Quantcast
Channel: Hangukffindo
Viewing all 236 articles
Browse latest View live

[Thanks To] It Must Be True Love + Al Capone Extra

$
0
0

To all my lovely readers…

 

Hai hai hailooooowwww \(^.^)/

Aduh maaf sekali ya kalo blog ini jarang apdet dan aku jarang ngurusinnya, padahal orang suka mampir dan aku tau…ini pasti berdebu banget.

Dan yang paling terpenting adalah MAAFIN YA AKU GABISA BALES KOMEN SATU-SATU UWOHUWOHUWOOOHHHHH!!! T________T

Ini masalah klasik sepertinya. Udahlah, kalian pasti tau aku kayak gimana emang nyebelin ya huhuhu jadi maaf ya, aku cuma bisa menghaturkan terimakasih dengan cara seperti ini, jangan marah hehehe

Terimakasih untuk komen-komen di It Must Be True Love :) Itu fic lama yang hampir terbuang dari colornote kalo aku gak iseng-iseng ngutak-atik hape. Ya, itu sebenernya pengen kubuat jadi fanfic project Al Capone gitu, tapi ternyata…aku…/gamau lanjutin/ /lari ditengah hujan/ ;;__;;

Ya, tapi aku suka kok kalo nulis Al Capone, mungkin kapan-kapan kalo ada ide aku mau nulis lagi tentang mereka hehehe

Dan iya, pairing official buat chanyeol itu yejin hohoho

Dan kenapa karakter chanyeol selalu seperti itu (idiot, dongok, polos-tapi-enggak-juga, dll)? entahlah…aku lancar aja kalo nulis dia kayak gitu HAHAHAHAHAKUJAHAT! XD

Yaudah, TERIMAKASIH TERIMAKASIH BANYAK AKU CINTA KALIAN SAMPE DIE DIE AFTER TOMORROW, OKEH! *suapin pocky satu-satu*

Dan ini, ada surplus(?) potongan fanfic al capone (lanjutan dari si baekhyun abis upload video yejin-yeol ke youtube) sebagai kado terimakasih hahai!!

 

 

===^^^^^^^===

 

[Al Capone Extra] Upload and Boom!

 

“Kau serius meng-uploadnya?” Kris memekik tertahan seperti gadis sekolahan ketika melihat Baekhyun benar-benar menekan tombol upload di layar ponsel, maksudnya…itu benar-benar terjadi. Hell, Byun Baekhyun, kau minta digoreng di atas penggorengan, hah?

“Tentu saja. Bukannya kau tidak mau video ini ada di ponselmu?” tanya Baekhyun polos.

Yeah, Kris memang tidak mau video setengah-porno-tapi-tidak-juga itu ada di dalam ponselnya, tapi membayangkan bagaimana nasib Chanyeol saat mengetahui ini membuatnya meringis. Chanyeol pasti akan pergi ke supermarket dan menghancurkan stand Pocky karena saking marahnya.

“Tenang saja, Kris Wu. Chanyeol tidak akan marah,” kata Minseok merangkul Kris susah payah.

“Aku tahu, tapi…”

“Dia bahkan akan mentraktir kita! Guys, just don’t worry.” Baekhyun dengan percaya diri mengembalikan ponsel Kris ke tangan sang pemilik. “Aku ‘kan tidak meng-uploadnya di account youtube Al Capone. Bisa mati kita!”

“Jadi kau menggunakan account-mu?”

“Tentu saja!”

“Oh syukurlah,” Tao mengelus dadanya lega.

“Tentu saja kau bersyukur…”

“Iya,”

“Yeah,”

“Eheum…”

“…”

“…”

“…”

“…”

“Err, Baek, bukankah kau tidak punya account youtube?”

 

Damn!

 

 

[Video] Kissing in The Rain!!!!

oleh Al Capone The Band

1828 x tayang

22 menit yang lalu

 

Comments:

 

Chanyeol wifeu <3

OPPA APA INI?????

Yeolilover

SIAPA GADIS ITU??? AH TIDAK! :O

Alcaponefanseu^^

T_____T

Byunbaconssss

I can’t believe this! I hate you, Al Capone. Duh.

Anonymous

Aku memang bukan penggemar chanyeol (dan al capone), tapi…aku tidak percaya kalian melakukan ini pada para fans kalian. Maksudku, tidakkah kalian memikirkan mereka? Tidak bisakah kau menyimpan video ini untuk kesenangan kalian sendiri? You did wrong, bro.

Chanyeol’s Pou

OPPA, AKU AKAN TERJUN DARI LANTAI LIMA GEDUNG G ;;;;;

LuhanDeer91

Man, kenapa kau tidak bilang kau berpacaran? Tolong jelaskan ini di kelas nanti. (DAN BAYAR HUTANGMU PARK CHANYEOL, MALAM INI MANCHESTER UNITED TANDING DAN AKU MAU PASANG TARUHAN!)

ParkYolouu

1:23 Damn! That was sweet as hell!

Alcaponemarryme

@parkyolouu ARE YOU CRAZY! Guys, you disappointed me ToT

Chanyeol’s Pou

OPPA, AKU AKAN MELOMPAT DARI LANTAI 10 GEDUNG G ;;;

Taengooo

Aku pikir ini manis :)

Alcaponemarryme

@taengooo ARE YOU CRAZY!! Guys, you disappointed me ToT

Dokyungsoo93

O_O ini bukan video yang pantas ditonton anak-anak dibawah umur

Cool_Jonginininie

Hei, kalian gila ya? @.@

Chanyeol’s-Future-Wife-What-Can-You-Do

I’LL KILL THAT GIRL!!!!!!!!!!!!!!!! I SWEAAAAAAAAARRRR!!!

Alcaponesasaeng

Oh tidak, bagaimana bisa aku melewatkan momen ini?? Aku akan menyelinap ke dalam dorm Al Capone dan mencari tahu alamat gadis itu!

Alcaponesasaeng

Dan mencuri pakaian dalam Park Chanyeol tentu saja

Alcaponemarryme

@alcaponesasaeng BERANI KAU MENGAMBIL CELANA DALAM PARK CHANYEOL, AKU AKAN MENCUNGKIL MATAMU!!!!!

Babyblues_minseok

@alcaponemarryme aku setuju denganmu

Yeoliehiho

Aku tidak bisa hidup setelah ini

Pervertbyuntae

2:34 sexy moment ever! She tilts her head and throws her hands on his neck askjdajdksa Is this a French kiss?

OhSehun94

Yehet! Ohorat!

TrollDae

Wow…kau mematahkan hatiku ((memangnya aku siapa??)) hahaha

Krisseulover

Kris oppa, aku harap kau tidak melakukan hal serupa >.<

Chanbaekalcaponeshipper

Yeol, bagaimana nasib Baekhyun??? T__T

Ereurongie

Fyi, aku baru saja menyayat nadi tanganku

TaotaoHZT

Aku rasa ini video yang diedit

Alcaponemarryme

@taotatohzt AKU HARAP BEGITU!!! #praysohard

Bigbangbang

Kenapa Al Capone meng-upload video semacam ini?

Bigbangbang

By the way, aku menunggu video cover nirvana kalian

Kissmeparkchanyeol

LAKUKAN INI JUGA PADAKU PARK CHANYEOL!!!! AKU MENUNGGUMU DUA TAHUN LAMANYA!!!

Lay-Apple

Chukkae! <3 ini mirip film The Notebook yang kami tonton dua hari lalu ;)

CherryMinforever

Kim Minseok, lupakan hubungan kita jika kau berciuman dengan gadis lain. Thanks.

Yeol-girlshipper

AKU MENCINTAI KALIAN!! SARANGHAJA <3 :*

KimJunmyeon$$

No comment

Alcaponesasaeng

I FOUND IT! Nama: Kim Yejin. No.identitas: 919384933839. TTL: Seoul, 25 Februari 1992. Jurusan kuliah: Politik dan Hukum. Tinggi: 167 cm. Berat badan: 57 Kg. Warna kesukaan: Merah dan biru.

XOXOalcapone

Aku marah ._.

Dobiyeolsss

AKU AKAN MEMBUNUH YEJIN!

Chanyeol’s Pou

OPPA, AKU TIDAK JADI MELOMPAT! AKU MAU MINUM RACUN SAJA!

Xiuminiewifeu

Apa ini mv untuk video baru kalian?? 6(‘.’)

Hangukffindo

Aku pikir chanyeol menyukai sandara park selama ini #nooffense #justasking #justcurious #dontshootme

Alcaponemarryme

@hangukffindo ARE YOU CRAZY???!!!! IT’S NOT SANDARA!!! #shootyou #bang

Babyeoltakemybreathaway

Bagaimana aku bisa bernapas setelah ini?

Krisyeoldangonit

Kupikir chanyeol gay, dia berpacaran dengan kris si drummer. Benar begitu?

Kittynoona

@krisyeoldangonit they are straight, please -__-

Kittynoona

Guys, just be mature. Jika chanyeol naksir dengan seorang gadis, itu hal yang wajar. Sebagai fans, aku tidak mau sepanjang hidup mereka hanyalah bermain band dan menyenangkan hati fans tanpa memikirkan hati mereka sendiri. Mereka punya hak untuk mencintai siapapun! Dan jika pilihan Chanyeol jatuh pada seseorang bernama Yejin ini, biarkanlah. Jika oppa bahagia, bukankah kalian juga bahagia?

Jungsoojung

#standingapplauseforkittynoona

Hitmebaby

#np baby don’t cry ;;;;

Sweetieyeol

#np don’t go

Xiutao

#np frozen-let it go TT__TT

SingEreroung

#nw The Notebook (p.s: film ini ternyata bagus dan romantis aww <3)

Parkdobigogi

“Now you’re just somebody that I used to know”—gotye ft kimbra

Alcaponemarryme

ICANTBREATH ICANTLETYOUGO PARKCHANYEOL ILOVEYOUSOMUCH SODAMNMUCH

ByunBaekhyunkkaebsong_0506

[Confirmation] Guys, ini aku Baekhyun Al Capone. Aku baru saja membuat account youtube kkk Aku sangat minta maaf untuk semua ini. Video ini adalah kesalahan besar. Aku akan menghapusnya beberapa menit lagi. Jangan benci Chanyeol, oke? Terkadang…love is hard to understand :) Selain mencintai gadis, Chanyeol mencintai Pocky dan gitarnya, jadi jangan merasa gadis di dalam video ini menjadi saingan terberatmu kkkk kkaebsong ._.v

Dan tenang saja, aku masih single

Dan please, aku tidak berpacaran dengan Chanyeol (for chanbaekalcaponeshipper)

Dan jangan khawatir, jangan kecewa. fans benar-benar berarti di hati Al Capone. Kami menyayangi kalian dan kalian berharga di hidup kami. Sangat <3 <3 <3

Kittynoona

Fighting, Al Capone! We love you all :)

Chanyeol’s Pou

AKU TIDAK JADI BUNUH DIRI. Aku sadar jika aku mati, aku tidak akan bisa menonton perform kalian lagi ;;; aku mencintai kalian  :’’)

Baekhyun’s Pou

Dan maaf, chanyeol oppa. Aku jadi fans baekhyun karena dia single. Semoga kau bahagia dengan Yejin noona :))

Alcaponemarryme

;;;___;;;

Alcaponemarryme

Adakah kesempatan untuk bisa menikah dengan salah satu dari kalian? #praysoooohard

Intoyourworld99

Iya, apakah ada kesempatan untuk kami? oppa deul, tunggu aku lulus sekolah ;;AA;;

ByunBaekhyunkkaebsong_0506

@alcaponemarryme OF COURSE! Kkaebsong ^^

Alcaponemarryme

BAEKHYUN MEMBALAS KOMENTARKU AAAAAAAAAAAAA

BBcreamisnotmystyle

Oppa, balas komentarku juga

Taolicious

Tao oppa bisa jadi suamiku?

Growlingoverkris

Hei, kenapa kalian tidak menulis lagu tentang kisah Yejin-Yeol?

 

 

 

Baekhyun, Kris, Xiumin, dan Tao bisa bernapas lega sambil menekan tombol delete di sana.

 

 

Video has been removed by the user

 

 

“Jangan pernah biarkan Byun Baekhyun meng-upload video lagi,” ujar Tao.

 

===^^^^^===

 

 

Ya, oke! Sekian dan terima kasih. Semoga cukup membuat kalian terhibur dan tidak menyesal telah membaca dan meninggalkan komentar di blog ini hohoho (walaupun aku gabisa bales satu persatu) hehehe :)

 

Big big thankseu for all lovely readers:

 

Desway, phy, pinkballoonxo, GaemIcha, farahdibaadelina, bumpkinzest, rai2205, hanifa25, F, ul ul, G.Lin, Dante, dian, everybodyjjang, rayuha, AlyaAjol12, xoiadultzuka, stacya, beautywolfff, yeollshin, odie, kanarisma20, hapkaido, b2tyinspirit, paperbiee, summerkids, tynabaekki, @aauliawaw, ExoGalaxy, wandadjuin, nicken123, voodobaby, dewiocha, Cherryeol, isshikisaika, diwangkara, orange, blackdmoond, formaggioyu, nn, Ansholissa, exoticluelight, aitakuteb, LiaNanDiar (@tarraradirraaa), @Oncemelody, istrinyakris, hwang yeonhee, unique_yui, lulu xy23 (@tionarsagala), W.A.P, rahmasyftr, yeonrihan, kky15, olgamardianita, byun100, loveyeollie, Hwang0203, hannotz, azuream8, Noovv, acepcy, leandlycho, furuchi, kaipuccino, auliaylsnov, littledeer77, Zhella, Ahn Hyowon, dhiloo98, youngestnoona, Laylasparkyu taegangster, Lana Carter, dyn (@namari_hikari), siti, axaxxa, choijae, yaye, hyunjie, winda__wht, sofifauzet, LexiLya, cassieananuna, kimjulia93, M, puji, SNLailiyah, Cicil, bela, theboleroo, Dita !

 

TERIMA KASIH YAAAAA <3

 

 



Mom is the Reason

$
0
0

mom is the reason

Mom is the Reason

 // EXO // Fluff, Slight!Comedy, Family // G //

Sometimes, home is a person…

***

Jongin menatap kamarnya yang berdinding biru terang. Ini hari dimana EXO tak punya kegiatan dan pulang ke rumah adalah tujuan utama sejak satu minggu lalu.

Kalau boleh memilih, Jongin ingin terus berada di rumah dan berkumpul dengan keluarganya, namun besok EXO sudah kembali beraktifitas. Jongin—cepat atau lambat—akan segera meninggalkan kamarnya, rumahnya, keluarganya.

Tapi lupakan sejenak semua itu. Hidungnya tiba-tiba menangkap sebuah aroma masakan khas ibunya. Ah, makan siang sudah siap. Tanpa disuruh, lelaki jangkung itu segera pergi ke ruang makan dan menemukan ibu beserta meja makan penuh hidangan.

Kala itu hanya ada mereka berdua di rumah. Sang ayah sedang pergi bekerja, kakaknya pun begitu.

“Makanannya enak, Bu,” kata Jongin sambil tersenyum.

“Memangnya masakan Ibu pernah tidak enak?” balas Nyonya Kim menyisir poni Jongin perlahan.

Pemuda itu tertawa dan menggelengkan kepala. Dengan mulut penuh makanan, Jongin mengacungkan jempolnya, “Ibu selalu jjang, daebak!”

Wanita paruh baya itu ingin mencium kening anaknya, membawanya ke pelukan, namun dia tahu Jongin akan menolak. Dia sudah besar, tanpa terasa anak itu tumbuh tinggi dan semakin tampan di layar teve. Ibu mana yang tak banggga.

“Bu,” panggil Jongin membuyarkan lamunan sang ibu.

“Hmm?”

“Ibu tahu tidak apa yang membuatku rindu rumah?”

“Apa itu?”

Jongin menyuapkan sesendok sup ke dalam mulutnya dan menjawab, “Makanan ibu dan ibu.”

Oh, kali itu tidak ada yang menghalangi wanita itu untuk memeluk Jongin erat-erat.

***

 

Masalah besar bagi Kris adalah jika EXO tak punya jadwal apa-apa. Mengapa begitu? Bukankah enak bisa bersantai di dorm dan melakukan apapun yang dia mau?

Ternyata jawabannya cukup sederhana. Jika EXO tak punya acara, maka Kris akan melamun di dorm. Jika dia melamun, dia pasti memikirkan rumahnya di Kanada dan merindukan ibunya.

Kalau sudah begitu, satu-satunya cara untuk membunuh rasa rindu itu adalah dengan menelepon. Bukan masalah ketika dia harus mengeluarkan biaya yang cukup besar untuk menelepon ke Kanada.

Dia menunggu dan mendengarkan nada sambung yang berbunyi cukup lama, sampai suara di seberang sana menjawab.

Halo?

“Halo, Ibu. Ini Wufan.”

Wufan? Kenapa menelepon Ibu malam-malam begini? Ada masalah?” Perbedaan waktu yang jauh membuat Kris jadi tak enak menelepon malam-malam, padahal di Korea masih pagi.

Kris menggigit bibirnya sendiri. “Tidak, tidak ada apa-apa.”

Lalu?

“Aku merindu ibu,” Kris mengakuinya.

Oh…” Sang ibu di ujung sana tak merespon, hingga terdengar tawa ringan selanjutnya membuat hati Kris hangat. “Ibu juga merindukanmu. Kalau pulang ke sini, Wufan harus temani Ibu jalan-jalan ya.

Lelaki itu ikut tertawa dan mengiyakan permintaan sang ibu.

Lalu setelah 30 menit mengobrol, Kris harus menutup teleponnya karena Baekhyun dan Jongdae mulai berulah di luar kamar.

Eomma, eomma…aku merindukanmu…”

Shut up!!”

***

Di antara banyaknya tempat makan yang bisa dikunjungi, menurut Chanyeol, restoran Vivapolo adalah favoritnya sepanjang masa.

Tentu saja, itu restoran milik keluarganya. Hampir setiap hari ayah atau ibunya berada di sana, maka malam itu Chanyeol tak heran jika bertemu dengan ibunya sedang berberes di belakang meja counter saat dia berkunjung. Vivapolo hampir tutup hari itu.

“Permisi, ahjumma. Apa masih ada makanan?” goda Chanyeol pada ibunya.

Wanita itu tersenyum lembut, dia menghampiri anaknya dan memeluknya erat-erat. “Selalu ada makanan untuk anakku yang tampan ini.”

“Benarkah? Aku mau makan, Bu. Aku lapar sekali,” pinta Chanyeol mengusap perutnya sambil cemberut.

Nyonya Park pun memberi Chanyeol black noodle buatan tangannya sendiri, bukan buatan sang koki restoran. Dan Chanyeol menyukainya. Sangat.

“Kenapa keluar malam-malam untuk mencari makan? Memangnya tidak ada makanan di dalam dorm?”

Chanyeol menggelengkan kepala. “Selain Kris, Baekhyun, Jongin dan Sehun suka menghabiskan makanan, aku tak suka makanan di sana.”

Hati Nyonya Park terenyuh. Dia mengelus pipi anak lelakinya itu, merapikan rambut cokelatnya dan berkata, “Kalau tidak suka makanannya, datanglah ke sini. Ibu akan memasak untukmu. Apapun yang kau mau.”

Chanyeol pun datang tiga kali seminggu ke Vivapolo. Tak lupa mengambil selca juga di sana agar semua orang datang mengunjungi restoran itu.

***

Meninggalkan rumah adalah hal terberat yang pernah Lay lakukan semenjak dia jadi artis. Seolah kakinya menempel di sana, Lay tak mau pergi ke mobil, pergi ke bandara dan kembali ke Korea.

Namun sebenarnya alasan utama yang menahannya untuk tidak meninggalkan rumah adalah ibunya. Wanita itu seperti tidak rela jika Lay harus pergi walaupun satu minggu penuh telah dihabiskan bersamanya.

“Kenapa sih tidak kembali besok saja? Toh Ibu tidak menahanmu selamanya di sini,” gerutu Nyonya Zhang sambil melipat baju Lay di kamar. “Terkadang Ibu sebal dengan manajermu.”

Lay ingin tertawa, namun dia lebih memilih duduk di samping sang ibu dan merangkulnya.

“Bu, jangan begitu. Besok aku harus perform bersama yang lainnya.”

Nyonya Zhang tak menjawab, masih melipati kaus anaknya dengan helaan napas berat seolah Lay hendak pergi perang.

“Ibu jangan cemberut. Nanti ibu tambah tua.”

Akhirnya Nyonya Zhang menyerah. Dia memeluk Lay dan bergumam, “Satu pesan ibu. Jangan terlalu lucu di teve. Ibu takut para ibu di dunia ini mau mengadopsimu.”

Lay tak bisa menahan tawanya. Dia akan sangat merindukan sang ibu selama beberapa bulan ke depan.

“Lay milik ibu selamanya. Tenang saja.”

***

Jongdae tak pernah berharap untuk sakit di tengah-tengah jadwalnya yang padat. Menyanyi untuk SM The Ballad, bernyanyi bersama Zhang Li Yin di Jeju, syuting iklan bersama EXO, dan masih banyak lagi kegiatan lainnya.

Tapi apa yang bisa dia perbuat ketika demam menyerangnya dan semua obat seakan tak mampu menyembuhkannya. Bahkan susu buatan Kyungsoo tidak mempan sama sekali.

Maka mereka mengirimnya pulang ke rumah. Sang ibu berdiri di depan gerbang demi menyambut lelaki bersuara emas itu. Segera melingkarkan tangannya di tubuh Jongdae yang hangat. Dia pun sedih.

“Kasihan anak ibu,” gumamnya.

Mereka masuk ke dalam rumah dan Jongdae merasa jauh lebih baik dari sebelumnya. Jongdae makan di meja makan bersama keluarganya dan dia merasa lebih baik lagi. Dia tidur di kamarnya dan keesokan paginya dia sembuh total dari demam.

Itu membuat sang ibu bingung.

“Kenapa kau bisa sakit? Bukankah kau selalu minum vitamin, hm?” tanya wanita paruh baya itu saat sarapan.

Jongdae juga heran. “Tidak tahu, Bu. Padahal Junmyeon-hyung selalu memberikan kami vitamin pada kami.”

“Oh kenapa bisa begitu?”

Mereka makan lagi, lalu Jongdae tahu apa penyebabnya.

“Bu, Jongdae tahu kenapa bisa sakit seperti ini.”

“Oh ya?”

Jongdae menganggukan kepala dan menjawab disertai kekehan ringan. “Jongdae rasa, Jongdae sangat merindukan Ibu, makanya jadi sakit begini.”

“Lalu bertemu Ibu jadi obatnya?”

“Yap! Seratus untuk Ibu!” soraknya senang.

Tak berharap Jongdae untuk sering sakit hingga pulang ke rumah. Namun, ibunya berharap Jongdae bisa pulang dalam keadaan sehat.

***

Sesungguhnya, Kim Junmyeon tak perlu menjadi penyanyi atau artis. Apa yang dia cari? Uang? Hei, dia punya banyak di brankasnya. Hartanya bergelimpang dimana-mana, sejak dia lahir uang bukanlah hal yang langka bagi keluarganya.

Bagaimana dengan ketenaran? Ah, tidak juga. Dengan semua kekayaan yang dia miliki, Junmyeon bisa jadi lebih tenar dari sekedar penyanyi jika dia mau melanjutkan bisnis ayahnya.

Membahagiakan orangtuanya? Well, ini bisa jadi salah satu alasannya. Memang bukan uang hasil menyanyi yang akan dia berikan pada orangtuanya, namun kebanggaan. Lalu setelah dilihat-lihat, dia mulai bertanya apa artinya kebanggaan jika dia jarang ada di rumah dan ibunya harus sendirian berada di sana.

“Ibu,” kata Junmyeon di satu sore saat mereka bertemu di kafe.

“Ya?”

“Jujur padaku, apa Ibu senang aku menjadi artis?”

Wanita cantik itu menyunggingkan senyuman keibuan yang Junmyeon sukai. “Tentu saja, Junmyeon.”

“Tapi aku ‘kan jarang ada di rumah. Dalam setahun, aku hanya bisa pulang tiga kali,” Junmyeon memegang tangan ibunya. “Apa Ibu masih tetap senang aku menjadi artis?”

Nyonya Kim menganggukan kepalanya.

Junmyeon pun mengerutkan dahinya bingung. Mengapa ibunya tak seperti Nyonya Zhang yang bahkan tak bisa melepaskan Lay untuk pergi perform di acara musik?

“Apa Ibu tidak merindukanku? Padahal aku setiap hari merindukan Ibu.”

Nyonya Kim mengecup tangan sang anak dan berkata dalam suara lembutnya, “Mana ada ibu yang tidak merindukan anaknya saat dia berjauhan dengan anak bungsunya. Ibu merindukanmu, tapi ibu mengatasinya dengan nonton EXO Showtime,” kata Nyonya Kim. “Ibu menontonnya berulang-ulang,” lanjutnya lagi.

Junmyeon tersenyum. Ternyata ibunya penggemar EXO Showtime.

 

 

THE END

A/N:

Haiii bertemu lagi kita hahaha xD

Lumayan lah ya beberapa hari ini busway sama kereta tak terlalu penuh jadi bisa nulis tanpa perlu dikepoin sama ibu-ibu sebelah hahaha

Dan…*uhuk* *uhuk* kalo boleh jujur, dari enam orang ini sebenernya aku tuh tipe…Jongin dan Jongdae HAHAHAHAHAMALUIH!

Kalo kamu? ((ini udah kayak di iklan))

Oh ya, nantikan sisa enam orang lagi—Dad is the Reason, besok, 8 Maret 2014.

OHORAT! YEHET! KKAEBSONG!

SEE YOUUU~~


Dad is the Reason

$
0
0

Dad is The Reason

Dad is the Reason

 // EXO // Fluff, Slight!Comedy, Family // G //

Sometimes, home is a person…

 

 ***

 

Bisa dikatakan, Luhan adalah anak kesayangan ayahnya. Keputusan yang begitu berat memang ketika Luhan harus pergi ke Korea untuk kuliah dan berakhir menjadi artis, menghabiskan waktunya lebih banyak di sana untuk menyanyi dari satu panggung ke panggung lain.

Tidak menyesal dengan apa yang dia lakukan. Semuanya berjalan dengan lancar dan sesuai dengan keinginannya. Namun, satu yang tak pernah terpikirkan oleh Luhan adalah perjalanan ini harus ditemani rasa rindu akan sosok ayahnya itu.

Umur Luhan 24 tahun ini dan dia masih saja merindukan ayahnya.

“Ayah yang mengajariku bermain bola semasa kecil,” ujar Luhan bercerita pada Lay. Sambil memutar bola di tangannya, Luhan kembali mengenang memori manis itu.

“Umurku tiga tahun dan aku takut bola, tapi Ayah meletakkan bola itu di depan kakiku, menyuruh untuk menendangnya. Saat bolanya masuk gawang, aku sangat senang.”

“Benarkah?”

“Ya,” Luhan menganggukkan kepala. “Ayah bilang aku bisa menjadi pemain bola saat dewasa. Tapi…” Lelaki itu tertawa, memamerkan sederet gigi putihnya. “Rasanya itu tidak bisa terwujud.”

Luhan menghela napas. Menyesalkah dia? Mungkin jika jadi pemain bola, dia bisa lebih sering bersama ayahnya.

“Kau menyesal jadi penyanyi sekarang?” Lay bertanya, seakan dia bisa membaca pikiran Luhan.

Nope,” jawab Luhan cepat. “Ayah bilang jadi pemain bola atau bukan, aku tetap anak ayah dan dia tetap ayahku. Tidak ada yang membedakan.”

Lalu saat matahari sore mulai terbenam, Luhan berhasil menjebol gawang Lay. Rasanya menyenangkan seperti 21 tahun yang lalu bersama sang ayah.

***

 

“Berikan leher ayam itu padaku,” kata Kyungsoo meminta bagian ayam goreng itu pada Jongdae.

“Kita harus banyak makan leher ayam, karena itu bagus untuk suara kita,” ujar Baekhyun memberitahu.

“Oh, kau mengada-ada cerita, Byun Baekhyun,” Jongdae berkomentar sedikit tajam.

Baekhyun pun menoleh dan cemberut menatap Jongdae. “Ayahku yang bilang begitu, tahu!”

Entah itu sekedar mitos atau Tuan Byun saja yang kepalang kreatif mengarang cerita bahwa memakan leher ayam akan membuat suara bagus. Tapi sungguh, saat syuting EXO showtime episode pertama menyisipkan acara makan ayam goreng, Baekhyun langsung teringat masa kecilnya.

Baekhyun-a, aaaaa…

Baekhyun kecil memakan nasi dengan potongan leher ayam yang diberikan ayahnya.

Kalau Baekhyun mau jadi penyanyi, Baekhyun harus banyak makan leher ayam,” kata sang ayah.

Benarkah? Apa nanti Baekhyun akan bersuara seperti ayam? Kukuruyuuk!!

Tentu tidak. Kau akan punya suara yang bagus dan merdu.

Dan Baekhyun memercayainya. Saat itu.

Ketika dewasa, Baekhyun pernah iseng mencari hal itu di internet, dan sudah pasti ayahnya mengarang cerita, karena tak ada penjelasan ilmiah yang mengatakan bahwa memakan leher ayam akan membuat suaranya merdu.

Konyol memang. Apalagi sampai sekarang Tuan Byun tak pernah lupa mengirim pesan lewat ponsel pada Baekhyun setiap hari.

Nak, jangan lupa makan leher ayam minggu ini.

Baekhyun tertawa. “Ayah…”

 

***

Huang Zitao ingkar janji pada ayahnya.

Dari kecil, sang ayah terus mengingatkannya bahwa anak laki-laki tak boleh menangis. Anak laki-laki tak boleh takut pada apapun. Anak laki-laki tak boleh terlihat lemah, maka itu memasukkan Tao ke dalam les wushu adalah cara yang tepat untuk membentuk kepribadiannya.

Tao berjanji akan menjadi lelaki tangguh yang tak pernah menangis.

Tapi Tao hanya manusia biasa yang punya hati terlampau lembut. Walaupun bisa mematahkan leher orang dalam satu kali tendangan, saat EXO menang untuk yang pertama kalinya dan piala emas itu ada di tangannya, tetap saja Tao menangis tersedu-sedu.

Jadi, dia mengingkari janjinya pada sang ayah.

Dia gugup setengah mati saat pulang ke Qingdao dan bertemu Tuan Huang di bandara.

Dia pasti kecewa karena kemarin aku menangis di teve, bagaimana ini?‘ batin Tao takut.

Namun, semua ketakutan itu sirna dalam sekejap. Begitu melihat Tao, Tuan Huang langsung menghampirinya dan memeluknya erat.

“Ayah, maaf. Aku menangis di acara penghargaan kemarin. Aku menyesal, maaf—”

“Diamlah, Huang Zitao.”

Eh, Tao mendengar ada yang aneh dengan suara ayahnya.

Begitu mereka memisahkan diri, Tao melihat ada bulir-bulir air mata menuruni pipi sang ayah.

“Ayah…”

“Ayah tarik kembali perkataan Ayah tentang lelaki tidak boleh menangis,” Tuan Huang menangkup wajah anaknya, “Ayah sudah menangis dua kali dalam seminggu ini. Pertama saat melihat EXO menang, dan yang kedua adalah saat ini. Ayah bangga padamu.”

Kemudian, Tao menangis. Namun kali ini tanpa rasa bersalah, karena sang ayah juga menangis bersamanya.

 

***

Diam adalah hal yang hampir tak mungkin Oh Sehun lakukan.

Dari kecil, anak itu susah diatur. Tak jarang sang ayah dibuat kesal oleh tingkahnya dan Sehun akan berakhir dipukuli bokongnya sampai merah. Kalau sudah begitu, Sehun akan menangis diam-diam dan kabur dari rumah dengan biskuit dia kantung celana sebagai perbekalan.

Di saat seperti itu, Sehun tak mau pulang ke rumah. Dia berharap lebih baik tinggal di luar rumah sehingga tidak perlu kembali dan bertemu ayahnya.

Ah, kini dia menyesal pernah berharap seperti itu. Karena menjadi maknae sebuah grup boyband EXO membuat harapan itu jadi kenyataan.

Dia jarang bertemu sang ayah.

Namun, Oh Sehun dibuat kaget pada suatu hari. Dia melihat sang ayah berada di barisan penonton, menonton perform-nya di Music Bank, dan bertemu di backstage membuat hati Sehun teraduk-aduk.

“Apa yang ayah lakukan di sini??” tanya Sehun tak bermaksud memekik.

“Kau tidak suka melihat Ayah datang ke sini, hah? Aigoo, anak ini benar-benar—” Tuan Oh mengangkat tangannya untuk memukul kepala Sehun, lalu dia menyadari dia tak dapat meraihnya, karena anak itu tumbuh semakin jangkung. “Issh, aku tidak bisa memukul kepalamu!”

“Tapi bokongku masih ada di bawah, yah.”

“Oh, kau minta dipukul seperti masih kecil, ya?”

“Jangan, jangan, yah. Hanya bercanda,” kata Sehun setengah tertawa menahan tangan ayahnya. Dia sadar dia merindukan ayahnya, bahkan saat dia marah, Sehun pun juga merindukan kemarahannya.

“Ayah, jangan marah. Ayo, kita pergi keluar dan beli bubble tea,” ajak Sehun menggandeng ayahnya.

“Apa itu bubble tea?”

“Pokoknya enak. Sehun belikan dua untuk ayah nanti.”

Mereka pun menghabiskan waktu berdua malam itu dengan mengobrol di toko minuman bubble tea.

***

Jika ditanya apa yang membuat Xiumin rindu rumah, mungkin dia akan menjawab ayah dan mobil Volkswagen Beetle warna kuning.

Mereka berdua bukanlah tipe anak dan ayah yang sering mengobrol. Mereka akan saling berdiam diri di dalam mobil VW Beetle itu, membiarkan alunan musik yang menemani perjalanan ke sekolah atau pergi ke mana saja menggunakan mobil itu.

Xiumin sering berkata, “Ayah tidak perlu mengantarku. Aku bisa pergi sendiri.” Karena dia merasa terkadang kesunyian diantara mereka terasa begitu janggal.

Namun sang ayah menolak. “Selama ayah masih bisa mengantarmu, kenapa tidak?”

Kini, setelah Xiumin menjadi member grup boyband EXO, dia tak pernah diantar jemput oleh ayahnya. Dan kadang kala, Xiumin merindukan masa-masa itu.

Bahkan saat ayahnya mulai tak bisa menyetir karena ada gangguan pada matanya, Tuan Kim masih saja bersikeras ingin menyetir dan mengantarkan Xiumin kembali ke dorm EXO.

“Ayah antar ya?”

“Ayah, tidak usah,” jawab Xiumin. Lantas, dia punya ide untuk menghabiskan hari terakhirnya di rumah sebelum kembali ke dorm.

Xiumin menyetir mobil VW Beetle tua itu dan sang ayah duduk di kursi penumpang.

Mereka berputar-putar di sekitar perumahan, tak mengobrol banyak, hanya membiarkan alunan musik mengisi perjalanan mereka seperti dulu kala.

“Mobilnya sudah mulai tua. Bunyinya kasar sekali,” Tuan Kim berkomentar.

Xiumin tersenyum lebar sambil menatap ayahnya.

“Nanti kita bawa ke bengkel ya, yah.”

***

Sepertinya, Do Kyungsoo lahir untuk membanggakan orangtuanya. Khususnya, ayahnya.

Dan Tuan Do tak segan-segan mengumumkan hal itu pada dunia. Yeah, walaupun saat itu dia baru mengumumkannya pada sekitar 0,0005% penduduk Seoul, alias tetangganya, kalau Kyungsoo menjadi juara satu kompetisi bernyanyi di sekolah.

“Anakku suaranya bagus sekali! Dia menang lomba dan membawa piala setinggi pagar ini ke rumah,” ujar Tuan Do bersemangat.

Saat Kyungsoo menang lomba memasak di sekolahnya, Tuan Do heboh bukan main dan menyampaikannya ke teman-teman kantornya.

“Meskipun Kyungsoo laki-laki, tapi dia pintar memasak. Kemarin dia menang lomba memasak dan membawa pulang satu kotak penuh daging sapi berkualitas sebagai hadiah.”

Saat Kyungsoo berhasil menjadi trainee SM, Kyungsoo mengingatkan ayahnya untuk tidak memberitahukan hal ini pada siapa-siapa.

“Iya, ayah tidak akan berbicara pada siapapun,” ya, dia berjanji.

Tak satupun tingkah Kyungsoo membuat ayahnya kecewa, bahkan ayahnya masih saja bangga walaupun Kyungsoo salah bicara saat pertama kali debut di teve. Dia bilang, “Ah, pasti karena AC-nya dingin, makanya Kyungsoo jadi terbata-bata begitu.”

Dan ada kalanya Kyungsoo merasa sedih, karena bukan hanya rasa bangga yang dirasakan ayahnya, tapi juga kesedihan.

“Ah, lihat-lihat! Anakku keren sekali. Dia sangat terkenal sekarang,” ujar Tuan Do gembira sambil menunjuk poster iklan sepatu Kolon Sport yang tertempel di dinding gedung.

“Dan anakku jarang pulang,” timpalnya sedih.

Namun sungguh, hal itu membuat Kyungsoo semakin bekerja keras, supaya dia semakin terkenal dan biarlah ayahnya selalu melihat dirinya dimana-mana; di iklan, di teve, di poster, di drama.

Kautahu, untuk membunuh rasa rindu itu.

THE END

A/N:

Haaaiaiaia kembali lagi aku hahaha

Kali ini tentang Daddy Daddy Daddy  :)

Kalo disuruh milih aku itu tipe yang mana, eumm…entahlah. Beda ya kayaknya kalo hubungan anak cewek sama papanya, terus anak cowok sama papanya, jadi ya begitulah kkkk (padahal yg kmrn juga begitu hahaha)

Kalo kamu? ((masih nanya lagi))

Okeh, saya akan mulai mengerjakan ABOB lagi.  Jadi, jangan bosen-bosen menanti ya :)

OHORAT! YEHET! KKAEBSONG!

SEE YOUU~~~ :*


[BTS] Cross the Street

$
0
0

BTS Jimin

Cast: Jimin [BTS] and You Genre: Fluff, Romance, Highschool!Au • Length: >700wc • Rating: G

Soundtrack: Colbie Caillat – You Got Me

Summary:

Today, no matter what it takes,
we ride home together

***

Aku takut menyeberang jalan.

Iya, aku takut.

Mungkin terdengar seperti pecundang—seseorang yang payah. Menyeberang jalan saja masa tidak bisa? Padahal aku bukanlah anak berumur 7 tahun yang harus dipegangi tangannya. Atau lebih parahnya…aku sebenarnya bukan nenek berumur 89 tahun yang berjalan dengan tongkat.

Tapi tetap saja, menurut mataku, hal itu begitu mengerikan. Begitu banyak kemungkinan yang dapat terjadi saat kita menyeberang jalan. Layaknya di film-film pembunuhan atau Final Destination, apa kau tidak takut jika itu benar-benar terjadi?

“Ayo!” Park Jimin menarik tanganku.

Langit mulai berulah dari setengah jam yang lalu—saat kami pulang sekolah, menurunkan butir-butir air ke atas kepala kami. Bodohnya tak satu pun dari kami yang membawa  payung. Jadi, kami hanya bisa membiarkan rintik hujan menghampiri.

Kini di tengah hiruk pikuk orang yang berlari lalu lalang mencari tempat berteduh, aku malah berdiri di tepi jalan bersama Jimin, hendak menyeberang, tapi kautahu kan aku takut melangkahkan kaki.

“Ayo menyeberang jalan!” ajak Jimin untuk kesekian kalinya.

“Tidak mau,” sahutku pelan.

“Apa? Tapi halte busnya ada di sana,” kata Jimin menunjuk ke seberang jalan. Yeah, Park Jimin, aku tahu dan aku bisa melihatnya.

Aku menggelengkan kepala dan berjongkok, “Tidak mau. Aku tidak mau menyeberang!”

Jim pun bingung. “Kenapa?”

“Aku takut, tahu!”

Laki-laki itu melepaskan tanganku untuk berkacak pinggang. “Hei, apa yang kau takutkan? Lampu untuk pejalan kaki sudah berwarna hijau.”

“Bagaimana kalau tiba-tiba berubah jadi merah?”

“Mana mungkin? Ada peringatannya jika lampu akan berubah. Ayo—“

Jimin mencoba meraih tanganku, namun aku tidak menggubrisnya. Malah memeluk kedua lututku erat tanpa melihat ke arahnya. “Bagaimana jika lampunya rusak dan para mobil itu berjalan ke arah kita?”

Aku mendengarkan helaan napas lelahnya. “Jangan mengada-ada.”

“Aku tidak mengada-ada! Aku sedang menjabarkan beberapa kemungkinan mengerikan kalau kita menyeberang jalan,” ujarku hampir memekik. Tidakkah Jimin mengerti aku takut setengah mati? Aku bisa mengalami serangan jantung saat ini juga!

“Bagaimana jika nanti ada mobil yang tidak mematuhi peraturan, menerobos lampu lalu lintas dan menabrak kita?”

Sekali lagi Jimin menghela napas dan aku yakin sebentar lagi dia akan meninggalkanku sendirian, lalu aku akan membusuk di sini karena tidak bisa berjalan menyeberangi jalan. Oh yeah, aku akan menjadi bangkai.

“Kalau itu terjadi…” Jimin berkata sambil mendekati wajahku. “…berarti itu adalah takdir kita. Kita mati dengan cara seperti itu, kau mengerti?”

“Yah!” aku memekik sebal padanya, dia hanya terkekeh seolah mati dengan cara tertabrak adalah hal paling wajar di dunia. “Kau menyebalkan, Park Jimin! Kalau kau mau mati, mati saja sana sendirian. Jangan ajak-ajak aku! Aku masih punya PR matematika, latihan drama dan aku mau lulus dari sekolah, lalu kuliah!”

Jimin berdecak, akhirnya berjongkok bersamaku. Aku merasa seperti anak berumur tujuh tahun diperlakukan seperti ini olehnya.

“Hei, Chicken Lady,” bisik Jimin lembut seraya menyelipkan rambut basahku ke belakang telinga, “kenapa kau harus takut menyeberang jalan? Kau tidak akan menyeberanginya sendirian, ada aku bersamamu. Jika semua kemungkinan mengerikan itu terjadi, aku akan melindungimu. Aku akan menahan semua mobil itu untuk tidak menyentuh satu senti tubuhmu seperti…eumm…Edward Cullen di film Twilight.”

Well, itu adalah kalimat motivasi terkonyol yang pernah aku dengar. Dia mau seperti Edward Cullen yang melindungi Bella Swan dari mobil van? Dia pikir aku akan percaya? Namun, anehnya itu berhasil membuatku tertawa dan menyerahkan kedua tanganku ke dalam genggaman Jimin. Dia tersenyum, rasa takut pun hilang secara tiba-tiba.

Kami menyeberangi jalan itu saat lampu untuk pejalan kaki menyala.

Tanpa langkah yang terburu-buru, tanpa rasa takut, bersama Park Jimin atau…aku harus memanggilnya Jimin Cullen mulai sekarang?

 

Hari itu adalah hari pertama dalam hidupku dimana aku tak takut menyeberang jalan, tapi entahlah, aku tak yakin bisa melakukannya tanpa Jimin di sampingku—menggenggam tanganku.

Setelah kami duduk di bus, aku menyandarkan kepalaku di bahunya. Rasanya nyaman walaupun tubuh ini menggigil terkena AC bus yang dingin.

“Maaf,” gumamku tak lama saat bus mulai jalan.

“Untuk?”

“Menyuruhmu mati sendirian,” jawabku bersalah.

Jimin tertawa kecil, dia menyandarkan kepalanya di atas kepalaku sebelum tidur dalam perjalanan yang panjang menuju rumah kami masing-masing.

“Ada-ada saja.”

 

Kau boleh saja tertawa, tapi aku serius. Aku tidak mau kau tinggalkan sendiri. Aku mau selalu bersamamu, Jimin Cullen.

 

 

••THE END••

a/n:

*blushing like a school girl* aaaa aku sedang tersandung dan tersanjung dan terjatuh pada BTS. Dan aku udah lama banget gak nulis highschool!au. Jadi…how how?

Dan sebenernya biasku bukan si Park Jimin ini sih di BTS, tapi dia tampan dan semacam mudah ditulis di cerita gituh hahaha

Oke, mungkin besok-besok aku akan nulis lagi tentang member BTS lainnya sambil menunggu inspirasi turun dari langit untuk melanjutkan ABOB (yaluhan, masih enam lembar masa TT_TT)

See you!


Welcome!

[BTS] Ask Me

$
0
0

BTS Jungkook

Cast: Jungkook [BTS] and Lily [OC] • Genre: Fluff, Romance, Highschool!Au • Length: <1500wc • Rating: G

Soundtrack: Train – Hey, Soul Sister

Summary:

Karena sebanyak apapun Lily bertanya pada Jungkook, jawabannya akan tetap sama.

***

“Bagaimana? Boleh tidak?”

Jungkook menggelengkan kepala sebagai jawaban atas pertanyaan gadis kecil itu. Mereka berdua adalah teman sebangku di sekolah, tetangga di rumah, dan di umur mereka yang ke-6, Lily menanyakan sesuatu yang tidak bisa Jungkook jawab.

Tentu saja! Lily menanyakan apakah mereka bisa pacaran di umur mereka yang sedini itu, lalu dia mengajaknya pacaran, dan Jungkook tak bisa menjawabnya. Ajakan polos itu meluncur dari bibir mungil Lily saat mereka main di bak pasir.

“Ayo pacaran denganku, Jungkook.”

“Eumm…bagaimana ya…” bocah laki-laki itu memainkan pasir di tangannya. Tiba-tiba bermain pasir tidak lagi menyenangkan semenjak pertanyaan itu ada. “Aku tidak tahu.”

“Kok tidak tahu? Kata sepupuku pacaran itu asyik lho,” ujar gadis itu seolah pacaran adalah suatu kegiatan outbound yang sering diadakan sekolah mereka setiap akhir semester. Dipikirannya pacaran itu seasyik bermain flying fox atau berenang di kolam ombak. Dasar anak kecil!

Jungkook tidak yakin itu ide bagus.  Dia jadi bimbang. Oh, dia tahu. Setiap kali Jungkook bimbang atau bingung, dia bisa menanyakannya pada sang ibu.  Maka siang itu dia melakukannya.

“Aku tanya ibu dulu ya.” Kemudian Jungkook meninggalkan bak pasir, sekop mainannya, dan Lily. Dia berlari dengan kaki kecilnya, secepat yang dia bisa.

Lantas setelah sekitar lima menit lamanya Jungkook pergi, dia kembali lagi pada Lily dan anak laki-laki itu membawa permen lollipop di tangannya.

“Bagaimana? Boleh tidak?”

Jungkook menggelengkan kepala. “Ibu bilang aku tidak boleh pacaran. Aku masih terlalu kecil. Kalau sudah bisa buat roti lapis isi keju sendiri, ibu baru memperbolehkanku pacaran.”

Lily pun cemberut sembari membuka bungkus permen lollipop pemberian Jungkook. Dia berpikir dalam kepalanya, kapan Jungkook bisa membuat roti lapis isi keju sendiri? Pasti masih lama.

Lily nampaknya harus menunggu.

***

“Bagaimana? Boleh tidak?”

Jungkook menggelengkan kepala sebagai jawaban atas pertanyaan gadis berumur dua belas tahun itu. Lily harus dirundung rasa kecewa. Enam tahun yang lalu dia pernah menanyakan hal serupa pada Jungkook dan anak laki-laki itu tetap menjawab dengan jawaban yang sama. Oh, bukankah ini keterlaluan?

“Ah, ini menyebalkan!” gerutu Lily menghentakkan kakinya kesal dan bersedekap tangan. “Kau payah, Jungkook.”

Jungkook mengangkat bahunya acuh. “Mana kutahu? Ibu tidak memperbolehkanku, makanya aku menurutinya. Aku tidak boleh melawan orangtua, Lily. Bukan aku saja, kau juga.”

Lily mengembuskan napas tanda dia menyerah (untuk saat itu). Dia terhenyak duduk di samping Jungkook dan menyambar satu potong roti dari dalam kotak makan Jungkook sebelum anak itu mengambilnya. Namun Jungkook tak protes, dia membiarkan Lily.

“Hei…ini roti keju…” kata Lily mengunyah roti itu. Dia menatap Jungkook hingga anak laki-laki itu mengerutkan dahinya penuh tanya. “Apa? Kenapa dengan roti keju?”

“Apa kau membuatnya sendiri?”

Jungkook mengangguk.

“Yah! Katanya kalau kau sudah bisa membuat roti lapis isi keju sendiri, kau boleh pacaran denganku.”

Kini Jungkook menatapnya dengan tatapan bosan, setelah gadis itu tidak bereaksi, Jungkook memutar kedua bola matanya. “Ibuku bilang kalau aku sudah bisa menyelesaikan soal perpangkatan bilangan bulat dalam waktu kurang dari tiga puluh menit, aku boleh pacaran.”

Lily cemberut lagi. Tiba-tiba roti keju di mulutnya terasa sedikit pahit dan keras. Dia berpikir, perpangkatan bilangan bulat kan susah! Apalagi kalau puluhan dan ratusan.

Lily harus menelan bulat-bulat kenyataan bahwa dia (lagi-lagi) harus menunggu.

Menunggu Jungkook dapat mengerjakan soal itu kurang dari 30 menit.

***

“Bagaimana? Bisatidak?”

Kali ini pertanyaan itu bukan berasal dari mulut Lily, melainkan Jungkook. Umur mereka kini 17 tahun dan masuk ke sekolah yang berbeda membuat keduanya sedih. Dan apa maksud pertanyaan Jungkook itu? Pertanyaan itu pernah menjadi kalimat favorit Lily untuk mengajaknya pacaran, namun Jungkook selalu menolaknya karena alasan “Ibuku bilang…”.

Dan saat ini Lily menggelengkan kepala.

“Aku tidak bisa ijin dari sekolah besok untuk pergi nonton bersamamu. Aku ada pelajaran tambahan sampai jam empat,” ujar Lily. Remaja lelaki itu hanya bisa berdiri di tempatnya, tangan menggenggam dua tiket bioskop. Sudah capek-capek mengantri untuk mendapatkan tiket, yang diajak malah tidak bisa nonton, batinnya.

Sekarang, Jungkook tahu rasanya kecewa yang pernah dua kali Lily rasakan dalam hidupnya. Hei, rasanya sakit, ya.

“Ya sudah,” gumam Jungkook dengan bahu melorot, “aku akan menonton sendirian kalau begitu.”

Lily menyentuh lengan Jungkook prihatin. “Maaf ya.”

“Tidak apa-apa. Eh, ayo pulang bersama,” ujar Jungkook melirik jam tangannya. “Sebelum terlalu sore.”

Lily menerima ajakannya kali ini. Sambil menyandang tas di bahu, Jungkook dan Lily pulang ke rumah mereka yang hanya berbeda beberapa blok. Mereka mengobrol satu sama lain, berbicara tentang guru Jungkook yang suka mengupil, lalu Lily bercerita tentang guru matematikanya yang galak. Lalu terlintas di pikiran Jungkook, kalau berteman seperti ini nyaman, buat apa pacaran dengan Lily?

Well, itu anggapannya beberapa menit yang lalu sebelum seorang remaja laki-laki menghampiri Lily dengan sepedanya.

“Lily!” panggil laki-laki itu.

Siapa dia? tanya Jungkook dalam hati.

“Hei, Bambam. Kau mau pulang?” sahut Lily memperlambat langkahnya.

Remaja bernama Bambam itu mengangukkan kepalanya sambil tersenyum.

Kenapa dia tersenyum seperti itu pada Lily?

“Err, Lily, boleh bicara sebentar denganmu?” ujar Bambam seraya turun dari sepedanya. Tanpa berpikir lagi Lily mengiyakan ajakan itu, namun Bambam melirik ke arah jungkook. “Berdua saja tapi. Boleh?”

“Oh tentu,” ucap Lily. Dia menepuk bahu Jungkook sebelum pergi mengikuti Bambam ke bawah pohon dekat taman—tak jauh dari tempat mereka berdiri. “Tunggu di sini ya, Jungkook. Aku akan segera kembali.”

Jungkook sungguh tidak peduli apa yang ingin dibicarakan mereka berdua, tapi dia tidak suka melihat Lily jalan berdampingan dengan Bambam. Rasanya ada yang mengganjal di hati.

Cemburu ya?

“Tidak!” Jungkook berbicara pada angin dan dia jadi malu sendiri.

Dari tempatnya, Jungkook dapat mendengar apa yang Lily dan Bambam bicarakan. Bermula dari bahasan tentang tugas matematika, ujian olahraga minggu depan, lalu sampai ke pelajaran bahasa perancis. Samar-samar, Jungkook mendengar satu kata dari Bambam pada Lily, yang membuat jantungnya berhenti berdetak sekitar 0,5 detik.

“…Je t’aime, Lily.”

APA???

Tanpa sadar, kaki Jungkook telah melangkah dengan sendirinya. Melangkah bahkan lebih cepat dari sebelas tahun yang lalu saat dia hendak bertanya pada ibunya apakah dia boleh berpacaran dengan Lily.

Jungkook segera mengisi kekosongan di antara kedua orang itu, memblokir pandangan Bambam akan Lily. “Apa kau bilang? ‘Je t’aime, Lily’??” kata Jungkook dengan nada tinggi. Dia berkacak pinggang di depannya.

“Apa kau tidak tahu kalau…”

Hei, kau bukan pacarnya Lily, Jungkook.

“…k-kalau…”

Kau sendiri kan yang menolak—oh, bukan, secara teknis ibumu yang melarang. Tapi kau juga tidak mau berpacaran dengan Lily sebelumnya kan?

“…kalau…Lily…”

Jungkook melirik ke arah gadis yang kebingungan itu. Dia tidak tahu apa yang harus dia katakan, namun ada dorongan untuk lidahnya bergerak.

“L-Lily itu pacarku!!”

Bambam melongo.

Lily juga.

Rahang mereka terjatuh beberapa senti setelah Jungkook mengatakannya penuh percaya diri untuk kedua kalinya. “Lily itu pacarku. Jangan ganggu dia! Seenaknya saja bilang je t’aime ke pacar orang lain,” ujar Jungkook. Dia menepuk pohon di sampingnya. “Nih, katakan je t’aime pada pohon!”

Dua detik selanjutnya, tangan Jungkook membungkus tangan mungil Lily. Berjalan menjauh dari Bambam yang masih kena shock, berjalan menjauh darinya dan tak pernah melihat ke belakang.

Kini Jungkook juga tak mau melihat ke belakang—masa lalunya—dimana dia menolak permintaan Lily untuk jadi pacarnya.

“Jungkook, berhenti!” Lily tiba-tiba mengempaskan tangannya. Mereka berhenti tepat di depan rumah Jungkook. “Apa yang kau katakan tadi? Aku pacarmu?” gadis berambut panjang itu menatapnya tak percaya.

“K-Kau tidak dengar apa yang kuucapkan tadi, hah?” Jungkook mengambil tangan Lily lagi, hendak melanjutkan langkahnya, namun gadis itu menahannya.

“Tapi kau menolakku dua kali,” gumam Lily pelan. Suaranya penuh kesedihan, Jungkook bisa mendengarnya.

Dia berbalik menghadap Lily, berusaha mengumpulkan kata-kata dalam kepalanya. “Itu kan dulu! Mulai sekarang aku ini pacarmu dan kau adalah pacarku. Katakan itu pada Bambam atau Bembem atau Bombom, entahlah siapa namanya, aku tidak peduli. Kalau dia masih bilang je t’aime padamu, dia akan berurusan denganku.”

Jungkook menarik tangan Lily, dan gadis itu masih menahannya.

“Apa lagi, Lily?”

“Memangnya ibumu memperbolehkanmu pacaran?” tanya Lily hati-hati. Hei, mereka baru sadar sedari tadi mereka berbicara di depan rumah Jungkook, bisa saja ibunya mendengar dari dalam. Tapi Jungkook tidak takut. Bukan apa-apa, kalau tidak salah tadi pagi ibunya pergi ke tempat sepupunya di Daegu. Ah, tidak ada orang di rumah.

“Tentu saja boleh. Umurku sudah tujuh belas tahun, aku bisa membuat roti lapis isi keju sendiri, aku bisa mengerjakan soal perpangkatan lebih cepat dari siapapun. Ibu…ibu tidak bisa melarangku.” Wow, Jungkook begitu gagah saat mengatakan hal itu pada Lily, padahal…

Jungkook, kau tidak boleh pacaran sebelum lulus SMA. Ibu tidak mau kau nanti jadi tidak fokus belajar.

Maaf ya, bu, Jungkook membatin dalam hati.

Jungkook menarik tangan Lily untuk ketiga kalinya, dan gadis itu masih menahannya. “Astaga, demi Spongebob! Apa lagi???”

“Kau mau ke mana? Ini rumahmu.”

Jungkook memutar kedua bola matanya sebal dan tetap menarik tangan Lily agar terus berjalan bersamanya.

“Mengantarmu pulang tentu saja! Aku kan pacarmu. Seorang pacar harus memastikan pacarnya sampai di rumah dengan selamat. Bagaimana kalau si Bembem itu datang lagi?”

Lily tidak bisa memercayai telinganya, sekaligus senang tiada tara. Jadi benar dia sekarang resmi pacar Jungkook? Walaupun tidak dipinta dengan seikat bunga juga cokelat, Lily tetap senang. Dia senang sampai rasanya tak mau melepaskan tangan Jungkook di genggamannya.

“Namanya Bambam, Jungkook,” Lily terkikik.

.

.

.

.

.

.

.

Tak lama setelah mereka berjalan pergi mengantar Lily, tirai rumah Jungkook tersibak sedikit.

Seseorang mengintip dari dalam.

●●THE END●●

 

a/n:

aaaa kenapa punyanya si adek jungkook jadi panjang begini? Aduh keasikan akunya hihihi

yaps! Ini fic BTS kedua. Ulalala, percaya ato enggak ini aku nulisnya kemaren. Abis yang Jimin, langsung nyambung ini hahaha lancar kayak jalan tol karena mungkin ini fluff dan romance, ya genre paling mudah, ya iyasih aku cuma bisa nulis begini. Aku tak keren >.<

DAN ADA BAMBAM HAHAHA (maaf ya)

owkay, dari kemaren aku liat orang menunggu si Jin atau enggak si Taehyung, ato si Jungkook. Ah, kalian gamau liat sisanya? Itu kece badai juga loh hehe

baiklah, sampai bertemu di fic lainnya :)


Baby Jonginie

$
0
0

baby jonginie

Cast: Kai [EXO-K]// Minor Cast: Sehun, D.O [EXO-K], Victoria [f(x)], Nickhun [2PM] // Genre: Comedy, Fluff, Family // Length: >3000w

Song Recommendation: One Direction – Kiss You

Summary:

Baby Jonginie dapat membuat semua perempuan di dunia ini merasa beruntung memilikinya.

Read this too :)

Babysitting [1] [2] || Baby Soo-Soo || Baby Sehunie || Baby Baekki

(p.s: this is the last series)

 

***

 

Jongin dapat membuat semua perempuan di dunia ini merasa beruntung memilikinya. Oh, bagaimana bisa hal itu terjadi? Jika dihitung-hitung, kini Jongin baru berumur sepuluh tahun dan Januari nanti dia berumur genap sebelas tahun. Jongin bukan pria dewasa dengan gel dan gliter di rambutnya, tapi…yeah, dia bisa membuat semua perempuan di sekitarnya merasa begitu berarti.

 

Victoria adalah yang pertama.

 

“Sepertinya anak kalian laki-laki.”

“Oh, benar kah?” wanita itu menatap layar USG dengan senyuman mengembang di wajah. Dia memegang tangan Nickhun sang suami dan satu butir air mata jatuh di pipinya seraya Nickhun berbisik, “Anak pertama kita laki-laki, Vic.”

Tak begitu yakin apakah ini sebuah kenyataan atau sekedar mimpi, karena Victoria menangis haru di atas bantal rumah sakit dan tak bisa berhenti. Cabang bayi yang bergerak-gerak di layar terasa begitu nyata hingga dia tak bisa menunggu lebih lama akan kehadirannya.

“Dua bulan masih lama, ya?” tanya Victoria memandang ke luar jendela mobil di perjalanan pulang mereka, tak bisa menutupi nada sedih di suaranya.

Nickhun tertawa kecil. “Tidak terlalu lama, Vic. Hei, kita harus memilihkannya nama semenjak kita sudah tahu apa jenis kelaminnya.” Dia melihat wajah wanita itu kembali cerah. “Kira-kira nama apa yang bagus, hm?”

Victoria berpikir sejenak sebelum menjawab, “Jaehyun?”

“Jaehyun…eumm…”

“Atau kita bisa memberinya nama Donghae?”

“Sayang, itu nama salah satu anggota Super Junior.” Nickhun tergelak melihat Victoria cemberut di sebelahnya.

“Donghae tampan, aku adalah fans Super Junior.”

Nickhun hanya bisa tertawa dan menggelengkan kepala selagi mereka berhenti sejenak di pompa bensin untuk mengisi bensin mobilnya. Dari luar dia mengamati bagaimana Victoria berkomat-kamit sendiri, memikirkan siapa nama anak mereka, dan entahlah, itu membuatnya bahagia.

“Terima kasih,” kata pria petugas pompa bensi memberikan uang kembalian ke tangan Nickhun dengan sangat ramah dan Nickhun sempat melirik Employee of the Month adalah si petugas tadi. Jongdae. Suatu ide terlintas di kepalanya.

“Sudah dapat namanya?” tanya Nickhun menaiki mobil.

Victoria menggeleng pasrah. “Aku tidak tahu nama yang bagus.”

“Eumm, bagaimana kalau kita mulai dari ‘Jong’?”

“’Jong’?” otak Victoria berputar. “Jongsook? Jongsa? Jongil—“

“Jongin?” tiba-tiba Nickhun berbicara.

Victoria berpikir dan tertawa senang. Dia mengelus perutnya lembut, “Jongin. ya, Jongin nama yang bagus.”

Mereka pun menantikan kelahiran anak pertama mereka yang bernama Jongin dan Victoria tidak tahu lagi apa ada kata lain yang dapat menggambarkan kehidupannya kini. Karena dia sangat, sangat, sangat beruntung memiliknya.

 

***

Neneknya adalah yang kedua.

 

“Owh, lihat siapa yang sudah bisa merangkak, hm? Jonginie, kemari. Kemari, sayang.”

Tak dapat dipungkiri Jongin adalah cucu pertama dari keluarga Victoria dan kehadirannya semacam membawa surga kecil ke rumah wanita berumur 54 tahun itu. Baby Jonginie memakai baju berwarna merah dengan penutup kepala, terkikik dengan iler membasahi karpet rumah itu. Dia merangkak dengan cepat ke arah wanita itu dan berakhir dalam dekapannya.

“Jonginie, bagaimana bisa ada anak selucumu? Apa kau malaikat yang jatuh dari langit, hm? Katakan pada nenekmu ini.” Wanita itu mengguncang-guncang pelan tubuh mungil Jongin dan Jongin hanya bisa tertawa, menghasilkan lebih banyak iler di dagunya.

Eww, dan kau adalah malaikat kecil yang suka ngiler, Jonginie,” kata sang nenek mengernyitkan hidungnya. “Tapi, tak apa. Kau lucu.”

Sang nenek pun beranjak dari lantai, membawa Jongin bersamanya. Hari itu hari Sabtu, seperti biasa Victoria akan menitipkan Jongin pada ibunya selama dia dan Nikchun pergi belanja keluar.

Bye, Vic! Aku dan Jonginie akan minum sake dan menonton teve selama kau pergi berbelanja.”

“A-apa?” pekik Victoria segera keluar dari mobil dengan wajah cemas. Ibunya terkadang sedikit gila.

“Aku hanya bercanda, Vic. Pergilah, aku akan menjaga Jonginie di sini.”

“Baiklah.” Victoria menghela napas lega selagi kembali menaiki mobil, namun matanya tak lepas dari kaca spion, memperhatikan sang ibu melambaikan tangan beserta Jongin di tangannya. “Jongin akan baik-baik saja ‘kan bersama ibu?”

Mobil itu semakin lama semakin menjauh dan tak terlihat lagi. “Apa kau bercanda? Kita akan pesta cupcake, Jonginie. Hanya kau dan aku,” gumam sang nenek.

Dan wanita itu pun berpikir kebaikan apa yang telah dia perbuat dalam hidup ini hingga pantas mendapatkan anak secantik Victoria, menantu setampan Nickhun, dan cucu selucu Jongin. Ya, apa.

***

Krystal adalah yang ketiga.

Di umurnya yang ke-15 dia harus menerima kenyataan bahwa dia adalah bibi termuda di dunia (pikirnya, walaupun Jongin memanggilnya noona bukan ahjumma) dan mendapatkan keponakan bernama Jongin yang mengunjungi rumahnya hampir setiap minggu. Bukan karena Jongin cucu laki-laki pertama di keluarga itu maka dia iri, tapi entahlah…dia hanya tidak suka pada anak berumur lima tahun yang sok cool itu.

Noona, sedang apa?”

Noona lapar tidak?”

Noona mau bermain bersamaku?”

Noona, kau baca apa?”

“Jongin, stop berbicara padaku!” pekiknya tertahan. Rasanya dia ingin membuang Jongin keluar jendela kamarnya. Well, apa juga yang telah merasuki Krystal hingga memperbolehkan anak itu berada di kamarnya? “Ugh, menyebalkan!” Krystal menutup telinganya dan mengacuhkan Jongin untuk beberapa jam.

Namun, sebenarnya Jongin tidak seburuk itu. Karena saat Krystal baru saja putus dengan pacarnya, Jongin berada di sana memberinya tisu dan mendengarkan curahan hatinya.

“Dia memutuskanku! Aku tidak mengerti mengapa dia seperti itu.”

“Sssttt…noona jangan sedih. Noona bisa mendapatkan yang lebih tampan darinya. ‘Kan noona cantik.”

Krystal menatapnya dengan mata berair. “Benarkah?” Satu anggukan dari Jongin membuat dia berhenti menangis dan mencubit pipi Jongin lembut. “Terkadang kau itu tidak menyebalkan, Jonginie.”

Krystal merasa beruntung mendapatkan keponakan seperti Jongin.

 

Tapi tidak juga sih, karena saat Krystal bangun dari tidur siangnya bersama Jongin dan menatap wajahnya di cermin penuh coretan spidol.

 

“JONGIN! KEMARI KAU, KUTU BUSUK!!! ASJDAJOICJAIKNA!!!”

 

***

Waktu terus bergulir, tanpa terasa Jongin tumbuh menjadi anak laki-laki yang tampan. Predikat ‘tukang iler’ tentu sudah berpindah ke tangan Sehun adiknya saat lahir, lalu ke Kyungsoo saat pertama kali dia datang ke rumah mereka. Jongin kini berumur sembilan tahun, tidak ngiler lagi, tidak suka ngompol lagi, bahkan sekarang dia sudah mulai mencoba memakai cologne aroma anggur dan membiarkan rambutnya sedikit berantakan karena…

Gadis-gadis di sekolah menyukai Jongin yang seperti itu. Wow.

Jongin adalah murid yang terkenal di sekolah. Walapun seragamnya sedikit kusut, guru sering memarahinya karena hal itu. Terkadang dia suka tertidur di kelas, suka menjahili teman-temannya, tapi pada dasarnya Jongin anak yang baik.

Dia baik pada guru Lee yang sedang hamil, membantu membawakan tasnya keluar kelas.

“Terima kasih, Jongin.”

“Sama-sama, bu. Ibuku sedang hamil adikku, dan perutnya besar seperti Guru Lee.”

“Oh ya? Kau harus banyak membantu ibumu, Jongin,” kata Guru Lee mengelus kepala Jongin.

“Tentu saja, bu,” balas Jongin menganggukkan kepala bersemangat.

“Dan rapikan seragammu, Jongin.”

Jongin terkekeh sambil melambaikan tangan padanya. Dia merapikan kemejanya, mengaitkan beberapa kancing di sana, memasukkannya ke dalam celana, tapi dia tetap membiarkan rambutnya berantakan. Dan ketika dia bersiul sembari melangkah ke depan sekolah—hendak pulang—hujan turun begitu deras.

“Ah, hujan.” Jongin benci hujan, karena jika hujan turun pasti jalanan jadi becek dan dia tidak mau sepatu Adidas-nya terkena becek.

Namun tak mengapa, sang ibu selalu membawakan jas hujan di tas Jongin. Jadi, jika hujan turun sepatu Jongin boleh saja kotor terkena becek, namun tidak dengan rambut kerennya itu. Ya, tentu saja.

Jongin baru saja mengeluarkan jas hujannya dan bersiap mengenakannya, sebelum mendengar seseorang mengeluh di sampingnya.

“Aduh, Min Ha tidak bawa payung. Bagaimana ini?” Jongin meliriknya dan gadis itu bergerak gelisah. Tak henti-hentinya gadis berambut panjang itu menatap jam tangannya.

Dia itu Min Ha. Dia sekelas dengan Jongin dan Jongin jatuh hati padanya setengah mati. Dia itu primadona sekolahan, bagaimana rambut panjangnya sering diikat menjadi satu, terlihat manis ketika menulis di papan tulis, senyumannya yang memikat semua hati laki-laki dan tentu saja Min Ha itu juara kelas.

Dan…yeah, Jongin jatuh hati padanya. Begituuuuuuuuu dalam. Tapi terlaluuuuuuuuu takut untuk berbicara padanya. Hei, bagaimana jika saat bicara suara Jongin tiba-tiba jadi mirip seperti kodok? Pasti akan sangat menakutkan.

“Min Ha,” panggil Jongin. Min Ha pun menoleh padanya dan menyadari kehadiran Jongin.

“Jongin, hai. Kau mau pulang?”

Yeah, begitulah. Kau?”

Min Ha menganggukan kepala, “Iya, Min Ha mau pulang, tapi hujan. Min Ha tidak bawa payung,” dia menghela napas, “dan Min Ha bisa terlambat datang ke tempat les piano.”

Tanpa berpikir dua kali, tangan Jongin terulur—memberikan jas hujan itu pada Min Ha.

“Oh, tidak. Terima kasih, Jongin. Min Ha akan menunggu hujannya sampai reda.”

“Tapi kau bisa terlambat datang ke tempat les. Ambil lah,” Jongin berbicara terlalu datar, menampakkan kesan cool yang membuat hati para gadis meleleh.

Min Ha menolaknya. “Jongin saja yang pakai. Itu kan punya Jongin. Kalau Min Ha memakainya, Jongin bisa kehujan—“

Gadis kecil itu berhenti bicara ketika Jongin melebarkan jas hujannya dan menyampirkannya di bahu Min Ha, lalu Jongin berjalan meninggalkannya dengan tangan di kantung celana—begitu santai—ke tempat terbuka, membiarkan hujan membasahi rambutnya yang keren itu. (APA???)

“Jongin!” panggil Min Ha sia-sia, karena bocah laki-laki itu mengacuhkannya. Dia terus berjalan dengan gaya cool dan jantung yang berdegup kencang.

 

Kau melakukannya dengan sangat baik, Jongin.

Jangan menoleh, Jongin.

Terus berjalan.

Terus berjalan.

Terus berjalan

Terus—

 

“Jongin.”

 

Jongin merasakan sesuatu mengenai kepalanya, menutupinya dari hujan dan ketika dia menoleh, Min Ha sedang berusaha memayungi mereka berdua dengan jas hujan.

Gadis kecil itu tersenyum lebar, “Jas hujannya ternyata lebar dan bisa dipakai seperti ini.”

Jongin mau tak mau menerima tawaran itu dengan memegang ujung jas hujan dan mereka jalan berdampingan. Kemudian Jongin mengantarkan Min Ha sampai di depan tempat les-nya.

“Terima kasih, Jongin. Terima kasih banyak.”

Yeah, tentu.”

Jongin baru saja hendak berbalik, bersyukur detik itu dia dapat bernapas lega karena sangat sulit bernapas saat bersama Min Ha. Kenapa ya?

“Jongin,” tiba-tiba Min Ha memanggil namanya.

“Ya?”

Gadis itu mendekatinya, tangan kecil itu terulur ke wajahnya dan membuat Jongin menelan ludah beberapa kali. Apa yang Min Ha mau lakukan?

“Ada daun di pipimu.”

“O-oh, y-ya.”

Min Ha tersenyum lagi sebelum masuk ke dalam tempat les-nya. “Hati-hati di jalan, Jongin.”

Jongin pun terpaku di tempatnya, setelah itu pulang dengan pikiran penuh nama Min Ha, Min Ha, dan Min Ha. Sementara Min Ha sendiri melamun dikala kelas telah usai dan memainkan satu lagu sambil memikirkan Jongin.

“Kenapa ya, Jongin baik sekali pada Min Ha?”

 

***

 

Kau tahu rasanya jatuh cinta?

 

Bagi beberapa orang, rasanya itu seperti permen manis yang ada tambahan ekstrak buahnya. Beberapa juga menyatakan bahwa rasanya seperti pisang yang diberi susu, atau biskuit cokelat kesukaanmu. Tapi menurut Jongin berbeda.

“Bu, dia kenapa sih?” Sehun berbisik dari ujung meja, melihat kakaknya tersenyum sambil mengunyah nasi di mulut.

“Bi, dari tadi Soo Soo melihat Jongin-hyung tersenyum terus. Apa dia baru dapat hadiah?” tanya kyungsoo polos pada Victoria.

Victoria tidak tahu menahu tentang hal itu, tapi siapa yang bisa membohongi insting seorang ibu saat dia melihat senyuman di wajah Jongin tak luntur sepanjang hari. Bahkan saat menonton drama paling sedih, Jongin tetap tersenyum.

Maka pada malam hari, Victoria memanggil Sehun dan Kyungsoo ke kamarnya, memberitahukan hal itu pada mereka.

“Jongin-hyung jatuh cinta??” mata Sehun terbelak lebar, padahal dia tidak tahu apa artinya.

Ewww…” Kyungsoo mengernyitkan hidungnya, “itu apa sih, Bi?”

Victoria tertawa dan mencubit pipinya. “Jatuh cinta, ya…seperti paman dan bibi. Seperti melihat seseorang yang kau sukai dan kau sangat menyayanginya.”

“Seperti Sehunie melihat robot ironman di toko dan ingin memilikinya?” tanya Sehun bersemangat.

Victoria menganggukkan kepala. “Ya, kurang lebih seperti itu.”

“Seperti Soo Soo menyayangi anak ayam di sekolah?”

“Tentu seperti itu.”

“Seperti Sehunie yang tidak sabar menunggu kelahiran adik di perut ibu?”

“Ya, ya, ya. Soo Soo juga!”

Tidak ada yang bisa Victoria katakan selain ‘ya’ dan menganggukkan kepala dan sedikit kaget ketika kedua anak itu memeluk perutnya yang besar dengan sangat hati-hati juga penuh kasih sayang.

“Kami jatuh cinta pada adik bayi!” sorak mereka senang.

 

Ah ya, mungkin definisinya agak sedikit melenceng di sini, tapi tak mengapa. Victoria yakin cepat atau lambat keduanya akan mengerti seperti Jongin.

 

***

 

Menurut Jongin, jatuh cinta itu rasanya seperti baru saja mendapatkan sepatu merk Nike yang selama ini dia idam-idamkan. Namun, bedanya Min Ha tidak berbentuk sepatu. Tentu saja.

Dan terkadang, menyimpan segala sesuatu di balik hati kecilnya itu terasa tidak enak. Seperti dia ingin meneriakan hal itu, namun apa jadinya? Apa reaksi orang? Apa reaksi Min Ha jika dia mengatakan, “Hei, Min Ha…aku suka padamu!”? Tidak ada yang tahu pasti, kan?

 

Min Ha adalah yang keempat dan mungkin jadi yang terakhir.

 

“Katakanlah padanya,” kata Luhan pasti. (Yeah, Jongin tidak tahu bahwa Luhan adalah tukang gosip tingkat satu yang tiba-tiba—entah dari mana—dia bisa tahu bagaimana perasaan Jongin terhadap Min Ha.

Jongin menggelengkan kepala siang itu sembari berjalan ke arah ruang ganti baju. Mereka baru saja menyelesaikan pelajaran olah raga, Jongin kira Luhan tidak seharusnya berkata seperti itu disaat dia merasa kepanasan. “Siapa bilang aku suka Min Ha,” bantah Jongin mentah-mentah.

“Oh masa?”

“Iya.” Dan saat itu Jongin sepertinya harus mengakui sedikit demi sedikit pandangannya akan gadis kecil yang cantik itu. “Min Ha memang cantik. Min Ha memang lucu dan pintar sih. Tapi memangnya aku harus suka padanya?” (Astaga, Jonginie! Bagaimana bisa kau mengatakan dusta sebesar itu?)

Luhan mengedikkan bahunya. “Entahlah, tapi aku perhatikan kau suka sekali menatap Min Ha kalau dia sedang mengerjakan tugas di sampingmu.”

“O-oh…itu karena…” itu karena aku menyukainya! Apa kau tidak mengerti??!!

Jongin baru saja ingin membantah, mengatakan seribu kebohongan bahwa…tidak! dia tidak suka Min Ha. Walaupun kau pasti bertanya-tanya mengapa sulit untuk mengakuinya, toh Jongin tidak akan mati setelah itu, iya kan?

Tapi sebelum itu…

Ada sebuah kejadian yang memaksa Jongin untuk mengakui bahwa…SUMPAH DIA NAKSIR MIN HA SETENGAH MATI!!! Bahwa dia ingin sekali pulang bersama Min Ha setiap hari, mengantarkannya les piano atau sekedar menunggunya pulang di depan tempat les itu seperti dalam drama Korea.

Kejadian itu memaksanya.

Err, ini bukan tentang kecelakaan sih.

 

“BERITA BESAR! BERITA BESAR!” teman sekelas Jongin—Minseok—datang ke dalam ruang ganti pakaian dengan napas terengah-engah.

“Ada apa?” tanya mereka bersamaan, tercium sesuatu yang mencurigakan dari gerak-gerik Minseok yang mengibas-ngibaskan tangannya. “Cepat katakan, gendut!” teriak Luhan.

Minseok pun cemberut mendengarnya. “Iya sabar, kurus! Aku bernapas dulu.”

Mereka memakluminya. Minseok si anak gendut yang suka terserang asma memang harus dibiarkan bernapas untuk beberapa saat sebelum dia mulai tercekik dan dibawa ke ruang UKS. Mereka menunggu sekitar dua menit sebelum Minseok berbicara.

“BERITA BESAR!” katanya heboh. “KRIS SI ANAK KELAS LIMA AKAN MEMINTA MIN HA JADI PACARNYA DI LAPANGAN!!”

“APA???”

“KRIS SI ANAK KELAS LIMA AKAN MEMINTA MIN HA JADI PACARNYA DI LAPANGAN!!”

“APAA??”

Aish, kalian tuli atau apa? Aku bilang—“

Jongin tidak mendengarkan perkataan Minseok selanjutnya. Dia tidak perlu diberitahu dua atau tiga kali seperti saat ibunya menyuruh Jongin mandi. Yang nalarnya tangkap saat itu adalah Kris si anak kelas lima yang keren dan suka bermain basket itu akan meminta Min Ha jadi pacarnya.

Well, siapa yang tidak kocar-kacir mendengar berita seperti itu. Jika itu bukan Min Ha, mungkin Jongin tak akan peduli. Masalahnya ini Min Ha.

Ini MIN HA YANG DISUKAI JONGIN!!

 

“Jongin! Tunggu!” Luhan tak sempat mengejar Jongin.

 

Jongin rasa, Jongin tak pernah berlari secepat itu dalam hidupnya. Jika dihitung kecepatannya, mungkin Jongin bisa jadi calon atlet pelari internasional, karena insting yang kini tengah bekerja, maka tak heran bocah itu berlari seperti ada anjing yang mengejar.

Min Ha, Min Ha, jangan mau jadi pacar Kris.

Min Ha, Min Ha, jangan bilang iya.

Min Ha, Min Ha, tunggu aku.

Lapangan, lapangan. Di mana lapangannya??!!

Tak terasa, lapangan sekolah terlihat di matanya. Detik itu Jongin berhenti berlari begitu melihat Kris berjalan dari ujung lapangan, membawa seikat bunga warna pink, sementara Min Ha sedang menyirami bunga matahari di ujung lapangan yang satunya.

Bila diperkirakan, Kris akan lebih dulu sampai menghampiri Min Ha daripada Jongin. Jongin berada jauh dari lapangan hingga Min Ha dan Kris terlihat hanya setinggi sumpit di matanya.

Tidaaaaaakkk!! Tidak, tidak, Min Ha! Tidak!

Kris mulai melangkahkan kakinya (yang sialnya panjang sekali, membuatnya lebih cepat berjalan). Jongin pun berlari lagi.

Min Ha, no, no, nooooo!! Andwaeeeee!!!

Kris tersenyum dari kejauhan, mencium bunga itu sekali sambil terus memacu langkah ke arah Min Ha. Sedangkan Jongin berlari terus, berharap Kris tersandung atau ada kotoran burung mendarat di kepalanya.

Apa yang harus kulakukan? Ottoke???

 

Kris hampir sampai.

 

Iya, sedikit lagi!

 

“MIN HAAAAAAA!! AUOUOUOUOUOOOOO!!!!” Jongin berteriak sekencang mungkin.

Usaha itu berhasil, bukan hanya Min Ha yang mendongak ke arah undakan di belakang lapangan, namun Kris juga kaget melihatnya.

Itu karena…

Jongin berteriak layaknya Tarzan di sana dan…

Dia tidak pakai baju, hanya bermodalkan celana dalam bergambar Batman  (oh, jadi Luhan tadi sempat mengejarnya karena ingin memberikan Jongin baju).

Gadis kecil itu menjatuhkan gayung di tangannya. Ingin menutup matanya, namun Jongin nampak serius.

“MIN HAAAAAAAAA!!! JANGAN PACARAN DENGAN KRIS!!”

“Apa?” tanya Min Ha bingung.

“JANGAN PACARAN DENGAN KRIS!!!” teriak Jongin lagi, lebih lantang kali ini.

Min Ha baru menyadarinya lima detik kemudian, menoleh ke belakang dan mendapati Kris beserta bunga pink-nya berdiri terpaku di sana. “Anak itu gila ya?” kata Kris membulatkan matanya.

Dunia ini memang gila. Dan Jongin mau gila ketika melihat Min Ha berjalan ke arah Kris tanpa melihat ke arahnya sedikit pun. Oh, mungkinkah ini akan berakhir tragis? Min Ha lebih memilih Kris daripada Jongin?

“MIN HAAA! TIDAK, MIN HA! AKU MENYUKAIMU!! KUMOHON, BERI AKU KESEMPATAN, MIN HA!! JONGIN MENYUKAIMU! JONGINIE MENYUKAIMU, TOLONG JANGAN BERPACARAN DENGAN KRIS!!!” Jongin berteriak sampai tenggorokannya sakit dan dia mau menangis karena Min Ha tetap berjalan ke arah Kris.

 

Well, sebenarnya Min Ha…

 

“Lepaskan jaketmu, oppa.

“Apa?”

“Min Ha mohon lepaskan jaket oppa. Min Ha mau pinjam,”  katanya tak sabar. Kris pun tak bisa apa-apa, dia melepaskan jaket Nike-nya dan memberikannya pada gadis itu. Dia hanya diam saat Min Ha berbalik dan berlari ke arah Jongin yang sedang memeluk lututnya sedih.

“Jongin,” panggil Min Ha. Suara itu sontak membuat Jongin mengangkat kepalanya dan beranjak. Min Ha datang dengan jaket Kris di tangan, ekspresi wajahnya tak bisa tertebak.

“Min Ha? Kau…” kata-kata itu tertelan kembali dikala Min Ha melingkarkan jaket Kris ke pinggang Jongin dan menatapnya lekat-lekat di mata.

“Berhenti bicara yang tidak-tidak, Jongin. Min Ha juga menyukai Jongin. Sekarang, Jongin pergi ke ruang ganti baju dan pakai seragam.”

Eh, tunggu! Apa??? Min Ha…juga…menyukai…Jongin??!!

“Kau menyukaiku?” tanya Jongin.

Min Ha menganggukan kepalanya sedikit, rona merah mewarnai pipinya yang lembut, membuatnya semakin cantik dan dengan malu-malu Min Ha berjinjit untuk mengecup pipi Jongin sekitar dua detik.

 

Wow…woah… otak Jongin serasa mati. Jongin serasa melayang di udara.

 

Kecupan itu mungkin hanya berlangsung selama dua detik, namun efeknya berlangsung selamanya. Kecupan dari Min Ha bahkan memberikan kekuatan super pada Jongin ketika dia harus berlari dari kejaran Kris.

“HEI, KAU! KEMBALIKAN JAKETKU!”

“TIDAK MAUUUU!! HAHAHAHA!!”

 

Jongin merasa menang.

 

Iya, dia dapat memenangkan Min Ha.

 

***

 

Umur Min Ha menginjak belasan tahun saat kembali mengingat bagaimana kisah cintanya bersama Jongin dimulai. Mungkin dia masih terlalu kecil untuk mengerti, namun percaya atau tidak seluruh perasaannya seperti sudah dia berikan pada Jongin dan selamanya akan terus begitu.  Dan yang terpenting di sini adalah Jongin dapat membuatnya menjadi gadis yang paling beruntung karena bisa bersamanya.

Bayangkan saja, mana ada orang yang mau menyatakan cinta hanya mengenakan celana dalam dan berteriak auouououo seperti Tarzan?

 

Tentu saja hanya Jongin seorang.

 

THE END

 

a/n:

YEAY! KELARRR!!

Ini adalah satu-satunya projek yang kelar dari sekian banyak projek, aku seneng masa. Masalahnya ini satu taun yang lalu aku inget banget ngepost babysitting sekitar bulan februari ._.

Tapi sedih juga sih, entah kenapa keluarga Victoria-Nickhun ini kayaknya happy gitu, terus anaknya cimit-cimit lucu menggemaskan gitu kan :’)

Dan terima kasih yang udah setia menunggu, ato saking kelamaannya bahkan gak nyadar kalo ada fic ini haha :”) seneng bisa nulis fic dari sudut pandang bayi gini, padahal waktu bayi kan aku belum tau apa-apa ya. Tapi ada keseruannya sendiri, setiap nulis series ini berusaha banget ngebayangin diri ini ada di tengah-tengah empat bocah itu. Dan yang paling susah itu ngarang percintaan anak umur segitu (kecuali yang baekhyun). Lah aku kan jaman segitu belum pacar-pacaran hehe

Terima kasih untuk komennya, terima kasih untuk kesediaannya membaca fic yang mungkin masih banyak kekurangannya ini. Kalo ada salah kata, mohon dimaafin ya :) Kalo ada yang menyenangkan hati, aku juga seneng deh jadinya :)

Terima kasih sekali lagi, terima kasih untuk piring cantiknya karena aku kebanyakan ngomong terima kasih /terima piring cantik dari suho/, dan sampai berjumpa di fic lainnya dan projek lainnya. I love you :*

 

Wait for the PDF version, juseyo :)

 

 


[Writing Prompts] Every Little Thing He Does

$
0
0

Yes, because every little thing he does is magic

 

 

***

 

Kinsey seharusnya tahu bahwa melihat Kris bersama anak kecil adalah racun paling mematikan.

Kinsey tidak terlalu suka anak kecil. Ada beberapa kondisi dan situasi yang membuatnya melihat anak kecil seperti cicak pucat yang siap memanjat kakinya. Ugh, membayangkannya saja membuat semua bulu kuduknya berdiri.

Bukan karena Kinsey tidak punya naluri kewanitaan. Bukan karena dia jarang bermain di dapur dan membayangkan dapat membuat kue untuk anak-anaknya nanti. Dia…hanya tidak mengerti apa yang harus dia perbuat saat berdekatan dengan anak kecil. Terakhir kali dia bertemu seorang bocah di taman, gadis itu membuat balonnya pecah dan bocah itu menangis meraung-raung.

Oke, Kinsey tidak ditakdirkan untuk dekat dengan anak kecil. Mungkin di mata anak-anak, dia nampak seperti monster besar dengan rambut merah yang panjang. Eww, Kinsey tidak bisa membayangkan betapa mengerikan dirinya.

Omong-omong soal naluri kewanitaan, Kinsey rasa Kris—sang kekasih—lebih memilikinya daripada dirinya sendiri. Meskipun, kautahu, Kris adalah drummer band rock. Oh, bagaimana mungkin itu bisa terjadi?

Well, itu terjadi pada pertengahan bulan Februari atau lebih tepatnya di hari Valentine.

Sepasang kekasih ini keluar di sore hari, berencana menonton film remaja picisan yang penuh kata-kata romantis karena Kinsey ingin mencobanya, walaupun dia tahu, this is not Kris’ style at all. Pria itu akan tertidur sepanjang film. Kinsey tahu betul.

Please, sekali saja. Biar kita seperti pasangan-pasangan lainnya,” rajuk gadis itu mengalungkan lengannya pada leher Kris, mencium keningnya, mencium kedua pipinya dan berhenti saat dia hendak mencium bibir Kris. “Please, kumohon.”

Eww, Kinsey, aku tidak tahu kau akan se-cheesy ini,” kata Kris mengerutkan wajahnya jijik. Namun dia tetap menagih kecupan itu, maka dia memajukan tubuhnya sementara gadis itu dengan lihai memalingkan wajah.

Kinsey pun cemberut. “Seperti kau tidak gombal saja setiap menciptakan lagu Al Capone!” protesnya.

“Itu bukan aku yang menciptakan lagunya! Itu Huang Zitao si pria melankolis, juga Byun Baekhyun yang sedang jatuh cinta pada junior tingkat satu. Now, say happy valentine to me…” Kris berusaha menciumnya, tapi Kinsey menutup mulut pria itu dengan satu tangan.

“Nonton. Film. Di. Bioskop.” Kinsey memberinya pandangan tajam yang membuat Kris memutar kedua bola matanya kesal.

“Oke.”

“Benarkah??” Kinsey bersorak kegirangan.

Satu anggukan kepala dari Kris dan Kinsey mencium…dahinya (dia bisa melihat betapa kecewanya Kris dan tertawa dalam hati). “Happy valentine, baby! You rock my world! Ayo kita pergi ke bioskop.” Kinsey menarik tangannya kuat-kuat.

“Sekarang?”

“Tidak. Tahun depan, Kris,” Kinsey melotot padanya. “Tentu saja sekarang.”

Mereka berdua pun pergi dari rumah Kinsey dan naik kereta menuju bioskop. Kinsey tak bisa berhenti tersenyum sambil memandang ke arah luar jendela kereta, membiarkan sinar mentari sore menyirami kulitnya yang terasa hangat, dan hatinya juga ikut merasakannya. Entah apa itu efek matahari atau pria di sebelahnya yang menyebabkannya jadi seperti ini.

Kinsey berpikir, betapa mudah dia merasa bahagia. Terkadang dia menganggap dirinya terlalu gampang dibuat senang seperti ini, dan parahnya, Kris mengetahui hal itu.

“Kau mudah sekali ya tersenyum bahagia,” celetuk Kris tiba-tiba, membuyarkan lamunan gadis itu. “Beri Kinsey tiket bioskop dan dia akan tersenyum sepanjang hari,” tambahnya sedikit sarkastik, alhasil menerima sebuah pukulan ringan yang mendarat di lengannya.

Aww! Kinsey!”

Kinsey hanya tertawa tanpa menjawab apa-apa, melanjutkan sesi tersenyumnya dan berkata dalam hati, ini bukan tentang menonton bioskop. Ini tentang kau yang mau menonton bersamaku, walaupun kau tak suka filmnya barang sedikit pun.

Oke, hati Kinsey meleleh.

Oh, tapi itu belum seberapa.

Belum seberapa melelehnya ketika melihat pemandangan yang tersodor di depan matanya beberapa menit kemudian. Seolah Kris tahu di mana letak titik kelemahan Kinsey dan menekannya hingga habis ke dasar.

Yang ini membuat hati Kinsey jatuh di samudera paling dalam sedunia.

Tak jauh dari tempat mereka duduk, Kinsey memerhatikan seorang anak laki-laki berumur kisaran empat tahun tengah menggigit jarinya dan menatap Kris. Dia berjalan ke arah Kris, lalu berlari menjauh darinya beberapa saat kemudian sambil terkikik tanpa suara. Anak itu melakukannya beberapa kali hingga mendapatkan perhatian dari Kris.

Kris memanggilnya. “Hei.”

Anak itu malu-malu tersenyum, masih mengigit jarinya.

“Hei, kemari.” Kris melambaikan tangannya.

Anak itu menggelengkan kepala, menyeruakkannya ke pangkuan sang ibu, namun matanya mengintip dari sela-sela jemarinya.

Kris pun merogoh kantung celananya. Kinsey pikir dia mau merokok, tapi—oh mana boleh melakukannya di dalam kereta. Dan benar saja, bukan rokok yang terselip di tangannya, melainkan permen.

“Hei, kau mau permen?” tanya Kris menggoyang-goyangkan permen stroberi itu. Oh yeah, anak kecil mana yang tak tertarik akan sepotong permen, maka anak itu perlahan-lahan berjalan dari ibunya. Masih dengan tangan di dalam mulut, dia menghampiri Kris dan seperti kena jebakan yang dibuat musuhnya…

Tak perlu waktu lama, kini dia berada di pangkuan Kris.

Wow, bagaimana mungkin dia melakukannya? batin Kinsey.

Anak itu dengan tenang duduk di pangkuan Kris, menatap permen pemberian Kris dengan mata berbinar.

“Kau mau paman membukakannya untukmu?”

Anak itu hanya menatap Kris selagi senyumannya tak memberikan jawaban apa-apa. Kinsey melihat ibu sang anak memberi kode; menunjuk telinganya dan mulutnya, lalu menggelengkan kepala. Ah, detik itu Kinsey mengerti.

“Dia tunarungu, Kris,” bisik Kinsey memberitahu.

Tak berkata apa-apa, Kris pun memberi satu anggukan singkat dan membuka bungkus permen itu, memberikan isinya di telapak tangan si kecil. Senyuman di wajah Kris entah mengapa membuat hati Kinsey dilanda emosi yang hebat.

Apalagi ketika Kris memperlakukan anak itu layaknya anak normal yang dapat mendengar suaranya. Dia membiarkan anak itu berdiri di pangkuannya, mengotori jinsnya, dan mereka berdua melihat ke luar jendela.

Si kecil menunjuk langit di atas sana, mulutnya terbuka tanpa mengeluarkan satu suara.

“Oh ada apa di sana, hm? Langit?” Kris mengusap jendela itu menggunakan telapak tangannya. Berusaha memberitahu anak itu bahwa hamparan luas warna jingga di luar sana bernama langit.

Kemudian Kris mengembuskan napas di jendela, menciptakan uap cukup lebar di sana, lalu dia menggambar lingkaran dengan dua mata serta lengkungan di bawahnya yang mengindikasikan senyuman lebar.

Kris menunjuk gambar tersebut, dan menunjuk ke wajah sang anak. “Ini kau, sedang tersenyum,” gumam Kris sia-sia. Suaranya penuh kehangatan dan Kinsey mau menangis.

Dia memerhatikan keduanya dari jarak satu meter kurang. Dia merasakan sebuah perasaan tak terdeteksi, membuat cairan bening menggenang di pelupuknya.

Apa-apaan ini? Kris…apa yang kau lakukan?

Dia ingin memukul Kris, membuangnya dari pintu kereta, karena dia membuat Kinsey hampir menangis di tempat umum. Ini bukan pemandangan ‘wah’ bagi siapapun. Ini hanya Kris yang tengah bermain bersama anak kecil tunarungu, namun mengapa Kris terihat seperti sedang menumpah ruahkan seluruh jiwanya terhadap si anak?

Kinsey seharusnya tahu bahwa melihat Kris bersama anak kecil adalah racun paling mematikan. Karena kini dia sedang berusaha mencari penawarnya dan hal itu dirasa tak mungkin.

Kau membuatku semakin jatuh cinta padamu, Kris. There’s no way to hate you. Kinsey membenci hidupnya. Membenci dirinya yang terlalu gampang dibuat bahagia. Sial.

Anak itu mulai membuat uap di jendela dengan napasnya sendiri, mencoba mengikuti gambar Kris. Lalu dalam rangka ‘menyelamatkan’ karya si anak agar tidak mencontoh gambar Kris (karena sekarang Kris mulai menggambar serigala. Semua orang tahu…gambar serigala buatan Kris mirip seekor binatang jaman purba yang tidak teridentifikasi), Kinsey mendekati sang anak, mencoba menciptakan uap di sana dan menggambar hati.

Kinsey menunjuk gambar itu, lantas menunjuk dada sang anak sambil tersenyum. “Ini…hatimu,” bisiknya lembut dan baru kali itu, seorang anak kecil memamerkan seulas senyum padanya.

Kris tak mau kalah. Dia ikut mengukir bentuk hati yang cukup besar.

Kemudian…

Dia menunjuk dadanya sendiri…

Mengetuk gambar hati di jendela…

Dan mengarahkan telunjuknya pada Kinsey.

Dan tada! Kinsey meleleh, lebih dari sebelumnya. Namun dia tak mau mengakuinya.

Eww, cheesy!” Kinsey menjulurkan lidahnya.

But I love you…

Kris membalasnya.

…so much, Kris.

 

Dan kini Kris mengerti apa yang membuat Kinsey bahagia. Sangat mudah.

Film dan anak kecil. Yeah.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Bahkan hal itu terbawa sampai mereka  menikah dan punya anak.

Saat Kris tidak menepati janjinya untuk makan malam di rumah dan membuat Kinsey kesal, dia akan masuk ke kamar bersama Peizhi—anak mereka, lalu meminta maaf.

“Maafkan aku, baby.”

“Iya, bu. Maafkan Ayah ya. Ayah bilang pada Pei tadi, Ayah tidak akan mengulanginya lagi,” ujar gadis kecil itu.

Kinsey melirik setengah sebal pada Kris sambil menggumam pelan, “Selalu saja membawa Pei kalau mau minta maaf. Sudah tahu aku tidak bisa apa-apa kalau ada Pei.”

(Tapi pada akhirnya, Kinsey luluh dan Kris membayar kesalahannya keesokan hari dengan membawa keluarganya makan malam di luar. Malam itu ditutup dengan acara menonton film bioskop kartun pilihan Peizhi. Kinsey tidak bisa berbuat apa-apa selain menyandarkan kepalanya di bahu Kris dan mengunyah popcorn.)

THE END

 

 

a/n:

yeah…whatever hahaha.

Kris with black short hairstyle is my FAVORITE!! All the time!!! I mean, really, he is really really suits with this style. I mean like…yeah, you’re rock, man lol

Bonus my fav pics of kris for yaaaaa~

 

 

o-<-<

 



[BTS] Don’t Speak

$
0
0

image

Don’t speak, I know what you’re thinking.

_

Aku tidak percaya hal mistis, aku juga tidak percaya bahwa di tahun 2014 ini masih saja ada orang super misterius yang dapat membaca pikiran, namun Kim Seokjin mematahkan argumen itu.

Kala itu udara cukup panas, suhunya mungkin 28 derajat celcius dan serius, rasanya aku ingin membuka baju saja.

Tapi yang lebih kuinginkan saat itu adalah segelas limun segar dengan dua buah batu es di dalamnya atau lebih juga oke. Aku mau minuman asam bercampur manis itu menyentuh lidahku, dan sensasi dingin menuruni kerongkonganku.

“Seokjin.”

“Hmm?”

“Hari ini panas sekali,” ujarku sambil mengipasi diri. “Aku mau–”

“Limun?” tembaknya langsung dan aku kaget. Bagaimana mungkin dia bisa tahu? Aku bahkan belum menyelesaikan perkataanku.

“Bagaimana–”

“Aku akan membuatkannya untukmu. Tunggu di sini, oke?”

Lalu Seokjin pergi ke dapur apartemenku dan kembali dengan segelas limun di tangannya.

Seingatku, aku tidak sedang berpacaran dengan peramal atau semacamnya. Kim Seokjin normal dan dia tampan (oh yeah). Kim Seokjin sosok yang lovable dan dia penuh pengertian. Tapi satu yang aku tak sangka adalah…dia bisa membaca pikiranku ya?

Hari itu hujan, satu-satunya yang tepat untuk mengisi hari sabtu penuh kekelaman dan awan mendung ini adalah dvd yang bagus dan popcorn ekstra mentega.

“Seokjin, aku…”

“Hei, bagaimana kalau kita nonton film? Kemarin aku meminjam beberapa film seru dari Hoseok dan membeli popcorn siap masak di supermarket.”

Aku hanya menatapnya heran dalam diam.

Dan hal itu terus berulang.

“Kautahu, aku ingin sekali makan…”

“Dimsum dan sushi? Kebetulan aku punya voucher diskon. Ayo kita pergi ke sana nanti sore.”

Lagi dan lagi.

“Seokjin, aku…”

“Tidak enak badan? Oke, kita bisa bilang pada ibuku kalau kau ada urusan penting yang tidak bisa ditinggalkan. Kita tidak perlu makan malam di sana.”

Terus menerus.

“Capek ya?”

“Tidak.” Aku berusaha berbohong.

“Jangan bohong.” Seokjin menggenggam tanganku erat untuk naik ke bebatuan. Aktivitas panjat gunung bukanlah favoritku. Jika ini bukan ajakan dari kakak Seokjin, mungkin aku sudah menolaknya mentah-mentah. “Aku akan berusaha membuat kita pulang lebih dulu, oke?”

Oh God, itulah yang kumau sedari tadi, aku membatin dan tersenyum, sekaligus bertanya.

Bagaimana kau bisa tahu, Kim Seokjin? How??

Seokjin melakukannya terlalu sering, sehingga aku mengira ada chip yang tertanam di otakku. Chip itu menempel di saraf-sarafku dan mengirim informasi pada Seokjin tentang apa yang sedang kupikirkan. Aku mulai berpikir tidak rasional dan kali ini, aku rasa bukan chip di otakku yang mengirim informasi ini pada Seokjin.

Kotak merah berisi cincin itu tersodor di depan wajahku.

“Will you marry me?”

“S-Seokjin, aku…”

“Ssshh,” sebelum aku bisa mengatasi kegagapan ini, jari telunjuk Seokjin menempel di bibirku. “Don’t speak, I know what you’re thinking.”

Seokjin menatap kedua mataku lekat-lekat. “It’s ‘yes’, right?”

Tak ada yang bisa kulakukan selain melingkarkan tangan di lehernya dan mencium Kim Seokjin penuh perasaan.

“Yes,” gumamku pelan. “Yes, you’re right. It’s a big yes and I love you so much.”

THE END

A/n:

Sorry for the typos and the stupid diction, bad plot, almost fail or maybe yes it’s a fail story. But seriously, seokjin ilu hahaha


Fix Me

$
0
0

tumblr_myl9li5V3a1s36084o2_400_zpsd51ac624

Cast: Luhan [EXO-M] & You ■ Genre: Hurt Comfort, Romance ■ Length: <3000wc ■ Rating: PG-15

Soundtrack: Coldplay – Fix You

Summary:

Just kiss me…’cause you’re the only thing that can fix me right now

***

Luhan adalah orang pertama yang kuingat ketika aku tahu ayahku sakit dan dirawat. Nama itu terlintas dipikirkanku, mengendap cukup lama hingga malam itu—pukul satu dibawah rinai hujan—aku putuskan untuk pergi meninggalkan rumah sakit dan memacu langkah keluar dari sana.

Aku seperti orang hilang arah. Aku tak tahu harus pergi ke mana, mungkin seharusnya aku tinggal di samping ayahku, memegang tangannya yang dipenuhi selang infus dan mendengarkan dengkurannya yang kencang sambil tak putus-putusnya berdoa. Namun itu sungguh menyakitkan. Berada di sana dan menonton orang yang kau sayangi menderita adalah hal terburuk sepanjang hidupmu. Maka aku pergi, ya, aku harus pergi.

Tapi ke mana?

Mungkin aku seharusnya bertandang ke rumah Park Chanyeol, teman kuliahku yang tak jauh dari rumah sakit itu berada. Rumahnya hanya beberapa blok, butuh tiga menit untuk sampai di sana. Tapi otakku tidak mengingatnya sama sekali. Aku hanya ingat nama Luhan, Luhan, dan Luhan.

Mungkin seharusnya aku pergi ke toko sushi milik Yixing, teman baikku. Tokonya tidak jauh dari rumah Park Chanyeol, sekitar 500 meter, tapi lagi-lagi kaki ini tak mau berhenti walaupun mataku telah menangkap bangunan itu dari jauh. Aku tidak mau berhenti karena hati berkata bukan tempat itu yang seharusnya kusinggahi. Aku pun berjalan lagi sembari merapatkan jaketku.

Hujan masih sedingin yang kurasakan semenjak lima belas menit yang lalu. Dan nama Luhan masih saja bergema di kepalaku.

Mungkin juga aku seharusnya menelepon Sulli, sahabatku. Aku tahu Sulli akan datang tanpa basa-basi, Sulli akan menerobos hujan dan datang walaupun rumahnya jauh dari rumah sakit, karena dia sahabatku, dia pasti datang. Tapi bukan Sulli yang ingin kulihat saat itu, bukan sahabat yang bersamaku delapan tahun itu yang ingin kudengar suaranya.

Aku butuh Luhan.

Aku butuh mantan pacarku. Aku butuh pria yang kutinggalkan dua tahun yang lalu itu. Entah mengapa, bukan dia yang seharusnya kuingat lagi. Lagipula aku sudah menghapus nomornya, melupakan di mana dorm-nya berada. Tapi dua tahun aku rasa terlalu sebentar untuk menghilangkan sosok Luhan dari pikiran ini, karena aku telah menelepon nomor itu ribuan kali, dan pergi ke dorm-nya setiap hari.

Dua tahun bukan waktu yang sebentar.

Kaki ini dengan cekatan melangkah ke arah dorm-nya dengan melewati toko roti, belok ke kiri lalu belok ke kanan di gang kedua, melintasi tembok yang punya lubang besar, menaiki tong sampah yang besar itu untuk mengambil jalan pintas dan sampailah aku di depan bangunan yang punya tiga lantai. Kamar Luhan berada di lantai paling atas. Aku ingat aku suka mengeluh kelelahan untuk sampai di sana.

Aku tertawa dalam hati mengingat memori itu.

Tapi ini bukan saatnya bernostalgia, karena tak lama kemudian aku menemukan diri ini berdiri di muka pintu nomor 34 dan tanganku mengetuk permukaan kayu tua itu sebanyak tiga kali.

“Siapa?”

Mendengar suaranya saja aku hampir menangis dan hatiku sakit. Tak kusadari betapa aku merindukan suara itu.

“Ini…aku,” jawabku pelan, Luhan pasti tidak mendengarnya.

Kemudian, sosok itu muncul. Kehadirannya seperti membawa sejuta kenangan lama, menguak luka, tapi entah mengapa aku suka merasakannya. Ketika dia melihatku, kami bertatapan, aku berusaha keras untuk tidak memeluknya dan menangis di bahunya—sesuatu yang ingin kulakukan sejak pertama kali kami putus, menyadari itu salahku.

“Hai,” sapaku sambil tersenyum.

Luhan masih memakai polo shirt kesayangannya. Aku ingat betul, akulah orang yang menjahit beberapa lubang di sana karena Luhan enggan membuangnya ke tong sampah. Dia menyukai baju itu, sangat.

“Hai, kau…” Dia bingung. Tentu. Setelah dua tahun lamanya menghilang, tiba-tiba gadis yang memutuskan hubungannya muncul di depan pintu, apa yang bisa dia lakukan. “Ada apa?”

“Aku…” Aku tak punya alasan mengapa aku ke sini., “Boleh aku masuk?”

Luhan pun mengangguk dan membuka pintu. “Ya, tentu saja. Ayo masuk.” Dia mempersilakanku selagi matanya menelusuriku dari atas ke bawah. “Di luar hujan ya?”

“Ya, begitulah.”

Ini aneh. Kami bersikap seperti dua orang yang berteman lama, tak ada latar belakang apa-apa. Tak lebih dari sekedar teman. Aku berpikir, hei, kita dulu pernah berpacaran. Kita pernah berciuman di sofa itu dan memasak bersama di dapurmu.

Apa Luhan lupa?

Aku memasuki dorm-nya yang berdinding kuning cerah. Dulu aku selalu berkomentar tentang hal itu, aku bilang warnanya terlalu mencolok mata dan aku sungguh membencinya. Tapi kini aku menemukan kenyataan bahwa warna kuning tidaklah terlalu menyebalkan. Aku justru merindukannya.

“Kau mau kubuatkan teh? Atau kopi?” tanya Luhan setelah menutup pintu di belakang.

Aku berbalik padanya, setengah melamun. Aku mau memelukmu.

“Teh boleh. Kau sedang sibuk?” tanyaku melihat begitu banyak kertas di meja, komputer yang masih menyala di jam setengah dua ini.

“Umm…well, itu…skripsi,” Luhan menyisir rambutnya ke belakang. “Sidang skripsi dua minggu lagi, aku harus ekstra cepat menyelesaikan revisinya.”

“Oh, baiklah,” aku mengangguk. “Boleh aku duduk?”

“Ya, ya. Tentu. Maaf keadaannya sedang berantakan. Kau boleh singkirkan buku-buku itu dari sofa. Taruh saja di mana pun kau suka,” Luhan tertawa kecil, matanya membuat bentuk bulan sabit. Kini mereka terlihat lelah dan ada bayangan hitam di bawah matanya.

“Aku ke dapur dulu, membuatkanmu teh,” kata Luhan setelah memperhatikanku menyingkirkan buku-buku itu dari sofa dan duduk. Dia menghilang selama tiga menit, seperti membiarkanku mengingat setiap detil kejadian di sini.

Kusentuh permukaan sofa kain berwarna merah itu, satu tempat yang dulu menjadi tempat tidurku saat tidak ada kelas di siang hari dan Luhan akan sibuk bermain PSP sambil bersenandung pelan, mengantarku ke dalam mimpi.

Semuanya masih sama seperti dua tahun yang lalu. Tidak ada yang berubah kecuali foto-foto kami berdua yang tak lagi terpampang di dinding. Luhan telah menyingkirkannya, entah mengapa aku sedih. Seharusnya tak begitu, tentu saja Luhan akan membuang semua kenangan kami.

Dan aku mau tak mau tersenyum ketika menemukan salah satu figura foto kami berdua di sudut meja lampu. Mungkin Luhan lupa membuangnya. Mungkin Luhan tak sepenuhnya melupakanku.

“Ini tehmu.” Luhan datang dengan teh di tangannya dan aku terkejut melihat gelasnya. Itu adalah gelas yang sering kugunakan tempo dulu. Satu yang bermotif polkadot, kami mendapatkannya di taman bermain waktu itu karena Luhan menang menembak boneka.

Mungkin dia masih mencintaiku.

“Terima kasih,” kataku singkat, menghela nafas ketika kehangatan menjalar. Aku terdiam sejenak, mencoba menemukan ketenangan saat menyeruput tehku, tapi aku tidak bisa. “Kau pasti bertanya-tanya mengapa aku datang ke sini.”

“Ya, aku ingin bertanya hal itu dari awal, tapi aku lihat kau sepertinya butuh ketenangan, jadi kupikir kita bisa membicarakannya nanti.”

Luhan tetap Luhan yang dulu, selalu mengerti apa yang ada di dalam kepalaku. Membaca pikiranku layaknya sebuah buku. Bisakah dia juga menemukan alasan mengapa aku datang ke sini?

“Ayahku sakit.”

“Oh,” dia terkejut, ekspresinya membeku detik itu juga. “Sakit apa? Apa dirawat di rumah sakit?”

“Stroke. Ya, dia dirawat…”

“Kau perlu aku antar ke sana?” Ada nada cemas terselip di suaranya yang lembut itu.

Aku menutup mata dan menggelengkan kepala. “Tidak. Aku baru saja dari sana.”

“Oke—”

“Luhan.”

“Ya?”

Aku membuka mata, menemukan Luhan menatapku penuh tanya. Dia pasti bertanya mengapa aku ada di sini, mengapa aku datang kepadanya, atau…mengapa dulu aku meninggalkannya.

“Aku…”

“Hei,” dia menghampiriku, menyentuh bahuku yang tiba-tiba terasa ringan akan sentuhannya. “Bajumu basah. Mau kuambilkan baju? Kau bisa menggantinya dan apa pun yang ingin kau katakana,” Luhan tersenyum, “kau bisa mengatakannya nanti.”

Aku pun pergi ke kamar mandi dan mengganti bajuku dengan kaus warna hitam miliknya. Aroma khas Luhan yang selalu kusuka kini menempel di tubuhku dan aku menghabiskan sekitar satu menit untuk menghirup aroma itu dalam-dalam. Siapa tahu setelah ini aku tidak akan pernah menciumnya lagi.

Luhan tengah duduk di sofa saat aku keluar dari kamar mandi. Dia menuangkan teh yang kedua untukku dan kami memulai segalanya dari kalimat ‘apa kabarmu?’, ‘bagaimana kuliahmu?’, ‘apa Chanyeol baik-baik saja?’, ‘bagaimana dengan Sulli?’, ‘apa Yixing masih berjualan sushi?’

“Semuanya baik-baik saja,” gumamku setengah tertawa. Dan aku tidak baik-baik saja, Luhan.

“Aku juga baik-baik saja. Hanya skripsi ini yang membuatku tidak bisa tidur.”

“Kau perlu tidur, Luhan. Kau mirip Taozi.” Aku menunjuk kantung matanya dan kami tertawa. Begitu mudahnya merasa senang bersama Luhan dan meninggalkan kesedihan di belakang. Mengapa aku tidak menyadarinya selama ini?

“Ya, aku tahu,” Luhan mengangguk dan kami kembali ke suasana kaku. Aku beberapa kali melirik Luhan yang terdiam sambil menatap lantai di bawah.

“Aku sedih ayahku sakit,” kataku pelan. “Aku seharusnya berada di rumah sakit, Luhan. Tapi aku malah ke sini.”

Tanyakan mengapa, Luhan. Tanyakan padaku.

“Aku seharusnya pergi ke rumah Chanyeol. Rumahnya dekat dengan rumah sakit dan aku yakin dia masih bangun satu jam yang lalu. Jika bukan Chanyeol, aku seharusnya pergi ke toko sushi Yixing, tapi…” Aku tertawa kecil. “…aku melewatinya, tidak tahu kenapa. Sulli seharusnya menjadi orang pertama yang tahu hal ini. Dia sangat menyayangi ayahku seperti ayahnya sendiri. Tapi aku tidak meneleponnya. Aku bahkan meninggalkan ponselku di rumah sakit dan aku pergi ke sini, Luhan.”

“Kenapa?”

Aku bisa menjelaskan panjang lebar mengapa aku menempuh jarak sepanjang itu karena mungkin ini sebuah kebiasaan lama yang tak pernah mati. Dimana saat diri ini merasa sedih, merasa berada di titik paling rendah dalam kehidupan, Luhan adalah satu-satunya tempat yang tepat untuk disinggahi.

Aku akan berlari kembali ke Luhan apapun keadaannya.

“Aku tidak tahu.” Dan aku berbohong padanya. Sulit untuk mengatakan: ‘hei, Luhan, aku sedih. Aku membutuhkanmu. Aku merindukanmu’.

Saat itulah aku merasakan kedua lengannya memelukku erat, kupejamkan mata ini, berusaha tidak menangis, namun apa daya hati ini terlalu lelah dan air mata menerobos keluar membasahi kaus Luhan.

“Luhan, aku—”

“Sshh.”

“Aku sedih—aku, aku tidak mengerti mengapa ini semua menimpaku. Apa salahku, Luhan? Apa??”

Aku marah, ya, marah. Emosi meluap-luap di pucuk kepalaku dan aku tidak bisa menahannya, karena percayalah, semuanya terasa begitu menyedihkan. Semua hal sedih sedang menghampiriku, menginjak hati ini hingga rasanya aku mau mati saja.

Tiba-tiba air mata tidak bisa berhenti mengalir di pipiku. Aku menangis selama lima menit atau lebih. Aku bisa merasakan embusan napas Luhan di tengkukku dan dia bergumam dalam bingung seraya memelukku erat.

“A-apa yang harus kulakukan? Kau ingin aku berbuat apa, huh? Katakan, katakan padaku, hei, bicaralah padaku.” Dia menjauhkan wajahku dari pundaknya, menghapus air mata itu dengan kedua ibu jarinya seakan tindakan itu dapat menyapu rasa sedih di hati.

“Katakan. Apa saja. Tolong,” kata Luhan panik; menggigit bibirnya sendiri. “Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan.”

Sementara itu, aku tidak bisa bicara. Menangis lebih keras, menangis lebih kencang, terisak lebih pahit dan aku merutuki hari ini—hati ini.

Dan…aku tidak tahu apa yang tengah merasukiku satu setengah jam yang lalu. Dimulai dari aku melangkah keluar rumah sakit, berjalan di bawah rinai hujan, menuju rumah Luhan, menangis di depannya dan kini aku mengatakan yang tak sepantasnya dikatakan.

“Cium aku.”

Kudengar napas Luhan tersentak. Aku memberanikan diri menatap matanya, kulihat dia mengerjapkan mata itu beberapa kali. Mungkin Luhan sedang mencernanya dan mungkin dia akan mengusirku keluar dari sini, karena…

Apa aku sudah gila?

Aku bukan kekasihnya lagi dan…

Aku memintanya untuk menciumku?

“A-apa?”

“Cium aku, Luhan,” Aku berkata sekali lagi dengan nada penuh luka. Permintaan ini aneh, hari ini begitu aneh. “Cium aku seperti kau adalah satu-satunya orang di bumi ini. Cium aku seolah dunia akan berakhir besok. Cium aku seperti pertama kali kau melakukannya di bawah pohon natal. Cium aku seperti saat kita berumur 19 tahun dan hari ini adalah kencan pertama kita. Cium aku karena kau mencintaiku. Cium aku seperti satu tahun yang lalu, sebelum aku memutuskan hubungan kita dan…”

Aku mengambil napas sejenak, aku berbicara tanpa jeda. Semuanya begitu saja terungkap.

Aku memejamkan mata dan kembali meloloskan air mata. “Cium aku seperti saat aku tidak bisa tidur dan kau satu-satunya yang bisa mengantarku tidur. Cium aku dan buat aku lupa bahwa ayahku sedang meregang nyawa di rumah sakit. Cium aku karena…” Kutatap matanya, penglihatanku sedikit buram akan air mata. “…karena kau mencintaiku. Karena kau adalah satu-satunya yang dapat menyatukan kepingan-kepingan hatiku yang hancur. Luhan, a-aku…aku hancur…perbaiki aku…”

Dan dengan itu, Luhan menciumku.

Rasanya asing.

Rasanya seperti menemukan sesuatu yang dulu lama menghilang, maka rasanya sedikit aneh ketika Luhan menyentuh tengkukku dan diri ini begitu terhanyut ke dalam suasana.

Air mata masih saja turun saat bibir Luhan perlahan bergerak, menyapukan sentuhan yang lembut. Tanpa sadar tanganku melingkar di sekitar bahunya dan ini terasa seperti hari kemarin, dimana aku dan Luhan bukanlah dua orang asing yang sedang mencoba memperbaiki keadaan.

Kami hanya dua orang yang jatuh cinta dan Luhan adalah satu-satunya nama yang kuingat.

Hanya dia.

***

Pagi itu mungkin adalah pagi yang teraneh sepanjang hidupku. Aku tak mengingat apa yang terjadi, seolah baru saja berpesta hingga tengah malam bersama-sama temanku dan mabuk seperti orang gila. Tapi aku tahu, bukan itu yang sebenarnya terjadi. Dan aku tahu bukan alkohol yang tengah mempengaruhi sistem tubuh ini.

Luhan.

Ya, nama itu kembali bergaung dipikiranku. Aku mengingat nama itu lebih dari apapun dan aku ingat, aku menyukai saat mulut ini menggumamnya beberapa kali, sambil mengumpulkan kenangan serta memori tentang kami.

Aku ingat kami duduk di taman pada satu hari, membawa sekotak pizza dan menghabiskannya seraya mengobrol tentang kuliah. Pizza saat itu lebih enak dari biasanya. Aku pun berkata, “Kenapa pizza ini lebih enak saat dimakan bersamamu?”

Luhan mengedikkan bahunya, memberi satu seringai yang kusuka. “Mungkin karena aku tampan?”

“Kau bercanda ya?” Aku tertawa dan bahagia. Ya, betapa mudahnya tertawa dan merasa bahagia saat bersama Luhan.

Tidak. Tidak hanya bahagia, namun juga mudah bagiku untuk menangis di depannya tanpa rasa bersalah dan melepas beban dengan hati yang terluka.

“Siapa yang bilang untuk menungguku di sini?”

“Tapi….”

“Siapa yang bilang untuk menungguku di sini dan kehujanan? Siapa? Aku menyuruhmu pulang lebih dulu agar tidak kehujanan. Tapi lihat sekarang! Kau basah kena hujan, kau keras kepala. Aku bahkan tidak tahu bahwa kau ini sangat susah diatur. Kalau kau sakit, aku cemas. Kau tahu? Aku cemas!”

Bayangan wajah Luhan sangat jelas tergambar di benakku. Bagaimana alisnya bertemu di tengah, bagaimana dia mengguncang bahuku dan membuatku merasa bersalah, namun juga merasa diperhatikan—dicintai. Sebuah perpaduan yang aneh ketika dia memelukku dan menangis bukanlah hal yang memalukkan saat berhadapan dengan Luhan.

Lantas, Luhan juga pintar menjatuhkanku oleh karena sebuah perasaan yang belum punya nama tiba-tiba muncul begitu saja. Dia bilang, “Aku menyukaimu.” Dia bilang tujuh hari kemudian “Aku mencintaimu.” Dia bilang satu hari kemudian, “Kau tak seharusnya mencintaiku balik, tapi jangan benci aku.”

Aku pikir, orang bodoh mana yang sanggup menolaknya dikala diri ini terlanjur jatuh cinta padanya.

Luhan mempermudah semuanya.

Aku tahu, aku makhluk paling lemah dan berdiri sendiri saja aku tak mampu. Maka hari dimana aku memutuskan hubungan dengannya dan berjalan di hari-hari tanpanya, aku tahu semuanya hampir mustahil untuk ditelaah oleh nalarku. Semuanya kacau balau.

Aku…kacau tanpa Luhan.

Layaknya boneka tanpa tuan yang kesepian dan rusak, aku butuh seseorang untuk memperbaikiku. Dan datang ke tempat Luhan, mungkin menjadi pilihan yang tepat.

“Hei,” suaranya tiba-tiba melantun di telingaku begitu pelan, bercampur nada mengantuk dan beberapa partikel lain yang tak bisa kupahami.

Dan aku ingat, semalam aku pergi dari rumah sakit dan berakhir di tempat ini. Semuanya terpampang begitu jelas, seperti potongan film yang kembali berputar. Dimana aku mengetuk pintu Luhan, berdiri di kamar mandi mengenakan kausnya, aku menangis di depannya, aku menangis dan melontarkan sejumlah kalimat murahan, dan aku ingat aku memintanya menciumku.

Kenangan itu menyentakku dan kepalaku berputar mencari sosok itu. Kini Luhan berbaring di sampingku. Wajahnya menghadapku disertai senyuman tipis di sana.

“Hei, selamat pagi,” jawabku dengan suara parau. Selembar selimut dan kaus tipis milik Luhan tidak dapat mengalahkan dinginnya pagi ini.

“Tidurmu nyenyak?”

Aku menganggukan kepala. “Sangat.”

“Ah ya, nyenyak karena kau tidur di lenganku sepanjang malam.”

“Apa?” rasa kantukku segera terbuang jauh mendengar perkataan Luhan.

Laki-laki itu mengedikkan bahunya yang kurus dan tertawa kecil. “Haha, lupakan. Memelukmu sepanjang malam tidak jadi masalah bagiku selama kau yang memintanya.”

Mataku bertemu pandang dengannya selama beberapa detik. Setiap kerjapannya seolah memberitahukan suatu hal yang tak boleh aku lewati begitu saja dan bodohnya aku! Aku tidak mabuk, tapi aku tidak ingat mulut ini dengan lancangnya meminta Luhan untuk memelukku sepanjang malam.

“Luhan, maaf. Aku…”

“Hei,” dia memotong kalimatku. Tangannya terulur untuk menyisir rambutku ke belakang, mengekspos dahiku dan satu kecupan mendarat di sana cukup lama.

Aku memejamkan mata, Luhan pun begitu.

“Jangan katakan maaf,” gumamnya di permukaan kulitku. Napasnya menggelitik di sana. “Apa aku sudah memperbaikimu?” Pertanyaan itu sedikit ambigu. “Apa aku sudah memperbaikimu hingga seperti semula, karena jika belum—” Luhan menjauhkan diri dariku, menyisakan jarak yang sebegitu dekat antara wajah kami. “—biarkan aku mencobanya lagi dan kata maafmu bisa digantikan dengan kata terima kasih.”

“Aku mencintaimu,” jawabku cepat. Dan kali ini, pasti. “Aku mencintaimu.”

Satu kalimat, dua kata.

Tak banyak penjelasan saat memeluk Luhan adalah hal yang paling benar dan menggantungkan pertanyaan demi pertanyaan mungkin menjadi satu-satunya pilihan.

Karena kalimat itu menjelaskan semuanya begitu detil.

Saat mencintai Luhan, semuanya menjadi lebih baik, baik, dan baik.

“Kau memperbaikiku. Terima kasih.”

***

Hampir dua tahun tangan kami tak bertautan dan rasanya otakku sudah lupa bagaimana tekstur kulit telapak tangan milik Luhan. Namun kehangatannya tak tergantikan, tidak terlupakan. Ditambah senyuman itu, suara tawanya yang menemani perjalanan kami kembali ke rumah sakit, dan rangkulan beserta bisikan-bisikan penuh rasa sayang.

Dan…

Aku tahu ketika mempertemukan dua pria paling berarti dalam hidupku akan menjadi momen terindah sepanjang sejarah.

Harusnya kulakukan lebih awal jika ayah bukan seseorang yang suka bepergian dan menetap di luar negeri tahunan lamanya.

“Ayah, ada yang mau bertemu denganmu,” aku berbisik di telinga ayah. “Dia Luhan, dia…” Kulirik Luhan di sebelahku dan dia mengangguk. “Dia pacarku. Ini pertama kalinya Ayah bertemu dengannya.”

Aku mundur beberapa langkah, memberikan akses pada Luhan untuk mendekatkan diri pada ayah di tempat tidur. Dia membungkuk, bergumam cukup keras hingga aku bisa mendengarnya dengan jelas.

“Halo, Paman. Um, aku Luhan. Aku dan anakmu—kami berpacaran cukup lama dan aku baru pertama kali bertemu dengan Anda. Um, aku…” Luhan nampaknya kehilangan kata-kata. Dia bolak-balik melirik ke arahku, meremas tangannya sendiri dan akhirnya berbicara lagi. “Aku sangat mencintai anakmu, Paman. Dia memang sedikit cerewet dan suka menggangguku mengerjakan tugas.”

Aku melotot padanya, lalu kami tertawa.

“Tapi terima kasih telah membawa putri secantiknya. Aku berjanji akan menjaganya. Ya, aku berjanji.”

Itu adalah perkenalan paling singkat yang pernah kudengar. Ayah akan bertanya lebih banyak nanti jika ada kesempatan lain. Namun untuk sementara ini, aku melihat wajah ayah bahagia dan dalam tidur pun dia tersenyum.

Mungkin memang Luhan adalah orang yang tepat.

THE END

 
a/n:

Iiiiiiiiiiiigeeeeeeeeeeeeeeeee mwoooooooooooyaaaaaaaaaaaaaaaa??

Ya, baiklah ini terinspirasi dari kisah nyata Gwyneth Paltrow dan Chris Martin (yang jadi inspirasinya si  Chris Martin buat bikin lagu Fix You) asdhdjsjskl kisah mereka duh duh aku jadi tergolek lemah tak berdaya.

DAN AKU MERINDUKAN KALIAN, RINDU MENULIS JUGA IH! Kalian rindu gak sih sama aku? /lempar ke dalam jurang/

Dan nantikan fic Betty, udh tinggal dua scene sih, tapi ketunda gegara ada aja urusan kuliah menghadangnya huhuhu

Dan pdf version babysitting!

Dan ABOB!

OMONA kenapa banyak banget sih yang harus dikerjain hahahhaa ;;;

Minta reviewnya buat fic ini uhuhuy! belakangan ini banyak yang bilang kayak: ‘duh fanficmu ini bukan kayak kamu yg nulis dir’, ‘gak ada feelnya’, ‘apa ya…kayaknya ada yg berubah dari tulisanmu’, ‘doh fluff lg fluff lg gak bisa genre laennya apa’. Yah mohon dimaafkan, mungkin karena ganti cast yg non-exo dan kalian gak terbiasa atau mungkin akunya yg mulai jarang baca fanfic dan nulis jadinya tulisannya jelek, entahlah hahaha maaf ya saya hanya manusia biyasyaa :”) dan mungkin Hangukffindo bukan ‘a great place to escape from everyday life’ /brb ganti tulisan di headline/ 

yaudah ah, curhat mulu aku hehehe

OHIYA, SELAMAT UNTUK YANG SUDAH MENEMPUH UN!!  DAN SEMANGAT BUAT YANG BARU MAU UN TANGGAL 5 MEI!! ((eumm 5 mei kayak ada sesuatu gitu…eumm apa  ya? #kode #pengenbangetdinotice))

SEE YA!! <3

 


[Babysitting Extra] No, Marry No!!

$
0
0

babysitting extra

Cast: Yejin [OC], Chanyeol, Kai, Sehun, D.O, Baekhyun [EXO-K], Victoria [f(x)]// Genre: Comedy, Fluff, Family, Romance // Length: >4000w

Song Recommendation: Barry White – You’re My First, My Last, My Everything

Summary:

Mereka tidak menginginkan sang sepupu menikah.

“JANGAN MENIKAH, CHANYEOL-HYUNG!!”

Read this too  :)

Babysitting [1] [2] || Baby Soo-Soo || Baby Sehunie || Baby Baekki || Baby Jonginie

 

***

 

Pagi yang cukup cerah. Semilir angin bertiup pelan di awal bulan Mei, matahari masih terus bermain-main dengan awan hingga teriknya tak terlalu dirasakan orang-orang. Burung-burung berkicau seru di pepohonan sambil menikmati pemandangan langit biru yang juga merupakan favorit Jongin, Sehun, Kyungsoo, dan Baekhyun.

Seperti biasa mereka akan pergi bermain di balkon utama sambil memandangi langit biru. Terkadang mereka bermain tebak-tebakan tentang bentuk awan.

“Itu bentuk Pororo!” kata Sehun menunjuk satu awan di atas sana.

“Bukan. Itu Crong,” balas Kyungsoo. “Soalnya dia mirip kodok.”

Jongin pun punya pendapat tersendiri. “Bukan, itu bukan Pororo atau Crong.” Dia tersenyum ke arah Kyungsoo dan mencubit pipi tembamnya. “Itu mirip Soo Soo.”

Sehun memutar kedua bola matanya lalu bertanya pada Baekhyun yang sedang makan biskuit bayi di babywalker-nya. “Kalau menurut Baekki awan itu mirip apa?”

Mata bulat Baekhyun si bayi mengikuti tangan Sehun yang menunjuk ke arah gumpalan awan putih di sana dan dia cekikikan dengan dagu penuh iler. “Dda…dda…dda…” (Um, bahasa bayi. Seseorang harus menerjemahkannya).

“Oohh, ya ya ya. Mirip Baekki, tentu saja.” Sehun mengangguk seakan paham apa yang dikatakan Baekhyun (Apa kau belajar hal ini sejak lama, Sehunie?) Kemudian Sehun berbalik menghadap Jongin dan Kyungsoo sambil menjulurkan lidah. “Weekk! Awan itu mirip Baekki, bukan Soo Soo.”

Oh, terserahlah awan itu mirip apa dan siapa—mereka tak lagi memikirkannya saat melihat mobil Chanyeol sang sepupu masuk ke dalam pekarangan rumah. Mereka pun segera melompat kegirangan.

“Chanyeol-hyung!!” panggil Kyungsoo dengan suara nyaringnya.

Chanyeol celingukan kesana kemari—mencari suara Kyungsoo yang entah bersumber dari mana.

Hyung, dari atas sini!” teriak Jongin hingga akhirnya Chanyeol menengadah dan mendapati keempat anak ini berada di balkon.

“Hei, apa yang kalian lakukan di sana?” Chanyeol harus sedikit menutupi wajahnya dengan tangan agar sinar matahari tidak terlalu menusuk matanya.

“Bermain,” jawab Kyungsoo riang.

Ah, ya bermain. Seharusnya Chanyeol tak perlu bertanya. Ini hari yang cerah, semua anak pasti sedang bermain apalagi di hari libur seperti ini. Betapa bodoh dirinya. Tapi lupakan semua itu, Chanyeol punya urusan yang lebih penting—yang membawanya kemari pagi-pagi. Ya, pukul delapan harusnya dia masih berada di tempat tidur dan bergelung bagai kucing.

 

“Di mana ibu kalian?”

“Di dapur sedang membuat pancake,” sahut Jongin.

Chanyeol mengangguk dan melambaikan tangan pada mereka. Dia segera masuk lewat pintu belakang, lalu anak-anak ini juga ikut bergerak. Walau Chanyeol terkadang menyebalkan, tapi mereka tetap melihat sosok itu sebagai sepupu yang seru dan kedatangannya selalu ditunggu.

“Aku mau bertemu Chanyeol-hyung.” Sehun beranjak dari sana.

“Aku juga.” Kyungsoo menyusul.

“Aku juga.” Jongin berlari menyusul kedua anak itu dan Baekhyun…

 

“Dda…dda…dda…!!!”

 

Jongin muncul kembali di balkon dan buru-buru menggendong si bayi Baekhyun, “Maaf, Baekki. Aku lupa kau belum bisa berjalan.”

 

Ugh, jangan pernah meninggalkan Baekhyun seperti itu!

 

Ketiga anak itu terlambat bertemu dengan Chanyeol si sepupu favorit di dapur. Ibu mereka beserta Chanyeol telah pindah ke ruangan lain—meninggalkan semangkuk adonan pancake di meja dan mereka tahu ke mana kedua orang itu pergi.

Ruang kerja Victoria.

 

Dan itu berarti…

 

Ada masalah serius yang tengah terjadi. Jongin, Sehun, Kyungsoo tahu hal ini betul. Setiap ada masalah pasti dibicarakan di ruang kerja milik ibu mereka—satu ruangan yang wangi, ada permen di toples, rak-rak buku, beserta meja kerja super besar, juga tak lupa sofa empuk dan nyaman warna merah.

Seperti saat Jongin mendapat nilai jelek untuk pelajaran matematika, Jongin berada disana satu jam penuh. Juga Sehun yang bertengkar dengan teman sekelasnya. Kyungsoo yang tidak sengaja ketiduran di kelas dan um, untunglah Baekhyun belum pernah masuk kesana.

Lalu sekarang Chanyeol ada di sana. Wow, masalah apa yang menimpanya?

 

“…benar begitu, Chanyeol?”

 

Suara Victoria sayup-sayup terdengar serius dari balik pintu dimana ketiga anak ini menempelkan telinga mereka—menguping.

 

“Kau serius? Yejin?”

 

“Mmm…ya, bi. Aku juga tidak tahu…”

 

Kyungsoo merapatkan telinganya ke lapisan pintu, berharap bisa mendengarkan lebih jelas apa yang mereka katakan. Hal itu juga diharapkan Jongin dan Sehun, karena mereka seperti berbisik-bisik di dalam sana.

“Apa sih yang mereka bicarakan, hyung? Aku tidak bisa mendengarnya dengan jelas,” keluh Kyungsoo bergerak tak nyaman.

“Psssttt!! Dengar, dengar, dengar, ibu bicara lagi.”

 

(Jangan mencontoh hal ini. Menguping bukanlah hal yang baik apalagi menguping pembicaraan orang dewasa. Memang mereka paham apa yang Victoria dan Chanyeol bicarakan?)

 

“…menikah?”

 

“Iya.”

 

Sontak ketiga anak itu menjauhkan diri perlahan-lahan dari pintu dan saling menatap satu sama lain. Kata ‘menikah’ sepertinya tak asing di telinga mereka, namun mereka juga ragu akan artinya. Seketika mereka perlu bertanya kepada seseorang tentang hal ini.

“Menikah?” tanya Sehun kaget.

“Chanyeol-hyung mau menikah?” sambung Kyungsoo.

“Dengan Yejin noona?” pekik Jongin tertahan. Mereka pun tenggelam dalam lautan sunyi tanpa satu suara. Entah mereka kaget atau apa, namun tak satu pun dari mereka mampu bicara.

 

“Memang—“ Kyungsoo memulai, “—menikah itu apa, hyung?”

 

Ah, ya…menikah itu apa? Apa itu makanan? Apa itu sejenis permen jelly rasa baru? Apa itu merk pakaian? Atau apakah menikah itu sebuah teknik melipat kertas origami (ini pasti pikiran Kyungsoo!), atau menikah itu hobi baru Minji (ini pasti pikiran Sehun!), atau menikah itu sebuah makhluk cantik di dunia (ini pikiran Jongin!), atau menikah itu mainan model baru bagi Baekhyun?

Tak satu pun mengerti.

 

“Masa kau tidak tahu apa itu menikah,” ujar Jongin meninggikan dagunya. Oh, akhirnya ada yang mengerti artinya.

“Memang apa artinya, hyung?” Kyungsoo merangkak ke sebelahnya dan Jongin berpikir sejenak.

 

 

“Err…menikah ya menikah.”

Kyungsoo menelengkan kepalanya ke samping, seolah seseorang baru saja memukul kepala itu dan mata bulatnya seakan memohon di beri penjelasan.

“Ddaa!!” pekik Baekhyun tiba-tiba dan lengan kecilnya terangkat menunjuk satu titik di dinding—foto pernikahan Victoria dan Nickhun yang terpajang di sana. Victoria memakai gaun panjang berwarna putih sedangkan Nickhun sang ayah bersanding disana dengan jas hitam dan dia tampan.

 

“Oooooh.”

 

Ya, mereka pada akhirnya mengerti.

 

“Menikah itu seperti ayah dan ibu,” ujar Sehun tepat sasaran.

“Oh, begitu…berarti Chanyeol-hyung akan berpose seperti ayah dan Yejin noona akan memakai gaun putih seperti ibu?” cicit Kyungsoo.

“Ya, kurang lebih begitu.” Jongin mengedikkan bahunya santai dan mereka semua terpaku di depan figura besar itu. Membayangkan Chanyeol—si sepupu mereka yang konyol harus berpose begitu serius sambil memandang Yejin dan berpegangan tangan. Wah, itu pasti akan sangat sulit dilakukan. Chanyeol adalah orang yang sulit menahan tawa.

 

Namun…

 

Menikah bukanlah sekedar berpakaian layaknya puteri dan pangeran, lalu berpose di depan kamera dan tada! Jadilah foto mereka yang dapat di taruh dalam figura. Bukan.

Menikah punya arti lebih dari itu.

 

Sehun adalah orang pertama yang menyadari hal itu. Kedua matanya bergerak ke arah timur dinding rumah mereka yang luas; mendapati sederet foto Victoria-Nickhun bersama-sama. Ada foto Nickhun menyuapi Victoria es krim di restoran, lalu ada foto mereka menggendong Jongin yang masih bayi, foto Nickhun menimang Sehun yang masih berumur lima bulan, Nickhun yang menuntun Kyungsoo pada umur sebelas bulan di trotoar, dan Baekhyun yang baru lahir di dalam dekapan Nickhun.

Kehidupan sesudah menikah tentu berbeda, mereka harus menyadari hal itu.

“Kalau Chanyeol-hyung menikah…” gumam Sehun perlahan sembari menyentuh foto Chanyeol di salah satu figura, satu yang sedang tersenyum bersama mereka. Dia ingat hari itu adalah ulang tahun Kyungsoo yang ke-tiga. Mereka sangat bahagia.

“Kalau Chanyeol-hyung menikah? Bukankah itu bagus?” kata Kyungsoo gembira.

 

Sehun menggelengkan kepala.

 

“Kenapa?”

 

“Tidak kah kalian sadar jika Chanyeol-hyung menikah…dia tidak akan bertemu kita lagi?” suara Sehun sedikit gemetaran.

Jongin dan Kyungsoo menatapnya bingung. Mereka tak mengerti apa yang Sehun bicarakan karena Chanyeol akan menikah dan semua orang yang menikah itu bahagia seperti dalam foto, lalu apa maksudnya tidak akan bertemu kita lagi?

“Chanyeol-hyung akan punya rumah sendiri. Chanyeol-hyung tidak akan berkunjung ke rumah kita lagi. Dia akan punya keluarga sendiri, punya anak-anak yang lebih lucu daripada kita.”

 

Oh, tidak! Sehun benar! Mereka benci Sehun benar.
“T-tidak mungkin!” pekik Kyungsoo pelan, matanya mulai berair. “Chanyeol-hyung akan tetap bermain bersama kita walaupun dia menikah nanti dengan Yejin noona.”

“Memang kau pernah lihat ayah dan ibu bermain bersama sepupu-sepupunya? Tidak, kan?” tegas Sehun dan dia sekali lagi benar.

Wajah Kyungsoo melorot. Sesuatu yang bernama menikah ini sangat mengerikan sampai-sampai Kyungsoo lebih baik bertemu dengan monster pasir.

Jongin pun punya perasaan yang sama. Dia benci Chanyeol datang setiap siang ke rumah mereka hanya untuk makan dan menghabiskan kue pie di kulkas. Dia benci Chanyeol tidur di kamarnya dan memakai guling kesayangannya. Tapi kini dia lebih benci Chanyeol yang akan menikah. Ini sama sekali tidak lucu.

“Aku tidak mau Chanyeol-hyung menikah,” gumam Jongin lirih. “Aku tidak mau dia menikah dan tidak bermain lagi dengan kita.”

Kini Kyungsoo terisak di lantai. Kedua tangannya yang terkepal berusaha menghapus air mata yang tak henti-hentinya mengalir seperti keran rusak.

“Soo Soo juga tidak mau Chanyeol-hyung pergi. Soo Soo mau Chanyeol-hyung datang setiap hari ke sini dan bermain bersama Soo Soo, pergi jalan-jalan ke taman naik mobil, makan es krim setiap hari sabtu, berenang di kolam belakang, mengajari Soo Soo menggambar bebek.”

Baekhyun tidak menangis. Bayi kecil itu hanya merentangkan tangan gempalnya di udara dan Kyungsoo memeluknya erat. “Baekki juga tidak mau Chanyeol-hyung pergi, kan? Nanti siapa yang akan menggendong Baekki dan bermain pesawat-pesawatan luar angkasa kalau Chanyeol-hyung menikah?”

“Ddaa!” (tidak ada yang mengerti ini ‘ya’ atau ‘tidak’)

“Aku juga tidak mau,” kini giliran Sehun yang bicara dengan raut wajah serius. “Kita harus menggagalkan pernikahan ini.”

Tiga pasang mata menatapnya penuh tanya. Sehun terdengar seperti tokoh Benardo dalam telenovela yang sering Victoria tonton. Sosok jahat yang memakai topi koboi dan menaiki kuda warna hitam, wajahnya sangat licik juga bengis.

“Bagaimana caranya?” tanya Jongin. “Masuk ke dalam dan bilang kita tidak setuju? Begitu?”

Sehun menggelengkan kepala. “Tentu saja bukan,” dia menyipitkan matanya ke arah tangga. “Aku punya ide. Ikuti aku.”

Dengan itu Sehun pun berlari meninggalkan mereka semua dalam keadaan bingung. Lalu satu persatu dari mereka mengikuti Sehun ke lantai atas rumah mereka.

“Aku ikut!” kata Jongin.

“Soo Soo juga!” disusul oleh Kyungsoo.

Dan Baekhyun…

“Ddaa!!”

Untuk kesekian kalinya, Baekhyun dilupakan. Namun bedanya kali ini tidak ada yang datang untuk menjemputnya. Bayi kecil itu hanya bisa meneteskan air liurnya dan perlahan-lahan merangkak ke ruang tamu—tidak mengikuti ketiga saudaranya itu.

 

***

 

Sesampainya di kamar, hal pertama yang Jongin lihat adalah Sehun sedang menggapai telepon beruangnya dan menekan beberapa nomor di sana.

“Kau mau apa? Kau mau menelepon siapa?”

Sehun tidak menyahut, terlalu berkonsentrasi dengan apa yang sedang dia lakukan.

Kemudian, mereka menunggu. Menunggu dan menunggu hingga seseorang di ujung sana mengangkat teleponnya lalu berbicara. Jongin dan Kyungsoo tidak tahu siapa yang di telepon Sehun. Itu suara perempuan yang menjawab dan…familiar terdengar.

Halo?”

“YEJIN NOONA TIDAK BOLEH MENIKAH DENGAN CHANYEOL-HYUNG!!! ATAU KAMI AKAN MARAH DENGANMU! JANGAN BAWA CHANYEOL-HYUNG PERGI DARI HIDUP KAMI!!”

Sehun pun menutup teleponnya dan tersenyum lebar. “Mudah kan?”

“Yah! Apa yang kau lakukan?! Kenapa kau membentak Yejin noona??” ujar Jongin mendorong tubuh Sehun.

Kyungsoo juga mendorong (perut) Sehun. “Iya, kenapa kau memarahi Yejin noona? Tidak baik memarahi orang.”

Sehun memutar kedua bola matanya malas dan berkata, “Apa kalian lupa kalau dia lah yang membuat Chanyeol-hyung pergi?”

Tidak ada yang berkomentar.

“Kalau Yejin noona menikah dengan Chanyeol-hyung, sepupu kita yang berambut keriting dan bertelinga lebar itu akan pergi! Maka itu kita harus menyuruh Yejin noona untuk tidak menikah dengan Chanyeol-hyung dan Chanyeol-hyung tidak akan pergi.”

Kyungsoo pun angkat suara sambil menarik-narik kaus Jongin. “Hyung, Soo Soo tidak mengerti.”

Jongin mengangguk, tenggelam dalam pikirannya sendiri. Sehun benar. Sehun 100% benar. Tidak akan ada pernikahan antara dua orang jika salah satunya tak menginginkannya.

“Tapi bagaimana kalau Chanyeol-hyung memaksa?” tanya Jongin memberikan opsi lain. Kautahu kan, Chanyeol-hyung itu sedikit pemaksa.” Yeah, Chanyeol suka mengambil paksa gulingnya, mengambil paksa makanannya, sampai memaksa untuk terlihat tampan di depan publik.

“Ya, itu benar juga sih.” Sehun menggigit kuku jemarinya cemas. Dia tak berpikir sejauh itu.

Tak lama kemudian, Jongin bicara. “Kita harus melakukan sesuatu pada Chanyeol-hyung.”

“Contohnya?”

Jongin mengangkat bahu. “Seperti meracuni makannya dan Chanyeol-hyung akan sakit perut dan tidak jadi menikah.” Wow, dia lebih jahat daripada Benardo.

“Atau kita bisa memberi saus tomat ke dalam shampoo Chanyeol-hyung supaya rambutnya lengket dan tidak jadi menikah.” Usul Sehun cukup menarik dan menjijikan di waktu yang sama.

“Bagaimana kalau kita ikat kaki Chanyeol-hyung dan menyembunyikannya di dalam gudang belakang rumah?” ucap Kyungsoo menyuarakan ide di kepalanya yang…err, lebih sadis daripada Benardo, sungguh. Dari 102 episode yang ada, Benardo tidak pernah mengikat kaki siapa pun dan menyembunyikannya di dalam gudang.

Tapi herannya, kedua kakak sepupunya itu malah setuju dan segera berlari keluar kamar.

“Ide bagus, Soo Soo!” seru Jongin sambil menarik tangannya bersemangat.

Mereka bertiga kembali ke depan ruang kerja Victoria dan bersyukur Chanyeol belum keluar dari sana. Detik itu, Sehun mengulurkan tali tambang tipis yang biasa mereka pakai untuk bermain ‘tangkap penjahat’. Dan inilah rencana ‘kotor-yang-tidak-juga-karena-mereka-masih-kecil-tapi-ini-cukup-sadis’:

 

1. Mereka memasang tali dengan bentuk melintang dari sisi kanan ke kiri pintu (karena mereka tahu Chanyeol pasti keluar lebih dulu daripada Victoria)

2. Chanyeol akan tersandung dan pasti jatuh. Mereka akan menertawakannya hingga Chanyeol menangis

3. Lalu mereka akan mengikat kakinya dan membawanya ke gudang belakang rumah

4. Mereka akan mengunci pintu dan menyuruh Baekhyun menelan kuncinya (karena Baekhyun suka makan segala sesuatu)

5. Jika orang-orang ingin menyelamatkan Chanyeol, maka mereka harus mengeluarkan kunci dari perut Baekhyun, dan mereka pasti tidak tega membelah perut Baekhyun

6. CHANYEOL TIDAK AKAN PERNAH BISA KELUAR DARI GUDANG! DAN DIA TIDAK AKAN MENIKAH! HAHAHA

 

Ide itu sudah tersusun di kepala mereka masing-masing. Tali itu kini melintang lebar supaya saat Chanyeol melangkah, dia langsung jatuh terjerembap dan mereka bisa mengikatnya.

 

Tapi…

 

Malang sungguh malang, sial sunggulah sial.

 

Mereka pasti bertanya-tanya mengapa Tuhan menciptakan kaki Chanyeol begitu panjang. Karena ketika pintu terbuka, Chanyeol yang masih berbicara pada Victoria dan MELANGKAHI TALI itu dan selamat dari kecelakaan.

Dan dia sadar ada tali di bawah kakinya.

“Eh, apa ini?”

Kemudian dia mengangkat kepalanya dan mendapati tiga bocah kecil yang merupakan sepupunya sedang mengerjap tak percaya. “Kalian yang memasang tali ini di sini?”

Dari balik punggung Chanyeol, muncul ibu mereka. Victoria menatap tali itu dan bocah-bocah itu secara bergantian.

“Jongin, Sehun, Soo Soo, jelaskan mengapa kalian memasang tali di sini? Kalian tahu ibu atau sepupu kalian bisa jatuh tersandung!” O’ow, wanita itu mulai marah.

Kautahu? Ini mungkin sedikit menyebalkan, tapi ini adalah fakta. Senjata anak kecil jika dimarahi adalah menangis, namun kali ini mereka menangis bukan karena tidak mau dimarahi.

Kyungsoo yang pertama kali melakukannya. Bibir kecilnya bergetar hebat dan dia segera berlari ke arah Chanyeol. Dia menangis sambil memeluk kaki kiri Chanyeol. “Hueeeee!!”

Chanyeol pun bingung setengah mati. “Soo Soo, kena—“

Kemudian dua sepupunya menyusul. Sehun memeluk kaki kanan Chanyeol, Jongin memeluk kedua pahanya dan secara serempak mereka bertiga menjerit. “JANGAN MENIKAH, CHANYEOL-HYUNG!!”

“Menikah?”

“Menikah??”

“Ddah!!”

Chanyeol memandang heran ketiga sepupunya, juga Baekhyun yang kini berada di dekat sepatunya—bermain dengan talinya. Lalu dia menatap penuh tanya ke arah Victoria yang juga sama bingungnya.

“Menikah? Siapa yang mau menikah?”

“Chanyeol-hyung mau menikah dengan Yejin noona kan?” tanya Kyungsoo sesenggukan. Air mata serta ingusnya menempel di celana jins Chanyeol. “Jangan lakukan itu, hyung. Nanti Soo Soo tidak punya teman menggambar bebek.” Lalu dia menangis lagi.

“A-apa? Tapi—“

Hyung, kau boleh makan semua yoghurt di kulkas, juga kue pie. Kau boleh tidur siang di tempat tidurku dan memakai gulingku sepuas yang kau mau. Kau boleh datang setiap hari ke sini, asalkan jangan menikah. Jangan tinggalkan kami, kumohon.”

Ini baru pertama kalinya Chanyeol melihat Jongin menangis karenanya. “Aku tidak menger—“

Hyung,” kini giliran Sehun. “Jangan menikahi Yejin noona. Dia pernah bilang dia adalah fans berat Taemin SHINee. Dia lebih menyukainya daripadamu. Taemin bisa menyanyi dan menari dengan sangat bagus dan dia tampan. Yejin noona lebih ingin menikahi Lee Taemin daripada Park Chanyeol.”

Mendengar perkataan bocah itu, Chanyeol pun sedikit termakan olehnya. “Yejin bilang begitu?” (Please, Chanyeol! Yang benar saja!)

Sehun menganggukkan kepalanya cepat, berharap dalam hati bahwa Chanyeol akan percaya padanya.

“Anak-anak, apa-apaan ini? Berhenti bermain dan lepaskan kaki sepupu kalian. Sekarang.”

Victoria adalah ibu yang lembut, tapi kalau dia sudah berbicara begini, tak satu pun dapat mengelak. Ketiga anak itu pun segera menjauh dari kaki Chanyeol dan menundukkan kepala, tak berani menghadapi kenyataan yang terpampang jelas bahwa mereka gagal melakukan misi.

“Sekarang, jelaskan mengapa kalian bertingkah seperti ini.”

Kyungsoo nampak ingin bicara, namun hatinya terlalu sedih. Dia menangis hingga bahunya bergetar hebat dan Sehun merangkulnya prihatin. Seperti biasa, yang tertua lah yang akan angkat bicara. Jongin memberanikan diri walaupun dirinya juga tak yakin apa yang dibicarakan. Mungkin sepuluh detik lagi dia akan menangis.

“Maafkan kami sebelumnya,” dia menarik ingus, “kami menguping pembicaraan ibu dan Chanyeol-hyung.”

“Oke, teruskan,” kata Victoria.

Jongin menghela napas. “Kami mendengar Chanyeol-hyung akan menikah dengan Yejin noona dan kami…kami tidak menginginkan hal itu terjadi.”

“Tunggu,” Chanyeol bereaksi setelah otaknya menyerap beberapa kata dan kalimat, lalu memprosesnya sedemikian rupa hingga dia mulai mengerti. “Kalian bilang aku akan menikahi Yejin?” tanyanya curiga.

 

Ketiga anak itu mengangguk. Chanyeol tertawa.

 

Kenapa dia malah tertawa? Batin Jongin.

 

Victoria ikut tertawa.

 

Dan kenapa ibu jadi ikut tertawa??

 

Kedua orang itu menghabiskan hampir satu menit untuk tertawa sementara Jongin beserta dua bocah lainnya hanya bisa memandang dalam bingung. Mereka kenapa sih? Kepalanya rusak ya?

Chanyeol menyeka air mata dari sudut matanya karena ini terlalu lucu. Semua ini membingungkan sekaligus lucu sampai-sampai dia mau menangis. Dia berpikir: ah Tuhan, kenapa Kau memberikan sepupu-sepupu super duper lucu seperti mereka?

Pria tinggi itu akhirnya berhenti tertawa dan menggendong Baekhyun di lengannya.

 

Well, biar kujelaskan pada kalian.”

 

***

 

Pelajaran pertama dan terpenting yang bisa diambil Jongin, Sehun, Kyungsoo hari itu adalah jangan pernah menguping pembicaraan orang dewasa, karena selain tidak sopan, mereka juga bisa salah mendapatkan informasi yang terdengar setengah-setengah.

 

Chanyeol tidak menikahi Yejin. Untuk saat ini. Tentu saja.

 

“APA???” rahang ketiga anak itu jatuh beberapa senti saking kagetnya, kecuali Baekhyun yang terlalu menikmati mentari sore dan susu di botolnya.

 

Chanyeol memutuskan untuk meluruskan hal ini di taman, sambil mengundang Yejin sang kekasih dan tersangka untuk datang berkumpul bersama-sama duduk di bangku taman.

“Tapi, tapi, tapi—“ Jongin jadi speechless.

“Kalian pasti salah dengar,” ujar Chanyeol, mengusap kepala Kyungsoo yang duduk di pangkuannya. “Aku bilang pada ibu kalian bahwa…” dia sempat melirik ke arah Yejin yang sedari tadi menahan tawa. “Aku mau minta ijin pergi menemani Yejin ke Singapura untuk menghadiri pernikahan sepupunya di sana. Maka itu aku datang hari ini untuk memberitahunya. Hufth, kalian ini.”

Mendengar penjelasan Chanyeol, mereka bertiga merasa lega. Segala prasangka buruk itu tersapu bersih dalam satu detik. Yeay, Chanyeol tidak akan menikah dengan Yejin; tidak akan meninggalkan mereka, Chanyeol akan terus bermain ke rumah mereka dan tak punya anak yang lebih lucu dari mereka.

Itu pikiran mereka, sih.

Namun selain senang, ada rasa bersalah tergambar di wajah ketiga anak itu. Sehun yang paling merasakannya, membuatnya tiba-tiba memeluk Yejin erat.

“Maafkan aku, noona. Berteriak seperti itu di telepon.”

“Berteriak di telepon?” Oh, Chanyeol. Kau tidak tahu usaha apa saja yang dilakukan anak-anak ini untuk menghalangimu menikahi Yejin.

Yejin membalas pelukan itu dengan satu tangan (karena tangan yang lain menjaga Baekhyun di pangkuannya). “Tidak apa-apa, Sehunie. Aku mengerti perasaanmu.”

Noona, sepupumu akan menikah?” tanya Jongin.

“Yap.”

“Apa kau tidak sedih?” cicit Kyungsoo menyipitkan matanya dari sinar matahari sore yang cukup terik.

“Eumm…bagaimana ya?” Yejin tersenyum dan sekejap dia dapat benar-benar mengerti bagaimana perasaan Jongin, Sehun, Kyungsoo. Chanyeol sering bermain bersama mereka, walaupun menyebalkan, Yejin tahu mereka sangat menyayangi Chanyeol hingga tak bisa melepaskannya bersama orang lain.

“Awalnya aku sedih,” Yejin memulai. “Dari kecil, aku dan sepupuku sangatlah dekat. Kami bermain layangan bersama, makan bersama, menginap di rumah nenek bersama-sama. Dia sudah seperti kakakku sendiri.”

“Lalu saat kami beranjak dewasa, dia mulai punya pacar. Aku pikir, gadis ini benar-benar menyebalkan dan aku kehilangan waktuku bersama sepupuku. Dan ketika sepupuku bilang dia mau menikah, aku berpikir…aku benar-benar akan kehilangan dirinya.”

Yejin menarik napas sebelum melanjutkan ceritanya. Semuanya mendengarkan gadis itu dengan seksama.

“Kautahu, rasanya aku ingin mengikat kaki saudaraku, memukul kepalanya dengan bantal hingga pingsan dan menyembunyikannya di gudang agar dia tidak jadi menikah dengan pacarnya.”

Ketiga anak itu tertawa karena…wow, Yejin noona, kau punya pemikiran yang sama dengan kami.

“Tapi kemudian, sepupuku bilang bahwa dia bahagia. Kekasihnya itu membawa sejuta kebahagiaan dan sering membuatnya tersenyum di kala sedih. Dan aku pikir, wanita itu sangat hebat dapat membuat sepupuku tersenyum di saat sedih. Jadi…aku membiarkannya menikah.”

Yejin tersenyum, mengecup empat kepala bocah kecil itu penuh rasa sayang dan berkata, “Tenang saja. Menikah adalah sesuatu yang membuat orang bahagia tiada taranya, anak-anak.”

“Dan jika seandainya Chanyeol-hyung kalian menikah dengan—“ Yejin melirik Chanyeol yang tengah menyeringai. “—seseorang di luar sana,” wajah Chanyeol kehilangan senyumannya. “Itu tidak berarti dia akan melupakan kalian.”

Yejin benar. Dia terlalu benar untuk dibantah oleh argumen apapun. Chanyeol tidak akan melupakan sepupu-sepupunya yang kecil, yang super menggemaskan, yang super nakal, yang super di berbagai hal. Apa yang bisa membuat Chanyeol lupa tingkah super nakal Jongin menyembunyikan sepatunya di semak-semak taman saat dia akan ujian? Apa yang bisa membuat Chanyeol lupa tingkah Sehun yang super menyebalkan saat tak sengaja menggunting rambutnya? Apa yang bisa membuat Chanyeol lupa akan tingkah Kyungsoo yang super lucu saat menggambar bebek? Apa yanb bisa membuat Chanyeol lupa pada tingkah Baekhyun yang super menggemaskan saat membuat gelembung dari air liurnya?

 

Sesuatu yang super tidak mudah dilupakan.

 

“Mungkin kekasihnya itu membawa sejuta kebahagiaan, tapi tak tahukah kalian bahwa kalian membawa satu milyar kebahagiaan bagi Chanyeol-hyung?”

Mereka semua menggelengkan kepala, kecuali Baekhyun yang mulai memejamkan mata dan menguap lebar-lebar.

“Satu milyar kebahagiaan dari Soo Soo, satu milyar kebahagiaan dari Jonginie, satu milyar kebahagiaan dari Sehunie, satu milyar kebahagiaan dari Baekki. Wow, apa lah arti satu juta dibandingkan empat milyar?”

Kyungsoo mengerjapkan kedua matanya yang besar, memandangi jemarinya. “Memangnya empat milyar lebih banyak ya daripada satu juta?”

Ah, ya, Kyungsoo baru bisa menghitung satu sampai seratus. Yejin lupa hal itu. Dia hanya bisa mengiyakan pertanyaannya dan membuat Kyungsoo melompat kegirangan di pangkuan Chanyeol.

Hyung, aku membawa satu milyar kebahagiaan untukmu,” cicit Kyungsoo senang.

“Tentu saja, Soo. Kau dan gambar bebekmu selalu membuatku bahagia,” balas Chanyeol gemas.

Dengan itu Kyungsoo menyandarkan kepalanya di dada Chanyeol dan tersenyum senang bukan main. Mereka tidak perlu cemas Chanyeol akan menikah dengan siapa, kapan, dan bagaimana, karena mereka lebih berarti dari apapun. Mereka percaya kata-kata Yejin penuh dengan keyakinan dan semua orang tahu, mereka akan melupakan ini seraya waktu terus bergulir dan mereka tumbuh dewasa. Tapi entahlah, apakah melepaskan sepupu kesayangan akan semudah yang diceritakan Yejin?

 

Jadi…

 

Hari itu berakhir bahagia dan indah. Mereka berenam berbaring di rumput taman sambil memerhatikan awan-awan berarak di atas kepala mereka. Ada awan yang berbentuk anjing, sapi, bunga dan…Baekhyun?

Mereka hanya bergerak ketika mendengar lagu mobile s krim melantun dari kejauhan dan Jongin bersorak gembira. “Es kriiiiiimmmm!!! Aku mau es kriiiimmm!”

“Aku jugaaaa!!”

“Soo Soo jugaaa!!”

Chanyeol terpaksa mengeluarkan beberapa lembar uang dari kantung celananya. Lalu dia membiarkan ketiga anak itu berlari meninggalkan Chanyeol bersama Yejin juga Baekhyun yang tertidur pulas di tengah-tengah.

Chanyeol mengeliminasi jarak di antara mereka. Kini bukan langit yang dia pandangi, melainkan Yejin dan Yejin. Kulit Yejin yang mulus tertempa sinar matahari sore, rambutnya yang kecokelatan, bulu mata lentiknya, hidungnya, bibirnya. Semuanya. Semuanya yang membuat Chanyeol jatuh cinta pada gadis ini terlalu dalam.

“Kau hanya membawa sejuta kebahagiaan?” tanya Chanyeol tiba-tiba, membuat Yejin membuka matanya.

“Apa?”

“Menurutku, kau membawa seratus milyar kebahagiaan,” gumam Chanyeol.

Yejin tergelak. “Apa kau sedang berusaha menggombaliku, Park Chanyeol?”

“Entahlah, apa itu gombalan? Karena apapun yang kuucapkan adalah perkataan tulus dari hati.” Eww, cheesy!

Gadis itu memutar kedua bola matanya dan melemparkan segenggam rumput dari tanah. “Makan rumput ini, Park Chanyeol.”

“Hei, aku serius, Yejin.”

Serius? Kapan seorang Park Chanyeol pernah serius? Oh, oke, dia pernah serius satu kali ketika mencium Yejin waktu itu dan mengatakan betapa dia menyukai gadis itu, lalu mereka berakhir pacaran beberapa bulan seperti ini.

“Yejin,” panggil Chanyeol lagi.

“Hmm?”

“Apa kau lebih menyukai Taemin SHINee daripadaku?”

Yejin menyemburkan tawanya dan segera menutup mulutnya sebelum membuat Baekhyun terbangun. Dia mendorong kepala Chanyeol karena betapa bodoh kekasihnya ini.

“Tentu saja.”

“Yah! Aku merasa terluka, Kim Yejin.” Park Chanyeol mengerucutkan bibirnya sebagai respon.

“Um, tidak. Aku tidak menyukai Taemin,” katanya, sedikit menaikkan harapan Park Chanyeol. Yejin bergeser sedikit mendekati Baekhyun dan memeluknya. “Aku lebih menyukai Baekki.”

“Tidakkah dia terlalu muda untukmu?” Chanyeol kembali cemberut.

“Aku akan menunggu Baekki dua puluh lima tahun lagi,” jawab Yejin santai.

“Kim Yejin!!”

Yejin tertawa dan menutup matanya lagi. Yang dia dengar kini hanyalah gerutuan Chanyeol bercampur dengkuran lembut si kecil Baekhyun. Lalu karena faktor mengerjakan tugas kuliah hingga tengah malam, rasa lelah mendera Yejin dan mengantarkannya ke dalam alam tidur yang jauh, jauh, menjauhi Chanyeol dan segala macamnya.

 

Namun, Yejin masih bisa mendengar sayup-sayup suara Jongin yang berkata: “Yaaah, es krim Soo Soo jatuh.”

 

Dan Yejin masih cukup sadar saat Chanyeol membisikkan satu kalimat manis di telinganya sebelum beranjak dari sana untuk mengurus Kyungsoo dan es krimnya yang jatuh.

 

Terbawa hingga ke alam mimpi dan Yejin berharap apa yang dia dengar ini bukanlah khayalan semata.

 

Jika kau mau menikah denganku, aku akan memberikan satu triliyun kebahagiaan sebagai balasannya.”

 

Yejin tersenyum dalam tidurnya.

 

Apa kau baru saja melamarku, Park Chanyeol?

 

.

.

.

.

.

.

.

.

Dua tahun kemudian

.

.

.

.

.

.

“Bu, aku tidak mau pake jas yang ini.”

“Sehunie, pakai kembali jas-mu.”

“Tapi aku mau pakai yang warna putih seperti Chanyeol­-hyung.”

“Tidak bisa, sayang.”

“Kenapa?”

“Karena Chanyeol-hyung yang jadi pengantin prianya harus pakai jas warna putih, sedangkan Sehunie hanya pengiringnya, oke?” Victoria menyeka keringat di dahi anaknya dan berkata, “Pakai kembali jas-mu dan jangan berlarian ke sana kemari.”

“Bi, dasi Soo Soo lepas.”

Kyungsoo muncul entah dari mana dengan dasi kupu-kupunya yang tidak terikat. Victoria menghela napas dan mengikatnya lagi. Dia berpikir, mengapa sulit sekali mengatur anak-anak ini? Mengapa mereka tidak duduk manis seperti adik mereka—Baekhyun—sebelum menghancurkan pernikahan Chanyeol dan Yejin?

“Ayo, jangan berlari-lari lagi dan tunggu Chanyeol-hyung di sana, oke?”

Kyungsoo mengangguk dan berlari ke dekat pintu altar. Belum ada lima detik kepergian Kyungsoo, Jongin datang dengan rambut berantakan.

“Bu, aku lapar. Boleh tidak aku makan kuenya?”

“Jonginie sayang, tunggu sampai acara peneguhan pernikahan ini selesai. Kau boleh makan kue sebanyak yang kau mau. Berdirilah dekat pintu bersama adik-adikmu.”

Jongin hanya bisa mengangguk pelan dan berjalan gontai.

Kali ini, Victoria bisa bernapas lega, namun napasnya sedikit tersentak ketika melihat Chanyeol mulai memasuki altar diikuti anak-anaknya. Chanyeol tidak pernah setampan itu sepengetahuan Victoria. Keponakannya sangat tampan di hari pernikahannya itu.

Dan tentu saja, pernikahan ini bisa diselenggarakan atas persetujuan tiga anak yang dulu menentang habis-habisan pernikahan Yejin-Chanyeol. Dengan kembang gula, nonton bioskop, boneka pororo, es krim, dan taman bermain, mereka bilang Chanyeol boleh menikah dengan Yejin. Fiuh.

“Yeollie-hyung,” kata Baekhyun sambil menunjuk sosok berjas putih itu.

“Iya, itu Yeollie-hyung yang tampan.”

Victoria semakin dibuat haru ketika Yejin sang pengantin wanita masuk ke dalam altar. Begitu cantik, begitu sempurna berdiri di samping Chanyeol.

 

Pilihan bagus, Yeol.

 

 

THE END

 

a/n:

ehehehehehe hai ehehehehehe *giggling all the time*

yap! Seharusnya ini diselipin di pdf version, tapi aku terlalu malas untuk ngedit-ngedit semua fic babysitting ini (maaf) dan waktunya juga belum free free amat, jadi mungkin juni aku akan kembali ke sini untuk ngebenahin fic+blog fiuhh banyak ya hahaha

Owkay, aku akan mengambil hiatus yang super panjang bulan ini dan mungkin gak bisa ngurusin blog selama itu. Sampai berjumpa di bulan Juni dan tolong, kerjasamanya ya. Kemaren masih dapet kabar kalo ada yg ngeshare ff-ku tanpa kredit di fb (hah, sudahlah tak usah diperpanjang lagi ya masalahnya). Kalian boleh reblog, share link, apapun itu harus ada creditnya ya :) Komen yang jujur dan sopan sangat diharapkan dan maaf kalo gak bisa ngebales komennya satu-satu, but I appreciate it a lot, like…really-really happy to read all of them, so thank you soooo muuuuch <3

Semangat ya buat yang besok UN! Semangat buat semuanya ehehe <3

See you <3

 


Spiderhun

$
0
0

Cast: Sehun [EXO-K] & Mary Jane [OC] ▲ Genre: Superhero!AU, Romance ▲ Rating: PG-15 ▲ Length: >1000wc

Soundtrack: Michael Buble – Spiderman

Summary:

Wow, Spiderman tastes like choco bubble tea.

 

***

“TOLOOOOOOONG!!! TOLOOOONG AKUUU!!!”

Mary Jane; gadis berambut merah itu berteriak minta tolong selagi hidupnya bergantung pada seutas kabel yang melilit tangannya.

Beberapa hari ini kota diserang oleh Dr.Octopus, si profesor gila yang merubah dirinya menjadi manusia mesin dengan beberapa tentakel besi malang melintang di tubuhnya. Dan parahnya, dia ingin menguasai dunia.

Dan parahnya, kini dia mengobrak abrik kota New York seakan kota itu terbuat dari mainan lego yang bisa dibangun lagi dalam sekejap.

Daaaaan yang paling parah di sini adalah…

Tak satu pun dapat menghentikannya. Bahkan peluru dari senjata para polisi tak dapat melumpuhkan tentakel-tentakel besi itu.

Ini sungguh parah.

Malang sungguh malang, di antara ribuan warga New York yang sedang menonton pergelaran fashion week di taman kota, si jelita Mary Jane-lah yang harus menjadi sandera Dr. Octupus dan berakhir di salah satu gedung paling tinggi di New York.

“TOLONG! JANGAN LAKUKAN INI, TUAN!” jerit Mary Jane.

“Bersenang-senanglah di atas sana manis!” kata Dr. Octopus sebelum menghancurkan sebagian fondasi gedung dengan bom-nya dan pergi meninggalkan Mary Jane.

Ledakan itu mengakibatkan gedung runtuh perlahan-lahan, mulai doyong seraya hujan turun bersamaan dengannya.

Kini yang bisa Mary Jane lakukan adalah berpegangan pada kabel itu. Dia melayang puluhan meter dari permukaan tanah yang berarti jika kabel ini putus maka habislah riwayatnya.

“TOLOOONG! TOLONG AKUUU!”

Tak lama kemudian yang ditakutkan pun terjadi. Suara derit besi terdengar di telinga Mary Jane dan ketika dia menoleh, kabel itu putus.

Dia memejamkan mata.

Ya Tuhan, inikah akhir hidupku? Pikirnya putus asa.

Detik berikutnya, Mary Jane merasakan tubuhnya melayang di udara. Tak ada tenaga untuk berteriak, dia akan mati.

Mati.

Jatuh.

Mendarat di aspal.

Mati.

Mati.

Mat—

Namun, saat kehilangan harapan, Mary Jane malah merasakan ada tangan yang merengkuh pinggangnya dan kehangatan itu membungkusnya secara tiba-tiba di tengah hujan yang dingin ini.

Mary Jane tidak jatuh.

Seseorang menyelamatkannya.

“Spider…Spiderman?”

“Berpeganganlah padaku, Nona!”

Tanpa disuruh dua kali, gadis itu mengeratkan pelukannya di sekitar bahu Spiderman dan menggantungkan seluruh harapannya pada sosok pahlawan kota New York itu. Yeah, Spiderman telah menghilang 3 hari lamanya belakangan ini, membiarkan Dr. Octopus menguasai New York. Mary Jane akan menanyakan alasannya, tentu. Tapi untuk sekarang, dia hanya berharap Spiderman dapat membawanya kembali menyentuh daratan.

“Oh, terima kasih, Spiderman,” ujar Mary Jane setelah mendarat di sebuah gang kecil dekat rumahnya. Kakinya lemas seperti jelly dan Spiderman harus memegangi tangannya agar dia dapat tetap berdiri. “Maafkan aku,” lanjut gadis berambut merah itu.

“Akulah yang seharusnya minta maaf.” Spiderman berbicara dari balik topengnya. “Aku menghilang saat New York dalam keadaan kacau.”

“Ya, kau menghilang. Boleh aku tahu alasannya?” tanya Mary Jane ragu.

Spiderman hanya bisa menundukkan kepalanya, satu gelengan dan Mary Jane mengerti.

“Oh, oke. kurasa pahlawan sepertimu pun punya urusan lain yang lebih penting,” ujar Mary Jane setengah tertawa.

Spiderman tak menjawab.

“M-maksudku. Itu normal. Semua orang punya urusan, dan yang terpenting sekarang adalah kau kembali lagi ke sini. Dan kau menyelamatkanku.”

Mary Jane mengambil satu langkah ke arah Spiderman, tersenyum malu walaupun udara dingin membuat bibirnya bergetar dan membiru.

“Aku tak percaya bahwa aku baru saja diselamatkan oleh Spiderman. Selama ini aku hanya membacanya di koran, seperti ‘Spiderman Menyelamatkan Penyeberang Jalan’, ‘Spiderman Menggagalkan Pembobolan Bank’, ‘Spiderman Meringkus Pembunuh Berantai’.”

Gadis itu berhenti bicara, seandainya Spiderman tak bertopeng, mungkin Mary Jane dapat melihat kedua mata itu secara langsung.

“Dan…aku baru tahu ternyata rasanya seperti ini diselamatkan Spiderman.”

“Memangnya apa yang kau rasakan?”

Mary Jane ingin sekali mengakui bahwa jantungnya berdegup kencang sekarang. Bukan karena euforia terbang di udara; dari satu gedung ke gedung lain. Bukan karena rinai hujan yang membasahi rambut juga sweaternya. Bukan karena apa-apa.

Rasanya ada sejuta kembang api tengah meletup-letup setiap kali mendengar suara Spiderman melantun dan dia merasakan kehangatan menjalar di setiap senti tubuhnya. Mary Jane berpikir apakah ini yang dirasakan setiap orang saat Spiderman menyelamatkan hidup mereka? Atau…

Apakah dia jatuh cinta pada sosok misterius itu?

Mereka bahkan baru bertemu hari ini!

Pikirannya kacau seperti ada seribu kecoa yang memenuhi kepalanya. Dia melangkah semakin dekat, dekat, dan dekat ke arah Spiderman. Berharap ada alasan logis lainnya yang bisa mengungkapkan perasaannya. Tapi Mary Jane sadar…cinta tak pernah menggunakan logika.

“E-entahlah…” Gadis itu menyelipkan helaian rambut ke belakang telinganya. “Rasanya luar biasa.”

“Luar biasa?”

Mary Jane menganggukkan kepala, walaupun rasanya lebih dari sekedar luar biasa.

Lantas, entah darimana keberanian itu datang. Sontak Mary Jane mengangkat tangannya dan menyentuh ujung topeng Spiderman.

Dia ingin membukanya?

“Bolehkah aku—”

Spiderman memang tidak melarangnya. Dia tidak menggelengkan kepala, tidak mengangguk tanda dia setuju. Dia hanya membiarkan gadis itu menggulung topengnya dari bawah, perlahan-lahan dengan napas tertahan.

Mary Jane pun begitu.

Sekejap jantungnya berdebar lebih cepat ribuan kali. Tangannya gemetaran seraya kulit pria itu mulai terekspos, sedikit demi sedikit.

Dia akan mengetahui bagaimana wajah pahlawan New York?

Dia akan segera mengetahui siapa orang di balik topeng itu?

Dagunya mulai terlihat. Kulitnya mulus dan lembut di bawah tempaan sinar lampu jalanan.

Mary Jane akan mengetahui sebentar lagi siapa sosok pria ini.

Mary Jane akan mengingat kejadian ini selamanya.

Mary Jane akan melihat bagaimana wajah orang yang telah menjadi pembicaraan warga selama ini.

Mary Jane akan–

Stop.”

Spiderman menahan tangan gadis itu tepat ketika mulutnya lepas dari balutan topeng. Suaranya kini lebih jelas terdengar.

“Aku tak bisa membiarkanmu mengetahui siapa aku sebenarnya.”

Mary Jane sadar, hanyalah ilusi belaka jika Spiderman mengijinkannya mengetahui identitas pria itu. Dia seharusnya tahu ini dari awal.

“Tapi bolehkah aku memberimu ucapan terima kasih atau…salam perpisahan?”

“…”

“Untuk yang pertama dan terakhir kalinya.”

Jeda beberapa saat sebelum Spiderman bilang ‘Yeah, tentu.’ Lalu tanpa ragu ataupun bimbang, Mary Jane mencium bibir Spiderman dan untuk kesekian kalinya dia merasakan kakinya berubah jadi jelly, karena…

Wow, Spiderman tastes like choco bubble tea.

Spiderman-lah yang lebih dulu menarik diri dan napasnya terdengar berat, namun dia tersenyum lebar. Lebih mirip seringai, sebetulnya.

Err, thanks for the kiss,” gumamnya lembut. Kemudian dia mengecup sekali lagi bibir Mary Jane dan berbisik satu kata yang tidak dapat gadis itu pahami. “Yehet.”

“A-apa?”

Sebelum dia mendapatkan penjelasan, Spiderman telah menutup kembali topengnya dan melompat jauh tinggi ke atas atap rumah.

“Sampai jumpa, Nona. Berhati-hatilah dan jaga dirimu selalu. Aku akan mengalahkan Dr. Octopus dan membuat warga New York tidur tenang malam ini!”

Lalu…

Spiderman menghilang di antara kabut malam seiring berhentinya hujan.

“‘Sampai jumpa‘…” Mary Jane menatap nanar langit malam. “Apakah itu berarti kita dapat bertemu lagi?”

***

Hari itu hari Kamis. Mary Jane berjalan di bawah sinar matahari pagi yang cerah serta hangat. Membiarkan angin meniup rok motif polkadotnya sambil bersenandung lagu favoritnya, karena dua malam yang lalu Spiderman menyelamatkan hidupnya sekaligus mengalahkan Dr. Octopus.

Spiderman benar-benar memegang kata-katanya. How gentleman he is.

Selagi berjalan, Mary Jane melihat sekumpulan anak remaja perempuan berlari ke taman kota dengan riang.

Dia bertanya pada salah seorangnya, “Ada apa? Kenapa kalian berlari ke taman kota?”

“ADA EXO! EXOOOO! Mereka datang untuk fansigning di sini! Kyaaaaa…aku mau bertemu Luhaan!”

Mary Jane pun bingung. Belum sempat bertanya siapa EXO, siapa Luhan, anak itu telah pergi berlari.

Mary Jane jadi penasaran. Dia mengekor di belakang segerombolan remaja dan dapat melihat banner besar terpampang di sana.

“Oh boyband,” katanya melihat sederet pria tampan yang tengah duduk di belakang meja dari jarak beberapa meter.

Mary Jane tidak mengenal mereka, maka dia memutuskan untuk pergi saat salah seorang member EXO menyapa fans-nya.

“Halo, New York.”

“Kyaaaaa!! Oh Sehun!”

Sehun, I love you!”

Oh my God, Sehun! You’re so handsome!”

Popularitas adalah segalanya, EXO pasti sangat terkenal di kalangan remaja, dan…Oh Sehun ini juga pasti sangat tampan, pikir Mary Jane seraya melangkah; menjauhi tempat itu tanpa mau menoleh untuk melihat apa benar Oh Sehun tampan.

“Namaku Oh Sehun…”

Gadis-gadis itu menyorakkan namanya.

“…aku menyukai kalian seperti aku menyukai bubble tea rasa cokelat…”

Jeritan demi jeritan mengelu-elukan dirinya. Mary Jane menggeleng-gelengkan kepalanya sambil tersenyum. Dasar gadis-gadis ini.

“Yehet!”

Mary Jane pun berhenti berjalan dan menoleh.

Dia…

THE END

A/N:

– SALAHKAN GAMBAR INI ;;;

– Dan ini kayak di filmnya, tapi seriously guys, ini scene spiderman 1,2,3 jadi nyampur hahaha

– Dan aku ngepost ini gak ngecek lagi tulisannya so sorry for the typos! And for a bad writing skill Ehehehe

– I love you! Dan maaf katanya aku bakalan balik bulan juni, tapi ini masih mei. Tau kan aku kayak gimana, tau kan tau kan hmmm /wiggle eyebrow/

– See you! Dan selamat bagi yang lulus UN! <3 dan mohon doanya ya buat final project kuliahku yang berupa penelitian ;;; semoga lancar ya presentasinya hari senin besok huhuhu

 - dan…psstt aku jadi ngebayangin kalo mau bikin superhero!au itu si Kai jadi Batman terus karena aku Kaistal shipper #uhuk yang jadi Catwomannya si Krystal gitu haha terus kalo Superman tuh Kris, Hulk tuh Chanyeol, terus Ironman tuh macam Tao gitu hahaha #pleasesomeonestopme ;;;


[BTS] Forgetful Seokjin

$
0
0

tumblr_n2jzzpiAGc1tp940wo1_250

Cast: Jin [BTS] & You [OC] ▲ Genre: Fluff, Romance, Slight!Comedy ▲ Rating: Pg-15 ▲ Duration: <2000wc

Disclaimer: Inspired by “Forgetful Lucy” song from 50 First Dates movie.

.

.

Myeongdong was the place
Where I first saw your face
We liked each other right away
But you didn’t remember me the very next day
Forgetful Seokjin
Has got a nice floral napkin

 

.

.

 

“Tapi aku menderita anterograde amnesia!”

“Ah, tak masalah.”

“Aku tak akan mengingat namamu besok!”

“Aku bisa mengingatkanmu setiap hari.”

“Besok aku akan lupa kita pernah berpacaran!”

“Lalu?”

 

Aku mengingat segalanya.

Seokjin melupakan semuanya.

 

Aku ingat hari kemarin.

Seokjin hanya mengingat hari ini.

 

Aku menyimpan kenangan.

Seokjin menghapus kenangan.

 

Aku telah menjalani kencan sebanyak 37 kali bersama Seokjin.

Seokjin selalu menjalani kencan pertama selamanya bersamaku.

 

Aku pikir itu mekanisme hubungan kami—selalu berbanding terbalik dimana aku mengingat dan dia melupakan, aku mengumpulkan dan Seokjin menebarkan. Dan yang terpenting di sini adalah aku merasa tak ada yang salah dengan hal itu, namun mengapa di sore hari ini, Seokjin masih saja mendebatkannya. Aku tak pernah bisa mengerti jalan pikirnya.

Ini pertengkaran ke-9 dan aku berdoa dalam hati agar Seokjin mau menghentikannya atau—oh, tolonglah, Tuhan, hentikan semua ini karena aku harus memasak kue untuk pertunangan Namjoon, sahabatku.

Pria itu bersedekap tangan di sofa, menatapku seolah-olah aku ini bedebah nomor satu di Korea, lalu setiap kali aku membalas perkataannya, dia tak pernah puas dibuat.

“Bagaimana mungkin kita bisa berpacaran selama ini dengan kondisiku yang seperti ini?” ujar Seokjin setengah memekik.

“Memangnya kondisimu bagaimana?” tanyaku berpura-pura tidak tahu apa yang sedang dia permasalahkan. “Kim Seokjin, demi Tuhan, aku memacari manusia yang punya dua kaki, dua tangan, dua mata, dan…hidungmu punya dua lubang kan?”

Seokjin memutar kedua bola matanya dan mulutnya terkatup kesal. Tentu. Dia selalu menjadi pihak yang kehabisan kata-kata untuk membalas, karena…hei, Kim Seokjin, kau sedang beradu mulut dengan seorang pengacara. How could you win this round?

“Aku sebal padamu.”

“Kenapa? Apa aku mencubit pinggangmu? Apa aku menginjak kakimu?”

“Berhenti bercanda, aku tak suka.”

Kini dia mengerucutkan bibirnya kesal. Wajah itu memang lucu di saat-saat seperti ini, tapi aku tak tega membiarkannya begitu seharian. Maka itu kuputuskan untuk menghapus kerut di dahinya dan menarik senyuman itu muncul di wajahnya lagi.

“Oke, mari kita bicarakan ini,” kataku pada akhirnya. Masih memakai celemek motif bunga-bunga dan duduk bersila di sampingnya. Kue untuk pertunangan Namjoon kurasa masih bisa menunggu.

(Maaf, Namjoon, aku haru menyelesaikan suatu urusan dengan si Tuan Pelupa ini.)

Well, aku ingin mendengar pembelaanmu, Tuan Kim. Aku adalah pengacara Kim Haneul dan menurutku, kau menjadi terdakwa hari ini. Kenapa? Karena kau hampir membunuh hatiku dengan berkata tidak ingin berpacaran lagi denganku,” ceracauku tanpa henti, memandangnya di balik bulu mata beserta ekspresi terluka. “It’s hurt, seriously.”

Seokjin tidak langsung menjawab. Dia meraih kotak dvd rekaman dari meja dan melambaikannya di depan wajahku. “Sudah berapa kali aku menonton dvd ini?”

(Itu adalah dvd tentang perjalanan kisah kami. Hoseok—sepupu Seokjin—yang merekamnya. Dvd itu berisi tentang bagaimana dan di mana kami bertemu. Aku bermonolog super membosankan sepanjang film, membukanya dengan ‘hai namaku Kim Haneul bla bla bla’, namun Seokjin selalu menontonnya; setiap pagi—untuk mengingatkannya siapa aku, siapa dia, siapa kami berdua dan…yeah, Hoseok menari sambil tertawa di akhir film, jadi bisa kusimpulkan untuk mengingatkan siapa Hoseok juga. Yeah.)

“Eumm…biar kuingat.” Aku menghitung jariku. “Aw, aku kehabisan jari untuk menentukan seberapa sering dvd ini kau tonton. Maaf ya. Atau boleh pinjam jemarimu?” aku mengambil tangannya, menghitung jemarinya. Wajahku pun jadi ikut cemberut.

“Terlalu banyak dan terlalu sering. Lihat! Bahkan setelah meminjam jemarimu saja aku tetap tidak bisa menghitung. Apakah kita harus meminjam sirip Kekaimalu?”

(Kekaimalu itu lumba-lumba milik Hoseok. Yeah, Hoseok punya lumba-lumba. Keren ‘kan?)

Seokjin memberiku wajah datar. Aku pun berhenti. “Oke, oke. Ayo, serius.”

“Apa kau benar-benar pengacara?” tanya Seokjin memicingkan matanya curiga.

“Apa kau mencurigaiku? Aw, you kill my pride, Kim Seokjin. Hukumanmu bisa bertambah berat.”

“Sebenarnya aku lebih penasaran dengan alasan mengapa kau mau berpacaran denganku.” Kalimat Seokjin menggantung di udara, seandainya ada burung yang masuk melalui jendela kami, aku ingin berteriak padanya: “HEI BAWA PERTANYAAN ITU JAUH-JAUH DARI SINI!! AKU TAK MAU MENDENGARNYA!!”

Dia memandangku sejenak, keraguan kini mewarnai permukaan kulitnya. “Atau…apakah aku pernah menanyakan hal ini sebelumnya? Berapa kali, kalau aku boleh tahu?”

Seokjin baru menanyakannya dua hari yang lalu, tapi sudahlah, dia tidak mungkin mengingatnya.

“Sudah kubilang kita harus meminjam sirip Kekaimalu untuk menghitung hal apa saja yang kau katakan dan yang kau lakukan selama ini. Mereka terlalu banyak, Seokjin,” aku bergumam lirih.

“Haneul…”

“Ya?”

“Aku…” Seokjin memejamkan matanya erat-erat. “Aku sakit.”

“Aku tahu.”

“Aku mengidap anterograde amnesia.”

“Itu yang Hoseok katakan dulu! Dan—dan…sekarang kau terdengar mirip Hoseok yang melarangku bertemu denganmu waktu itu! Menyebalkan!” semburku marah mengingat kejadian itu.

“Hoseok pernah melarangmu bertemu denganku?”

Aku mengangguk. “Dia bilang, ‘wahai pengacara yang cantik, berhentilah datang ke sini dan membuat Seokjin bingung. Apa yang kau inginkan darinya? Hari ini dia mengingatmu, besok dia melupakanmu. Jika hari ini dia jatuh cinta padamu, besok kau hanyalah orang asing yang mengobrol dengannya sembari sarapan.’”

Iya, masih segar teringat kenangan menyakitkan itu di kepalaku. Hoseok menentang hubungan kami, berusaha menjauhkanku dari Seokjin karena dia bilang percuma. Percuma karena hubungan kami hanyalah berdasarkan ingatan, bukan hati. Aw, aku tertusuk lagi.

“Dan kau tidak menggubrisnya?”

Nope. Siapa Jung Hoseok hingga bisa menghalangiku untuk mendapatkanmu?” ujarku setengah bercanda, tapi sungguh, tak satu pun orang di dunia ini boleh menghalangiku untuk bersama Seokjin. Tidak ada.

“Kenapa??”

Tiba-tiba, aku tidak mau mendengar satu patah kata pun terucap dari bibir itu. Aku tidak mau mendengar kata ‘kenapa’, tidak mau melihat tanda tanya kasat mata terlukis di wajahnya. Aku hanya mau…

mencintainya.

Lalu aku pun mendorong tubuh Seokjin hingga punggungnya bertemu sofa, sementara aku berada di atasnya. Membungkam seribu pertanyaan di mulutnya dengan bibirku, menghilangkan rasa penasaran, dan kubiarkan permainan klasik berjalan apa adanya.

Aku menjauhkan diri setelah dua puluh detik dan bernapas pelan-pelan.

“Berhenti menanyakannya, Kim Seokjin. Aku mencintaimu. Aku tidak peduli seberapa banyak kau melemparkan pandangan who-the-hell-are-you setiap kali aku masuk ke dalam kamarmu di pagi hari. Aku tidak peduli seberapa banyak kau menonton dvd itu hanya untuk mengetahui siapa wanita yang melangkah masuk ke dalam kamarmu tadi pagi. Aku tidak peduli seberapa banyak kenangan manis yang kau hapus dan kau memulainya lagi dari halaman pertama setiap hari.”

“Aku bahkan menangkis kenyataan yang menyebalkan setiap kali kita berciuman. Karena bagiku, kau terasa seperti kopi dan permen karet rasa anggur, namun aku bagimu terasa lucu. Damnit, Kim Seokjin! Kau selalu tertawa saat kita melakukannya. Lalu jika kutanya, kau bilang, ‘Ini ciuman pertama kita ya?’. Dan meskipun itu menyebalkan, tapi aku tetap ingin menciummu ribuan kali dalam hidupku. Ya, aku menginginkannya.”

 

Aku mengambil napas banyak-banyak.

 

“Dan aku tetap mencintaimu walaupun kau selalu menanyakan namaku setiap hari. Well, itu tidak separah Taehyung yang hanya bisa mengingat sepuluh detik. Tapi jika itu terjadi padamu, I swear to God, I still love you, Kim Seokjin.”

(Taehyung adalah salah satu pasien di rehabilitas. Dia memperkenalkan namanya detik ini, lalu hitung sampai sepuluh maka dia akan kembali memperkenalkan diri padamu, hai, aku Taehyung. Percayalah.)

Seokjin terdiam. Matanya tertumbuk padaku sampai-sampai aku bisa melihat bayanganku sendiri di sana. Aku yang penuh kobaran api dan napas yang memburu. Air mata itu sudah menggenang di pelupukku. Oh God, ini bahkan belum jam 10.

“Kau mencintaiku?”

Yeah.”

“Tapi aku—“

“Ya, kau sakit! Kau sakit amnesia keparat itu yang membuat kepalamu rusak. Tak masalah. Kepalamu rusak, tapi kau masih punya hati ‘kan?” aku menyentuh dadanya, merasakan debaran liar jantungnya berkecamuk di sana. “Your head is bad, but your heart is good. You’ll remember me there.”

 

Kami terdiam.

 

Membiarkan suara kicauan burung di luar sana yang mengisi kesunyian ini.

 

Kami terdiam.

 

Diam dan diam.

 

Seokjin menatapku.

 

Aku menatapnya balik.

 

Well, kalimat terakhir kukutip dari fanfiksi berjudul Anterograde Tomorrow,” kataku tiba-tiba memecah keheningan yang janggal itu. “Aku membacanya demi memahamimu. Aku membacanya demi memahamimu, Kim Seokjin, walaupun tokoh di dalamnya adalah pria yang jatuh cinta pada pria!”

Ugh, kau serius membacanya?” Seokjin mengernyitkan dahinya.

Aku mengiyakan pertanyaan itu. “Aku membacanya dan menemukan diriku berdiri di satu sisi yang sama dengan tokohnya. Tapi aku tidak menderita penyakit paru-paru dan aku tidak akan mati. Eumm…suatu hari aku akan mati, tentu…”

Kudaratkan satu kecupan di pucuk hidungnya. “Tapi tidak saat aku sangat mencintaimu.”

Senyuman itu merekah saat cairan bening menuruni pipiku dan Seokjin menghapusnya. Dia membawaku ke dekapan super hangatnya, dimana aku bisa menghirup aroma deterjen di sweater birunya, dimana kurasakan tekstur lembut menyapu pipiku.

“Aku tetap tidak mengerti mengapa kau mencintaiku sebesar ini.”

“Aku akan menambahkannya di dvd nanti, agar kau tidak perlu menanyakan hal ini lagi dan lagi. Kau menyebalkan”

Seokjin tertawa. “Maafkan aku.”

“Kata maaf tidak bisa meringankan hukumanmu, Tuan Kim. Ingat, kau adalah terdakwa di sini.”

“Lalu kau mau menghukumku?” seringainya begitu menggoda dan seketika aku lupa apa Undang-Undang untuk kasus pembunuhan (baca: pembunuhan hati).

Aku tersenyum lebar.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Aku mengingat segalanya.

Seokjin melupakan semuanya.

 

Aku ingat hari kemarin.

Seokjin hanya mengingat hari ini.

 

Aku menyimpan kenangan.

Seokjin menghapus kenangan.

 

Aku telah bermain gitar ini di hadapannya sebanyak 5 kali.

Seokjin selalu melihatnya seperti pertama kali, selamanya.

 

Dan aku tidak peduli jika besok aku akan memainkan gitar ini, kemudian Seokjin masih saja bereaksi demikian.

 

“Kau tidak bilang di video bahwa kau pandai memainkan gitar!” seru Seokjin bersemangat.

Aku menghela napas dan bergumam, “Aku akan meminta Hoseok untuk menambahkannya di dvd besok.”

“Apa?”

“Tidak,” kuukir seulas senyum. “Aku punya satu lagu untukmu. Kau mau dengar?”

Seokjin mengangguk antusias. Dia merapatkan selimutnya, angin malam memang bertiup dingin hari ini. Tapi bermain gitar di pinggir kolam Kekaimalu sangatlah romantis! Seokjin dan bunga kamboja di telinganya terlihat lucu sekaligus tampan. Apa yang bisa kulakukan?

 

Myeongdong was the place
Where I first saw your face
We liked each other right away
But you didn’t remember me the very next day
Forgetful Seokjin
Has got a nice floral napkin

I used to trick you into pulling your car over so we could chat
But my favorite time was when you beat the shit out of Ula with a bat
Then we drove up to see Dr. Keats
And found out why Taehyung always has to change his sheets
Forgetful Seokjin
Cracked his head like Mr. Bean

But I still love him so
And I’ll never let him go
Even if while I’m singing this song
He’s wishing I had Jocko the walrus’ schlong
Forgetful Seokjin
His lips are so damn juicy

Aku meletakkan gitar di meja, mengeliminasi jarak yang ada antara kami berdua, dan mengalungkan kedua tangan ini di lehernya. Malam masih begitu panjang sebelum pagi muncul. Hei, mengapa tidak dimanfaatkan sebaik mungkin?


How about another first kiss?

 

The End

 

a/n:

Ehehehe Seokjin ehehehe

Yah, aku juga merasakan ada sesuatu yang berubah dengan tulisanku. Oh screw it up, baby. Aku rasa ini gegara projek seminar yang mengharuskan aku nulis 51 halaman full paper dengan bahasa yang sadnaadjoomgndka (idk what to say)

Oh iya, siapapun yang belum pernah nonton 50 First Dates (owh, are u serious? You haven’t watched it?) yah, itu film rom-com terfavorit sepanjang masa (menurutku sih) ehehe

Bisa dilihat ulasannya di sini —-> 50 First Dates

see youuuu <3


[BTS] Lazy Day

$
0
0

lazy day

Cast: Taehyung [BTS] and Rossie [OC] • Genre: Fluff, Romance, Slight!Comedy • Length: 2000+wc • Rating: G

Soundtrack: Bruno Mars – The Lazy Song

Summary:

Come on, let’s spend our lazy day together

 

 

***

 

Hari ini adalah hari bermalas-malasan sedunia.

 

Well, itu sih menurut Kim Taehyung.

 

Seharian, dia hanya berbaring di tempat tidurnya memeluk bantal. Dia membaca komik, mengunyah biskuitnya, minum jus, menonton video di youtube, mendengarkan musik, batuk, bersin, tertidur sekitar satu setengah jam, bangun tidur, dan hebatnya semua itu dilakukan di atas kasur. Wow.

Dan dia hanya beranjak untuk pipis dan mengambil minum. (Hufth, untunglah. Setidaknya dia pipis di kamar mandi, bukan di kasur).

Itu tidak jadi masalah. Kim Taehyung bebas melakukan apa saja yang dia inginkan karena hari libur telah tiba setelah semua tugas serta ujian akhir sekolah berlalu. Tidak ada yang melarangnya, sungguh.

Tapi itu menjadi masalah ketika Kim Taehyung melakukan rutinitas itu selagi sang pacar berada bersamanya dan itu sangat  sangat sangat menyebalkan.

“Kim-Tae-hyung, bisakah kau beranjak dari tempat tidur itu dan keluar bersamaku?” tanya gadis bernama Rosaline atau dia biasa dipanggil Rossie oleh Taehyung.

Taehyung mengintip dari balik komiknya, matanya menemukan matahari di luar jendelanya bersinar sedikit keterlaluan, maka dia kembali membenamkan wajahnya di balik lembaran komik itu.

“Mataharinya.”

“Ada apa dengan mataharinya, Taehyung?” tanya Rossie sebal.

“Mataharinya bersinar,” balasnya penuh nada kemalasan.

Yeah, mataharinya bersinar dengan sangat indah dan cerah. Bagaimana jika kita pergi ke taman dan—“

“Tidakkah kau lihat, Rossie Sayang?” ujar Taehyung membuat gadis itu memerhatikan matahari lebih dekat dari balik jendela. “Apa yang tidak kulihat, Taehyung Sayang?” Apa dia baru saja melewati badai matahari? Atau…sekarang matahari punya mata dan hidung?

Taehyun menghela napas bosan dan dia duduk menghadap pacarnya yang kini bersandar pada dinding kamar, terlukis indah kebosanan di wajahnya yang cantik itu.

Dia pun memutuskan untuk berdiri, mendekati sang kekasih, lebih dekat, lebih dekat, dekat, dekat…”A-apa yang kau inginkan?” tanya Rossie sambil berusaha mundur, namun aksinya sia-sia karena punggungnya telah bertemu dinding sedari tadi.

Kini Taehyung hanya berjarak 10 sentimeter darinya–dengan kaus putih ditambah celana pendek, rambut setengah berantakan, dan cengiran konyol (namun tampan) menghiasi wajahnya. Rossie heran mengapa dia mau saja menerima ajakan kencan dari si laki-laki bodoh ini empat bulan yang lalu. Baru sekarang dia rasa dia…menyesal?

“Rossie Sayang, kita tidak bisa pergi keluar sekarang,” gumam Taehyung lembut.

“Kenapa?” alis Rossie bertaut.

“Mataharinya, Rossie.”

Stop menyalahkan matahari, Taehyung. Apa salahnya? Dia hanya bergantung di langit sana dan tidak berbuat apa-apa! Apa dia menyakiti anak kecil? Tidak. Apa dia menyakiti ibumu? Jawabannya adalah tidak. Lalu apa masalahnya, Taehyung-a?” protes Rossie yang tidak melihat alasan mengapa Taehyung selalu merangkul matahari ke dalam topik pembicaraan mereka.

Lalu, tiba-tiba Taehyung menjauhkan diri sambil menutup mulutnya, seolah Rossie baru memberitahukannya sebuah isu besar dan dia benar-benar dibuat kaget.

Owh, apa kau tidak tahu?” Taehyung bertanya.

“Tidak tahu apa?” balas Rossie.

“Benar tidak tahu?”

“Tahu apa sih?”

Taehyung kembali nyengir dan mendekati Rossie, mempertipis jarak di antara mereka hingga Rossie dapat mencium aroma manis biskuit bercampur jus anggur setiap kali Taehyung bernapas. Gosh, dia menyukainya, tapi sebelum dia jatuh terlena oleh aroma itu…dia lebih baik memperjelas apa yang sebenarnya Taehyung ingin katakan.

Taehyung jelas mempersulitnya, karena detik itu…Taehyung malah memainkan rambut ikalnya sambil tersenyum. Rossie merasa kakinya berubah jadi jelly dalam hitungan detik. Sial. “Kau benar tidak tahu atau berpura-pura tidak tahu, hm?”

“Hentikan omong kosong ini, Taehyung-a,” ancam Rossie, berusaha melihat ke arah lain. Namun dengan jari telunjuknya, Taehyung menyentuh dagu gadis itu dan mengembalikan posisi wajahnya ke tempat semula. “Mau tahu tidak?”

“Tahu apa?” tanya gadis itu polos.

“Kalau…”

“Kalau…”

“Aku…”

“Kau…”

“Sebenarnya…”

“Sebenarnya…”

“Adalah…”

“Adalah…”

Taehyung berhenti di sana sejenak sebelum melanjutkan lagi. Oh, tidak lupa memberikan cengiran konyol-tapi-tampan itu. Kemudian, dia mendekatkan wajahnya ke telinga Rossie dan berbisik begitu lembut, begitu manis…

 

Vampire.”

 

Butuh waktu sekitar dua detik untuk mencerna apa yang Taehyung katakan. Lalu dua detik berikutnya Taehyung menemukan dirinya berbaring di lantai dan bokongnya sakit. Aw, Rossie baru saja mendorongnya sampai jatuh.

Vampire, huh?”

“Aku masih ada hubungan keluarga dengan Edward Cullen. Percayalah.”

“Oke, kalau begitu,” ujar Rossie sembari mengambil tasnya dan tak sengaja (atau memang sengaja) menginjak kaki kiri Taehyung selagi dia berjalan ke arah pintu.

Kaki itu terasa seperti mammoth raksasa yang menginjak kakinya, Taehyung mengaduh kesakitan, tapi dia tetap tertawa. “Aw, itu benar. Aku tidak bisa keluar di siang hari karena vampire tidak bisa kena matahari atau dia akan terbakar hidup-hidup. Kau mau kehilangan pacarmu sebelum pesta prom night, Rossie Sayang?”

“Aku lebih baik melihat kekasihku terbakar hidup-hidup sampai jadi abu daripada melihatnya menempel di kasur seharian!”

“Hei, kau sadis,” sahut Taehyung berusaha bangkit, namun Rossie melempar bantal ke wajahnya hingga dia jatuh terduduk lagi di lantai. “Sangat sadis. Hei Rossie! Kau mau ke mana??”

Taehyung tidak mengira candaannya itu akan membuat Rossie benar-benar melangkah pergi dari kamarnya—meninggalkannya. (Well, asal gadis itu tidak melangkah dari hidupnya saja. Karena kalau iya, sampai ke ujung dunia pun Taehyung akan mengejarnya).

Dengan susah payah dan kaki yang terseok-seok, Taehyung mengekor gadis itu di belakang. Tidak pedulikan dia hanya memakai celana pendek bermotif kentang dan tulisan I’m a cute potato malang melintang di sana. Tidak pedulikan dia hanya memakai kaus putih yang terkena noda tinta biru dan ada lubang di ketiaknya. Tidak pedulikan kakinya yang tak beralas berjalan di atas aspal panas yang tersirami sinar matahari (well, Taehyung, kau dapat getahnya).

“Rossie, tunggu!”

Dan ketika gadis itu menoleh, Taehyung berjalan seperti monyet karnaval karena kakinya yang kepanasan itu. Sontak hal itu membuatnya terkikik kecil, namun dia tetap berjalan dan seolah tak memedulikan panggilannya.

“Rossie—aish, gadis ini. Rossie, kau mau ke mana?” Suara Taehyung terdengar dari belakang.

“Pergi menjauh darimu,” sahut Rossie acuh.

“Oke, menjauh dariku. Tapi ke mana tujuanmu?” Taehyung masih saja berusaha berjalan dengan benar di atas jalan raya. Kasihan dia.

“Entahlah,” jawab Rossie mempercepat langkahnya sebelum si monyet karnaval itu berhasil menjangkaunya. “Ke rumah Hoseok mungkin.”

Well, Taehyung berteman baik dengan Hoseok dan Hoseok juga mengenal baik Rossie. Mungkin dia akan membiarkan kekasihnya bermain dengan Hoseok sementara dia menyelesaikan sesi membaca komik di atas tempat tidur. Namun bayangan Rossie tersenyum, tertawa, dan menyentuh bahu Hoseok bukanlah sesuatu yang menyenangkan. Ah, dia tidak mau Rossie pergi ke rumah Hoseok.

“Kau tidak boleh pergi ke rumah Hoseok!” kata Taehyung setengah berteriak mengingat jarak mereka kian menjauh.

“Oke, aku berganti haluan. Aku mau pergi ke rumah Namjoon—“

APA?? Rumah Namjoon?? Rumah Namjoon yang besar, punya kandang anjing sebesar rumah Taehyung, dan punya kolam renang seukuran samudera itu?

Taehyung jadi penasaran. “Dan apa yang akan kau lakukan di rumah Namjoon?”

“Aku mau bermain dengan anjing-anjingnya…”

Oke, batin Taehyung.

“…bermain dengan peliharaan kalkunnya…”

Baiklah.

“…bermain tenis di lapangan tenisnya…”

Baiklah, olahraga bagus untuk kesehatan. Oke.

“…memasak di dapurnya yang seluas rumahku…”

Berlatih memasak untuk jadi kekasih yang pintar dan kreatif. Oke.

“…dan—oh, berenang! Aku mau berenang di kolam renang Namjoon yang besar itu!” ujar Rossie riang, mengakhiri to-do list-nya yang panjang.

Taehyung berhenti di tempatnya setelah mendengar niat Rossie ingin berenang. Berenang bagus untuk kesehatan, tentu, tapi—tunggu! Taehyung punya firasat buruk soal ini. Pertama, Namjoon itu mesum. Kedua, Namjoon itu mesum. Ketiga, Namjoon itu mesum. Hah, ini tidak bisa dibiarkan!

“Kau tidak boleh pergi ke rumah Namjoon, Rossie!”

“Kenapa?” ugh, Taehyung benci ketika Rossie mulai bertanya mengapakarena terkadang dia tidak menjawabnya dengan benar dan malah membentuk segelintir pertanyaan baru yang lebih sulit untuk dijawab.

Mencoba rasional, Taehyung menjawab, “Karena…karena kolam renang Namjoon terlalu besar! Kau bisa tenggelam dan tak satu orang pun yang dapat menyelamatkanmu!”

Rossie mendengus dari depan. “Please, yang benar saja. Namjoon punya para penjaga kolam renang, Taehyung-a.”

“Aku dengar dari gosip yang beredar di sekolah, kolam renang Namjoon ada buayanya!” yeah, kini dia kembali tidak rasional.

“Aku suka buaya. Aku pernah berfoto dengannya di kebun binatang musim panas yang lalu,” senandung gadis itu.

“Ada ikan hiu!”

“Taehyung Sayang, Namjoon punya kolam ikan sendiri untuk Tuorqua.”

“Tourqua itu siapa?” tanya Taehyung bingung.

Rossie hanya bisa memutar kedua bola matanya, yang sayangnya tak bisa dilihat oleh Taehyung. “Tourqua itu ikan hiu peliharaan Namjoon.”

“Oh ya?”

“Iya.”

Taehyung menghabiskan sekitar sepuluh detik untuk mengagumi kenyataan bahwa Namjoon benar-benar punya ikan hiu dan dia diberi nama. NAMJOON PUNYA IKAN HIU DI RUMAHNYA DAN DIA PUNYA KOLAMNYA SENDIRI!!! Taehyung ingin tahu apakah di dalam rumah Namjoon juga ada dinosaurus, karena jika ya, dia akan masuk ke sana dengan ijin Namjoon ataupun tanpa ijinnya.

Tapi setelah bayangan itu menguap, Taehyung menemukan dirinya membayangkan kejadian lain yang dapat menimpa kekasihnya selain tenggelam atau digigit buaya. Dia membayangkan Rossie berenang. Well, jika berenang maka dia akan memakai pakaian renang. Dan, pakaian renang itu bukanlah jaket lengan panjang yang bisa menutupi seluruh bagian tubuh. Dan, Namjoon akan melihat Rossie memakai pakaian renangnya. Dan, Namjoon akan menawarkan diri pada Rossie untuk mengolesi krim sunblock di punggungnya. Dan, Namjoon akan menyentuh punggung Rossie!! Dan, dan, dan…

 

Taehyung ingin berteriak frustasi.

 

Tapi, setelah dipikir-pikir, hal itu tidak mungkin terjadi kalau saja Rossie tidak membawa pakaian renang. No swimsuit, no swimming, no sunblock hahaha.

“Rossie?”

“Yeah?”

Taehyung bertanya was-was. “Kau tidak bawa baju renang kan?” Taehyung merasakan kemenangan berada di bawah telapak kakinya yang tadi kena aspal panas. Dia bersiap-siap menyanyikan lagu We Are the Champion dengan lantang.

Rossie menolehkan kepalanya sedikit untuk tersenyum langsung pada Taehyung. “Aku bawa.”

 

TIDAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAKKKK!!

 

Seraya jawaban itu masuk ke dalam telinga Taehyung, syaraf-syaraf motoriknya bekerja ribuan kali lebih cepat dari yang biasanya dan…kau bisa mengatakan bahwa benar (mungkin saja benar) Taehyung masih ada hubungan keluarga dengan Edward Cullen dilihat dari caranya berlari dan menggapai tangan Rossie yang kala itu berjarak sekitar 15 meter darinya.

“Taehyung!” pekik Rossie merasakan cengkeraman di tangannya tiba-tiba dan mereka berdua berhenti tepat saat mobil-mobil di jalan raya mulai berlalu lalang. “Apa yang kau—“

“Kau tidak boleh ke rumah Hoseok ataupun Namjoon. Tidak. Boleh.”

“Kena—“

Ugh, Taehyung benci berdebat dengan gadis ini, apalagi ketika kata kenapa mulai muncul ke permukaan dan Taehyung lagipula tak ingin memberikan alasan rasional maupun irasional, karena yang dia inginkan hanyalah…Rossie bersamanya. Itu saja.

Dengan itu, Taehyung menangkup wajah gadis itu, dan mulai menguarkan aroma biskuti cokelat berpadu dengan jus anggur yang membuat Rossie mabuk. “Oke, Rossie. Kita lakukan apapun yang kau inginkan asalkan tidak pergi ke rumah siapa-siapa. Kau mau pergi ke taman, ayo. Kau mau pergi lapangan basket, ayo. Kau mau pergi ke kebun binatang dan berfoto dengan buaya untuk kedua kalinya, ayo.”

Taehyung menghela napas lega sejenak ketika melihat reaksi Rossie yang tidak berkata apa-apa. “Asalkan bawa aku bersamamu, kemanapun itu akan kuturuti, Rossie.”

Rossie mengerucutkan bibirnya sebal. “Tapi dua puluh menit yang lalu kau nampak lebih menyukai kasurmu daripadaku.”

“Aku memang menyukainya,” sahut Taehyung tak menolak fakta itu. Namun dia kembali bicara dan itu membuat Rossie berkata pada dirinya sendiri bahwa…mungkin (yeah, mungkin) dia tidak salah saat menerima ajakan kencan Taehyung waktu itu. Dan mungkin inilah alasan mengapa Rossie jatuh hati setengah mati padanya. “Tapi kasur tidak bisa bergerak, tidak bisa menggenggam tanganku, tidak memelukku, atau marah, cerewet, dan menginjak kakiku keras-keras.”

Rossie tertawa. Dia mendaratkan satu kecupan manis di dahi Taehyung dan tersenyum meminta maaf. “Apa aku menginjak kakimu terlalu keras?”

“Tidak. Kau menginjak hatiku keras-keras sampai retak, dan kau harus selalu bersamaku untuk menjaganya agar serpihannya tidak pergi kemana-mana, Rossie Sayang.”

Corny.” Rossie memukul bahu Taehyung seperempat hati, mendorongnya menjauh setengah hati ketika lelaki itu mulai merangkulnya, dan…

Jatuh cinta padanya sepenuh hati saat Taehyung berbisik, “Taman?”

Rossie melihat jutaan matahari di pelupuk matanya. “Taman, yeah.”

 

***

 

“Taman, huh?”

Yeah, taman. Ini ‘kan yang kaumau?”

“Taehyung-a, yang benar sa—“

“Psstt! Jangan berisik dan jangan bergerak-gerak, oke?”

Rossie memutar kedua bola matanya dan sialnya, Taehyung tengah memejamkan matanya detik ini maka dia tidak akan melihatnya.

Mereka memang berada di taman—tepatnya di bawah pohon rindang. Saking rindang dan rimbunnya dedaunan di sana, tak satu titik sinar matahari pun dapat menyentuh kulit keduanya. Definisi pergi ke taman, menurut Rossie, adalah bermain ayunan atau duduk di bangkunya sambil mengobrol, atau membeli layangan dan memainkannya, atau bermain gelembung seperti anak kecil.

Tapi ini…

“Taehyung, lepaskan aku!”

“Rossie Sayang, aku sudah menurutimu. Kita berada di taman dan bisakah kau berhenti bergerak?”

“Tapi aku tidak ingin kau tidur sepanjang hari di taman ini, you punk!”

Aw, come on, let’s spend our lazy day together.”

Sepengelihatan mata orang normal…mereka nampak seperti gulungan burrito, dimana Taehyung membungkus tubuh Rossie dengan kedua tangannya dan memeluknya erat-erat dan memutuskan untuk tidak mengangkat topik apapun karena dia terlalu lelah berjalan di atas aspal panas tadi, dan keheningan membuatnya mengantuk. Dia memilih tidur. Sambil memeluk Rossie. Di taman. Seperti yang Rossie inginkan bukan?

“Lepaskan aku!”

Nope.”

“Orang-orang melihati kita!”

“Tidak peduli.”

“Kau berkeringat!”

“Itu normal. Cuacanya sedang panas, Rossie Sayang.”

“Kau belum mandi!”

You like me, anyway.”

 

Ah, sial. Dia benar.

 

THE END

 

a/n:

Haaa fanfic yang mengindikasikan segala kemalasan dalam diri ini heuuuu ;;;__;;;

Seriously, I mean it. Tapi setelah hari kamis dan uas sudah kelar, semoga aku rajin (dalam segala hal). amin. hahaha xD

Baiklah, sampai berjumpa di hari-hari yang lainnya.

Dan terima kasih untuk komen di fanfic-fanfic sebelumnya huhu don’t be lazy to leave me some comments okay? walaupun aku gabisa membalasnya satu persatu ehehe maaf ya :3 tapi kedepannya diusahakan :)

Thankseu and see yaaaa <3

 


[Thanks To] Spiderhun + Extra Fic

$
0
0

 

To all my lovely readers…

 

 

Hai hai! Haloooooo :)

Hmm ya seperti biasa jangan pernah bosan untuk memaafkan kebiasaan buruk author yang satu ini karena dia suka ga balesin komen hehehe maaf ya maaf banget. Tapi aku bacain satu-satu daaaaan aku seneng. Aku selalu seneng ngebaca komen kalian hehehe :)

Daaaaan spiderhun ini ternyata benar-benar diaplikasikan ke dalam kehidupan nyata si oknum Oh itu hahaha jadi seneng yehet ohorat gitu deh akunya pfft xD

Pokoknya terima kasih yaaa udah baca dan komen untuk semua pembaca yang mau meluangkan waktu untuk membaca fic pendek dan ngasal ini kkkk xD

Dan maaf untuk perubahan dalam gaya tulis atau feel yang berkurang atau apapun itu. Aku hanya manusia biasa huhuhu terkadang apa yang ada di mataku itu keliatan bagus tapi ternyata di mata orang enggak. Ya gapapa ya :)

Just make sure you are enjoying my fic, but if you’re not…yes, you can leave :)

 

Big big thankseu for lovely readers:

 

Tang, choconime, Put, znahc, Anisah, winnda, cccc, laisalsa, Orange, shineshen, Dinda Mariana, Edelweiss, Chupss, syalalabla, BaiBai, adecsaraswati, Nathaniel Jung, Dwy_agustiani, SsongSae, yeonrihan, olivia han, Ddangkoplak, hwang yeonhee, restikidbel, elfa, Mikimitarashi, Ganyeol, formaggioyu, Anhuva, kimieadachi, nicken123, chocofin, stacya, azuream8, rskygwd, Fantasy Giver, chandra aryanti dewi, hernachoi, refani nabila, Dante, Tuwink, aikoyu, BabyKyu, Lee Eun Gi ( 이은기), puji, s wanda putrid, LittleRabbit, luna, anita namira, yayyasati, Ansholissa, cloudsoora, MimiJJW, Fe, minyo99, IRA, odie, far, fitryfishy, Janni Aulia, bellanovianti, Autumn Hwang ツ, parklu617, b2utyinspirit, RahmTalks, Yixing’s girlfriend, summerkids, ParkHwayoung, Sibungsu Ndak Baradiak, oxs2212, youngestnoona, exfriend365, K, kanarisma20, Cicil, Cho DyoKyung, minseokeys, deerluhan, elsasalsabila, beautywolf, vayuan, haru, Lana Carter, Luby, ms. Bubble, Nunadk, yokeiryu, anyone, yeolchi, dhiloo98, Namikaze Han, b2utyinspirit, coldfemale, Vidy Chanzu, luqian10, hanmi, fnaura, bela, Uniquee_Yui, takyuyaki

 

THANKSEEEEUUU~~

Karena kalian sudah sangat sangat manis hehehe aku mau kasih extra spiderhun untuk kalian!

 

 

[Spiderhun Extra]

 

 

“Yehet!”

 

Mary Jane pun berhenti berjalan dan menoleh.

 

Dia…

 

Kata ‘yehet’, sebenarnya, adalah kata paling aneh yang pernah tertangkap di telinga Mary Jane. Bahasa apa itu? Apa bahasa America latin? Apakah bahasa Jepang? Tidak, tidak satu pun dari kamus-kamus di dunia mencatat dan mengartikan kata asing itu, namun Mary Jane terpaksa menyukainya. Dia bahkan sangat menyukainya.

Karena…dia masih ingat bagaimana bibir Spiderman melengkungkan senyuman dan menyapukan ciuman terakhir untuknya, lalu menyebut kata aneh itu layaknya mantra yang menyihir Mary Jane.

Mary Jane tidak tercipta untuk menyukai grup boyband manapun di dunia ini. Dia lebih memilih opera sabun atau drama-drama penuh kata romantis menyayat hati di televisi. Namun untuk hari ini, dia memutar tubuhnya dan kembali ke kerumunan penggemar yang meneriakan ‘EXO’ berulang-ulang kali. Mary Jane bahkan tidak menyangka bahwa dia rela mengantri, berdesakan dengan sekitar seribu orang lainnya di taman itu.

 

Demi melihatmu. Batinnya berbicara.

 

Apa itu benar dirimu? Spiderman?

 

Gadis berambut merah itu penasaran. Dia ingin melihatnya. Ini satu-satunya kesempatan.

 

Dan…

 

Ketika dia melangkahkan kakinya ke atas panggung fansign, Mary Jane tak mampu bernapas.

 

Itu dia.

 

Kenangan malam itu sedikit buram dalam kepalanya. Dia hanya bisa mengingat sosok bertopeng, hujan, temaram lampu jalanan, bibir yang terasa seperti choco bubble tea, serta kata ‘yehet’ yang sampai detik ini masih terngiang.

 

Apa kau mengingatku, Spiderman?

 

“Hai,” sapa lelaki berambut cokelat itu tersenyum.

Mary Jane berdiri di sana, terpaku. Dia hanya menangkupkan tangannya di dada, menenangkan degupan jantungnya, karena…wow, Spiderman is really really handsome without mask.

“Halo? Apa kau mendengarku, nona?”

Dia memanggilku dengan sebutan ‘nona’ itu lagi. Mary Jane tertawa dalam hati, dia merasakan sensasi tak bernama yang melingkari perutnya. Seolah ada ratusan kupu-kupu menyapukan sayapnya di sana.

Alis lelaki itu bertemu di tengah, namun senyumannya tak pernah luntur dari wajah tampan itu. “Nona, apa…kau baik-baik saja?”

Kalimat tanya itu pada akhirnya menurunkan nyawa Mary Jane kembali ke tubuhnya dan Mary Jane merona. Sangat.

“Oh, m-maafkan aku…” apa kau mengingatku? “Aku…” ternyata namamu Oh Sehun? “A-aku penggemar beratmu.” Oh Sehun atau Spiderman…mungkin aku jatuh cinta padamu.

Mary Jane berdebat dengan dirinya sendiri. Dia tidak mungkin jatuh cinta pada sosok pahlawan New York yang setiap malam bertarung dengan kejahatan. Dia tidak mungkin jatuh cinta secepat itu. Apalagi dilihat dari ekspresi wajah Oh Sehun, dia nampak tak mengenal atau sedikitpun mengingat Mary Jane.

Apa kau sedang berakting? Kau punya dua pekerjaan yang sangat bertolak belakang. Aku harus memberimu penghargaan untuk ini, Oh Sehun.

 

Lelaki itu tertawa dan dia mengangguk. “Terima kasih. Di mana aku harus tanda tangan?”

“A-apa?” Mary Jane pun bingung.

Oh Sehun memandangnya, alis terangkat. Seringai di wajahnya mengingatkan Mary Jane pada malam itu. Terlalu menarik untuk dilupakan.

“Apa kau bawa poster? Atau album kami?”

Mary Jane tidak membawa apapun ke sana, hanya hati dan perasaannya saja. Apa itu cukup?

Gadis itu pun menggelengkan kepala, mengabaikan protes dari para penggemar lainnya di barisan belakang karena dia terlalu lama berdiri di hadapan Oh Sehun.

“Lalu aku harus tanda tangan di mana?” tanya Oh Sehun, meletakkan tangan di bawah dagunya sambil menatap Mary Jane penuh makna.

Satu ide terlintas di kepala Mary Jane. Gadis itu akhirnya membungkukkan tubuh di meja, menyodorkan tangannya dan berkata, “Kau bisa tanda tangan di sini.”

Interesting,” Oh Sehun berkomentar, namun dia tetap mengukir tandatangan di atas kulit mulus Mary Jane. Tak henti-hentinya tersenyum lebar. “To…siapa namamu, Nona?”

“Mary Jane.”

To…lovely Mary Jane—“ lelaki itu melirik Mary Jane cukup lama.

“Ya?” Mary Jane merespon.

Oh Sehun menggelengkan kepala dan melanjutkan sesi tandatangannya.

“Sehun…” panggil Mary Jane.

Yeah?”

Mereka cukup dekat sekarang; hanya terpaut beberapa sentimeter hingga Mary Jane dapat menghirup aroma choco bubble tea yang menguar. Memori itu kembali menghantam kepalanya.

“Kau…tidak ingat aku?” tanya Mary Jane tanpa rasa ragu. Oh Sehun mengerutkan dahinya sebagai respon, dia mengangkat kepalanya hingga pandangan mereka bertemu sekitar dua detik sebelum kembali menulis di tangan gadis itu. “Apa maksudmu?”

Mary Jane tersenyum, lalu berbisik begitu pelan, begitu lembut, namun dia pastikan Oh Sehun mendengarnya dengan sangat jelas. “Karena aku mengingatmu dan aku tahu siapa dirimu sebenarnya.”

Gambar hati yang diukir Oh Sehun belum sempurna ketika kalimat pernyataan itu meluncur dari mulut Mary Jane. Tangannya yang memegang spidol warna biru itu terhenti sejenak. Bukannya kaget, Mary Jane malah menemukan cengiran pada wajah tampan Oh Sehun.

 

Kau mengingatku,iya kan?

 

“Maaf, Nona. Aku rasa kita belum pernah bertemu sebelumnya.”

 

Tentu, tentu saja Oh Sehun tak akan mengakuinya. Mary Jane sudah bisa memprediksinya sejak awal.

Setelah Oh Sehun menyelesaikan gambar hati di sana, dia memberikan senyuman terakhir dan Mary Jane membisikkan satu kata…yang bisa jadi kata terakhir untuk Oh Sehun atau bisa jadi kata yang memulai sesuatu.

Yehet.”

Oh Sehun tergelak dan membalas, “Yehet.”

 

Mary Jane pun meninggalkan tempat itu. Berjalan pulang dengan perasaan bercampur aduk, entah senang atau sedih. Dia tidak mengerti.

 

Tapi melihat gambar yang dilukis Oh Sehun pada tangannya membuat Mary Jane tak henti-hentinya menggelengkan kepala sembari tertawa. Mary Jane tidak bisa melupakan sosok itu, tapi yang lebih menyenangkan di sini adalah…Spiderman juga tak bisa menyingkirkan kenangan mereka berdua.

 

Laba-laba dan hati.

 

You’re impossible, Spiderhun.”

 

 

 



[Thanks To] Forgetful Seokjin & Lazy Day + Extra Fics

$
0
0

 

To all my lovely readers…

 

[Thanks To] Forgetful Seokjin + Extra Fic

 

Hai!! Terima kasih untuk yang udah baca dan komen fic [BTS] Forgetful Seokjin :) I love you all so thank you thank you thank you soooooo much!! :*

Maaf gak bisa bales satu-satu hehehe jadi ucapan terima kasihnya lewat extra fic aja ya :)

 

Big big thankseu for lovely readers:

 

nicken123, Al, paperbiee, Lana Carter, cccc, sexygeek95, Jiyestha, Ryuu Chan, azuream8, LexyLya, winnda, lunaa, OliviaHan, theboleroo, catelyana, Janni Aulia, aikoyu, leandlycho, LittleRabbit, b2utyinspirit, BaiBai, Nhee, qisvu, IRA, kimjulia93, hyunji, fresiaya94, bananaichigo, G A L A X Y, Cicil, geeoli, ohnamyeon01, Refani Nabila, formaggioyu, Lay’s girlfriend, Primavera vyn, Autumn Hwang ツ, Nisa 니사, ParkHwayoung, sehun, adecahayani, bela, beautywolfff, HoneyLulu, ganyeol, kimkaitou, kimieadachi, junshiroi, aidazzling

THANKSEUUUUU~

Karena kalian sudah sangat sangat manis hehehe aku mau kasih extra fic untuk kalian!

 

[Extra Fic]

 

“Seokjin, apa yang sedang kau lakukan?” tanyaku penasaran.

Siapapun juga bingung sekaligus penasaran jika menemukan kekasihnya duduk di pinggir kolam dan berbicara sangat seru pada seekor lumba-lumba. Lalu ketika mendekat, sang kekasih buru-buru membisikkan sesuatu pada lumba-lumba itu.

Seokjin melihatku dan tersenyum sambil menggeleng. “Hanya mengobrol dengan Kekaimalu.”

“Kau mengobrol dengan Kekaimalu?”

Dia menganggukkan kepala.

“Mengobrol tentang apa?”

Seokjin kembali menggelengkan kepala. “Rahasia.” Lalu dia berbalik ke arah Kekaimalu untuk menempelkan satu jari telunjuknya di bibir, seperti kode agar Kekaimalu tidak membocorkan rahasia yang Seokjin simpan padanya.

“Seokjin…”

“Tidak ada apa-apa, sungguh.” Dia mengangkat tangannya seperti bersumpah.

Aku pun berkacak pinggang, menatap si lumba-lumba yang sedang berenang itu tepat di kedua matanya. Lalu seperti bisa membaca pikiranku, si lumba-lumba jenius milik Hoseok ini mulai mengambil kuas berwarna merah di pinggir kolam dengan mulutnya, kemudian dia menggambar huruf ‘I’, selanjutnya gambar hati, dan yang terakhir adalah huruf ‘U’. Kekaimalu menunjuk Seokjin dengan moncong mulutnya, lalu ke arahku.

Aku pun mengerti.

Seokjin pun marah.

“Yah! Dasar tukang pembongkar rahasia!” sembur Seokjin kesal pada Kekaimalu. Aku melihat hewan tak berdosa itu menenggelamkan diri dan berenang acuh tak acuh menjauhi kami.

Aku menggamit lengan Seokjin yang berwajah kesal dan kami masuk ke dalam rumah sebelum hujan turun karena langit mendung telah memunculkan warna kelamnya.

“Ingatkan aku untuk tidak pernah menyimpan rahasia pada seekor lumba-lumba!” gerutu Seokjin.

“Tentu.”

“Hoseok harus mengajarkan Kekaimalu…”

“Aku juga mencintaimu.”

“…agar—apa?”

Dia menatapku dari balik kacamatanya tanpa kata-kata, seolah sedang memproses apa yang baru kukatakan dan dia membalas, “Oke, aku juga mencintaimu.”

 

Tambahan di video selanjutnya: “Seokjin tidak boleh menyimpan rahasia pada seekor lumba-lumba.”

 

 

###

 

[Thanks To] Lazy Day + Extra Fic

 

Hai!! Terima kasih untuk yang udah baca dan komen fic [BTS] Lazy Day :) I love you all so thank you thank you thank you soooooo much!! :*

Maaf gak bisa bales satu-satu hehehe jadi ucapan terima kasihnya lewat extra fic aja ya :)

 

Big big thankseu for lovely readers:

Tang, nicken123, aikoyu, Lana Carter, HoneyLulu, Jiyestha, sexygeek95, nvladty, LexyLya, winnda, OliviaHan, theboleroo, lunaa, catelyana, Janni Aulia, azuream8, pinkballoonxo, b2utyinspirit, LittleRabbit, BaiBai, sitafirda, mufikahsf, Nhee, IRA, kimjulia93, Cicil, formaggioyu, lauren~, geeoli, ohnamyeon01, b u i (@taepokki_), luqian10, elfa, Refani Nabila, sehunaa, cccc, loveyeollie, yuyun’swifeu, Autumn Hwang ツ, K3, Nisa 니사, sehun, ParkHwayoung, adecahayani, chitaa9, littledeer77, SJEXOxo, twelveblossom, G A L A X Y, bela, beautywolfff, bananaichigo, ganyeol, takyuyaki, puji, Queen Marchellina, anindyans, littlestarlight14

THANKSEUUUUU~

Karena kalian sudah sangat sangat manis hehehe aku mau kasih extra fic untuk kalian!

 

[Extra Fic]

 

Kim Taehyung bukan pemalas, dia hanya tidak ingin menggerakkan syaraf-syaraf kesayangannya yang bersembunyi di balik kulit itu. Lagipula untuk beberapa situasi, Rossie memang setuju ada kalanya mereka harus berhenti bergerak dan menikmat matahari sore di taman seperti yang mereka lakukan sekarang.

“Kau itu pemalas ya,” gumam Rossie memainkan telinga Taehyung sementara sang empunya telinga hanya memejamkan kedua matanya. “Suka tidur, suka makan, suka membaca komik.”

Taehyung tidak memberikan respon, bergerak kegelian saja tidak saat sehelai rumput dengan jahilnya Rossie masukkan ke dalam lubang hidungnya.

“Dan kau tertidur sangat cepat dan lelap. Jika ada bom meledak di taman ini kau pasti tidak akan terbangun.”

Hm, mungkin Rossie benar. Dilihat dari mata Taehyung yang setengah terbuka, mulutnya juga begitu, Rossie boleh menetapkan bahwa Taehyung telah menyelami alam bawah sadarnya terlalu dalam. Kejadian apa pun tidak akan membangunkannya. Dia yakin itu seratus persen.

“Taehyung! Ada kebakaran!” bisik Rossie sedikit keras di telinga Taehyung, namun makhluk itu tetap saja tidak bangun.

Percobaan kedua. “Taehyung, ada Byun Baekhyun!” (Taehyung ingin sekali bertemu dengan penyanyi bernama Byun Baekhyung, yang kata semua orang mereka itu seperti anak kembar).

Taehyung tetap tidak membuka matanya.

Percobaan ketiga. “BAP!! BAP! Astaga, Daehyun!!!” (Taehyung juga menyukai Daehyun. Dia penggemar beratnya).

Namun, nama Daehyun ternyata juga tidak mempan untuk membangunkan si naga pemalas ini dari tidurnya yang lelap. Benar-benar.

Percobaan keempat. “Taehyung! Ada preman yang mau menculikku! Tolong!”

Taehyung malah mengorok.

Aissh…orang ini benar-benar!” Rossie mendorong kepala Taehyung menjauh, namun sebelum beranjak dari sana, dia mengeluarkan taktik baru yang…cukup simple, tapi gadis itu yakin Taehyung akan bangun dalam hitungan detik.

“Taehyung-a,” Rossie menyapukan helaian rambut di sekitar telinga Taehyung agar si bocah ini dapat mendengarnya jelas. “Aku…pergi ke rumah Namjoon—“

Belum selesai kalimat itu terucap, mata Taehyung terbuka dan dia segera memenjarakan Rossie dengan kedua lengannya. Rossie kaget setengah mati karena Taehyung kini terlihat 100 persen sadar dari tidurnya.

“Kau. Tidak. Boleh. Pergi. Kemana. Mana. Rossie.” Wow, Taehyung.

 

Oh, begini caranya membangunkan si bodoh ini.

 

Rossie malah cekikikan.

 

 


Let’s Just Fall in Love Again

$
0
0

tumblr_n626imSnrI1sz0j5io2_400

Cast: Baekhyun [EXO-K] & Eun Jae [OC] ▲ Genre: Slight!Hurt, Romance, Band!AU ▲ Rating: PG-17 ▲ Length: >2000wc

Soundtrack: Jason Castro – Let’s Just Fall In Love Again

Summary:

 Baekhyun punya mantan pacar dan dia ingin jatuh cinta lagi padanya.

 

 

 

***

 

Baekhyun punya mantan pacar.

Namanya Han Eun Jae.

Baekhyun putus dengannya di bulan februari setelah mencapai sebuah titik yang dinamakan kejenuhan, dimana makan siang bersama tak semenyenangkan hari-hari yang lalu, atau saat Baekhyun sengaja menyisakan satu butir nasi di sudut mulutnya, gadis itu tak lagi mau repot-repot membersihkannya.

Kemudian, hari valentine mereka tak berjalan cukup baik. Tak ada bunga, tak ada cokelat, dan yang terparah adalah tak ada cinta.

Maka mereka memutuskan: sudahlah, hentikan saja sampai di sini.

Entah kemana perginya rasa cinta itu. Mungkinkah tersapu hujan deras? Atau ada badai pasir tengah melanda hati keduanya sampai-sampai Eun Jae merasa Baekhyun bukan orang yang tepat, Baekhyun pun merasakan hal serupa.

 

Respon pertama terkait hal ini datang dari Chanyeol, sahabatnya. Dia tidak terlalu sedih, tidak terlalu senang juga.

Man, satu tahun bersama dan hanya karena butiran nasi yang tidak dibersihkan Eun Jae dari wajahmu, kau memilih untuk putus?”

“Bukan itu masalahnya, Yeol,” desah Baekhyun merasakan bahunya melorot. Dia membayangkan bagaimana perasaan Eun Jae sekarang (setelah dua hari mereka berpisah), apakah dia sedih dan terluka? “Aku hanya tidak mau memikirkannya sekarang—detik ini.”

“Apa masalahnya?”

“Entahlah,” jelas Baekhyun menilik kembali alasan per alasan mengapa mereka memilih ini untuk jadi solusinya. “Kami meributkan hal-hal kecil yang tidak penting,” lanjutnya hampir tak tertangkap telinga Chanyeol.

Aww, aku cukup sedih mendengarnya, tapi…apa artinya pria tanpa kekasih, Baek?” kata Chanyeol bersikeras.

Membayangkan hidup seorang pria tanpa kekasihnya terkadang hampir membunuh Park Chanyeol. Dia membayangkan bagaimana jika suatu hari Yejin sang kekasih berlari dari hidupnya dan tak pernah kembali. Siapa yang akan memeluknya, menciumnya, dan menggandeng tangan ini di kampus? Ah, sungguh menyedihkan.

Dia tidak suka melihat membernya patah hati, karena dia tahu persis dan berani bertaruh setelah ini semua lagu yang dibawakan Al Capone akan berubah menjadi semi mellow dan berakhir dengan lirik super melankolis.

Baekhyun mengangkat bahunya acuh. “Well,” senyuman itu tersangkut di wajahnya. “Aku masih punya kalian, member Al Capone.”

Chanyeol tak suka mengatakan ini, tapi dia memberi tepukan penuh rasa prihatin pada bahu Baekhyun. “Sorry to say, Baek. Tapi aku punya Yejin, Tao punya Mayleen, Xiumin punya Cherry, Kris punya Kinsey.”

 

Damn dude!

 

***

 

Awalnya, itu bukan masalah besar.

Baekhyun bisa menghadapinya. Dia bahkan tidak memutar lagu sedih sepanjang hari dan memilih untuk melucu di kelas. Fase putus-dari-pacar bukan sesuatu yang membuatnya tidak bisa makan dan menangis tiada henti. Karena toh matahari tetap bersinar di langit setelah kalimat perpisahan terlontar dari mulut keduanya. Toh Baekhyun masih berjalan dengan kedua kakinya di tanah setelah satu pelukan terakhir dia terima dari Eun Jae. Toh Baekhyun masih dapat melihat kebahagiaan menunggunya di akhir kisah setelah Eun Jae, suatu hari nanti, punya kekasih baru dan begitu pula dirinya.

Baekhyun tetaplah Baekhyun dalam satu bulan pertama tanpa Eun Jae. Lagipula dia pernah bertemu beberapa kali dengan sang mantan di lorong kampus dan menyapa seadanya. Dia melihat Eun Jae baik-baik saja. Tubuhnya tak kurus, rambutnya sehat, dan senyuman itu masih secerah yang Baekhyun ingat.

Jadi apa yang perlu dikhawatirkan?

 

Eun Jae baik-baik saja.

 

Namun…

 

Memasuki bulan kedua…

 

Eun Jae baik-baik saja dan Baekhyun TIDAK!

Ada rasa aneh kian merajalela saat Baekhyun bangun pagi itu. Entah makhluk macam apa yang merasuki Byun Baekhyun hingga dia mengambil ponselnya dan dalam keadaan setengah mengantuk, dia mengetik: Good morning, baby <3

 

Dan mengirimnya pada Eun Jae.

 

Secara otomatis.

 

Karena itu kebiasaan lama.

 

Satu yang nampaknya tak pernah mati.

 

Dan mengapa harus terjadi sekarang setelah satu bulan Baekhyun menahannya??

Pria itu baru menyadarinya dua menit kemudian sebelum berlari luntang lantung mengitari dormnya, berteriak seperti celananya terbakar, membenturkan kepalanya ke pintu lemari, melempar ponselnya ke lantai dan menyumpah dalam berbagai bahasa.

 

“ahnsjdajdsajdajdak!!!!!”

 

(Untungnya Eun Jae tidak membalas)

 

Lalu kesalahan demi kesalahan terus saja terulang dan mungkin juga ini tidak bisa dikategorikan sebagai kesalahan, karena itu bukan salah Byun Baekhyun saat tangannya refleks mengambil kemeja favorit Eun Jae, satu yang berwarna putih.

Gadis itu bilang, Baekhyun tampan saat memakainya. Gadis itu pernah membantu membuka dan mengaitkan kancingnya satu persatu di sabtu sore.

Itu bukan salah Byun Baekhyun ketika potongan-potongan kenangan kembali menyeruak kepalanya—tanpa meminta ijin terlebih dulu. Dengan tidak sopannya mengingatkan Baekhyun bahwa sepatu Eun Jae pernah bersebelahan dengan miliknya di rak sepatu, setiap pagi gadis itu datang dan sarapan bersama di café milik Kyungsoo.

 

Kala itu Baekhyun sadar, dia ingin Eun Jae kembali mencintainya. Lagi dan lagi, tanpa pernah berpikir untuk berhenti melakukannya.

 

Karena Baekhyun juga menginginkannya dan masih mencintainya seperti dulu.

 

Ini gila.

 

***

 

Baekhyun pikir dia mulai gila.

 

Cinta memang keterlaluan. Efeknya bisa menyihir Baekhyun hingga berdiri di depan apartemen kecil gadis itu, dan mengetuk pintunya sebanyak tiga kali. Kendati menunggu adalah hal yang paling Baekhyun benci, dia mundur beberapa langkah dan bermaksud mendobrak pintunya. Hell, benar-benar gila!

Tak lama kemudian, pintu pun mengayun terbuka. Sosok itu muncul dan Baekhyun menghentikan niatnya. Tanpa sadar jantungnya juga ikut berhenti; melewati beberapa detak.

“Baek?” suara lembutnya mengalun indah di telinga Baekhyun. Dia merindukannya. Dia merindukan panggilan singkat yang terdiri dari empat huruf itu.

“H-hai,” balas Baekhyun kikuk.

Eun Jae tidak bisa menemukan alasan mengapa pria ini berdiri di depan pintunya, mengenakan kemeja putih favoritnya, dan rambut itu sangat berantakan seperti tidak disisir.

 

“Apa yang kau lakukan di sini?”

 

Baekhyun juga tidak bisa menemukan alasan mengapa dia tidak dapat berpindah ke lain hati dan meninggalkan gadis ini beserta kenangan tentangnya di belakang punggung. Mengapa semua begitu sulit dilakukan ketika Eun Jae adalah satu-satunya yang menginvasi seluruh pikiran Baekhyun?

 

“Ayo berpura-pura.” Itu jawaban Baekhyun.

 

“Berpura-pura? Maksudmu?”

 

Baekhyun mengambil napas banyak-banyak. Terserahlah apa yang akan dilakukan Eun Jae terhadapnya setelah ini. Dia tidak peduli.

“Kau boleh memanggil polisi atau menelepon temanmu setelah ini, tapi aku mohon berpura-puralah sejenak bersamaku.”

Eun Jae tidak mengerti. “Baek, aku—“

“Berpura-puralah kita adalah dua orang yang tak saling mengenal. Aku tak tahu namamu dan di hari itu kita bertemu di parkiran mobil. Aku membantumu membawa buku-buku mata kuliah statistik dan kita berkenalan.”

Baekhyun tiba-tiba menyodorkan tangannya. “Hai, namaku Byun Baekhyun. Vokalis band Al Capone. Kau pasti pernah melihatku, karena kami baru saja mengisi acara peresmian gedung barat. Wah, buku-bukumu berat juga ya. Siapa namamu?”

Dia sengaja.

Tak mau bernostalgia sendirian, tenggelam dalam memori indah yang tak bisa dia miliki lagi, dia sengaja membawa Eun Jae kembali ke masa-masa itu. Masa dimana Baekhyun langsung jatuh cinta pada pandangan pertama, dan Eun Jae masih tak mau mengakuinya bahwa dia juga merasakan hal yang sama.

Eun Jae membeku. Dia tidak menjabat tangan Baekhyun yang terulur. Baekhyun kembali bermonolog ria.

“Oh, namamu Han Eun Jae. Nama yang bagus. Hei, apa kau suka minum latte? Kita bisa mengobrol lain kali di café milik temanku, Kyungsoo. Tempatnya tidak jauh dari sini, kok. Tapi kalau kau tidak mau jalan kaki, kita bisa naik motor.”

Baru pertama kali bertemu, hari itu Baekhyun langsung menawarkan pertemuan kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya.

Baekhyun terus saja berceloteh tiada henti. Berusaha keras mengingat kata per kata yang pernah dia keluarkan sekitar satu tahun yang lalu. Sambil menyisir rambutnya ke belakang menggunakan jemari, seringai menggoda yang membuat fans Al Capone pingsan. Semoga hati Eun Jae juga ikut tergerak. Tapi bisakah? Hm, Baekhyun sedikit pesimis.

Pria ini menjilat bibirnya sesekali, matanya menyampaikan sejuta pesan dan permohonan. Please, Han Eun Jae, please.

“Boleh tahu nomormu? Tenang saja aku tidak akan meneleponmu seperti stalker. Hanya jaga-jaga jika aku terlambat menjemputmu, tapi tentu saja aku tidak akan terlambat. Aku benci membuat orang menunggu.”

Sejak nomor itu berada di tangan Baekhyun, ponsel Eun Jae tak pernah berhenti berdering. Tapi Eun Jae tidak membencinya waktu itu. Bahkan dia menunggunya berdering hingga tengah malam.

 

Harus Eun Jae akui, dia benci Byun Baekhyun. Dia benci mengapa Tuhan menciptakannya di dunia ini dan dengan begitu sadis pria ini mengambil hatinya.

Ini harus dihentikan sebelum air mata jatuh mengalir di pipi Eun Jae. Gadis itu memutar tubuhnya menghadap pintu. Baekhyun tak seharusnya berada di sini—di hadapannya. Eun Jae telah melepaskannya di bulan februari, lalu apa yang Baekhyun inginkan? Datang kemari dan membuatnya jatuh cinta lagi?

“Kau sinting, Baek.”

Dia berharap Baekhyun berhenti bertingkah konyol seperti ini. Namun sebelum Eun Jae melangkahkan kaki, Baekhyun buru-buru merengkuh pinggangnya dari belakang, meletakkan dagunya di bahu Eun Jae dan berbisik, “Jangan pergi, kumohon, Han Eun Jae. Please.”

Itu membuat Eun Jae frustasi. Hatinya seperti sedang diobrak-abrik. Dia yakin hari-hari tenangnya tanpa Baekhyun selama ini bukanlah sesuatu yang patut disyukuri. Dia merindukan Baekhyun, dia mengakuinya.

“Demi Tuhan, Baek. Lepaskan aku,” ujarnya berusaha menyingkirkan tangan Baekhyun dari sana—setengah hati.

Baekhyun enggan mengabulkan permintaan itu. “Jika kau tidak mencintaku lagi, bisakah kau berpura-pura melakukannya? Berpura-puralah jatuh cinta padaku, Eun Jae. Berpura-puralah mencintaiku seperti dulu. Cintai aku lagi. Dan jangan pernah berhenti, jangan pernah terlintas dipikiranmu untuk berhenti. Bisakah?”

Eun Jae membiarkan air mata meloloskan diri dari pelupuknya. Menangis memang sakit, apalagi ketika kau menangis dalam kekalutan. Biasanya, pelukan Baekhyun adalah satu-satunya yang dapat membuat tangisan Eun Jae berhenti, namun kali ini sebaliknya. Semakin erat Baekhyun memeluk, semakin sulit Eun Jae berhenti menangis.

“Berpura-puralah, Eun Jae. Bersandiwaralah.” Baekhyun berbisik, suaranya diselimuti keputusasaan.

Kepala gadis itu menggeleng. Hati Baekhyun mencelos. Sejenuh itukah dirimu padaku? Hingga hubungan ini tak bisa kembali ke jalan semula?

Eun Jae membekap mulutnya agar isakannya teredam. “Aku tak bisa, Baek. Aku tidak bisa. Lepaskan aku.”

Kali itu, Baekhyun benar-benar melepaskannya. Melepaskan pelukannya, membiarkan tubuh Eun Jae yang bergetar itu menjauh darinya. Tapi satu yang tidak bisa dia lepaskan.

 

Hatinya.

 

“Maaf,” sesal Baekhyun. “Maafkan aku.”

“Aku tidak bisa berpura-pura, Baek,” ucap Eun Jae lirih. Wajah mungil itu basah akan air mata dan Baekhyun ingin menghapusnya. Orang bodoh macam apa yang berani membuat gadis ini menangis? Jawabannya tak perlu disebutkan.

Baekhyun mengiyakan, walaupun otaknya sedang berusaha keras mencerna keadaan. Mengapa, Eun Jae? Mengapa?

“Aku tahu ini konyol,” dia tertawa getir. “Maaf membingungkanmu—“

“Aku tidak bisa berpura-pura mencintaimu, Baek…”

“Aku mengerti.”

“…karena aku memang mencintaimu.”

“Aku datang ke sini dan—apa?”

Mata Baekhyun membulat begitu mendengar pernyataan yang keluar dari mulut Eun Jae.

“Maaf, bisa kau ulangi?”

Tanpa basa-basi, Eun Jae mengalungkan kedua tangannya di bahu Baekhyun dan memeluknya seolah Baekhyun adalah Santa Klaus—seseorang yang dari dulu Eun Jae ingin temui. Seolah Baekhyun adalah musim panas yang dia nantikan, seolah Baekhyun adalah strawberry cheesecake yang penuh lemak dan kalori, namun apa pedulimu…kau tetap menginginkannya di lidahmu.

“Kau menyuruhku berpura-pura,” gadis itu tertawa dalam tangisnya. “Bagaimana bisa berpura-pura jika pada kenyataannya aku memang mencintaimu, Baek?”

Kalimat itu seperti berasal dari planet Pluto, butuh sekitar dua puluh detik untuk menerjemahkannya dan jantung Baekhyun hampir keluar dari rongganya.

Dia menangkup wajah mungil milik Eun Jae dan menatapnya lekat-lekat. “Apa kau serius dengan ucapanmu tadi?”

“Y-ya?”

Baekhyun memeluknya lagi. “Damn! Kau terdengar ragu-ragu, baby. Tapi apapun itu, aku menganggapnya serius dan kau tidak boleh menarik perkataan tadi!” dia menghirup aroma Eun Jae dalam-dalam, betapa dia merindukan aroma itu mengisi paru-parunya.

“Kita akan memperbaiki segalanya. Tenang saja. We can make it up, baby.

 

Siapa pula yang ingin menarik perkataan itu, jika memang benar kalimat tersebut tercipta untuknya?

 

Perjalanan cinta Byun Baekhyun dan Han Eun Jae dimulai lagi.

 

Dari halaman pertama.

 

***

 

Seperti biasa, hari sabtu malam adalah jadwal band Al Capone tampil di Hard Rock Café. Satu bulan lamanya, Baekhyun menyanyi di sana tanpa kehadiran Eun Jae di deretan bangku penonton. Kalau boleh jujur, Baekhyun merasakan kejanggalan luar biasa yang memenuhi perasaannya, seperti: kursi itu tak seharusnya kosong, ada seseorang yang biasanya duduk di sana. Namun dia menepis kenyataan itu jauh-jauh.

Kali ini, sosok berbaju ungu itu kembali hadir mengisi kekosongan yang ada selama ini. Duduk manis dengan tatanan rambut sederhan, seulas senyum di wajah yang membuat Baekhyun ingin turun dari panggung hanya untuk menciumnya hingga malam berubah jadi pagi.

“Hai, selamat malam.” Suara Baekhyun melantun lewat microphone. Suasana café jadi tenang, siap mendengarkannya.

“Kami—Al Capone kembali berdiri di panggung ini untuk menghibur kalian. Aku harap kalian tidak bosan melihat wajah Chanyeol.”

Semua orang tertawa dan Chanyeol yang sedang menyetel gitarnya hanya bisa ternganga kebingungan: kenapa aku?

Yeah, sayangnya kami tidak bisa mengganti wajah Chanyeol karena dia memang sudah tercipta seperti itu, jadi mohon pengertiannya.”

Byun Baekhyun memang vokalis sekaligus komedian sejati. Dia berhasil membuat semua orang di café itu tertawa, termasuk Eun Jae yang melotot seolah memperingatinya agar tidak terlalu sadis pada Chanyeol. Anyway, gadis itu tetap tertawa.

“Tapi kami masih punya Kris, drummer kami yang keren.” Semua orang bersorak gembira melihat pria bertato itu memutar-mutar stick drum-nya sambil tersenyum.

“Kami juga punya Xiumin, gitaris kami yang menggemaskan.” Xiumin membungkukkan tubuh sebagai sapaan selamat malam.

“Dan Tao Tao, bassist kami yang tak pernah tidur karena terus menciptakan lagu.” Tao memutar kedua bola matanya, namun tetap melambaikan tangan pada penonton.

Baekhyun terkekeh, “Peace, Tao. Aku hanya bercanda.”

Tao mengacungkan jempolnya dan Baekhyun lanjut memperkenalkan seisi bandnya. “Dan tentu saja ada PCY, gitaris kami yang tampan. Uh huh, kau senang, Yeol?”

Chanyeol merebut microphone itu dari tangan Baekhyun. Suara beratnya berhasil membuat belasan pengunjung wanita meneriakkan namanya. “Goodnight, everyone. I love you.

Ugh, so cheesy,” komentar Baekhyun sambil tertawa. “Well, dan ada aku. Aku harap kalian tidak bosan mendengar suaraku. Ya, aku Byun Baekhyun siap bernyanyi untuk kalian.”

Kalian’, ah ya, untuk kalian, tapi tetap saja pandangannya hanya tertumbuk pada satu orang di ruangan itu. Siapa lagi kalau bukan Han Eun Jae.

“Lagu yang akan kami bawakan kali ini berjudul Let’s Just Fall In Love Again dari Jason Castro.” Baekhyun menoleh ke belakang, melihat Kris menganggukan kepala, tanda: we’re ready, let’s do it. “Semoga kalian menikmati.”

 

Let’s pretend, baby.

That you’ve just met me.

And I’ve never seen you before

 

And I wanna fall in love with you again

I don’t have to try, it’s so easy

Who needs to pretend?

 

But because it’s so funny

Let’s just think about it, honey

Let’s just fall in love again

 

 

 

Yeah, Han Eun Jae. Let’s just fall in love again with me.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Tao tidak bermaksud memandang seseorang penuh keseriusan dan intens. Dia tahu itu tidak sopan. Namun melihat Baekhyun yang baru keluar dari mobil bersama Eun Jae menimbulkan sejuta kalimat tanya di kepalanya.

“Baek, apa yang terjadi dengan kemejamu?” tanya Tao memandang kemeja putih milik Baekhyun.

Ugh, memangnya kenapa?” Baekhyun balik bertanya, meneliti kemeja warna putih yang nampak baik-baik saja di mata Baekhyun.

“Sangat berantakan dan kau salah mengaitkan kancingnya. Itu, kau melewatkan dua kancing,” kata Tao menginformasikan.

Baekhyun pun menyadarinya dan dia memberikan satu cengiran konyol pada Tao, kurang lebih memberikan kode. Tapi sungguh, Tao terlalu naïf di beberapa situasi. Contohnya yang satu ini.

“Oh ya, tadi kami terburu-buru,” jawab Baekhyun berlalu selagi membetulkan kancing kemejanya.

Kami? Terburu-buru?

Tao tidak mengerti apa yang Baekhyun katakan, bahkan setelah mendengar perkataan Chanyeol.

Damn, Baek. Ini bahkan masih siang.”

Baekhyun hanya tergelak.

 

 

 

THE END

 

a/n:

  • Ini sebenernya termasuk al capone series. Aku belum selesai bikin ff pembukanya tapi yang ini sama yang satu lagi udah keburu jadi huhu
  • maaf temanya jadi tentang permantanan gini sih ada apa sih apa yang terjadi sih ._.
  • dan ini adalah jawaban untuk pertanyaan di ask.fm waktu itu. Ada yang nanya: “kak baekhyun belom punya pasangan ya?”
  • the last part is…probably-perhaps-maybe not suitable for underage. I told you Al Capone series is actually PG-17!! asdfghjkliamsorry!

 

See you <3


The Way To Remember

$
0
0

tumblr_n5cz6ysZs21qadcc6o1_250

Cast: Wu Yi Fan & Jessica [SNSD] ♦  Genre: Hurt, Fluff, Romance ♦ Length: >1000wc ♦ Rating: PG

Soundtrack: Onew – In Your Eyes

Summary:

This is the way to remember me

 

Mereka bertemu di awal musim dingin tahun 2008, di Kanada. Jessica masih ingat pria tinggi itu membantunya mengambil macaroni di rak bagian atas. “Thanks,” ujar Jessica menerima macaroni itu dari tangannya dan mereka bertemu lagi di kasir, ada kesempatan kecil untuk saling berkenalan.

 

12 November 2008.

Namanya Kris. Wu Yi Fan. Kebangsaan China. Lahir di Kanada. Dapat berbahasa Korea.

.

.

.

Jessica tidak tahu apakah ini sebuah kebetulan semata atau mereka memang ditakdirkan untuk bertemu lagi di perpustakaan dekat museum. Jessica kembali menemui kesulitan yang berkaitan dengan tinggi tubuhnya dan tinggi buku di rak sehingga Kris ada disana, mengambilkan buku itu. “Terima kasih. Maaf selalu merepotkanmu.” Tapi kau datang di saat yang tepat. Jessica tertawa dalam hatinya. Kris berkata itu tidak masalah. Dan mereka bersantai di café Perancis yang terkenal akan latte-nya. Jessica mentraktirnya, latte almond yang hangat di tengah dinginnya cuaca.

 

1 Desember 2008.

Kris orang yang hebat. Dia pemain basket yang handal, penyuka kopi, dan bekerja sebagai Manajer Pemasaran. Kami punya selera yang sama. Thanks for almond Latte. :)

.

.

.

Sooyoung, sahabatnya, berencana untuk datang mengunjunginya pada malam natal. Dia berkata akan membawa pacarnya, Choi Siwon dan Sooyoung bertaruh Jessica belum mempunyai pasangan untuk dikenalkan padanya. Jadi, di sana, Jessica bertarung melawan keinginannya menekan nomor Kris di telepon, sekedar ingin bertanya apakah dia punya acara di malam natal. Jika tidak, apakah dia ingin datang ke rumahnya, jika ya…mungkin selanjutnya mereka bisa terus seperti ini dan… “Ya.” Ya! Jessica mendapatkannya.

“Kau kekasih Jessica?” tanya Sooyoung tanpa basa-basi. Tidak! Ini tidak seperti yang kami bicarakan sebelumnya, teriak Jessica dalam hati. Lalu Kris mengangguk sambil tersenyum. Keheningan menerpa. Sooyoung seakan menguji hal itu karena Jessica tahu sahabatnya tidak mudah percaya pada segala sesuatu yang ada. Dia bertanya beberapa pertanyaan konyol seperti: “apa warna kesukaan Jessica?”, “apa makanan kesukaannya?”, “apa yang dia lakukan setiap hari Sabtu?”, “apa yang bisa membuatnya tenang?”

Jessica menggigit bibir, kegelisahan bergelayut di hatinya. Kris lagi-lagi tersenyum dan tanpa disangka dia menjawab semuanya. “Pink”, “Macaroni”, “Pergi ke Perpustakaan”, “Latte Almond”. Bagaimana bisa dia tahu? Jessica tidak percaya hal ini. Semuanya tepat. Mereka baru bertemu dua kali dan sejauh itukah Kris mengetahui dirinya?

“Bagaimana kau bisa menjawab pertanyaan Sooyoung?” tanya Jessica setelah pesta berakhir. Kris mendekatkan diri, aroma sabun dan kopi yang lembut menyeruak ke dalam paru-paru Jessica. “Aku mengingat hal dengan baik, nona.” Satu kecupan di tangannya.

24 Desember 2008.

Kris mengingat hal dengan baik. Aku pun juga harus begitu. Karena dia baru saja menyatakan perasaannya padaku. We are lover since today :)

.

.

.

Empat tahun menjadi waktu yang sangat singkat. Jessica tidak menyangka dia dapat berada di samping pria ini. Empat tahun menyimpan sejutan kenangan yang tidak akan lekang oleh waktu dan Jessica menyukai ide itu. Mereka pindah ke Seoul, Korea. Tinggal di bawah satu atap dan menikmati waktu bersama-sama. Semua memori tersimpan baik di satu kotak spesial sehingga waktu pun tidak bisa menyentuhnya. Kris selalu mengingat semuanya dengan baik, begitu juga Jessica. Namun manusia juga dapat lupa sewaktu-waktu.

 

18 April 2012

Kris lupa hari ulang tahunku :( Dia benar-benar lupa. Aku tidak marah karena aku tahu terkadang manusia juga dapat lupa.

 

Jessica tidak yakin apakah dia sungguh ingin melupakan kejadian ini. Dia membiarkannya lewat seperti musim semi yang indah. Kris meminta maaf dengan satu ikat bunga mawar dan…semuanya pun berlalu.

.

.

.

8 Mei 2012

Kris tampaknya mulai pikun. Dia bilang kami akan makan malam hari ini, tapi dia malah pergi ke rumah Chanyeol. Baby, kau tidak setua itu kan?

.

.

.

22 Mei 2012

Oke, Kris memang sudah sepuh. Dia lupa menaruh kaus kakinya, lupa cara mengikat dasi, dan melupakan kopinya di pagi hari.

.

.

.

1 Juni 2012.

Kris…what happen to you?

.

.

.

8 Juni 2012.

Kris…

 

Ada sesuatu yang mungkin terjadi pada Kris. Dia semakin melupakan semua hal penting termasuk bagaimana mengetik kata Consciousness. Mereka berada di sana, ruangan berbau antiseptik yang memusingkan. Namun ada satu kata yang membuat mereka lebih pusing dari seharusnya. Mereka percaya dokter hanya sedang bercanda, bermain-main…

 

 

Mereka tidak tahu apa yang harus dilakukan. Dia tidak melihat wajah Kris malam itu. Dia hanya bertemu punggung Kris yang bergetar, tangisnya yang tertahan di kegelapan. Lambat laun aku akan melupakanmu,melupakan tentang kita. Perkataan Kris menghantam kepala Jessica seribu kali banyaknya.

“Suatu hari aku akan lupa siapa namaku, siapa diriku. Tapi hal yang lebih menyakitkan adalah melupakan siapa dirimu, tentang dirimu, semua tentang kita, Jessica.”

 

8 Juni 2012

Tuhan, jangan biarkan Kris lupa akan semua kenangan tentang kami.

.

.

.

Kini Jessica lebih sering berkutat di depan laptop, mencari tentang apa itu Alzheimer. Mengapa satu kata dapat membuat hidup mereka hancur berkeping-keping dan Kris murung seakan tidak ada gunanya hidup, tidak ada gunanya bernapas, karena suatu hari dia akan lupa bagaimana caranya hidup, bagaimana rasannya hidup, dan bagaimana cara bernapas. Akan datang satu hari dimana Kris hanya dapat berbaring diam, tubuhnya masih berfungsi optimal namun otaknya mati. Selesai.

Namun ada Jessica di sana. Seseorang yang tidak akan membiarkan penyakit menghapus semua hal di dunia mereka. Dia menempelkan beberapa kertas di dinding sebagai pengingat untuk Kris, apa yang harus dia lakukan setiap harinya. Menyiram bunga, sarapan, menonton TV, membaca Koran, makan siang, tidur siang, pergi ke rumah Chanyeol mengambil roti…dan sebagainya. Kris melakukannya dengan baik sampai suatu hari dia mulai jengah, dia bingung dan itu adalah pertengkaran hebat yang mereka alami.

“Semuanya percuma! Aku akan lupa. Tanpa semua catatan itu, aku…aku lupa!” teriak Kris. “Tapi itu adalah cara untuk mengingatkanmu,” isak Jessica tak percaya akhirnya Kris menyerah, di saat dia juga lelah, dia berada di titik dimana dirinya seperti sedang hidup dalam warna hitam dan putih yang membosankan. “Katakan padaku, apakah itu dapat membuatku selamanya ingat tentangmu? Apa ada cara untuk terus mengingatmu?” Dia benar. Kris akan melupakan diriku.

Hari itu Kris berlari meninggalkan rumah. Jessica tidak tahu ke mana dia pergi, namun hal yang lebih ditakutkan adalah apakah Kris bisa kembali ke rumah ini, apakah dia ingat dimana mereka tinggal, rumah yang mereka pilih ketika sampai di Seoul. Bisakah? Ingatkah?

Jessica menunggu, terus menunggu. Malam natal, dimana mereka seharusnya berada di depan perapian, bukannya berada di tengah jalan. Salju membasahi rambut Jessica dan tiba-tiba dia melihat sosok yang tinggi. Dia mengingatkan Jessica pada seseorang yang membantunya mengambil macaroni, buku di perpustakaan. Pria beraroma sabun dan kopi.

Pria itu berjalan gontai di tengah hujan salju, hidung merah dan dia memeluk Jessica. Dia ingat jalan pulang. Dia ingat siapa yang dia peluk, dia ingat betapa dia mencintai wanita ini sepenuh hatinya. Mungkin suatu hari dia akan melupakan bagaimana rasa mencintai dan dicintai, namun…

Kris tertawa kecil di antara rambut panjang Jessica. “Aku tidak akan melupakanmu, Jessica. Aku akan terus mengingatmu,” gumamnya tidak jelas.

“T-tentu saja, Kris. Tentu.” balas Jessica. Kris kembali tertawa. Dirinya begitu hangat di dekapan Jessica.

“Tanpa catatan-catatan kecil itu, aku bisa mengingat dirimu selamanya,” ujar Kris, melepaskan diri. Bajunya sedikit basah dan lembap di tangannya.

Dia tersenyum pada wanita itu, Kris menarik lengan kausnya, memperlihatkan sebuah tato. Sebuah tato yang baru saja selesai, sederhana tanpa warna-warna lain. Hanya hitam dan membentuk sebuah nama. Kris menangis bahagia, “Aku bisa mengingatmu selamanya,” dia melirik tatonya. “Jessica.”

 

24 Desember 2012.

You will remember me forever. I love you, Kris.

 

 

THE END

 

A/N:

PARAH! Ini tuh fanfic taun dua ribu dua belas (yg agak diedit demi kenyamanan mata) untuk suatu kontes yang berakhir tak jelas ya terima kasih siapapun anda yang menyelenggarakan sangatlah tidak bertanggung jawab. Huh.

Tapi sudahlah. Biarlah. Yang sudah berlalu biarlah berlalu.

Dan jangan salahin aku ya kalo ternyata besok pairing ini jadian ((ENGGAK DENG!!)) ((YANG SATU DI MANA, YANG SATU DI MANA))

Maaf ya aku bukan cenayang, kalo nulis ff abis itu terjadi kejadian yg mirip mirip gitu maafkeun aku juga gatau huhuhu >.< kayak ig spiderhun itu, terus baekhyun di mobil sungguh aku bukan mata2nya dispatch, percayalah!!! >.<


[!!!] Attention

$
0
0

image

Hai hai hai, para pembaca yang lovely, terima kasih ya sudah mengunjungi blog ini dan terima kasih atas komentarnya :)
eumm karena jadwal harian yang sangat padat dan aku juga blom sempet nulis dan ngurusin blog ini, I want to say sorry. Maaf ya tidak seproduktif dulu huhuhu
Sebenernya…idk, entahlah belakangan ini I have no desire to write anything ato itu hanyalah alibi ato…apa ya hmmm. Mungkin saja aku lelah, mungkin sudah saatnya untuk…you know lah hehehehe
Tapi aku tetep mau nyelesain ABOB dan…sepertinya (sepertinya) aku gak akan nerusin Betty lagi huhuhu

tbh, aku gapernah nyangka fic Betty itu akan jadi salah satu fic yang ditunggu para pembaca. Dan katakan saja aku memang payah dalam menghandle fic berchapter. Sekali lagi maaf ;;;

Dan no, ini bukan karena kasus exo yang belakangan ini. Menurutku dunia kenyataan sama dunia fanfic di sini itu beda. I have my own characters in here, jadi walaupun katanya Kris bukanlah bagian dari exo lagi…for me it doesn’t matter. Kalo aku mau nulis dia, aku akan menulis dia di fanfic-ku. Juga tentang Baekhyun-Taeyeon. Aku udh nyiptain pasangan OC untuk Baekhyun di fanfic-ku dan yes, i will use this OC. Bukan karena gak suka Taeyeon, tp maksudku…itu kasus yang beda. Jadi aku tidak mau mencampurkan realita dan fiksi di sini.

But i love Baekyeon, mungkin nanti aku mau nulis tentang mereka ya hehehe :)

Dan yang terakhir (enggak terakhir juga sih), aku akan berusaha menyelesaikan ABOB dan Betty Chapter 4 (dan fic Betty akan dikunci alias ditarik dari peredaran #alah). Ada beberapa fic juga yang akan kukunci and i won’t give the password, so you dont have to ask on twitter or ask.fm okay? :)

Untuk mengisi waktu beberapa hari ke depan akan ada beberapa random post berkaitan dengan ABOB, so please wait okay :)

Aku rasa  segini aja cukup. Aku nulis ini pas lagi jam istirahat PKL, mungkin nanti ada yang harus ditambahin lagi ya hehehehe

see you my lovely readers :)

with love,

Hangukffindo


Afraid

$
0
0

image

[Random Fic]
Baekhyun x Taeyeon
Fluff, Romance

Aku takut Tuhan marah padaku

_

Adapun kalanya aku takut berjumpa dengan Tuhan walaupun hanya sebatas doa. Ada kalanya diri ini begitu takut menyairkan doa dan melantunkan permohonan di satu malam yang syahdu, dimana semua orang terlelap dan aku berhadapan dengan Sang Pencipta.

Aku tak mau membagikan rasa takut ini pada siapapun. Aku tak sudi memotong rasa takutku dan menyerahkannya ke dalam tangan sahabat-sahabatku, sebut saja Chanyeol, Chen, atau Tao. Aku tak rela mengambil secuil rasa gelisahku dan menyodorkannya pada manajer hyung atau bahkan pemimpin kita sekalipun.

Namun entah mengapa hari itu–malam itu–aku berhasil membujuk diri dengan mengatakan: ‘kau tak bisa menyimpannya sendirian. Rasa takut itu akan melahirkan sejumlah siksa yang menyakitkan; beranak pinak hingga kau mati. Bagikanlah, ceritakanlah. Semuanya akan kembali baik seperti semula’.

Dan dikala rinai hujan mulai membasahi aspal, langit malam menyimpan semua aksesoris mahalnya di balik balutan kabut kelam…aku memandang ke dalam hatimu hingga sentuhan hangat merayapi kulit ini.

Kubagikan rasa takutku tanpa ragu padamu.

“Taeyeon…”

“Ya?”

“Aku takut.”

“Takut? Takut pada apa?”

“Lebih tepatnya pada ‘siapa’.”

“Baiklah,” kau tertawa, “pada siapa, Byun Baekhyun?”

Aku menghela napas berat seolah ada ribuan ton besi bertengger di bahuku. Ternyata mengungkapkan rasa takut lebih meletihkan daripada menyimpannya sendiri.

“Aku takut pada Tuhan.”

Kau tertawa lagi. Kau tertawa dan demi samudra yang tak berbatas; demi langit yang tak berdinding; demi bunga yang bersemi dan berguguran tertiup angin senja…aku jatuh cinta padamu.

“Bodoh. Bukankah memang seharusnya begitu?”

Aku menggelengkan kepalaku. Aku berbisik dalam hati: ‘mungkin iya, mungkin tidak, mungkin…aku tak seharusnya mendongengimu dengan rasa takut ini, tapi aku harus…aku harus.’

“Aku takut Dia marah.”

“Memangnya kenapa?” tanyamu mulai curiga. “Byun Baekhyun, apa kau membunuh seseorang? Apa kau melukai orang lain? Apa kau menjahili Kyungsoo lagi? Apa kau berteriak di telinga Chanyeol? Apa kau menakut-nakuti Tao di kamar mandi?”

Jika kasusnya seperti itu, akan mudah bagiku menghilangkan rasa takut ini. Mungkin semudah menjentikkan jari di udara.

Giliran aku yang tertawa, namun nada cemas masih terdengar jelas dalam bisikanku.

Di pukul 2 pagi itu…di mobilmu yang beraroma mint dan lavender, aku mengakui bahwa pria yang satu ini punya rasa takut sebesar rumah dan nyali sebesar biji bunga matahari. Dan mencintaimu tak pernah menimbulkan segenggam rasa sesal.

Aku mendekat.

Aku berbisik.

Tepat di telinga kananmu.

Begitu jelas.

Begitu yakin.

Begitu pasti.

“Aku takut Tuhan marah padaku, karena aku telah mengencani salah satu malaikatnya.”

The end.

A/n:

qesyel gak? Hahaha
belakangan ini lg suka ngepoin tweet2 puisi dan baca buku2 sastra yg kata-katanya badai abis.

Hmm…jd mencoba bereksperimen dgn cast kowreya, ya semoga gak aneh huhu

Dan maaf ini nulisnya di hape, banyak typo ya dimaklumi ya hehe

See you di random fic berikutnya mungkin? Aku lg suka bikin tulisan mendayu2 cengeng sok puitis gini jadi…nikmati aja ya :)


Viewing all 236 articles
Browse latest View live