang benar saja.

Chanyeol jadi tidak fokus. Sebelum perform, dia hampir menabrak Tao si bassist, tersandung kabel mic Baekhyun dan salah mengambil posisi berdiri.

Dia bodoh. Dia idiot, dengan bangga Yejin akhirnya menemukan mengapa dia membenci Chanyeol. Iya, karena dia bodoh dan idiot.

Tapi sebelum mengatakan hal itu pada sahabatnya, Yejin tak yakin bahwa itu benar-benar alasan mutlak mengapa dia membenci Park Chanyeol. Well, mana ada orang bodoh yang bisa main gitar listrik sekeren itu? Mana ada orang idiot yang bisa mengucapkan sederet kalimat bahasa inggris dengan cepat (dia nge-rap oke?) seperti itu?

Bukan. Bukan itu alasannya.

Bahkan rambut gondrongnya yang basah akan keringat sama sekali tidak menyebalkan di mata Yejin. Bahkan cengirannya yang lebar tak menjadikan wajahnya aneh.

Bahkan selama konser berlangsung, Yejin masih bersikeras mengatakan pada dirinya sendiri bahwa dia membenci Park Chanyeol. Sangat membencinya.

Tapi apa alasannya?

***

Yejin memandang undangan di tangannya yang mirip sebuah pamflet dengan desain keren. Nope, itu bukan undangan pernikahan, Chanyeol boleh bernapas lega akan hal ini.

Ini…undangan ulang tahun.

Agak konyol sebenarnya merayakan ulang tahun di usiamu yang kedelapan belas, walaupun sebenarnya ini hanyalah pesta kecil-kecil bersama teman-teman sekelas di cafe murah. Orang-orang tak memedulikan di mana tempatnya, asalkan ada sesuatu yang gratis, mereka pasti datang.

Yejin mengundang semua orang.

Iya, semua orang tak terkecuali si jangkung nan bodoh yang menerima undangan ulang tahun selayaknya menerima undangan minum teh bersama Ratu Elisabeth.

“Kau mengundangku????”

“Ya.”

“Kau seriuuuusss mengundangku??”

“Um…ya.”

“Kau seeeeeeerriiiiiiiiiuuuuuusss mengundangku.”

“Oh my God, kau mulai lagi,” Yejin memutar kedua bola matanya sebal dan berjalan meninggalkan Chanyeol.

“Oke, oke, terima kasih! Terima kasih banyak, Yejin! Aku akan datang. Boleh aku memakai kemeja?”

“Terserah,” jawab Yejin acuh, semakin menjauh.

“Boleh pakai kemeja kotak-kotak dan jins hitam?” (Ya Tuhan, buat apa menanyakan hal seperti itu?)

“Terserah, Park Chanyeol.”

“Boleh aku membawa teman lain…”

“Terserah!”

Yejin sudah tidak peduli lagi. Sungguh, dia tidak peduli Chanyeol ingin membawa teman atau tidak. Siapa temannya? Yejin berani bertaruh teman Chanyeol berupa gitar dan mungkin soundsystem super besar, lalu dia akan bernyanyi dengan sangat konyol mengatakan betapa Chanyeol menyukainya—

Eh, apa dia baru saja berharap Chanyeol menyukainya?

***

Yejin membenci Park Chanyeol melebihi apapun.

Rasa bencinya terhadap Park Chanyeol lebih tinggi daripada rasa benci terhadap roti basi yang diberikan pamannya waktu dia kecil (uhuh, kenangan buruk). Entah mengapa setiap kali Park Chanyeol berada di dekatnya, Yejin merasa ingin memukul wajahnya atau mendorongnya ke jalanan agar mobil truk menabraknya. Jadi, di dunia ini tak perlu ada yang namanya Park Chanyeol.

Dan pada hari ulang tahunnya, dia tak berharap Chanyeol datang ke kafe itu, tetapi si lelaki jangkung itu tetap datang. Kehadirannya membawa rasa aneh yang kian memuncak. Apalagi setelah dia muncul dari kerumunan. Ada yang berbeda darinya.

Chanyeol memotong rambutnya, memberi sedikit gel di sana, membentuknya menjadi model hair-up yang keren. Tidak ada cengiran di wajahnya, dia memakai kemeja warna biru yang pas di tubuh, sneakers hitamnya terlihat bersih tanpa noda.

Ini bukan Park Chanyeol.

Tiba-tiba Yejin tak membencinya.

Eh, tidak! Dia tetap membencinya, bahkan lebih dari sebelumnya. Dia benci ketika melihat Chanyeol berhasil keluar dari kerumunan dan tangannya menggenggam tangan lain. Tangan ramping yang mulus dan punya banyak gelang berwarna-warni. Sandara.

“Hei, Yejin. Selamat ulang tahun. Aku…” Dia mengulurkan tangannya pada Yejin sambil setengah tersenyum dan Yejin menjabat tangan itu setengah hati. “tidak bawa hadiah. Maaf. Tapi aku akan mengisi acara dengan Al Capone, aku rasa…itu sudah cukup?”

Kris bilang memang mereka akan perform di bar ini dan Yejin hanya bisa menganggukkan kepala tanpa mengucapkan satu patah kata pun. Bahkan saat Chanyeol bilang, “Aku bawa teman. Sandara.” Yejin ingin mendorong mereka berdua keluar dari tempat itu.

Yejin membenci Chanyeol, perasaan itu tidak bisa ditolerir.

Alasannya jelas. Karena Chanyeol bodoh, Chanyeol tukang tidur di kelas, Chanyeol buruk dalam berpresentasi, Chanyeol tidak punya manner dalam makan, Chanyeol anggota band yang suka bermain-main dengan hati wanita.

“Lihat, dia mencariku kemarin-kemarin dan kini dia pergi bersama gadis lain. Aku benci padanya!”

“Apa?” Sahabat Yejin meletakkan kembali roti sandwich-nya di meja dan melongo akan tingkah Yejin. Gadis itu menyeruak masuk ke ruang belakang cafe, marah-marah. Dress warna ungunya jadi sedikit berantakan oleh ulahnya sendiri.

“Si bodoh itu benar- benar keterlaluan. Aku tidak menyangka dia akan datang ke sini! Aku bahkan tidak mengharapkannya! Damn!”

Sang sahabat mengerutkan dahinya. “Si bodoh?”

“Dasar idiot! Datang ke sini dengan pakaian begitu, potongan rambut yang seperti itu….”

Ah, rasanya dia tahu siapa yang sedang diributkan oleh Yejin. Orang yang dibenci tanpa alasan, namun melihat sebuah kilat kemarahan itu adalah kamuflase di mata Yejin. Sang sahabat tahu ada sesuatu di balik rasa benci itu dari awal.

“‘Yejin, aku bawa teman.’ Oh my God, aku membencinya. Aku sangat kesal dengannya. Kenapa Tuhan menciptakan dia, huh? Apa tidak ada makhluk lain yang bisa Tuhan ciptakan selain—”

“Park Chanyeol?”

“Apa?” Yejin pada akhirnya berhenti menyemburkan kemarahannya, dia menatap sahabatnya yang kala itu menyeringai lebar. “Park Chanyeol?”

Sang sahabat mengangguk. “Kau sedang membicarakan si jangkung itu kan?”

Secara teknis, ya, itu Chanyeol. Itu Park Chanyeol yang tinggi dan merupakan gitaris band Al Capone. Tapi Yejin tiba-tiba kebingungan. Dia tak seharusnya marah akan Chanyeol, mengoceh tentangnya di depan sang sahabat. Dia benci harus mengakui ini, karena rasanya dia takut untuk mengatakan bahwa…

“Lupakan. Aku kembali ke depan.”

Melupakan pembicaraannya tadi tentu mudah. Melupakan perasaannya yang tak karuan karena Park Chanyeol tentu sulit dilakukan. Yejin rasa dia mulai gila, seseorang harus menghentikannya. Sekarang juga.

“Hei, Yejin,” Park Chanyeol memanggilnya dari antara kerumunan, menemuinya di dekat pintu keluar. Dan Yejin tidak tahu apa yang dia lakukan. “Aku mau tanya—woah!”

Gadis itu dengan sekuat tenaga menarik Chanyeol keluar cafe. Langit sedang mendung saat mereka keluar dan rintik hujan segera menyambut.

“Wow, Yejin! Apa yang kau lakukan? Kita kehujanan!”

“Aku tidak peduli,” desis Yejin tak memedulikan kini dress-nya mulai punya motif bintik-bintik gelap. “Aku membencimu, Park Chanyeol.”

“Apa? Kenapa?” Chanyeol bingung setengah mati, merentangkan tangannya lebar-lebar. “Apa yang telah kulakukan sampai kau benci padaku, Yejin?”

Gadis itu menggelengkan kepalanya. “Aku tidak tahu, oke?!”

“Kau tidak tahu?” Wah, apa-apaan ini, batin Chanyeol. “Kau tidak tahu mengapa kau membenciku? Kau…”

“Gila? Ya, aku memang sudah gila. Aku tidak tahu apa yang kulakukan. Damn!” kata gadis itu setengah menjerit frustasi.

Chanyeol masih berdiri di sana dalam diam. Kemeja warna birunya basah, begitu juga rambutnya yang keren itu. “Aku tidak mengerti, Yejin.”

“Aha! Itu yang juga kurasakan. Aku tidak menyukaimu, aku membencimu. Aku muak melihat tingkahmu yang bodoh, idiot, konyol di kelas. Aku benci melihatmu berkeliaran dengan rambut gondrong itu, tapi…oke, kau sudah memotongnya dan aku semakin membencimu. Aku benci setiap kali kau menawarkanku permen atau pocky, kau tahu, kau selalu meninggalkan sisa selainya di gigimu dan kau nyengir dan kau terlihat bodoh. Tapi herannya Sandara masih mau datang ke sini bersamamu! Apa dia tidak menyadari kau itu konyol?”

Chanyeol tak bereaksi.

“Aku begitu?” tanya lelaki itu, mengerjapkan matanya beberapa kali.

“Ya, iya kau begitu! Dan aku sangat, sangat membencimu. Aku sangat membencimu dan aku pikir aku mulai gila sampai-sampai aku rasa aku jatuh cinta padamu!”

Ups, apa dia baru saja mengatakan dia jatuh cinta pada Park Chanyeol?

Lelaki itu pun mengerutkan dahinya. “Kau bilang kau membenciku, lalu kau bilang kau mulai gila, lalu kau juga jatuh cinta padaku.” Chanyeol menatap tangannya sendiri. “Yejin, kau membuatku pusing.”

Sial, aku juga bingung, kata Yejin dalam hati. “Sudahlah, Chanyeol. Kau bodoh makanya tidak bisa mengerti perkataanku.”

Gadis itu berbalik menuju pintu cafe. Namun tangan Chanyeol menahan bahunya, kembali membalik tubuh itu hingga menghadapnya.

Lalu Chanyeol menciumnya.

Err, iya…menciumnya.

Rasanya tidak mungkin.

Yejin ingin mendorongnya. Ini bukan yang dia harapkan di hari ulang tahunnya. Si bodoh itu menciumnya?? Ini pasti hanya mimpi kan? Namun apa yang bisa Yejin lakukan? Dia terlanjur meleleh dalam ciuman itu. Kakinya berubah jadi setumpuk puding lembek, otaknya tak berfungsi dengan benar, dan tangannya otomatis melingkar di leher Chanyeol. Karena, wow, Chanyeol is a good kisser.

Chanyeol menjauhkan diri beberapa detik kemudian (atau menit?), membuat jarak sekecil mungkin di antara mereka, dan dia berbicara. Bukan, ini bukan permintaan maaf.

“Aku tetap tidak mengerti mengapa kau membenciku, Kim Yejin. Aku juga tidak berharap kau jadi orang gila. Tapi, aku bersumpah aku ingin kau juga jatuh cinta padaku.”

Juga jatuh cinta padaku? Well…well…baiklah.

Chanyeol menciumnya lagi sekitar satu menit dan memberi Yejin kesempatan untuk bicara sekitar dua detik.

Asshole,” gumam Yejin di bibirnya.

Chanyeol tertawa dan yeah, oke, dia memang brengsek. Dia akui itu. Sebagai buktinya, dia mencium gadis itu lagi dan lagi dan lagi, membuat gadis itu meleleh jadi sekedar puding lembek, lalu jadi cairan seperti air.

You’re an asshole, but I love you, pikir Yejin.

 

 

Dan dari kejauhan Baekhyun, Tao, Kris, Minseok merekam kejadian itu menggunakan ponsel Kris. Kurang ajar memang mereka.

Man, ini seperti film The Notebook, berciuman di tengah hujan,” kata Tao menangkupkan kedua tangannya di sebelah wajahnya.

“Tolong hapus video itu dari ponselku setelah kalian menyebarkannya di youtube,” timpal Kris menyesal mengapa dia harus setuju dengan ide Baekhyun.

Baekhyun nyengir dan menekan tombol upload di sana. “Kita akan ditraktir Chanyeol setelah ini, guys. Tenang saja.”

 

***

Membayangkan kejadian itu kembali, Yejin ingin tertawa. Dia menelisik beberapa alasan demi alasan tak masuk akal mengapa dia bisa membenci dan jatuh cinta pada Chanyeol di saat yang bersamaan.

Membingungkan memang.

Tapi kata orang-orang, mungkin itu terjadi karena Chanyeol adalah cinta yang sesungguhnya dalam hidup Yejin.
 

***

You’re an asshole but I love you

And you make me so mad I ask myself

Why I’m still here, or where could I go

You’re the only love I’ve ever known

But I hate you, I really hate you,

So much, I think it must be

True love, true love

It must be true love

THE END

A/N:

Err…hai *melambaikan tangan dengan kaku*

Huhuhuuuu aku sebenernya kangen banget nulis, aku kangen ngepost tapi apa daya kuliahku sekarang bikin capek. Pulang ke rumah langsung tepar-tidak-cantik di sofa. Jadi harap bersabar untuk fic abob dan betty >.< aku tau aku lelet kayak siput ((okay))

Dan ini juga draft lama, aku baru inget punya ini huhuhu

Oh ya, semangat ya buat yang kelas 3 SMA dan kelas 3 SMP dan 6 SD (adakah di sini?), sama yang kuliah dan kerja. Semangat buat ujian-ujiannya dan tugas-tugasnya ya :) Semoga dilancarkan semua dan semoga bias selalu memberi semangat di hari-harimu HAHAHAHA!!! *ngunyah pocky*

Dadaaaaaahh~


Viewing all 236 articles
Browse latest View live